Jumat, 27 Februari 2009

Ajaranku Kontra Ajaran Tetangga

Dua buah hatiku, Rara dan Tata, kuajarkan untuk tidak menggunakan kata-kata kasar seperti ‘kau’ dalam bahasa Minang untuk menyebut ‘kamu’. Bagi telingaku, walaupun sejak kecil sudah terbiasa mendengar kata-kata itu, ‘kau’ tetap saja terdengar kasar. Kata-kata itu biasa kami gunakan bila menyebut lawan bicara dalam keadaan marah, beradu argumen dengan emosional, atau memaki orang lain. Aku kena marah oleh ibuku, aku dipanggil ‘kau’. Dan itu menyakitkan.
Karena itulah, sejak anak-anak masih bayi, aku membiasakan diri menghilangkan kata-kata ‘kau’ dari rumahku. Aku panggil mereka dengan nama mereka, atau ‘kamu’, bukan ‘kau’. Dan keduanya kini mengerti, kata-kata itu tidak untuk diucapkan di dalam rumah kami. Rara sering melaporkan adiknya yang menyebut-nyebut kata itu bila mereka sedang bertengkar. Aku marahi si kecil, yang memang agak keras kepala itu.
Persoalannya, tetangga terdekat kami, yang selalu gembar-gembor ke seluruh dunia bahwa anak-anakku adalah cucu-cucu kesayangannya, memanggil mereka dengan ‘kau’. Alangkah beratnya aku menahan mulutku untuk tidak mencegah mereka. Dulu sudah pernah kukatakan, aku keberatan mereka dikau-kaukan begitu.
Di depanku, si pemilik rumah yang jadi tetangga terdekatku itu, memang tak mengkau-kaukan mereka. Namun saat anak-anak dititipkan, puaslah telinga mereka mendengarnya. Tadi siang, si oma, dengan suaranya yang lantang, berteriak di ambang pintu, “TATA… INDAK KA LALOK KAU?”
Aku manyun. Mencoba sabar, untuk yang delapan tahunnya. Di depan hidungku, terang-terangan si orangtua keras kepala itu meneriaki anakku. Beberapa hari yang lalu, pagi-pagi, ia berteriak, “MANA DIA ANAK KALERA ITU, BLABLABLA…” ia geram soal bunga, bertengkar dengan Tata, bocah berusia 3,5 tahun yang menklaim semua bunga kesayangannya, adalah milikku, mamanya.
Sebelumnya, Tata menyebut ‘kanciang’ di rumah dan aku nyaris menjewer mulutnya. Ajaran si tetangga juga. Bahkan ia diberitahu, kanciang sama artinya dengan kancing baju. Aku katakan dengan tegas, “Itu kancing, bukan kanciang. Kanciang itu berarti carut marut. Satu dosa ditulis di buku sebelah kiri kamu!”
Dan Tata mengatakan kanciang bukan untuk menyebut kancing baju, tapi sekadar ingin melihat reaksiku. Masih ada lagi istilah-istilah kasar dan vulgar yang sungguh tak nyaman kudengar. Seperti alat kelamin wanita, disebut ‘cepe’ yang menurutku sangat kasar. Sejak kecil, kata-kata itu tabu kami ucapkan di tempat itu. Kadang kami berbisik-bisik menyebutnya. Kuajarkan Tata menyebutnya Miss Vegi, dan ia menurut. Namun selagi aku tak di rumah, tentulah ia akan menyerap kata-kata kasar itu dari para mentor tak berpendidikan itu di sebelah rumah itu.
Masih banyak ajaran buruk yang mereka ajarkan pada anakku. Salah satu contoh adalah, membawa Tata keluar pekarangan tanpa sendal. Padahal, di jalanan, bangkai tikus yang mati digilas segala macam ban mobil, sudah kering pipih seperti dendeng, berserakan dimana-mana! Bagaimana aku tidak geram. Kemarin dulu, ia membawa Tata ke tempat pemotongan hewan qurban tanpa alas kaki, padahal di sana kotoran sapi sangat banyak. Masih belum cukup membuat dongkol, Tata yang sedang ingusan, dibelikan es krim! Padahal aku tegas melarang mereka makan es krim selagi ingusan. Sejauh ini, anak-anak mematuhinya, namun kalau si oma sudah bertindak, uh, rasanya aku ingin memaki-makinya!!! Semua aturan yang aku buat demi kebaikan anak-anakku, diterobosnya, tanpa pikir panjang. Padahal akulah yang akan menanggungkan bila anak-anak itu jatuh sakit. Bukan mereka yang akan menenangkan bila mereka mengigau tengah malam. Bukan mereka yang akang mengelap muntah di lantai kamar dan bukan pula mereka yang akan menggendongkan ke rumah sakit bila harus diopname.
Beberapa waktu yang lalu, Tata tidur di kamar si Oma. Dua hari tidur di sana, di wajahnya muncul kira-kira sepuluh bintik merah bekas gigitan nyamuk! Aku ngomel-ngomel lagi. Kuajarkan saja dia menolak tidur di tempat omanya lagi, dengan alasan di kamar itu banyak nyamuknya. Ini memang sudah terbukti. Dan suatu pagi aku melihat, ia membuka jendela kamar saat Tata masih tidur. Perlu dicatat, di dekat jendela kamarnya, sebagai macam jenis bunga ditaruh berpuluh-puluh pot. Bunga-bunga yang sangat disukai nyamuk.
Tentu saja aku khawatir anakku digigit nyamuk demam berdarah. Setahuku, nyamuk itu berkeliaran di pagi hari. Makanya, begitu jendela dibuka dan kulihat Tata masih tidur, cepat-cepat aku bangunkan dan kubawa pulang ke rumahku.
Dan kesabaranku, ada batasnya. Bila waktunya tiba, akan aku muntahkan semuanya. Sungguh menjengkelkan kondisi ini. Parahnya lagi, suami kadang-kadang tak memihakku. Aku hanya disuruh untuk memahami bahwa tetangga sebelah kami adalah orang-orang tak berpendidikan. Tapi sampai kapan?

Rabu, 25 Februari 2009

hari ini aku sibuk sekali

Pagi ini, aku sibuk sekali. Cucian telah dua hari tidak dibereskan. Memasak, mengurus anak, adalah dua hal rutin yang tak bisa tidak, harus dikerjakan setiap pagi. Si Tata harus dimandikan kalau tak ingin shampoo, sabun dan air terbuang percuma tiga sampai empat baskom sehari, sementara ia belum juga selesai mandi (halah!). Belum lagi kamar mandi berantakan, dan ia bertahan di ruangan itu berjam-jam!
Selesai memandikan Tata, kami berdua pergi bersepeda ke sekolah Rara, mencari mainan yang kemarin gagal dibeli karena aku lupa membawa uang. Tata merajuk kemarin, walaupun ia mau mengalah tidak menangis di depan orang ramai dan mau dialihkan ke taman kanak-kanak dekat rumah bermain ayunan, rupanya janji membeli mainan itu esok hari tetap diingatkan. Makanya, tadi pagi, ia menagih janji.
Saya yang sedang belajar konsisten dengan apa yang saya ucapkan padanya, terpaksalah mengikuti. Jadi pergilah kami berdua, bersepeda ria menuju sekolah Rara, karena di sanalah pedagangnya menggelar jualan. Sempat sepeda dibelokkan ke tempat yang lebih jauh sedikit, dengan harapan mungkin bisa lebih murah, tapi Tata protes di bangku belakang.
“Kok ke sini? Jauh kali?” rupanya ia sudah hafal jalan yang harus dilewati. Terpaksalah aku kembali ke jalur semula.
Alangkah girang ia saat mainan idaman itu berada di tangannya. Begitu kami ‘mendarat’ kembali di rumah, ia langsung ngacir, memamerkan mainan baru itu pada omanya.
Aku masuk ke dalam rumah, membereskan pekerjaan rumah tangga yang masih terbengkalai.
Hariku pagi ini diawali dengan shalat subuh sekira pukul 5.45. Setelah membaca zikir dan doa, aku memulai aktivitas dengan menyetrika pakaian yang mungkin sudah dua pekan tidak dibereskan. Urusan ini selesai sekira pukul setengah sembilan pagi. Setelah itu, langsung mandi dan memandikan Tata. Mengurus kakaknya, termasuk menyuapi anak-anak makan pagi dengan lauk sisa kemarian. Ada dua potong ayam bumbu kuning yang tersisa dari sekuali yang aku masak kemarin pagi.
Dua potong keramat, karena ternyata dapat mengenyangkan orang satu rumah. Menunya pagi itu memang sederhana, sepotong ayam plus semangkuk sayur. Si bapak langsung melahap tumis bayam hasil kebun sendiri itu dari mangkuknya, tak sempat mampir dulu ke piring makan.
Sepotong lagi dimakan anak-anak yang aku suapi bergiliran. Mereka berebut, kadang ditingkahi teriakan Tata yang protes karena gilirannya dipotong si kakak. Setelah anak-anak kenyang, biasanya aku akan makan di piring itu juga, menghabiskan sisa makanan mereka, plus sedikit tambahan nasi.
Bagi orang tua-tua, khususnya di daerahku, adalah tabu seorang ibu memakan sisa anaknya. Takut nanti si anak jadi bertingkah sama orangtua. Aku dan suami kurang paham dengan hal-hal begitu. Jadi kami berpikir, daripada mubazir, toh ini juga makanan masih bersih dan layak, bukan pula sisa orang lain, melainkan darah daging kami sendiri, ya makan sajalah.
Setelah itu, Rara berangkat ke sekolah dengan papanya. Aku mengurus si Tata yang bersemangat disuruh mandi pagi karena diiming-iming pergi membeli mainan idamannya dengan sepeda.
***
Selagi pakaian diolah di mesin cuci, aku mulai mengangsur pekerjaan di dapur. Hari ini kami akan makan dendeng. Kali ini, dendengnya tidak pipih, tapi dadu. Suka-suka akulah. Selesai daging dibumbui dan diungkap serta bawang dikupas,cucian di kamar mandi harus dibilas secara manual dan dikeringkan di mesin cuci.
Usai menjemurnya di terik matahari, aku mulai menyelesaikan urusan dapur. Telepon dari teman mengabarkan perkembangan pekerjaan sampingan yang sedang kami tangani. Sekalian ia meminta dibuatkan surat-surat pengantar. Aku iyakan. Ia berjanji akan datang sore nanti. Aku berpikir, sore kapan, kami kan harus masuk kantor?
Belum tuntas urusan dapur, teman yang berjanji akan datang nanti sore, nongol di depan pintu. Kami bekerja sebentar. Waktu itu sudah pukul dua belas siang. Hanya ada waktu sekira satu jam mengurus kerja sampingan ini, karena pukul satu aku sudah harus berangkat ke ‘tempat kerjaku yang lain’. Rabu adalah jadwal tetapku datang ke sana. Tak bisa diganggu-gugat. Telepon berdering lagi, rekan di ‘tempat kerja yang lain’ itu, menelpon, menanyakan, mengapa aku belum juga datang, padahal ini sudah pukul satu siang. Sesuai jadwal, kami rapat pukul satu siang hingga pukul tiga.
Aku terburu-buru, lupa minum obat flu. Sampai di sana pukul dua siang. Ia sudah bersiap-siap hendak berangkat, ada urusan lain, katanya. Aku duduk di situ, setor wajah, tak ada setoran berita, main onet, hingga 45 menit kemudian. Setelah itu, aku langsung cabut lagi, pergi ke tempat kerja utamaku, rapat, mengedit, dan hingga pukul sembilan malam, masih duduk di depan komputer. Membuka-buka email, menahan perut yang lapar, dan minum rosella tea promo dari seorang teman. Batukku sungguh mengganggu karena tenggorokan terasa amat gatal. Belum lagi karpet di ruangan itu tak pernah disedot debunya.
Sore tadi, kumatikan hp agar anak-anak tak menelpon terus. Kemarin, dan hari-hari sebelumnya, hampir setiap dua menit hp itu berdering, kalau bukan panggilan, ya sms. Pertanyaan-pertanyaan gak penting ditanyakan si Rara seperti, kapan mama pulang, adakah hadiah untuknya nanti, bolehkah ia makan malam hanya dengan mie gelas tanpa nasi, dimana aku menaruh gula karena ia akan membuat teh, dan sebagainya.
Berkat dinonaktifkan, hp itu tak berdering sampai malam itu. Aku agak tenang mengerjakan tugas editingku. Tapi rindu juga mendengar suara mereka. Tadi Rara melapor, ada dua PR dari sekolahnya hari ini, matematika dan Bahasa Indonesia. Ia tak mau mengerjakan dengan si bapak, maunya dengan aku.
Seperti kata temanku, rasanya waktu 24 jam tak cukup untuk kami, para ibu yang juga wanita karir. Seandainya kami bisa membagi dua tubuh ini, kami ingin melakukannya, agar antara pekerjaan dan rumah tangga, dapat sejalan.
Sungguh melelahkan. Terkadang, aku lebih dulu tertidur daripada anak-anak. Terkadang, aku tertidur di kantor, tertelungkup di depan komputerku barang satu atau dua menit, saat kantuk benar-benar tak dapat ditanggungkan. Biasanya itu terjadi pada sore hari, setelah seharian, hampir tanpa istirhat, mengurus rumah tangga.
Beberapa pekan yang lalu, mendadak aku ingin meluangkan waktu untuk diri sendiri. Aku ingin nonton film ‘Wanita Berkalung Sorban’ karena membaca resensinya di koran. Hari itu Sabtu, semua pekerjaan sudah beres siang itu, makanan sudah tersedia untuk sehari itu, bahkan sampai besok pagi. Anak-anak baik-baik saja dan bapaknya juga sedang tak ada tugas di luar. Tapi suami tak mengizinkan. Ia malas mengantarkan aku ke bioskop.
Ketika kami membahasnya, kuterangkan bagaimana aku mengisi hari-hariku dari pagi hingga malam hari, demi keluarga ini. Dari Minggu hingga Minggu lagi, tak ada liburan. Bahkan saat Sabtu aku libur masuk kantor, aku tak bisa bersantai karena di rumah telah menunggu setumpuk pekerjaan. Tetap saja tubuhku letih dan punggungku gilu.
Kutekankan, tak ada yang membantuku mengerjakan semuanya. Pakaian kotor tidak bisa bersih dengan sendirinya, karena mesinnya tidak otomatis. Sayuran harus dipotong, lauk pauk tidak bisa sim salabim jadi siap saji. Demikian pula rumah yang berantakan, tak akan beres kalau bukan aku yang turun tangan. Sepatu yang selalu berantakan di depan pintu, pasir di lantai, selimut kusut, semua meminta uluran tanganku yang hanya dua ini.
Ketika aku ingin menyenangkan diri ke salon sekadar untuk creambath, kedua bocah itu tetap harus aku bawa. Jadi rencana bersantai sambil mencium lembut parfum ruangan beraroma therapy, buyar sudah. Lalu, saat aku minta waktu dua jam saja untuk memanjakan diri ke bioskop, ia enggan. Ia membela diri, bahwa ia tidak tahu itulah maksudku. Bahwa aku tidak ngotot, jadi dikiranya aku main-main.
Aku sudah patah semangat, patah selera. Kukira ia sudah melupakannya. Namun ternyata hingga esok hari, ia masih menawarkanku untuk pergi ke bioskop sendiri. Tapi kesempatan itu sudah tak ada lagi. Dari Minggu sampai Jumat ke depan, jadwalku penuh. Dan Sabtu berikutnya, ‘Wanita Berkalung Sorban’ sudah tak diputar di sana lagi.
Dan sekarang ada jadwal baru pengisi Sabtu Minggu, hari istirahatku, yaitu kuliah S2 di Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI). Kebetulan aku memilih jurusan komunikasi, dan kuliah perdana digelar pada 28 Februari ini.
Namun ada sebuah kabar menggembirakan. Kudapat secara tak sengaja, ternyata ada yang menganggapku ibu yang luar biasa. Ya, selagi mengurus rumah tangga, tanpa pembantu, aku dapat bekerja di dua tempat sekaligus. Masih pula sempat menjalankan sebuah EO, dan juga menulis novel atau cerpen. Kebetulan hari itu ada berita di koran tentang aku yang menjadi salah satu nominee untuk ‘Anugerah Ganti’, sebuah lomba menulis novel yang diselenggarakan oleh Yayasan Bandar Seni Raja Ali Haji.
Mendengar itu, aku jadi memandang lain diriku. Aku memang bukan perempuan biasa. Ternyata aku dapat mengerjakan semua itu, sejauh ini. Syukur alhamdulillah.
Jadi kusimpulkan, sesekali, ketika kita sedang dilanda jenuh akan rutinitas, ada baiknya kita memandang diri kita sendiri dari kacamata orang lain. Usahakanlah mendengar yang positif, agar semangat kita bangkit kembali, agar kita dapat menyukuri apa-apa yang telah kita lewati.

