Selasa, 29 Desember 2009

Mama, Lihat Aku!


Tadi siang, saat aku tengah menekuni monitor komputer di ruang kerjaku, tiba-tiba si kecil Tata berkata, "Mama, lihat aku!"

Ia berdiri di samping kiriku, menatapku dengan mata berbinar dan senyum yang manis sekali.
Aku menghentikan pekerjaanku dan menatapnya. Si Keriting itu, berusia tiga setengah tahun, banyak akal, sedikit nakal, penuh rasa ingin tahu.
Senyumnya penuh misteri.

Kami saling bertatapan.

"Ada apa?" tanyaku penasaran.

Ia tak menjawab. Hanya tersenyum. Matanya lekat menatapku. Senyumnya lebar, memperlihatkan gigi susu yang telah lengkap tumbuhnya, putih bersih, rapi dan terawat. Siapa dulu emaknya...

Aku makin penasaran.

Naluri keibuanku mengirim sinyal, ada yang tidak beres. Mungkinkan ini suatu pertanda akan terjadi sesuatu dengan si Keriting Kecil ini? Aku sering mendengar ataupun membaca kisah, orang-orang yang akan meninggal terkadang meninggalkan sinyal-sinyal, namun tidak terperhatikan oleh orang lain.

Saya pernah punya teman, yang sehari sebelum meninggal karena kecelakaan lalu lintas, bercanda kelewat batas hingga temannya marah. Ada istri yang bertengkar hebat dengan suaminya sebelum esok hari meninggal. Ada pula yang meninggalkan kenangan manis, menyalami semua orang, meminta maaf, dan meninggalkan wasiat.

Apakah si Keriting ini akan 'pergi' juga? Oh no, ia masih begitu muda!

Sehari ini ia memang membuatku geram karena bersikeras mandi dengan air hujan yang sengaja ditampungnya dengan baskom besar di halaman depan. Padahal gerimis masih turun.

Tadi pagipun, ia melanjutkan tidur di lantai kamar yang dingin karena diterpa pendingin ruangan semalaman. Ia tak mau beranjak saat kularang.

"Ada apa? Tata kenapa?" tanyaku lagi. Senyumku mulai terasa lain.

"Nggak ada," katanya. Namun ia tetap lekat menatapku, dengan bola matanya yang bulat, hitam dan menyiratkan misteri. Dan senyumnya, terus saja seperti itu.

Ia mengulurkan tangannya, mengusap-usap tubuhku, hal yang biasa ia lakukan sebelum terlelap. Aku makin tak mengerti. Ada apa dengan anak ini?

Mungkinkah akan terjadi sesuatu dengannya? Oh Tuhan, aku takut...

"Tata, ada apa?" tanyaku lagi.

Ia terus tersenyum.

"Masa senyum-senyum terus?"

Ia tersenyum kian lebar. Tata mundur sebelum mengeluarkan pernyataan yang mengagetkanku.

"Tata makan taik hidung!"

"APA?!"

Ia meledak tertawa dan lari menjauhiku.

"Tata... Berapa kali mama bilang, JANGAN MAKAN TAIK HIDUNG. KOTOR!!!"