Selasa, 24 Februari 2009

Doa Pertama Permata

“Ya Allah, janganlah sampai ada setan di sini..”

Demikian si Permata yang biasa kami panggil Tata, 3,5 tahun, berdoa malam itu ketika ditakut-takuti kakaknya. Aku gembira, karena spontanitas Tata berdoa sungguh mengagumkan. Itu kali pertama ia berdoa sepanjang ingatan saya. Biasanya, disuruh ikut shalat dengan kamipun, ia tak sudi. Ia tak betah menunggu papanya menbaca ayat demi ayat. Jadi, sebelum Al Fatihah lunas, ia sudah membuka mukenanya dan menatap saya dengan mata cerdasnya.
Saya dapat membaca pikirannya. Ia sedang menunggu moment aku sujud, saat dimana ia akan melompat naik ke punggung saya, lalu menempel di sana hingga ritual sujud, duduk antara dua sujud, lalu sujud lagi, selesai. Begitu saya bangkit hendak berdiri, ia melepaskan pegangannya di leher saya.
Anak itu, tidak pernah mau menurut kalau saya larang mengganggu kami shalat. Berbeda dengan kakaknya, yang punya pengertian luar biasa untuk anak seukuran dia. Aku masih ingat, saat berusia sekitar setahun lebih, ia saya larang lewat di atas sajadah selagi saya shalat. Ia mengangguk mengerti. Dan hingga saat ini, rasanya tak pernah sekalipun saya menegurnya karena melupakan larangan itu.

Sementara si Tata, walau sudah dicubit gemas pantatnya yang montok, walau sudah dijawil dagunya, walau sudah dibelalakin, tetap saja tertawa senang bila sukses naik ke punggung saya atau papanya. Dan ia sadar betul, saya tidak suka ia mondar-mandir di atas sajadah itu selagi saya shalat, namun hal itu selalu dilakukannya. Dan cerdiknya, begitu ia tahu saya sudah hampir selesai, ia segera lari bersembunyi di tempat yang itu-itu terus, kalau bukan di bawah kolong tempat tidur, ya di balik gantungan kain.
Terkadang, si bungsu yang berambut keriting, berwajah bulat, bermata coklat ini, ikut shalat bersama kami, tapi tanpa mukenanya. Dan ia seringkali mendahului semua orang. Ketika kami masih berdiri tegak menyimak imam membaca Al Fatihah atau ayat pendek, ia tiba-tiba sudah rukuk sendiri, lalu sujud sendiri. Ia membaca bacaan semampunya, suka-sukanya, keras-keras pula. Kadang kami semua sulit menahan tawa kalau melihat tingkahnya.
Salah satu doa yang paling dihafalnya ada doa mau tidur. Dan karena pernah aku katakan pada ia dan kakaknya bahwa kalau tak membaca doa itu mereka bisa bermimpi buruk, atau berjalan sendiri ke luar kamar tanpa sepengetahuan kami, Tata tak pernah lupa membacanya. Ia bahkan juga mengingatkan si kakak untuk membacanya juga. Rara, si Sulung, terkadang ingin menggoda adiknya, membaca doa itu dalam hati.
Tata yang tidak mendengar, jadi khawatir. Ia mengadu, “Ma, kakak ndak mau baca bismika. Suruhlah dia Ma,” rengeknya.
“Biarkan ajalah, biar nanti mimpi digigit hantu,” kataku.
“Aah..” ia merengek lagi. “Nanti kakak tu jalan ke luar. Tata mau punya kakak…”
“Nanti kita ganti saja kakaknya sama Puput belakang,” kataku menggoda.
“Nggak mau do.. maunya kakak yang itu aja…”
Aku jadi tertawa. Walau sering terlibat konflik antara dua saudara itu, ternyata rasa memiliki keduanya masih ada. Alhamdulillah

Senin, 23 Februari 2009

Kiamat 2012?

Sebuah stasiun tivi menyiarkan ulasan tentang kiamat yang akan terjadi di Indonesia pada 2012. Tak kurang dari Mama Laurent dan Ki Gendeng Pamungkas mengungkapkan hasil terawangnya tentang tahun itu.

Menurut kedua orang yang mengaku dapat melihat hal-hal di masa depan itu, pada 2012 nanti akan terjadi beberapa gunung meletus secara serentak. Diikuti pula dengan tsunami. Lengkap sudah.
Mama Laurent dengan gaya cueknya yang khas mengatakan, ia tak dapat menerawang tahun 2013 karena semua terlihat gelap. "Saya hanya melihat tahun 2012 yang penuh peristiwa besar seperti bencana alam, gempa, tsunami dan sebagainya. Tapi saya tak dapat menerawang tahun 2013. Hasil terawangan saya ke tahun itu gelap sama sekali," katanya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ki Gendeng Pamungkas.
Secama ilmiah, seorang pakar luar angkasa entah siapa namanya, sori lupa, mengatakan bahwa jumlah sampah manusia di luar angkasa sudah mencapai titik jenuh. Sampah ini berupa satelit dan sebagainya yang sudah tak terpakai lagi, dibiarkan melayang-layang begitu saja di angkasa luar. Jumlahnya sudah demikian banyak sehingga sangat berpotensi terjadi tabrakan dengan sesamanya.
Masih belum cukup, ditambah lagi pendapat seorang anak indigo yang saya lupa juga namanya, mengatakan bahwa akan terjadi peristiwa alam besar di tahun 2012 nanti. Gempa bumi, tsunami, dan banjir. "Seperti kiamat ya?!" katanya dengan lugu.
Ustad Jeffry Al Buchori mengatakan, sudah banyak tanda-tanda alam bahwa dunia ini sudah tua dan siap untuk dikiamatkan. Banyak contoh yang sudah terlihat seperti jumlah wanita yang lebih banyak dari laki-laki, banyaknya muncul makhluk-makhluk aneh, dan lain sebagainya. Untuk makhluk aneh ini, dapat dicari di situs-situs berita, sungguh beragam macamnya. Ada seorang ibu yang melahirkan bayi kembar di Maluku, satu manusia, perempuan, satu lagi buaya. Ada pula yang menemukan jenglot berupa ular berkepala manusia, ikan berkepala manusia. Tidak sekali pula kita melihat dan mendengar cerita tentang anak manusia yang dikutuk menjadi binatang.
Benar-benar dunia ini sudah tua. Amat tua. Manusia sudah merasa biasa saja merendahkan dirinya lebih rendah dari binatang. Mereka meninggalkan norma agama, dan bahagia dengan gemerlap dunia. Tentu kita masih ingat dengan artis-artis baik mancanegara maupun lokal, yang bangga punya anak tanpa menikah. Atau hamil dulu baru menikah. Di kehidupan sehari-hari, sungguh mengerikan sikap manusia yang sudah terbawa syahwatnya. Tidak sedikit yang memperkosa anak sendiri, darah dagingnya sendiri, atau bahkan membunuhnya. Kejadian ini sungguh mengerikan.
Mungkin memikirkan dahsyatnya bahaya yang mengancam anak-anaknya, maka seorang ibu, sarjana kimia ITB (kalau tidak salah), membunuh anak-anaknya. Alasannya, takut tak bisa memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Sebuah ketakutan yang sesungguhnya melanda semua ibu yang mengerti, betapa kejamnya dunia di luar rumah mereka.
Hal yang sama juga menakutkan saya. Namun bedanya, setiap kali ketakutan itu datang, saya langsung punya senjata pamungkas yang selama ini tak pernah mengecewakan. Allah. Saya tak lupa berdoa padaNya, agar senantiasa menjaga anak-anak saya. "Mereka tak ada dalam penglihatanku saat ini ya Allah, tapi aku yakin, mereka semua selalu berada dalam lindungan dan pengawasanMu. Aku serahkan mereka padaMu ya Allah, jagalah mereka, lindungi dari perbuatan tercela, dari perbuatan buruk manusia dan jin, dari kecelakaan, dari peristiwa-peristiwa buruk..." dst..
Kalau sudah begitu, maka aku akan tenang.
Siang itu, setelah menonton siaran itu, kukatakan pada si Sulung Lira, "Orang-orang mengatakan kiamat akan terjadi pada 2012 nanti. Sesungguhnya hanya Allah yang tahu kapan kiamat akan datang. Mungkin besok pagi, mungkin nanti malam. Semuanya rahasia. Kalau kita ingin selamat dan masuk surga, jangan tinggalkan shalat, berbuat baiklah dengan sesama, termasuk dengan adikmu," (secara dia setiap hari bentrok dengan adiknya yang keriting).
Maka kamipun shalat zuhur berjamaah di kamar setelah itu. Terlihat ia menyerap kata-kataku dengan baik, matanya menatap lekat, tersirat di sana ketakutan sekaligus ketenangan. Semoga ia percaya, bahwa ada Allah tempat bergantung yang tak akan mengecewakannya.

Jumat, 20 Februari 2009

Rindu, Sakit yang Nikmat

Subuh itu, usai shalat, saya asyik membaca doa-doa dan zikir. Suami sudah kembali ke rutinitasnya setiap usai Subuh, mengambil selimut tebal, menyalakan kipas angin ke level tertinggi, lalu bergulung tidur dan menghidupkan televisi. Mata dipejamkan, lalu asyik mendengarkan berita.
Saya terus dengan zikir-zikir saya. Memuji-muji Allah, meminta ampun, minta dimudahkan rejeki dan urusan, dan meminta perlindungan.
Saat itu di televisi ada pemberitaan tentang ibadah haji. Saya nyeletuk, "Ah, kapan ya kita bisa pergi haji?"
"Ya, menabungnya Yani, agar bisa pergi haji," kata suami sambil membenahi letak selimut tebalnya.
Saya meneruskan membaca zikir. Namun saat itu konsentrasi sudah buyar. Di depan mata saya muncul bayangan tiang-tiang Masjidil Haram yang tinggi besar dan megah itu. Orang-orang berpakaian hitam dan putih, berseliweran menuju dan pergi meninggalkan Ka'bah. Oh, itu kenangan saat saya pergi umrah Mei 2008 lalu bersama Papa.

Saya teringat kembali semuanya. Lantai marmernya yang dingin, air zam-zam yang tak pernah kering di galon-galon di seantero Masjidil Haram, dan juga orang-orangnya. Semuanya berkomat-kamit, menyebut Asma Allah. Mereka datang dari seluruh pelosok dunia, baik berjalan kaki atau dengan kendaraan. Ada yang sempurna wujudnya, terlihat kaya secara materi, ada pula yang lemah fisiknya, didorong dengan kursi roda, dan ada pula yang sepertinya hidup sangat sederhana.
Saya rindu suasana itu. Rindu pada Masjidil Haram yang penuh kharisma dan daya tarik. Rindu pada kurmanya, pasarnya, orang-orangnya, suasanya, harumnya Ka'bahnya, semuanya. Dan tak dapat dibendung lagi, tangis sayapun pecah. Rindu ini sungguh menyiksa. Tapi siksaan yang indah, nikkmat. Saya terisak-isak, bahkan mungkin lebih keras, sampai-sampai suami jadi heran. What is wrong with her? begitu mungkin pikirnya.
Tapi saya tak hendak bicara. Saya terlarut dalam kerinduan yang memuncak itu. Dalam sedu sedan subuh itu, saya berdoa dalam hati, semoga Allah mengundang saya kembali ke sana. Sungguh rindu ini hanya dapat diobati, bila saya berkesempatan lagi datang ke rumah Allah yang mulia itu.
Walaupun saya tak tahu darimana akan mendapatkan biaya, namun saya percaya, kekayaan Allah cukup untuk mengantarkan saya kembali ke sana.
Beberapa waktu kemudian, saya bermimpi, pergi ke Mekkah lagi bersama Lira, si sulung. Kami berjalan masuk ke sana, sibuk mencari-cari tempat yang pas untuk shalat, di sela jamaah lainnya, yang telah rapi duduk di shaf-shaf yang panjang. Begitulah. Harapan saya, suatu hari kelak, saya dapat kembali ke sana, bersama keluarga. ***

Kamis, 19 Februari 2009

Syukurilah, Apa pun Kejadiannya

Malam ini tak sengaja saya tergelitik untuk mencari foto-foto megapop dunia, Michael Jackson. Saya pun menemukan ratusan foto tentang lelaki yang dikabarkan baru saja menjadi muslim itu. Dari semua foto itu, hampir 80 persen menonjolkan hasil operasi plastik yang dijalaninya. Sebagian dalam bentuk yang sangat kasar dan membuat saya merinding.
Sebuah foto memperlihatkan seseorang yang sepertinya Michael Jackson usai operasi pemutihan kulit wajah. Ia tengah memilih-milih bentuk hidung yang cocok dengan wajah barunya. Sosok itu persis Michael Jackson, namun dengan hidung rata dan hanya menyisakan setitik lubang untuk bernapas. Ini besar kemungkinan hanyalah rekayasa fotografi rendahan.
Foto lainnya adalah Michael Jackson sebelum dan sesudah operasi plastik. Satu foto memperlihatkan wajah asli penyanyi Afro Amerika itu dengan kulit coklatnya yang berminyak, rahang tersamar, rambut keriting kribo, alis yang tak rapi, hidung buah jambu, bibir sewarna kulit wajah, dan dagu yang sesuai dengan wajah itu. Foto di sampingnya, usai operasi plastik, memperlihatkan kulitnya putih seperti dilumuri semen, pipi yang tirus seperti George Michael, rambut lurus dan hidung yang aduhai mungilnya. Bibirnya kini terlihat merah dan dagunya kini terlihat terbelah dua. Kata-kata di bawah dua foto itu adalah: remember,... It could always be worse...
Dalam sebuah wawancara, Jacko, demikian sapaan akrabnya, mengatakan bahwa ia tak melakukan operasi plastik untuk memutihkan kulitnya. Sebaliknya, itu merupakan sesuatu yang alami terjadi dalam keluarganya.
Isunya lagi, akibat segala macam operasi plastik yang dilakukannya, Jacko harus selalu dekat-dekat dengan tabung oksigen murni karena kulit putih dan segala yang baru dalam dirinya itu membutuhkan perawatan dengan biaya yang tak sedikit.
Bagi saya, Michael Jackson telah mengingkari pemberian Tuhannya. Ia sepertinya keberatan dengan segala keindahan yang diberikan secara gratis oleh Tuhan untuknya.
Saya memandangi kulit wajah saya yang coklat, khas kulit orang di daerah tropis. Ada sisa-sisa kenakalan masa kecil di tengah sawah, hutan dan tanah lapang saat main layangan. Setelah dewasa, kulit ini tiap sebentar kena cipratan minyak panas saat memasak di dapur. Warnanya jadi lebih hitam dalam bentuk bercak-bercak di sembarang tempat di tangan dan wajah.
Hidung saya juga tidak kecil mungil. Lebih kurang samalah dengan hidung aslinya Michael Jackson dulu. Hidung yang terkadang terserang flu hebat, terkadang ditumbuhi jerawat batu dan komedo.
Intinya, tidak ada yang terlalu bagus di wajah saya. Namun demikian, sungguh besar rasa syukur saya, karena Allah telah menganugerahi wajah, kulit dan hidung seperti ini. Meskipun hidung ini sedang ditempeli jerawat batu yang sakit berdenyut-denyut, namun fungsinya untuk menciumi segala bau masih normal. Tidak masalah bila dipencet habis, karena tak akan berubah bentuk. Anak-anak saya pun tidak menolak diciumi.
Demikian pula saat melihat ulah anak-anak yang lucu, saya tertawa lepas, bahkan sampai berguling-guling dengan perasaan bebas. Tak perlu khawatir kulit di pipi akan salah bentuk, menceng sana mencong sini, atau bibir jadi tak dapat dikatupkan.
Kulit yang bercak-bercak kena minyak panas ini tak masalah saat terkena matahari langsung. Tak mengerut pula bila kena air dingin. Saya dapat menikmati sinar matahari secara gratis dan bersuka ria di bawah siraman sinarnya yang terik. Saya tak perlu menyiapkan tabung oksigen murni untuk menjaga kesehatan kulit ini.
Sungguh Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna. Saya syukuri itu dan saya nikmati hidup ini apa adanya. ***

Selasa, 17 Februari 2009

Busana Boleh Melayu tapi Aurat Tetap Diumbar

Bila saya dapat giliran mengantarkan si Sulung Lira (kelas satu SD) ke sekolah pada Hari Jumat, ia akan saya suruh duduk di boncengan sepeda dengan model menyamping. Bukan duduk seperti para lelaki berboncengan. Gaya duduknya mengangkang.

Mengerti dan dapat membayangkan kan maksudnya?

Mengapa Hari Jumat ia harus duduk dengan posisi menyamping? Karena ia hari itu mengenakan pakaian Melayu yang terdiri dari baju kurung longgar dan rok panjang. Sering ia mengenakan jilbab pula. Duuh, cantik dan ayunya gadis kecilku itu...

Tapi sejak hari pertama mengenakan seragam melayu itu, ia tak kuperkenankan duduk ngangkang seperti laki-laki, walaupun hampir seluruh temannya duduk seperti itu. Dan rasanya bagi orang yang mengendarai, duduk ngangkang juga lebih stabil. Rasa percaya diri mengendara jadi bertambah.

Pada papanya, pagi-pagi aku mengomel ketika mendudukkan anaknya seperti itu di bangku belakang sepeda motornya.

"Jangan, kalau pakai seragam melayu begini, Rara harus duduk menyamping atau sekalian di depan, biar roknya tak perlu diangkat tinggi-tinggi."

Si Papa akhirnya mengerti dan mengikuti aturan ini.

Pemandangan murid-murid sekolah mulai dari SD hingga SMA di Pekanbaru, setiap hari Jumat adalah duduk ngangkang di boncengan sepeda motor. Entah untuk apa rok panjang itu dikenakan kalau hanya akan diangkat tinggi-tinggi agar bisa duduk ngangkang di boncengan.

Tadi siang saya kembali melihat pemandangan seperti itu lagi. Walau ini baru Selasa, ternyata ada sekolah yang memang berseragam rok panjang. Pas saya dan suami melintas di depan sekolah itu, kami melihat seorang siswi mengangkat roknya tinggi-tinggi agar dapat duduk ngangkang.

"Tuh, lihat satu lagi contoh buruk generasi kita!" kataku jengkel. Naik spaning.

"Itu biar gaya aja tuh!" suami nyeletuk.

"Biasanya ya," aku mengompori dengan sirik, "Anak-anak yang banyak gaya di jalanan itu, berasal dari keluarga pas-pasan. Jadi biar terlihat keren dan menutupi kekurangan ekonomi itu, mereka bergaya sok modern di jalanan. Hah!"

"Jangan sewot gitu dong, santai aja."

"Makanya si Rara aku larang duduk ngangkang seperti itu. Sudah bagus pakai rok panjang dan sopan, kok malah duduknya seperti itu," sambungku lagi.

Aku heran, kenapa para orangtua tidak merasa risih anak gadisnya duduk di boncengan seperti itu. Seolah tak rela dimuliakan oleh Allah agar tak sama derajatnya dengan binatang yang tak punya pakaian, mereka menelanjangi diri sendiri di depan khalayak ramai.

Pabrik Kertas Terluas di Dunia yang Peduli Lingkungan

Catatan dari Kunjungan WPR’s Crew ke Riaupulp




Kamis 13 Maret lalu Warta Promosi Riau diundang ke Riaupulp, sebuah pabrik kertas dan bubur kertas (pulp) terbesar di dunia yang terletak di Kabupaten Pelalawan, tepatnya di Pangkalan Kerinci. Dari WPR berangkat empat orang crew, yaitu Moeslim Roesli (pimred), Zul Azhar, Saparudin Koto dan Fitri Mayani. Berikut oleh-olehnya.
Sesuai perjanjian, Supandi, salah seorang karyawan bagian Humas Riaupulp datang pukul delapan pagi itu. Sebagian dari kami sudah menunggu di rumah Pimred WPR Moeslim Roesli. Jurnalistic tour dimulai.
Jarak antara Pekanbaru-Pangkalan Kerinci sepanjang 70 km kami tempuh dalam waktu sekitar satu setengah jam. Rombongan kecil kami diterima langsung oleh Deputi Manager Fakhrunnas MA Jabbar beserta tim dari Public Relations Riaupulp bertempat di aula Balai Pelatihan Usaha Terpadu.
Sekilas kami melihat puluhan petani tengah mengikuti pelatihan pertanian. Menurut Supandi yang menjadi guide kami seharian itu, para petani itu berdatangan dari seluruh daerah tingkat dua di Riau. Mereka diberikan pelatihan selama beberapa hari di lokasi itu sesuai dengan keahliannya, misalnya bertani ataupun beternak. Tujuannya tidak lain agar dapat menambah wawasan dan pengetahuan sehingga saat kembali ke daerah asalnya memiliki nilai lebih. Lebih jauh, tentu saja diharapkan para petani yang telah mendapatkan pelatihan ini dapat membagi ilmunya dengan para petani lainnya di daerahnya.
Pabrik terluas di dunia
Riau patut berbangga karena memiliki pabrik kertas dan pulp terluas di dunia. Pabrik ini terletak di areal seluas…. meter persegi, dilengkapi dengan berbagai fasilitas modern bagi para karyawannya, termasuk juga pembangkit listrik berkekuatan 435 megawatt.
“Sekitar 4 megawatt kami alirkan ke Kota Pangkalan Kerinci sehingga koa yang baru tumbuh itupun kini menjadi terang benderang,” jelas Fakhrunnas.
Kami memang melihat Kota Pangkalan Kerinci yang sedang giat membangun itu terlihat semarak. Sebuah bisnis center terlihat sedang dibangun. Di boulevard Lintas Timur yang membelah kota terlihat lampu-lampu jalan yang indah menghiasi jalanan. Dapat dibayangkan, pada malam hari demikian semaraknya kota ini oleh benderangnya lampu jalan. Dan itu semua listriknya dialirkan dari Riaupulp.
Dalam penjelasannya kepada kami, Fakhrunnas yang kolumnis dan juga mantan wartawan itu menerangkan bahwa Riaupulp merupakan perusahaan kertas yang memiliki komitmen tinggi terhadap lingkungan. Hal ini sangat penting karena menyangkut market yang hendak mereka bidik.
“Di pasar global, bila kita hendak menjual produk, orang tidak lagi semata melihat produk yang kita tawarkan, melainkan lebih jauh lagi seperti dari mana bahan bakunya didapatkan, bagaimana orang-orang yang bekerja di balik produk itu dan juga bagaimana komitmen kami terhadap lingkungan. Kami menyebutnya ‘triple P’ yaitu people, planet, and provit. Inibukan basa-basi, melainkan tuntutan global market yang bila kami langgar akan menghilangkan pasar kami,” jelasnya.
Karena kebijakan ‘triple P’ itulah maka Riaupulp sangat memperhatikan segala hal yang berkaitan dengan produknya. Salah satu contoh adalah, kepedulian Riaupulp terhadap lingkungan dibuktikan dengan menerapkan mozaik concept plantation. Dengan konsep ini maka hutan-hutan yang memiliki keunikan flora maupun fauna dilindungi sedemikian rupa hingga tidak menghilangkan ciri khasnya. “Bagian-bagian yang dibiarkan tetap seperti aslinya itu bila dilihat dari udara terlihat seperti mozaik-mozaik yang indah,” jelas Fakhrunnas.
Selain itu, Riaupulp juga sudah menerapkan no burn policy (buka lahan tanpa bakar) sejak 1994 lalu, yang artinya tiga tahun lebih awal dibandingkan anjuran pemerintah. Sebagai pabrik kertas yang bahan bakunya adalah kayu, adalah tidak masuk akal bagi Riaupulp untuk membuka lahan dengan membakar hutan sementara mereka membutuhkan kayu-kayu alam itu untuk membuat kertas dan bubur kertas.
Karena kebijakan itu dan juga tuntutan pasar, Riaupulp juga mendapatkan sertifikat ecolabel di Indonesia selain penghargaan-penghargaan lainnya bertaraf internasional.
Selain itu, dikatakan oleh Eliezer P Lorenzo, dengan konsep selalu menanam yang diterapkan perusahaan ini, maka bukanlah hal yang mustahil bila dikatakan perusahaan ini akan dapat bertahan hingga 100-200 tahun ke depan. “Karena kami terus menanam pohon, dalam hal ini akasia yang memang dipilih dari bibit yang paling unggul, maka ketersediaan bahan baku untuk pabrik akan terus tersedia.”
Community Religious Affair
Berbeda dengan perusahaan swasta lainnya yang karyawannya terdiri dari berbagai suku bangsa, Riaupulp memiliki sebuah divisi bernama community religious affair (CRA). Sesuai namanya, CRA membina sedikitnya 15 paguyuban yang ada di Riaupulp, meliputi 11 paguyuban suku/etnis dan 4 organisasi keagamaan.
“Mungkin CRA hanya ada di Riaupulp. CRA kami buat untuk menampung aneka paguyuban yang ada di sini agar terjalin hubungan yang baik antar entis dan pemeluk agama,” jelas Fakhrunnas.
Komplek Riaupulp memang sudah seperti kota kecil yang sangat teratur dan tertata dengan rapi. Aneka perumahaan dengan berbagai tipe tersedia di sini. Para karyawan baik yang masih bujangan maupun yang sudah menikah disedikan fasilitas oleh perusahaan. Tak hanya perumahan, fasilitas lain seperti sekolah (bahkan ada sekolah berstandar internasional di sini), rumah sakit, tempat hiburan dan sarana olahraga juga tersedia di sini.
Peduli Lingkungan
Riaupulp adalah perusahaan yang sangat peduli dengan lingkungan. Tak hanya dalam menghasilkan produk, juga dari proses di pabrik sejak dari gelondongan kayu dimasak hingga menjadi bubur ataupun kertas.
Isu lingkungan global harus diwaspadai dengan perbuatan nyata. Oleh karena itu, Riaupulp telah mengikatkan diri untuk memenuhi standar lingkungan melalui konsep ‘green industry’ dalam pembangunan berkelanjutan.