Catatan dari Seminar Perempuan dan Pilkada

Kamis (24/12) lalu, aku berkesempatan mengikuti Seminar Perempuan dan Pilkada, di Gedung Daerah, Pekanbaru, menampilkan mantan cagub Jawa Timur Khofifah Indarparawansa, Guru Besar Hukum Tata Negara UIR Prof Ellydar Chaidir dan Guru Besar dari UIN Suska Prof Alaidin Koto.
Seminar sehari ini dibuka oleh Ketua Pembina Pusdatin Puanri Hj Septina Primawati Rusli. Dalam sambutannya, Septina mengatakan, seminar ini ditaja dalam rangka peringatan ke-81 Hari Ibu. Sengaja dipilih tema ini karena semakin banyaknya kaum perempuan yang terjun di bidang politik. Seminar ini dipandu oleh Rahmita B Ningsih dari Pusdatin Puanri.
Prof Ellydar Chaidir dalam pemaparannya mengatakan, dari segi hukum, perempuan memiliki hak yang sama untuk tampil di bidang ini. Sayangnya, hegemoni kaum lelaki seringkali menyurutkan langkah mereka. Persaingan yang kadang tak sehat, membuat kaum perempuan tersudutkan. Salah-satu alasan kuat yang sering ditonjolkan adalah larangan dalam Islam untuk mengangkat perempuan sebagai pemimpin.
Ia sendiri, terjegal dari pemilihan rektor di kampusnya, dengan alasan itu. "Saya sampai membuka kembali ingatan saya saat masih sekolah dulu tentang dalil-dalil pelarangan itu. Setelah yakin saya benar, saya mengajak mereka yang menolak pencalonan saya untuk debat publik, tapi tak ada yang mau," cerita Ellydar.
Penjegalan juga dialami mantan calon gubernur Jawa Timur Khofifah Indarparawansa. Menurutnya, berbagai trik, kecurangan dan black campaigne digelar untuk menjatuhkannya. Walaupun mendapat dukungan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil, namun saat pemilihan berlangsung, Khofifah kalah.
"Berbagai kecurangan telah kami laporkan kepada yang berwajib. Misalnya, pemilih anak-anak mencoblos sampai tujuh kami di TPS berbeda, pengurangan jumlah suara dan sebagainya. Namun laporan kami yang kedua ke Mahkamah Konstitusi tidak diregister. Itu artinya laporan kami tidak diproses," tegas Khofifah. Hal ini diulanginya sampai beberapa kali.
Khofifah mengingatkan para perempuan yang akan tampil di kancah politik untuk menyiapkan modal moril dan materil. Dikatakannya, perempuan seringkali tak memiliki hak menggunakan hartanya untuk membiayai perjalanan menuju panggung politik.
Berbeda dengan laki-laki, bisa menggadaikan rumah, kendaraan dan sebagainya, walaupun itu merupakan harta bersama. Sementara perempuan tidak dapat seleluasa itu. Oleh sebab itu dukungan keluarga dan pihak-pihak lain haruslah sangat kuat agar perempuan dapat tampil percaya diri di panggung politik.
Sementara itu, Prof Alaidin Koto lebih banyak memaparkan tentang sejarah kaum perempuan yang sejak awal memang sudah disepelekan. Ia terkadang dianggap sebagai benda, harta warisan yang dapat diwariskan, bahkan diperjualbelikan oleh suaminya dengan harga yang sangat murah.
Dengan perkembangan zaman, keberadaan perempuan semakin dihargai. Perubahan menyolok terjadi setelah Islam ada yang meninggikan derajat kaum perempuan.
Alaidin juga mengatakan bahwa dalil yang melarang perempuan dijadikan pemimpin haruslah melihat konteksnya. "Dalam sejarah, Khalifah Ustman bin Affan bahkan pernah mengangkat perempuan sebagai kepala dinas pasar. Sebagaimana kita ketahui, pasar itu kan dipenuhi oleh orang-orang 'bagak' dan khalifah Ustman tak ragu memilih perempuan. Ini menandakan, perempuan juga dapat menjadi pemimpin," katanya.
Bila ada perempuan yang merasa terjegal oleh kaum pria, menurut Alaidin, bisa jadi bukan karena persaingan gender, namun lebih dari perkara kalah menang. Tak peduli laki-laki atau perempuan, orang cenderung ingin mengalahkan lawan-lawannya.

Sungguh tak terbayangkan bila aku terjun ke dunia yang satu itu... Semoga tidak...