Seperti yang dikatakan oleh Buchori, Senior Staf Environment Riaupulp, untuk membakar kayu, pabrik mereka menggunakan kulit dan getah kayu. 93 persen dari bahan bakunya adalah biofuel.
Selain itu, asap dari pembakaran inipun tidak dilepas begitu saja ke udara yang dapat dikatakan merupakan polusi, namun ‘ditangkap’ kembali dan dibakar kembali. Dengan demikian hampir tidak ada polusi asap dalam proses pemasakan kayu menjadi pulp.
“Bila ada asap dan juga bau, berarti ada yang tidak beres dengan mesin. Kami mempekerjakan tenaga ahli yang kerjanya khusus soal bau ini. Bila ada bagian yang mengeluarkan bau,
Demikian pula dengan air limbah yang dihasilkan pabrik ini, tidak dibuang begitu saja ke sungai, namun diolah dulu hingga layak digunakan kembali.
WPR berkesempatan mengunjungi Riaukertas, pabrik yang terus bekerja 24 jam nonstop. Di sini kami melihat mesin-mesin canggih menggulung kertas hingga berukuran sangat besar, memotong kertas hingga mencapai ukuran kuarto, folio dan sebagainya. Mesin pemotong kertas ini dapat menghasilkan 179 rim kertas perdetik yang langsung dikemas, dibungkus, diberi nomor, dan dipacking. Semuanya serba mesin. Manusia hanya tinggal mengawasi dan mengangkutnya ke tempat penyimpanan.
Karena berproduksi 24 jam nonstop, tidak heran bila Riaupulp memiliki 3.500 karyawan. Kapasitas produksi pulpnya mencapai 2.000.000 ton / tahun sedangkan kertas mencapai 750.000 ton tahun.

Corporate Social Responsibility (CSR)
CSR adalah komitmen dunia usaha untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan; berkerja dengan para karyawan dan keluarganya, masyarakat tempatan dan masyarakat secara luas dalam meningkatkan kualitas hidup mereka.
Komponen CSR di Riaupulp meliputi lingkungan, pemberdayaan masyarakat, pengembangan sumber daya manusia, kesukarelawanan karyawan, dan dialog.
CSR memiliki misi memberdayakan ekonomi komunitas lokal berbasis penguatan partisipasi masyarakat dan membangun kemitraan dan persebatian yang berkualitas antara Riaupulp, karyawan dan masyarakat Tempatan,
serta masyarakat secara luas.
CSR meliputi sistem pertanian terpadu, pengembangan usaha mikro kecil dan menengah, pelatihan kejuruan, infrastruktur sosial dan hutan tanaman rakyat.

Cecom
Care and empowerment for Community (CECOM) adalah yayasan yang merupakan partner Riaupulp dalam menjalankan program CSR atau dikenal dengan nama lain CD (community development). CECOM aktif memberdayakan masyarakat Riau dengan berbagai kegiatan.
Selama dua tahun CECOM berdiri sudah banyak menyalurkan bantuan kepada masyarakat, antara lain berbentuk modal usaha yang disalurkan kepada masyarakat mencapai Rp13 miliar dan hingga saat ini masih berjalan.
Bantuan ini diberikan dalam bentuk sistem pengembagan pemberdayaan masyarakat dan pengembangan usaha ekonomi kerakyatan. Untuk program unggulan yang sudah dikembangakan CECOm adalah sistem pertanian terpadu yang sampai saat ini sudah terbentuk 136 kelompok tani di 103 desa yang tersebar di lima kabupaten dan kota yakni di Pelalawan, Siak, Kuansing, Kampar, Rokan Hulu, dan Pekanbaru sendiri.

Dalam bidang pertanian, CECOM telah menyalurkan bantuan sapi
dengan sistim bergulir dimana untuk tahun 2007 ini sebanyak
217 ekor sapi. Hal ini berarti hingga saat ini sudah mencapai
2.600 ekor sapi yang sebanyak 90% sudah menjadi milik para
petani.
Penyaluran bantuan CD dalam bidang pertanian ini sudah
mencapai Rp 4 miliar dan mengarahkan dan melatih kelompok
tani dan pendirian koperasi simpan pinjam.
CECOM juga membantu masyarakat dalam mengembangkan
Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) seperti mini market,
bengkel, tata rias, jasa sablon dan industri rumah tangga (home
industri).
Di bidang kesehatan, CECOM juga memberikan layanan
pengobatan gratis bagi masyarakat miskin, termasuk operasi bibir
sumbing dan operasi katarak yang pada tahun 2006 sudah
membantu 18 ribu pasien. yang dibantu. Selain itu, yayasan ini
juga menyiapkan tim medis bekerja sama dengan pihak
Puskesmas dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan ikatan bidan.

Sementara di bidang pendidikan, Yayasan CECOM telah
memberikan beasiswa mulai dari siswa SD sampai ke tingkat
perguruan tinggi. Pada tahun 2007 ini, beasiswa yang sudah
disalurkan mencapai Rp 1,6 miliar

Opera Melayu Tun Teja Ketika Rindu Dendam Menemukan Obatnya

Opera Melayu Tun Teja yang digelar selama tiga hari berturut-turut di Anjung Seni Idrus Tintin , Pekanbaru (29-31/8) lalu ternyata mendapat sambutan yang sangat menggembirakan dari khalayak. Inilah wujud rindu dendam masyarakat akan pertunjukan yang berkelas, namun tetap tak meninggalkan ciri khas kemelayuannya, menemukan obatnya.
Indikasi tingginya minat masyarakat untuk menyaksikan opera pertama yang digelar di Riau ini dapat dilihat dari jumlah penonton. Penonton selalu melebihi kapasitas tempat duduk yang disediakan panitia. Selain itu konon kabarnya dua nomor telepon yang disediakan panitia sekali tiga menit berdering, meminta tiket agar bisa menonton. Luar biasa.
Pada hari pertama pertunjukan, pengunjung terlihat sudah mulai berdatangan sejak satu jam sebelum pertunjukan. Dua dara yang pertugas di pintu masuk tak dapat berbuat banyak ketika satu undangan digunakan untuk empat sampai lima orang penonton. Tak apalah, demi dahaga yang tak pernah terpuaskan ini.

Tak punya pembanding
Bisa jadi hampir semua penonton adalah masyarakat yang awam dengan opera. Bahkan tidak sedikit yang baru pertama kali menyaksikan pertunjukan bernama opera. Karena itulah, mereka tak punya pembanding. Tidak heran pula saat diskusi apresiasi digelar usai pertunjukan di hari ketiga, yang didapat para pemain dan orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan itu pujian semata. Tepuk tangan memenuhi ruangan besar itu tiap sebentar.
Bagi sang sutradara sendiri, Marhalim Zaini, pertunjukan itu bukan tanpa cacat cela. Walaupun kecil, namun ada beberapa kendala teknis yang syukurnya tidak terbaca oleh mata awam para penonton. Tidak berlebihan bila ia mengatakan puas dengan pertunjukan itu. Demikian pula dengan produser pertunjukan Al Azhar yang mengatakan pertunjukan opera ini dapat dikatakan sukses bila tolak ukurnya sesuai atau tidak dengan rencana awalnya.
Bakat orang muda
Sebagian besar pemain di Opera Melayu Tun Teja ini adalah para kaum muda. Mereka terdiri dari anggota choirs, pemain opera, dan pemain musik yang tergabung dalam Bandar Serai Orchestra. Orang-orang muda berbakat ini mampu menghadirkan sebuah tontonan alternatif yang mungkin bagi sebagian kita yang terlalu sibuk dengan urusan politik, pilgubri, kesehatan, harga barang kebutuhan pokok, dan lain sebagainya, tak pernah terlintas. Ya, seperti yang disampaikan oleh Marhalim, Hikayat Hang Tuah ternyata memiliki bagian-bagian yang tak patut dibanggakan, tak patut ditiru.
Hang Tuah yang gagah, perkasa dan wira, ternyata tak sanggup menaklukkan seorang perempuan bernama Tun Teja hingga harus memakai guna-guna. Setelah itu, Tun Teja dengan semena-mena dijadikan 'upeti' bagi Sultan Melaka, hanya sebagai bukti kesetiaan Hang Tuah pada sang raja.
Dalam perspektif orang-orang tradisi, apa yang dilakukan Hang Tuah tak ada kaitannya dengan kewiraan. Tindakannya mengguna-gunai Tun Teja bukanlah sesuatu yang memalukan. Namun tidak bagi Marhalim yang merasa terusik dan mencoba mengeksplorasi lebih dalam kepedihan hati Tun Teja. Ranah interpretasi semacam ini tentu asing dan mungkin juga tabu bagi orang-orang tradisi, namun tidak bagi kaum muda yang menurut Marhalim, dapat bebas bermain dengan imajinasi. Hasilnya, sebuah pertunjukan yang patut mendapatkan ancungan jempol.

Soundsystem
Soundsystem pertunjukan ini ternyata dikeluhkan oleh banyak penonton. Karena para pemain menggunakan clip on yang terhubung ke speaker, suara yang kemudian terdengar oleh penonton demikian keras. Terutama bagi mereka yang kebetulan kebagian tempat duduk persis di depan speaker. Ironisnya, suara ini menjadi tak jelas ketika Bandar Serai Orchestra memainkan komposisi musiknya, sama kerasnya dengan suara sang pemain di atas pentas. Suara tak jelas ini juga terasa ketika pemain mengucapkan dialog terlalu cepat sehingga sulit ditangkap oleh penonton di bagian belakang.
Anjung seni ini memang belum siap. Itu kata saktinya. Jadi tak ada yang dapat disalahkan. Bahkan kita patut berterima kasih pada panitia yang telah mengupayakan sedemikian rupa agar bengkalai gedung ini layak digunakan, layak menerima tamu-tamu penting, meski beberapa faktor pendukung sebuah gedung opera belum lagi ada.

Anugerah Sagang
Pertunjukan opera melayu Tun Teja merupakan nominator Anugerah Sagang, anugerah seni bergengsi yang diselenggarakan sekali setahun oleh Yayasan Sagang yang berada di bawah grup Riau Pos. ***

Ekspedisi Sungai Rokan Memotret Budaya, Sejarah dan Perjalanan Dunia Melayu

 



Ekspedisi Sungai Rokan, yang dilakukan Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan (UP2K2) Unri, dipamerkann pada 20-25 Oktober lalu di Gedung Rektorat bersempena dengan Dies Natalis Unri ke-46.

Ketua pelaksana pameran, Elmustian Rahman mengatakan bahwa pameran ini meliputi tiga aspek yaitu pemutaran film dokumenter dan diskusi, pameran foto dan pameran lainnya. Film yang diputarkan itu berdurasi 30 menit, tentang Danau Raya (ikan salai), Kerajaan Rokan IV Koto, Pulau Halang, Bagansiapiapi (China Town), catatan perjalanan Sungai Rokan dan Candi Muara Takus. Setelah pemutaran film ini dilanjutkan dengan diskusi.

Foto-foto yang dipamerkan meliputi foto yang bersifat landscape, human interest, portrait, culture & senirupa serta foto terkait catatan perjalanan. Selain foto, pameran UP2K2 Unri ini juga menampilkan buku-buku catatan perjalanan, laporan ekspedisi, peta, silsilah, poster dan artefak. Selain itu lukisan ilustrasi karya dua pelukis Riau, Jon Kobet dan Khalis Zuhdi juga menjadi bagian yang akan dipamerkan.

Ekspedisi Sungai Rokan merupakan bagian dari rencana penelitian empat sungai (Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri) yang dicanangkan UP2K2 Unri. Ekspedisi dimulai pada Februari lalu dan berakhir Oktober ini untuk satu sungai. Menurut Elmustian, bila tidak ada aral melintang, ekspedisi empat sungai besar di Riau itu akan selesai pada tahun depan.

"Semula ekspedisi empat sungai ini direncanakan rampung dalam dua tahun," ungkap Elmustian. Pameran ini merupakan publikasi dari tahap awal eksepdisi secara keseluruhan.

"Produk akhir secara lengkap baru akan dapat dinikmati beberapa tahun kemudian. Namun kita menginginkan masyarakat dan kalangan akademik dapat melihat dan menikmati hasil penelitian kita hingga tahap ini. Mudah-mudahan ada masukan dari masyarakat untuk perbaikan kita ke depan," ujarnya.

Hal yang mendasari dilaksanakannya penelitian terhadap empat sungai tersebut, jelas dosen FKIP Unri ini, adalah untuk melestarikan khazanah budaya melayu. Budaya melayu menurutnya dibangun karena ada jalur sungai. Namun saat ini mobilitas masyarakat sudah berpindah ke jalur darat.

"Di sepanjang rantau tepian sungai berdiri kerajaan-kerajaan, negeri-negeri, kampung, banjar, ladang, bagan teratak dan pondok-pondok mandah. Namun saat ini hal itu tidak terjadi lagi. Jadi kita perlu meneliti tempat-tempat yang kini terpinggirkan itu," ungkapnya.

Saat WPR mengunjungi lokasi pameran di Rektorat Unri, terlihat puluhan foto landscape dipajang. Sebagian besar menggambarkan tentang eksotiknya Riau dan Sungai Rokan yang kaya baik hasil sungainya berupa ikan dan udang, maupun hasil hutan di sepanjang aliran sungai itu.

Elmustian menceritakan, banyak kisah yang dapat mereka petik dari ekspedisi ini dan-berharap apa–apa yang mereka dapatkan itu menjadi masukan yang berharga bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan.

“Sudah waktunya pembangunan juga diarahkan ke daerah pedesaan. Dan kami berharap, situs-situs budaya yang ada tidak secara serampangan dipugar agar tidak melenceng dari aslinya,“ katanya.***

Ekspedisi Buluh Cina Ketika Seluruh Alam Menunjukkan Keindahannya






Gerombolan kelelawar besar terbang siang di pucuk-pucuk pohon. Sekawanan kerbau tampak merumput dengan tenang di pinggir sungai sementara sebagian memilih berendam dalam air yang segar. Pohon-pohon raksasa yang bahkan lebih tua dari republik ini, dan tanaman-tanaman hutan yang eksotis terlihat demikian anggun. Seluruh alam di Buluh Cina pagi itu seolah sedang menunjukkan keindahannya pada kami.


Minggu 4 November lalu saya mengunjungi Desa Buluh Cina di Kecamatan Siak Hulu, Kampar. Walaupun terletak di Kabupaten Kampar, Buluh Cina dapat ditempuh dalam waktu sekitar setengah jam saja karena hanya berjarak sekitar 19 km dari pusat kota arah Timur.
Memasuki wilayah ini, suasana pedesaan yang tentram langsung terasa. Ini saja sudah merupakan sebuah obat penenang bagi warga kota yang mungkin sering stres menghadapi pekerjaan dan rutinitas yang membosankan.
Rumah-rumah nyaris tak ada yang dipagar tinggi seperti layaknya di perkotaan. Ini mencerminkan betapa kekeluargaan dan keakraban antar sesama warga masih demikian kental di desa ini. Pohon-pohon kelapa menjulang dimana-mana dan beberapa hutan terlihat rimbun di sisi kiri dan kanan jalan.
Tujuan pertama kami adalah rumah mantan kepala desa sekaligus ketua pemuda desa Buluh Cina yang juga wartawan, Kabir. Ia menyambut kami dengan tangan terbuka dan dengan segera menyediakan guide yang akan mendampingi kami masuk hutan.
Setelah istirahat sebentar, kami segera berangkat ke lokasi. Fahrizal atau Ijal, pemandu kami, menyediakan pompongnya untuk dipakai menjelajah hutan yang penuh air.
Ada puluhan pompong di sini yang dapat digunakan wisatawan untuk menjelajah hutan. Semuanya dimiliki secara pribadi oleh masyarakat. Pompong ini umumnya dilengkapi dengan sedikit atap untuk berteduh bila hujan turun, terkadang juga tersedia kompor, alat timbang dan keperluan dapur lainnya. Ini semua digunakan penduduk bila mereka akan mencari ikan ke danau-danau yang banyak terdapat di daerah ini dan harus bermalam di sana.
Menuju Danau Tanjung Putus
Saya melihat jam, pukul 10.08 WIB. Ekspedisi dimulai dengan menghiliri Sungai Kampar yang tenang menuju danau pertama, Danau Tanjung Putus. Kami hanya menyeberang dan langsung tiba di depan rumah panggung milik penduduk. Plang nama Danau Tanjung Putus langsung terlihat. Jalan setapak yang sudah disemen terlihat jelas.
Kami menyusuri jalan itu. Pohon-pohon raksasa menyambut kedatangan kami. Diantaranya adalah Rengas, Beranti, Simpur, dan Karet. Sebatang Rengas raksasa konon berusia 120 tahun, lebih tua dari republik ini, juga kami temukan di sini.
Pemandu kami, Ijal mengatakan, lebih jauh ke dalam, kami bisa menemukan Rengas yang lebih tua dan lebih besar, yang di atasnya dihuni sekawanan lebah beserta sarangnya yang penuh madu. Dan untuk mengambil madu ini, diperlukan keahlian khusus agar lebah-lebah tidak menyerang.
Kami berhenti di shelter pinggir danau. Shelter ini dan beberapa lagi yang tersebar di sekitar lokasi ini, dibangun oleh PT Chevron. Di sinilah beberapa bulan yang lalu Menteri Kehutanan MS Kaban beristirahat setelah mengelilingi Buluh Cina. Sang Menteri konon sangat terkesan dengan tempat ini dan berjanji, dalam beberapa bulan ke depan akan kembali ke sini.
Seorang lelaki tua terlihat sedang ’memolek’ yaitu menangkap ikan yang masuk ke ceruk-ceruk sungai. Caranya, ketika air pasang naik, ikan biasanya pergi ke ceruk-ceruk ini untuk mencari makanan. Orang akan memasang ’lopak’ (sejenis pagar dari bilah-bilah bambu, red) di mulut ceruk sehingga saat air surut kembali, ikan yang terlanjur masuk tidak dapat keluar.

Pajak untuk Desa
Desa menerapkan kebijakan pajak bagi setiap warga yang menangkap ikan di hutan ini. Seperti dari hasil ikan harus dibayarkan ke kas desa yang kelak akan dibagi untuk seluruh warga. ”Ini semacam tabungan,” kata Ijal.
Sekali setahun, seluruh warga turun ke danau untuk ’panen raya’ ikan-ikan yang demikian berlimpah di sini. Pada saat ini, ada semacam pesta kecil yang diselenggarakan warga untuk mengucap syukur pada Tuhan yang telah mengaruniakan kehidupan yang bersahabat pada mereka.
Ikan-ikan di danau ini memang seperti menemukan surga karena demikian berlimpahnya makanan. Tidak ada limbah industri di sungai ini. Masyarakatpun patuh tidak menggunakan benda-benda berbahaya seperti racun untuk mencari ikan. Dengan demikian ekosistem di hutan Buluh Cina sangat terpelihara. Sungaipun tak dilewati kapal-kapal raksasa seperti di Sungai Siak.
Penjelajahan Danau Tanjung Putus tidak dapat kami teruskan karena sebagian jalan setapak yang telah disemenisasi tergenang air. Ini agak beresiko untuk dilalui karena binatang penghisap darah bernama acek (sejenis lintah, tapi berukuran lebih kecil, red) banyak terdapat di sini. Kami kembali ke pompong untuk meneruskan perjalanan ke danau lainnya.
Menuju Danau Pinang Luar
Kami menghiliri sungai lagi. Jam menunjukkan pukul 10.36 WIB. Udara terasa segar pagi itu. Sebelumnya memang turun hujan. Mendung bahkan masih menggantung di langit. Sungai terlihat ’penuh’.
Alangkah tenang pagi itu. Berbeda dengan Sungai Siak yang lebih sibuk oleh lalu lintas kapal barang dan penumpang dalam berbagai ukuran, Sungai Kampar tampak demikian bersahabat. Tak pernah ada kapal raksasa sekaliber tanker minyak ke sungai ini. Kedalaman sungai memang tidak memungkinkan untuk itu. Selain itu, tidak ada industri di sepanjang aliran sungai ini. Karena itulah, habibat flora dan faunanya dapat terus terpelihara.
Di sepanjang pinggir sungai kami menyaksikan hutan-hutan yang dibiarkan lebat. Mungkin karena sedang musim hujan, beberapa pohon terlihat ’masuk’ ke dalam sungai.
Kami melihat sekawanan kerbau dalam berbagai ukuran sedang merumput dengan tenang. Jumlahnya mungkin puluhan ekor. Sebagian kami lihat masih menyusu kepada induknya. Selagi yang lain merumput, sebagian yang lain memilih berendam di air sungai yang terasa sejuk. Seekor burung layang-layang terbang rendah, persis di atas permukaan sungai. Sinar matahari memantul di permukaan air, berkilauan indah.
Lima belas menit kemudian, kami sampai di sebuah kuala atau ’pintu gerbang’ menuju Danau Pinang Luar. Deru mesin pompong menggema di rimba raya. Selain itu, tak ada suara.
Pompong melaju dengan tenang. Kami menikmati pemandangan yang demikian mempesona. Sungguh tak pernah kami sangka di Pekanbaru yang konon pertumbuhannya sangat pesat ada hutan yang demikian terpelihara seperti ini. Keindahan flora dan faunanya telah mengundang banyak turis dan peneliti baik dalam dan luar negeri untuk datang ke sini. Yang terpenting dari semua itu adalah kesadaran masyarakatnya untuk menjaga hutan, ramah pada setiap tamu yang datang, dan siap menjadi pemandu kapanpun diperlukan.
Siang itu kami bertemu dengan serombongan turis dari Amerika. Menggunakan dua pompong, rombongan ini sepertinya merupakan satu keluarga. Sebagian dari mereka bisa menggunakan Bahasa Indonesia.
Kami masuk ke Danau Pinang Luar. Danau ini bentuknya memanjang dan dihubungkan oleh sebuah ’lorong’ dengan Danau Pinang Dalam, danau terbesar di kawasan ini. Kedua danau ini dipenuhi aneka macam ikan. Ikan-ikan yang dapat tumbuh demikian besar seperti ikan tapa, konon di danau ini bisa memiliki berat 15 kg. Bahkan masyarakat percaya ada ikan tapa keramat berukuran raksasa yang sanggup menelan manusia, tinggal di danau ini.

Harga Ikan Fluktuatif
Kami berpapasan dengan pompong-pompong nelayan yang tengah memancing ikan. Lopak juga terlihat dimana-mana. Karena berlimpahnya ikan di kawasan ini, penduduk yang memang bermata pencaharian sebagai pencari ikan dapat memasang perangkap di mana saja. Di sela-sela akar pohon yang terendam air, di mulut-mulut teluk kecil bahkan juga di tengah danau. Untuk perangkap yang dipasang di tengah danau, warga memasang pelampung dari botol air mineral sebagai pelampung.
Semula kami kurang mengerti, mengapa di tengah sungai dan danau banyak ditemukan botol air mineral mengapung dan tidak dihanyutkan arus yang cukup kuat. Ternyata itu adalah pelampung penanda bahwa di dasar sungai atau danau terdapat perangkap ikan.
Menariknya, ikan-ikan ini umumnya dijual ke Bangkinang, ibukota Kabupaten Kampar. Padahal jarak tempuhnya lebih lama ketimbang ke Pekanbaru. Alasannya, harga jual ikan-ikan dari Buluh Cina lebih mahal di Bangkinang ketimbang di Pekanbaru. Masyarakat Bangkinang telah menjadikannya bagian dari budaya. Pada hari-hari besar, harga ikan melambung demikian tinggi karena menjadi hidangan istimewa untuk menyambut tamu-tamu penting.
”Ikan ’kapiek’ selebar telapak tanganpun bisa dijual seharga Rp15ribu perekor di Bangkinang. Demikian pula dengan ikan tapa sebesar telapak tangan harganya bisa Rp30 ribu,” kata Ijal.
Di kawasan ini kami melihat aneka pohon raksasa tumbuh. Pohon-pohon ini konon ada yang berusia 300 tahun. Ukurannya? Jangan tanya. Beberapa spesies anggrek juga kami temukan di sini. Sayang waktu itu belum berbunga.
Pukul 11.33 kami kembali ke dermaga. Kali ini kami berkonvoi dengan dua perahu lainnya yang disewa rombongan bule dari Amerika. Cuaca mulai panas. Tapi angin bertiup menyejukkan di atas pompong yang melaju kencang melawan arus sungai. Setengah jam kemudian kami merapat di dermaga Buluh Cina. Sementara rombongan bule masih meneruskan perjalanan berjalan kaki mengelilingi desa.
Tradisi tetap dijaga
Masyarakat Buluh Cina hidup dalam tatanan hukum adat yang terus dipelihara dengan baik. Walaupun globalisasi telah merebak ke mana-mana, namun kekerabatan dan adat istiadat di daerah ini tiada luntur. Salah satu yang menarik adalah aturan menutup aurat.
”Di sini, orang-orang masih menggunakan sungai untuk MCK. Tapi jangan kira walau zaman telah berubah lantas adat tidak dipakai lagi. Siapa saja, laki-laki atau perempuan yang mandi ke sungai tidak boleh sembarangan membuka aurat. Bahkan laki-lakipun kalau mandi harus mengenakan kain basahan di sini. Jangan coba-coba telanjang karena akan mendapatkan teguran keras dari pemuka masyarakat dan pemuda,” kata Ijal pula.
Demikian pula dengan para pengunjung yang datang ke tempat ini diingatkan untuk tidak melakukan tindakan asusila karena seluruh komponen masyarakat Buluh Cina tidak akan dapat bertoleransi.

Undang Pelancong Ekowisata Mancanegara
Makmur Hendrik, pemuka masyarakat Buluh Cina mengatakan selain menggelar acara tahunan Pacu Sampan Buluh Cina, desa wisata yang ditetapkan lewat SK Gubernur tahun 2004 lalu juga akan dipromosikan sampai ke mancanegara. Salah satu upaya yang ditempuh adalah melalui seminar yang akan digelar oleh Kementrian Kehutanan RI.
Hutan wisata alam seluas seribu hektar ini memang layak untuk dikunjungi. Tak hanya oleh pelancong ekowisata mancanegara, melainkan juga para peneliti untuk menggali lebih dalam potensi dan kekayaan flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. ***

Jumat, 13 Februari 2009

Waspadalah pada Orang Madura

Suatu hari saya pergi ke Surabaya. Bersama rombongan
saya berkeliling kota (city tour) didampingi seorang
pemandu. Sesuai pekerjaannya, pemandu yang merupakan
orang Jawa asli itu menerangkan segala hal tentang
Surabaya berikut sejarah singkatnya. Ini Jembatan
Merah yang bersejarah itu, itu tugu Surabaya yang
terkenal itu, itu jembatan Suramadu yang akan menghubungkan antara
Pulau Jawa dengan Madura, bla-bla-bla…

Saya menyimak dengan tenang. Walaupun tidak mencatat
di buku, tapi otak saya menyimpannya dengan
baik. Dan kemudian, seolah menemukan ide menarik untuk
dibicarakan, ia mulai menerangkan tentang
karakteristik orang Madura. Begini lebih kurang katanya, “Orang
Madura terkenal sebagai orang yang licik. Bila mereka

menemukan suatu kawasan yang tidak ada pemiliknya,
maka mereka akan mengambilalih tempat itu. Hari
pertama mereka akan bersembunyi di dalam sebuah kardus di
lokasi itu, dari pagi sampai malam di dalam kardus
itu. Hari kedua mereka akan membangun gubuk dan hari ketiga
mereka akan menguasai tempat itu. Jadi, ibu-ibu, saya
ingatkan, hati-hati dengan orang Madura.”

“Hei! Itu rasis!” saya langsung protes. Spontan. Saya
jadi ingat bapak penjual sate Madura di Pekanbaru
yang ramahnya bukan main, senyumnya hangat dan satenya
enak. Saya tidak punya hubungan apa-apa dengan bapak
tua itu, tidak punya teman orang Madura, dan tidak
pernah punya urusan dengan orang Madura. Namun ketika
ada orang yang sok paling hebat dan mendiskreditkan orang
Madura, entah mengapa saya jadi senewan.

Ya, itu sudah rasis. Mendiskreditkan suatu suku,
kelompok atau apalah namanya, menurut saya adalah
rasis.

SARA istilah lainnya. Saya tidak habis pikir dengan si
pemandu, mengapa dia harus menerangkan panjang lebar
tentang karakteristik orang Madura pada rombongan yang
tidak sekalipun bertanya soal itu. Yang membuat saya
lebih tidak mengerti jalan pikiran orang itu adalah,
mengapa ia tidak merasa punya kaitan dengan orang
Madura, padahal bagi kita yang orang awam, toh mereka
sama-sama Jawa? Apa orang Jawa Timur lebih tinggi
derajatnya dari orang Madura?

Kalau kita perhatikan baik-baik, isu rasial ini ada
dimana-mana. Di Amerika, orang Meksiko dianggap
orang yang paling pandai berbohong, hingga ada
anekdot, ketika orang Meksiko kecelakaan dan sekarat
di dalam mobilnya, ia berteriak minta tolong, namun tidak ada
yang mau membantu. Alasannya, orang Meksiko suka
bohong, sudah mati tapi ngaku masih hidup. Jadi tidak ada yang
percaya.

Hitler membasmi bangsa Yahudi yang jumlahnya ribuan
di Jerman karena merasa bangsa Yahudi lebih rendah
derajatnya dibandingkan ras Aria. Ribuan orang
Yahudi, besar-kecil, laki-laki atau perempuan, mati di
kamp-kamp konsentrasi. Salah satu yang kamp yang
paling mengerikan adalah kamp Auswich di Polandia.
Isu rasial juga terjadi di sini. Kita seringkali
mendengar bisik-bisik, ‘hati-hati dengan pejabat A,
dia anti Minang,’ atau ‘jangan menikah dengan pria suku B,
mereka suka beristri lebih dari satu,’ atau, ‘Kampus C
dikuasi oleh suku X, selain suku X dijamin tidak akan bisa lulus
dengan cepat dan nilai yang bagus,’ blablabla…

Saya heran ada orang yang merasa lebih tinggi
dibandingkan orang lain. Bisa jadi karena sukunya,
jabatan, keturunan dan lain sebagainya. Padahal, dari
masing-masing suku itu, selain memiliki tokoh panutan,
pasti juga memiliki oknum-oknum yang bermoral buruk.
Bukan hanya itu, setiap manusia juga pastilah memiliki dosa.
Tidak ada yang sempurna. Tidak ada orang yang sepanjang hidupnya
tidak pernah melakukan kesalahan. Tidak ada juga orang
yang sepanjang hidupnya salah terus. Sekali waktu, tentulah
kita akan tergelincir, terpeleset, hingga melakukan
kesalahan.

Hari ini mungkin kita memerankan tokoh baik, namun di
kali lain mendapat peran jahat. Lalu, mengapa masih
ada yang merasa paling tinggi derajatnya dibandingkan orang
lain?



__________________________________________________

Istana Kerajaan Gunung Sahilan Menunggu Janji dan Tuah Sakti Para Petinggi

Menyebut istana kerajaan, mungkin orang langsung membayangkan bangunan kokoh yang lebih kurang sama dengan Istana Siak. Namun pemandangan yang amat kontras ditemukan di Gunung Sahilan, Kampar Kiri. Istana peninggalan Kerajaan Gunung Sahilan ternyata wujudnya sangat memprihatinkan.
Udara masih cukup sejuk pagi itu saat kami sampai di lokasi. Terletak sekitar 70 km arah utara Pekanbaru, Kecamatan Gunung Sahilan dapat ditempuh dengan kendaraan umum Pekanbaru-Taluk Kuantan via Lintas Tengah. Namun untuk mencapai lokasi istana, kita masih harus menyusuri jalan sepanjang lebih kurang enam kilometer ke arah pedalaman, masuk dari daerah bernama Kabun Durian.
Ketua Pemuda Kecamatan Gunung Sahilan Edi didampingi tokoh pemuda Gunung Sahilan lainnya, Intoni, menemani kami menuju sisa-sisa istana itu. Kami terkesima saat tiba-tiba sudah berada di depan istana. Yang hadir di depan kami adalah sebuah rumah panggung dari kayu, beratap seng penuh karat, dinding yang mulai dimakan rayap di sana-sini, pintu yang tergembok dari luar, dan banyak kotoran kambing berserakan di terasnya.
Halamannya seluas lebih kurang 10x5 meter, ditanami rumput jepang yang terlihat kurang terawat. Tak ada pot-pot bunga di sana. Kosong melompong. Secara keseluruhan, kesuraman yang mencekam terasa menyelimuti istana itu. Dalam hati kami tergurat kesedihan dan kepedihan. Mengapa harus seperti ini? Sungguh, ini jauh di luar bayangan kami. Apalagi bila membandingkan dengan Istana Siak di Kabupaten Siak Sri Indrapura.
Azirman, juru kunci yang juga masih terbilang keluarga kerajaan, tinggal di sebelah istana ini. Istri Azirmar, si Sar adalah cucu dari Yang Dipertuan Gadis Putri Intan, anak dari Tengku Hasyim yang beristri Putri Sari Negeri. Putri Intan wafat dalam usia 105 tahun pada 1887 lalu.
Memasuki istana ini, kami merasakan lantai kayu yang dingin, kotor oleh pasir, dan hawa yang lembab. Sebuah ruangan berukuran sekitar 11x5 meter terbentang di hadapan kami. Ruang kosong tanpa ada meja kursi dan lain sebagainya. Di arah kiri pintu masuk, menjorok agak ke depan, berdiri sebuah tempat tidur besi jaman dulu, lengkap dengan kasur dan bantalnya.
“Di sinilah Putri Intan dulu tinggal,” kata Azimar kepada kami.
Di sekitar tempat tidur ini disusun sisa-sisa peninggalan kerajaan ini berupa meriam, keramik, tombak, payung kerajaan, dan alat makan minum. Pada awal Ramadhan, meriam ini masih diletuskan sebagai tanda masuknya bulan suci umat Islam itu.
Di Pekanbaru, tepatnya di rumah salah seorang keturunan raja Gunung Sahilan, Tengku Raflan, masih tersimpan beberapa peninggalan kerajaan lainnya seperti beraneka stempel dari tembaga dengan berat dan ukuran yang beragam dan beberapa keris pusaka.
Beberapa lembar foto yang dibingkai dan digantung di dinding istana. Sayang, tidak ada keterangan apa-apa di bawah foto-foto itu seperti siapa yang difoto, dalam peristiwa apa, tahun berapa dan sebagainya. Sebuah foto memperlihatkan sultan terakhir kerajaan ini yaitu Tengku Sulung tengah berfoto bersama para khalifah, bertarikh 1905.
Khalifah sama arti dan fungsinya dengan duta besar. Mereka merupakan perwakilan kerajaan di daerah lain. Secara berkala mereka akan dipanggil pulang ke Gunung Sahilan untuk membicarakan banyak persoalan, termasuk soal kelangsungan kerajaan di masa mendatang.
Ada lima khalifah di kerajaan ini, yaitu Khalifah Kampar Kiri bergelar Datuk Besar, Khalifah Kuntu bergelar Datuk Bandaro, Khalifah Batu Sanggan bergelar Datuk Godang, Khalifah Ludai bergelar Datuk Maharajo Besar, dan Khalifah Ujung Bukit juga gelar Datuk Bandaro.
Menurut Azimar lagi, dulunya bangunan istana ini berukuran sekitar 12x16 meter persegi, terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, ruang pertemuan, kamar-kamar dan dapur. Namun beberapa tahun yang lalu dilakukan pemugaran oleh pemerintah. Sayang, bentuknya dinilai kaum adat tidak sesuai dengan bentuk istana yang mereka kenali dulu. Salah satu perbedaan yang menyolok dan langsung dapat dikenali adalah bentuk rumah panggung yang berubah menjadi bukan rumah panggung. Walhasil, bila kita hendak masuk ke istana hasil pemugaran melalui istana asli, maka kita harus menuruni dulu empat anak tangga yang cukup terjal.

Bertalian dengan Kerajaan Pagaruyung
Dalam sejarahnya, Kerajaan Gunung Sahilan berhubungan kekerabatan sangat erat dengan Kerajaan Pagarruyung di Sumatera Barat. Raja-raja yang memerintah di Gunung Sahilan adalah keturunan langsung dari Raja Pagarruyung.
Menurut H Munirjunu Dt Bandaro, seorang Khalifah di daerah Ujung Bukit Kampar Kiri, dalam alampape Minangkabau ada enam kerajaan yang diakui secara sah, yaitu Kerajaan Gunung Ibul di Kampar Kiri yang dipimpin oleh putra Tuanku Zulkarnain Alexander bernama Syailendra bergelar Sultan Rajo Mahadirajo.
Kerajaan kedua bernama Andiko 44 di Muara Takus, Kampar, dipimpin oleh Rajo Ampek Balai. Kerajaan ketiga bernama Kerajaan Priangan di daerah Padang Lagundi Setinggi Duduk atau Padangpanjang, Sumatera Barat. Kerajaan ini dipimpin oleh Sultan Raja Mahadirajo yang pindah dari Gunung Ibul.
Di sini dihadirkan tiga raja besar yaitu Sultan Raja Alif atau Raja Bandaruhung yang wilayah kekuasaannya dimulai dari Mekkah hingga ke India dan Pakistan. Raja kedua adalah Sultan Raja Dompa yang berkuasa di Dataran China dan terakhir Sultan Raja Mahadirajo. Ketiga raja besar ini merupakan saudara kandung.
Raja Mahadirajo kemudian digantikan oleh Rajo Bukit Mas dengan gelar Dt Perpatih dan Sebatang. Di sini, mereka menggunakan adat yang bersandi syarak dan anak-anak mengikuti suku ibunya.
Sementara Sultan Raja Dompu bergelar Rajo Ketemanggungan dimana anak-anak mengikut suku bapaknya. Wilayah kekuasaannya adalah seluruh daerah yang terkena air pasang dan surut.
Kerajaan keempat bernama Kerajaan Kuntu Kampar Minangkabau Timur, sekitar abad IV M, dengan raja bernama Rajo Darah Putih. Ia kemudian digantikan oleh Adityawarman, putra Bundo Kanduang atau disebut juga Puti Petok atau Puti Jenggo. Kerajaan ini kemudian dipindahkan ke Sumatera Selatan dan bernama Sriwijaya.
Kerajaan kelima bernama Kerajaan Koto Minang, berdiri sekitar abad IV M dengan raja Puti Lindung Bulan. Kerajaan ini pindah ke Pagarruyung dan dipimpin oleh Adityawarman selama lebih kurang 50 tahun.
Terakhir, barulah berdiri Kerajaan Gunung Sahilan di Kampar Kiri. “Kerajaan ini berdiri pada tahun alif Hijriyah, itu berarti, usianya sekarang sudah 1.428 tahun, sesuai dengan tahun hijrahnya Nabi Muhammad SAW,” jelas Dt Bandaro.
Wilayah kekuasaannya terhampar mulai dari Sialang Berlantak Besi Muara Langgai (Rantau Taras) sampai ke Batang Durian Dipakuk Raja (Pangkalan Kapas).
Tak Pernah Dijajah Belanda
Suatu hari pada tahun 1901, Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Besar Sultan Daulat, bersama lima khalifahnya menghadap Belanda di keresidenan Bengkalis. Ia ingin bernaung di bawah pemerintahan Belanda. Syaratnya, Belanda berpagar besi, Kampar Kiri berpagar adat. Kesepakatan ini tertulis dalam Piagam Kuntu yang hingga saat ini konon masih disimpan di Belanda.
Melalui kesepakatan ini maka Kerajaan Gunung Sahilan tetap memiliki kekuasaan atas negerinya, berdaulat, dan diakui oleh Belanda. Semua hukum adat yang selama ini diterapkan kerajaan tetap dapat diberlakukan. Bahkan pihak Belanda setiap tahun memberikan kupon hadiah bagi masyarakat Gunung Sahilan.
“Masyarakat Gunung Sahilan tak tahu apa itu penjajahan karena mereka memang tidak pernah dijajah. Bagi mereka sama saja kondisinya, berada di bawah naungan Belanda atau tidak,” jelas Tengku Raflan, salah satu keturunan kerajaan yang saat ini menetap di Pekanbaru.
Hubungan yang mesra ini hingga kini masih dapat dilihat bekas-bekasnya, antara lain sebuah rumah panggung yang masih berdiri kokoh dan terus dimanfaatkan warga. Karena ini pula, muncul istilah Khalifah ‘van’ Ludai atau Khalifah van Ujung Bukit, sebagai bukti bahwa eksistensi para duta kerajaan ini memang diakui pihak Belanda.
Dilanjutkan Tengku Raflan, ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Raja Gunung Sahilanlah yang lebih dulu mengirim telegram ke Jakarta untuk menyatakan diri bergabung dengan NKRI. “Lebih duluan Gunung Sahilan ketimbang Siak menyatakan bergabung dengan RI, tapi sayangnya kami tidak memiliki bukti apa-apa tentang hal itu,” katanya.
Tengku Gazaly dengan gelar Putra Mahkota dinobatkan sebagai calon pengganti raja sebelumnya pada 15 Juli 1941. Ia tidak sempat naik tahta karena kerajaan keburu menyatakan diri bergabung dengan NKRI.


Hukum Adat Masih Berlaku
Walaupun terlihat memprihatinkan, namun peran Istana Dalam di Gunung Sahilan masih mencengkeram kuat dalam sendi-sendi kehidupan rakyatnya. Antara lain, sebagai tempat bermusyawarahnya para ninik mamak se Kampar Kiri. Setiap Ramadhan, pada hari pertama para ninik mamak dan tokoh masyarakat wajib untuk shalat Tarawih di dalam istana ini. Demikian pula pada hari ke-15 dan malam takbiran.
“Prosesi adat ini masih berlangsung hingga hari ini. Contohnya, pada malam takbiran, para ninik mamak akan datang ke Istana Dalam, takbir di sana bersama-sama. Setelah itu, rombongan dibagi menurut sukunya masing-masing. Mereka kemudian berpencar melakukan takbir ke setiap rumah warga yang bersuku sama. Setelah itu, mereka berkumpul kembali di istana.
“Gong pertama dipukul sebagai tanda memanggil, gong kedua dipukul tanda semua sudah berkumpul dan gong ketiga dipukul saat rombongan ninik mamak ini diarak ke Sungai Kampar Kiri untuk ‘balimau’. Demikian pula saat Idul Fitri, semua ninik mamak melakukan Shalat Ied di istana. Dan pada hari kedua, kami sebut dengan Hari Raya Adat karena semua ninik mamak berkumpul kembali di istana.”
Adat istiadat yang dijalankan secara turun temurun hingga hari inipun masih terus diterapkan. “Orang yang dianggap telah bersalah secara adat, akan mendapatkan hukuman adat, misalnya, saat ia mengadakan doa menyambut hari baik bulan baik, orang kampung tak akan datang, tidak menjawab tegur, tidak menghadiri undangan, dan yang paling tinggi adalah tidak didatangi saat malam takbiran. Bagi kami tak ada malu semalu itu,” jelas Zulkifli, masyarakat Ujung Bukit. Hukum ini menurutnya akan berlangsung selama tiga tahun berturut-turut. Karena itulah, orang lebih suka membayar denda walaupun dengan seekor kerbau, asal tidak mendapat hukum adat yang amat memalukan ini.
Sehubungan dengan janji Bupati Kampar Burhanuddin yang akan membangun Istana Dalam menjadi istana termegah di Riau pada 2008 nanti, para khalifah, ninik mamak dan keturunan Kerajaan Gunung Sahilan sangat berharap janji ini dapat direalisasikan. Apalagi mengingat hingga sekarang istana ini masih sering difungsikan untuk bermusyawarah oleh para tetua adat.
“Kami juga berharap kalau selesai direhab, fungsinya sebagai tempat bermusyawarah tidak bergeser. Jangan direhab bila tujuannya semata untuk wisata budaya,” harap Dt. Bandaro.
Di atas itu semua, keturunan keluarga kerajaan Tengku Raflan mengatakan, “Saya tak berkecil hati kalau istana itu tidak seperti istana lain yang lebih megah. Lebih penting bagi saya adat istiadat kami terus dijalankan hingga hari ini.”
Bentuk pertama Istana Dalam ternyata lebih kurang seperti rumah lontiak. Istana Dalam yang tersisa saat ini di Gunung Sahilan memiliki bentuk yang berbeda dengan istana pertama ini. Gambar istana pertama ini ditemukan di Belanda dan sekarang sedang dipelajari. Bila renovasi istana jadi dilaksanakan 2008 nanti, para ninik mamak dan keluarga kerajaan akan berunding untuk menentukan bentuk mana yang akan dibangun.

walau... alhamdulillah

banyak alasan yang membuat saya terus bersyukur
sepanjang hari. ini daftarnya

1. walaupun tadi malam pulang jam sepuluh lewat, si
kecil mencret pukul satu malam dan suhu tubuhnya
meninggi, alhamdulillah masih diberi Allah umur pagi
ini saat pukul lima aku bangun.
2. alhamdulillah suhu tubuh permata sudah mulai turun
dan ia tidak rewel
3. alhamdulillah sebelum berangkat sekolah lira mau
makan walau hanya dengan telor dadar karena lauk di
meja makan sudah habis sejak semalam
4. alhamdulillah permata tidak mencret lagi dan ia
mulai riang
5. alhamdulillah mesin cuci yang biasanya ngadat pagi
ini dapat diatasi sehingga cucian selama dua hari
dapat segera dibereskan
6. alhamdulillah permata yang baru bisa jalan tidak
terjatuh di kamar mandi karena mencari saya
7. alhamdulillah aku bisa memasak untuk keluarga
kecilku
8. alhamdulillah masih sempat menyapu rumah dan
mengganti seprai yang sudah bau pesing permata karena
kena pipis terus sejak berapa hari ini
9.alhamdulillah luka di kaki lira sudah mulai membaik
10. walaupun sedan tua kami panas luar biasa karena
tidak ada ac-nya, alhamdulillah mesinnya masih bagus
dan dapat mengantarkanku ke tempat kerja dengan
selamat
11. walaupun suami tak bisa menjemput, dan aku harus
keluar uang ekstra Rp20 ribu untuk ongkos taksi,
alhamdulillah aku terhindar dari macet sehingga dapat
cepat sampai ke tempat kerjaku yang lain
12. walaupun mendadak harus menggantikan kerja teman
yang ada halangan (artinya kerja tambahan),
alhamdulillah semuanya berjalan lancar dan aku tak
perlu pulang lebih lama
13.alhamdulillah, tadi ketemu teman yang memberikan
informasi penting yang aku inginkan
14. alhamdulillah, asuransi pendidikan permata sudah
dibayarkan
15. alhamdulillah, permata tidak kesentrum saat main
ke belakang meja tivi
16. walaupun hpku mati karena baterainya habis,
alhamdulillah dina mau meminjamkan hpnya sehingga aku
bisa menghubungi suami agar memjemputku ke tempat
kerja malam ini
17.akhirnya, alhamdulillah karena hari ini aku masih
bisa menikmati dan mensyukuri nikmatMu, ya Allah, ya
Rabku yang Maha Tinggi...

Mama Tak Pernah Menciumku Lagi…

Saya sedang menciumi si kecil yang masih berusia sepuluh bulan yang tengah asyik mencongkel-congkel lubang kunci lemari. Berdirinya masih belum kokoh, kadang masih sering jatuh. Karena itu ia harus diawasi ekstra ketat. Dan kesukaan semua orang bila berada dekat bayi adalah menciumi pipinya yang montok sehat menggemaskan. Jadi sambil mengawasinya, saya ciumi pipinya sambil menikmati aroma tubuhnya, lembut parfumnya, dan juga halus kulitnya.
"Tata enak-enak, selalu Mama cium. Rara nggak pernah Mama cium lagi…"
Tiba-tiba si sulung yang sedang tidur-tiduran di dipan rendah berkomentar. Saya tertegun. Ternyata ia tengah memperhatikan kami! Saya menoleh padanya dan melihat sorot mata sedih gadis kecil itu tengah memandangiku.
Menyadari kami sedang beradu pandang, ia menutup wajahnya dengan guling. Lalu terdengar ia terisak-isak. Cepat-cepat saya tinggalnya si kecil dan mendekati si sulung.
"Sayang… maafkan Mama…" saya peluk dia. Tapi ia mengelak. Ia tak mau membuka wajahnya.
"Dulu Mama sering mencium Rara kalau sedang tidur, sekarang juga sudah tidak pernah lagi, huhuhu…" ia masih terisak-isak.
"Tadi sore Rara kan nggak mandi, jadi sekarang pasti agak bau, ciumnya sambil tutup hidung ya!" saya masih mencoba bercanda.
"Nggak mau kalau sambil tutup hidung!"
Sepanjang malam itu ia tidur dengan hati yang sedih. Saya sudah mencoba membujuknya dengan mengatakan dulu waktu ia masih bayi ia juga sering diciumi. Tapi mungkin karena hatinya sedang terluka, ia tak begitu memperhatikan.
Malam itu, saya merenung. Sebagai seorang ibu, saya memang telah berlaku tidak adil pada si sulung. Dari cara bicara saja, ia sudah dibedakan. Bicara dengan adiknya yang masih bayi, saya cenderung bermanis-manis, tapi dengan si kakak saya berusaha untuk tegas, seolah yang saya hadapi adalah rekan kerja di kantor, atau mungkin bawahan yang tak mengerti-mengerti juga walau sudah berkali-kali dikatakan.
Sering kita memang jadi mengubah sikap saat anak kedua atau ketiga lahir. Si sulung yang kemarin masih disayang-sayang, dimanja-manja, tiba-tiba ‘dipaksa’ menjadi dewasa. Ia harus menjadi kakak yang baik bagi si adik, tidak boleh mencubit, tidak boleh jahat, dan lain sebagainya.
Dan yang terjadi dengan si sulung saya yang masih lima tahun itu adalah, perasaan tidak disayang lagi. Perasaan terbuang karena kehadiran si adik yang memonopoli perhatian orang serumah. Si adik jelas telah ‘merebut’ posisi yang selama ini dikuasainya.
Saya mengingat kembali kenangan dengan si sulung. Akhir-akhir ini ia memang sedikit menjengkelkan dan membuat saya yang letih pulang kerja jadi cepat marah. Padahal kalau diteliti lagi secara cermat kesalahan itu masih wajar, selazimnya kenakalan yang dilakukan anak-anak seusianya. Mandi berlama-lama sampai seluruh jari jadi pucat, main sabun dan sampo hingga tinggal separuhnya, lupa menggosok gigi, menaruh pakaian kotor tidak di tempatnya, tidak mau pakai piyama waktu tidur, tidak mau makan kecuali disuapi dan dipaksa, dan lain-lain.
Saya memarahinya karena kesalahan-kesalahan itu, bahkan menjewer kupingnya karena jengkel pulang dari kantor melihat rumah seperti kapal pecah. Sering si sulung yang sadar telah berbuat salah, memandang saya dengan tatapan sedih setelah saya jewer kupingnya. Kalau itu sudah terjadi, saya serasa ingin menangis karena menyesal. Ah, mengapa saya jadi jahat begini? Mengapa saya tidak bisa menahan diri sedikitpun?
Takdir yang indah
Ditakdirkan menjadi seorang ibu sebenarnya adalah sebuah karunia yang indah, yang harus selalu disyukuri. Tidak semua perempuan bisa menjalankan peran itu. Juga tidak semua ibu berhasil menjalankan peran itu. Ada ibu yang keras pada anak, ada pula yang lembut. Ada ibu yang memanjakan anak dengan materi, sebaliknya ada pula yang sangat pelit. Ada ibu yang ‘menyerahkan’ anak pada baby sitter, ada pula yang ‘membuangnya’ di tempat sampah.
Memang tak ada teori yang benar-benar pas agar seorang perempuan bisa menjadi ibu ideal bagi anak-anaknya. Semua punya teorinya sendiri. Semua ibu punya triknya sendiri karena masing-masing ibu menemui kasus yang berbeda-beda dalam membesarkan anak-anaknya. Dan seorang ibu, akan terus belajar sepanjang hayatnya untuk menjadi ibu ideal bagi anaknya.
Namun satu hal yang seharusnya kita, para ibu, selalu ingat adalah bahwa anak-anak adalah titipan Tuhan. Ia bersih dan polos. Peran ibu sangat penting dalam pembentukan kepribadian anak. Dari ibu anak-anak mendapatkan nilai-nilai kebenaran, keimanan, kasih sayang, dan juga keberanian. Seringkali kita mendengar ada anak yang lebih percaya pada apa yang dikatakan ibunya dibandingkan kata siapapun. Ibu adalah sosok sentral yang tahu segalanya.
Suatu hari si sulung pernah berkata pada saya, "Mama kok tahu semuanya sih?"
Ah, hati ibu mana yang tidak bahagia mendengar pujian itu? Pujian yang tulus, yang bukan dimaksudkan agar saya memberinya kelonggaran menonton tivi seharian, atau mandi di dalam bak sambil main busa. Bukan, bukan. Pujian dari seorang anak menurut saya adalah sebenar-benar pujian.
Ibu juga adalah guru, koki, pengasuh, tukang dongeng, komandan pasukan dan banyak lagi. Saat mengambil peran sebagai ‘komandan pasukan’ kita sering lepas kendali dan lupa dengan ‘pasukan kecil’ yang tengah kita hadapi. Kita lupa bahwa pasukan itu baru empat atau enam tahun mengenal dunia, masih banyak tidak tahunya, bahkan sebagian masih mengompol di tempat tidur. Namun kita tetap marah bila menemukan kaus kaki masih saja terserak di depan pintu, baju kotor lagi kena tumpahan es krim, atau sudah tertidur di depan televisi sebelum mandi sore.
Hukuman-hukumanpun dijatuhkan. Jewer kuping, cubit pantat, atau tidak boleh makan es krim seminggu ini. Bagi kita mungkin itu wajar saja, karena dulu waktu kecil toh kita juga pernah merasakannya. Bahkan mungkin lebih parah karena lazim pula orangtua jaman dulu menempeleng, melecut dengan ikat pinggang, dan lain sebagainya anak-anaknya.
Menurut saya, sebagai ibu, kita telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap ‘pasukan kecil’ itu karena menurut World Health Organization (WHO) kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Kekuatan fisik dan kekuasaan harus dilihat dari segi pandang yang luas mencakup tindakan atau penyiksaan secara fisik, psikis/emosi, seksual dan kurang perhatian (neglected). Dalam kaitan ini Komite Nasional Pencegahan Trauma di Amerika Serikat menggunakan istilah kekerasan oleh mitra dekat (intimate partner violence) yang mencakup kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga tak melulu perkara istri digampar suami atau suami dilecehkan istri, melainkan juga kekerasan terhadap anak, perselingkuhan, dan pemalsuan surat agar suami dapat menikah lagi.
Child abuse
Child abuse merupakan bentuk perlakuan kekerasan terhadap anak-anak. Terry E. Lawson, psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus-menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.
Verbal abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk diam atau jangan menangis. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, "kamu bodoh", "kamu cerewet", dsb. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu periode.
Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu.
Sexual abuse biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. Lewat dari usia itu, anak-anak mulai dihadapkan pada ancaman sexual abuse. Untuk Pekanbaru, beberapa bulan terakhir kita dibuat tidak nyaman karena adanya kasus sodomi terhadap anak-anak yang korbannya kemudian dimutilasi dan dibuang sembarangan seperti bangkai. Sungguh mengerikan.
Yang terjadi dengan anak saya, dan mungkin banyak anak-anak lain yang ditakdirkan menjadi anak sulung, adalah perasaan tidak lagi disayang ketika si adik lahir. Saya jelas sedih dengan keadaan itu. Dan lewat perenungan malam itu, sayapun bertekad akan mengubah sikap buruk saya. Sayalah yang harus mengerti dia, bukan sebaliknya. Saya ingin dikenang sebagai ibu yang ideal baginya, ibu yang dicintainya, ibu yang dibanggakannya, ibu yang selalu menjadi tempatnya bertanya dan mengadu.
Kita para ibu haruslah menjadi benteng terkuat bagi anak saat ia mencari perlindungan, perhatian dan kasih sayang. Sukur si sulung saya yang sedang sedih itu mau mengungkapkan perasaannya, sehingga sayapun selaku ibu dapat cepat mengerti dengan kesalahan dan kekerasan yang telah saya perbuat. Bagaimana dengan anak-anak yang introvert, yang hanya memendam perasaannya dalam-dalam? Siapa yang tahu laranya, kepedihan hatinya, kecewanya, sepinya, selain dirinya sendiri? Ibulah yang paling tahu bagaimana anaknya. Karena itu, jadilah ibu terbaik bagi mereka. ***


I

Doa Papa Bila Berada di Tanah Suci

Papaku adalah seorang lelaki sederhana. Semasa mudanya ia termasuk orang yang menyia-nyiakan kesempatan dan itu sangat disesalinya hari ini. Bagaimana tidak, walaupun berstatus sebagai anak angkat seorang Bupati di Sawah Lunto, namun Papa tak pernah menyelesaikan STM-nya. Ia malah asyik jadi supir taksi gelap dengan mobil dinas Pak Tuo, demikian aku dibiasakan memanggil kakek angkatku yang bupati itu sementara cucu-cucu kandung diajarkan memanggilnya 'abo'.

Papaku kini telah berusia 76 tahun. Mulai agak pekak, gara-gara minum obat TBC selama enam bulan tanpa henti. Beberapa gigi Papa patah dan kalau rukuk punggungnya tak bisa lagi ditekuk lurus.
Kemarin Papa datang dari Padang. Kami berbincang-bincang tentang banyak hal. Aku senang Papa mau tinggal di rumahku agak lama karena selama ini beliau selalu bergegas pulang ke Padang dengan alasan ayam-ayamnya, kambing-kambingnya, dan si Brillo, anjing kesayanganku dan Papa, tak ada yang mengurus. Atau alasan yang tak dapat kami bantah lagi, Mama dapat orderan bikin rendang sekian kilo. "Kalau Papa tidak pulang, siapa yang akan membeli daging dan segala bumbu ke pasar? Mama itu tidak bisa," begitu selalu kata Papa pada kami anak-anaknya kalau mendadak ingin pulang ke Padang.
Sekarang, akibat isu flu burung, Papa tak lagi memelihara ayam. Demikian pula kambing. Dan Brillo telah lama hilang dari rumah. "Ia memang selalu jadi incaran pencuri," kata Papa selalu. Si Brillo berbulu lebat berwarna coklat. Ia jinak denganku dan Papa dan salakannya luar biasa mengerikan bagi orang yang tak biasa. Rumah aman selagi Brillo ada. Anak-anak yang dilahirkan Brillo selalu laris diminta (dan dicuri) para tetangga.
Papa adalah sosok bapak yang sayang anak dan tidak mau main tangan. Paling tidak tahan melihat kami menangis dan selalu bangga pada kami. Sifat itu terus dimilikinya hingga iapun menjadi datuk kesayangan para cucunya. Setiap cucu merasa istimewa karena mereka punya julukan masing-masing. Misalnya Intan, cucu yang paling manis sedunia, Ilham, cucu yang paling ganteng sedunia (karena ia adalah cucu laki-laki pertama), Rara, cucu yang paling pintar sedunia, Tsaqif, cucu yang paling hebat sedunia, dan Tata, cucu yang paling disayang sedunia.
Papa suka mendongeng. Kenangan saat hujan turun deras, suatu hari kala aku masih belum masuk TK, masih teringat hingga kini. Aku dan adik laki-lakiku, Yon, duduk di samping kiri dan kanan Papa. Papa duduk di tengah dengan senyumnya yang hangat. Papa bercerita tentang si Kancil. Kami diajak berfantasi, si Kancil tiba-tiba muncul dari balik pagar kawat.
Sebelum tidur malam, minimal satu dongeng tentang si Kancil harus kami dapatkan. Sebelumnya tentu saja syarat-syaratnya harus dipenuhi dulu yaitu membaca doa, hafalan ayat pendek dan lain sebagainya.
Ah Papa, kini aku sudah dewasa. Aku kini telah menjadi seorang ibu. Teladanmu dalam mengembangkan daya imajinasi telah aku terapkan pada anak-anakku.
April nanti, rencananya Papa akan pergi umroh ke Tanah Suci. Tadi pagi, setelah melihat dan mencobakan pakaian ihram dan peralatan umroh lainnya, aku bertanya pada Papa, "Apa yang akan Papa doakan saat sampai di Mekah nanti? Minta agar Yessi cepat dapat jodoh?" Yessi adalah adik bungsuku yang sekarang berusia 25 tahun.
Papa melipat baju kaos pemberian pihak travel biro dengan tenang. Kulitnya yang coklat dan mulai keriput terlihat mengelus baju kaos itu penuh sayang. Katanya dengan suara perlahan dan wajah tertunduk, "Papa akan minta pada Allah agar anak-anak Papa terkabul semua keinginannya. Yang belum punya rumah dapat membangun rumah, yang ingin menyekolahkan anak sampai tinggi berhasil menyekolahkan anak-anaknya, dan semuanya dapat pergi ke Tanah Suci."
Aku terdiam. Itu aku! Itu semua aku! Aku anak yang belum punya rumah, aku yang bilang ingin menyekolahkan anak-anakku setinggi mungkin. Aku juga yang secara eksplisit mengatakan ingin pergi ke Tanah Suci.
Aku tak menyangka, jawabannya seperti itu. Aku kira Papa akan berdoa agar Yessi cepat dapat jodoh, Papa diberi umur panjang, rejeki melimpah, kesehatan baik, dan doa klise, diberi kesempatan untuk datang lagi ke Tanah Suci. Tapi ternyata, Papa hanya mendoakan kami, anak-anaknya.
Kutahan airmataku. Kutahan gejolak hatiku yang terasa sesak oleh sesuatu. Papa, semoga kami tetap anak-anak kebanggaanmu...Semoga Allah mengabulkan doa-doamu, semoga Allah mencintaimu, seperti engkau mencintai kami anak-anakmu...

Luka

pagi itu, hari Minggu. Aku terburu-buru membersihkan
ikan yang baru saja dibeli dari pasar. Mandi koboy
(artinya asal basah dan disabun alakadarnya) lalu
bergegas pergi ke sebuah mesjid.
kutinggalkan bayiku yang berusia tujuh bulan dengan
Omanya. Dia mencret sejak kemarin. Agak rewel. Karena
itulah aku agak berat meninggalkannya.
Tapi apa boleh buat. Ada tugas memanggil. Dan yang
terpenting, aku berharap akan ada uang sebagaimana
yang telah dijanjikan untuk jasa peliputan ini.
lumayan untuk menambah uang beli obat si kecil.
apalagi ini tanggal tua...
Sesampainya di lokasi, acara belum dimulai. Bahkan aku
harus menunggu sekitar satu jam hingga rombongan
walikota yang akan meresmikan masjid itu datang. aku
sedikit kecewa karena tadi meninggalkan rumah
terburu-buru sehingga masih banyak pekerjaan yang
belum beres.
Aku meliput acara itu hingga selesai. Lalu pulang ke
rumah dengan menyewa sebuah ojek.
ternyata keesokan harinya, saat berita itu sudah
dinaikkan, si teman tidak mau memberikan uang jasa
sebagaimana yang telah disepakati. dengan nada tak
berperasaan ia berkata bahwa tulisan itu tidak bagus.
"Mau bagus bagaimana lagi, la acaranya cuma meresmikan
mesjid kok!" kataku jengkel. Panjang lebar kuterangkan
padanya betapa pengorbananku tidak sedikit demi berita
itu. anak-anak yang harus ditinggalkan ketika
seharusnya ia bersamaku, letih badanku setelah malam
sebelumnya lembur di kantor, melobi penjab halamannya
agar berita itu bisa naik walau sebenarnya tak ada
yang istimewa, bla bla bla...
Persoalannya bukan masalah uangnya. Amat sangat sering
aku meliput sesuatu tanpa imbalan uang. Dan bukan tipeku
pula untuk meliput susuatu hanya karena dijanjikan uang.
Masalahnya, manusia yang bermanis-manis padaku saat minta
tolong itu, berjanji akan membayar jerih payahku itu. Dia berjanji!
Itu yang kupegang. Itu yang aku pegang saat meninggalkan
ikan-ikan yang sedang dibereskan, anak yang sedang mencret,
bahwa kami telah terikat komitmen bahwa aku akan
meliput acara tak penting itu.
Lalu setelah beritanya dimuat, dengan santai dan kurang ajar
ia mengatakan berita itu tidak bagus. Lha, bagaimana mau
bagus, acaranya hanya peresmian masjid, diselubungi
kampanye gelap sebelum waktunya oleh incumbent itu.
tak lebih tak kurang. Aku sungguh-sungguh merasa
terhina. Terhina oleh anak kemarin sore yang sok akrab denganku itu.
Dan saat itu aku berkata dalam hati, perempuan itu berutang padaku
sampai ia bisa melunasinya. Ia berutang! Saat ini aku belum
punya keinginan untuk merelakannya.

Kami bersitegang. Aku tetap meminta hakku sedang ia
bersikeras. Tak ada kesepakatan. Akhirnya kami tak
saling tegur.
Sebulan yang lalu, aku dan suami bermaksud mengadakan
akikah si bungsu, tepat pada bulan
kelahirannya,agustus. semua persiapan sudah beres.
tanggal 4 agustus, aku menghadap bagian keuangan,
'menebalkan muka' memohon pengecualian agar gaji yang
seharusnya kami terima pada tanggal 1 (tapi karena
manajemen perusahaan gak becus makanya kami sering
gajian pada tanggal 10) khusus untukku pada bulan itu
dibayar pada tanggal 4 atau 5 (sebelum tanggal 6 pas
acara akikah yang jatuh pada hari minggu).
"temui Pimpinan perusahaan dulu, nanti kalau sudah
oke, temui saya lagi," kata si 'keuangan' itu.
aku menebalkan muka lagi dan menuruti sarannya.
permintaanku disetujui, tapi bukan gaji penuh,
melainkan dalam bentuk utang dan akan dipotong
langsung ketika terima gaji. aku pikir, tak apalah.
toh aku hanya perlu dana darurat yang tak banyak.
sebenarnya aku perlu uang untuk keperluan mendadak di
dapur, entah itu tissu yang kurang, sabun cuci piring
habis, atau hal-hal sepele semacam itu. karena
sama-sama bekerja, aku malu minta terus sama suami
karena nanti pasti akan panjang ceramahnya...
dengan hati penuh harap, aku masuk lagi ke ruang
'keuangan'. dia sedang ada tamu, karyawan lainnya.
kulihat ia bersandar di kursinya, mulutnya penuh
berisi pisang goreng panas yang memang selalu jadi
favorit karyawan pada sore hari. aku melongok di pintu
dan berkata, "Bang, sudah disetujui..." aku belum
sempat mengatakan saran pimpinan perusahaan, tapi dia
sudah memotong, "Uang yang akan diberikan itu betul
yang tak ada..." mulutnya komat-kamit mengunyah pisang
goreng panas itu sambil mengerluarkan bunyi.
aku tertegun.
tak sanggup berkata-kata, aku kembali ke mejaku.
dadaku penuh. air mata terasa menggenang di pelupuk
mata. tega sekali... setelah ia memberi harapan,
setelah aku menceritakan untuk apa uang itu...ternyata
hanya itu jawabannya.
setelah itu aku menghindarinya. aku muak melihat wajah
tak berperasaan itu. bahkan saat berpapasanpun aku
memilih tak menegurnya.

tapi sebentar lagi Ramadhan...
ada kesadaran baru dalam diriku
aku tak ingin puasaku tak diterima
aku tak ingin KEKASIHKU menolakku
maka kulakukan apa yang selama ini terasa berat
memaafkan mereka...





_______________________________________________