Menikmati Kayong Utara, Menyeberangi Dumai-Rupat


Sudah lama saya ingin pergi ke Pulau Rupat, sebuah pulau eksotis di Kabupaten Bengkalis berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Pemandangan pantai pasir putih Tanjung Lampin yang konon menghampar luas sepanjang 8 km,sungguh menggiurkan untuk dikunjungi. Namun saya tak punya kesempatan untuk pergi ke sana, bila tak dikhususkan betul.
Jatah libur 2009 ini sudah habis disikat, Juli lalu, bertepatan dengan penugasan liputan ke Kabupaten Ekspo di Jakarta Convention Centre dari majalah tempat saya nyambi kerja sekali sepekan. Setelah itu, mendadak kami harus pindah ke rumah baru yang diidam-idamkan selama sembilan tahun ini. Jadi liburan itu diisi dengan mengangkat barang-barang pindahan dan beres-beres di rumah baru. nanti saya ceritakan kondisi rumah itu di bagian lain...
jadi intinya, tak ada lagi jatah libur dari kantor tahun ini. Tapi saya harus pergi ke sana, karena ada moment peresmian kapal roll on roll off Dumai-Tanjungkapal, Rupat yang berlaku tiap hari. Ini alasan tepat untuk dicoba.
Maka kami sekeluargapun menyusun rencana. Jauh-jauh hari si Abang sudah diwanti-wanti untuk tidak membuat jadwal keluar kota pas hari keberangkatan kami. Lira juga disuruh minta izin sama guru sekolah, MDA dan les-nya, bahwa pada hari itu, ia tidak masuk. Syukur alhamdulillah, semua memberi izin. Sekolah umumnya belum ujian, demikian pula MDA. Jadi aman untuk berangkat.
Jumat malam, saya masih bekerja hingga pukul setengah dua belas malam. Tak bisa diburu agar lebih cepat karena halaman Siak yang saya pegang, baru dikerjakan pada sesi tiga. Itu artinya, baru dikerjakan sekitar pukul setengah sepuluh malam. Apa boleh buat, dijalani saja. Toh selama ini, rutinitas ini berjalan biasa saja. Dan saya masih bisa bangun pagi untuk Shalat Subuh tepat waktu, berikut shalat sunatnya dan zikir-zikir panjangnya...
jadi, bangun pagi itu, anak-anak yang sudah disiapkan mental dan fisiknya sedari malam, bangun dengan gembira. tak perlu mandi karena hari masih terlalu pagi. saya katakan, nanti saja mandinya di Dumai. Kami sudah pasti harus menginap karena perjalanan ke Dumai memakan waktu sekitar lima jam.
Saya bangun dengan mata tak dapat dibuka pagi itu. Sakit mata. Ketularan si Lira, lalu adiknya dan sekarang giliran saya, dua minggu setelah keduanya sembuh. Dengan mata tertutup, saya berjalan sambil meraba-raba ke kamar mandi. Di bawah tangga, saya mengambil secuil kapas lalu terus ke kamar mandi. Mata masih belum dapat dibuka. Kotorannya luar biasa banyak dan lengket.
Di kamar mandi, saya membasahkan kapas dengan air lalu mengusap perlahan mata yang penuh kotoran itu. lalu membukalah ia keduanya. saya liat di kaca, astaga... alangkah merah dan bengkaknya!
"Air kencing pagi obatnya," kata si Abang beberapa hari lalu. Kakakku bilang, ia baru sembuh juga dari sakit mata. Anaknya si Intan, mencoba resep tradisional itu dan sembuh dalam beberapa hari. hanya sehari yang parah betul, sementara kakakku yang agak jijik, menderita beberapa hari yang menyedihkan dengan mata memalukan itu.
Maka akupun memberanikan diri mengambil setetes dua air kencing pertama pagi itu dan meneteskannya dengan cottonbud ke kedua mataku. Rasanya perih sekali. Aku usahakan, tidak terlalu banyak air kencing itu yang diteteskan karena tetap saja aku merasa itu najis dan jangan sampai turun ke tenggorokan..
Sekitar pukul tujuh pagi, dengan anak-anak yang sudah siap di dalam mobil, aku dengan kaca mata hitam, berangkat ke Dumai.
Perjalanan tidak begitu menyenangkan karena aku berusaha untuk memejamkan mata selama perjalanan. Alangkah tidak enaknya mengadakan perjalanan dalam kondisi badan tidak fit itu. Tapi apa boleh buat, harus aku lakukan karena tidak ada lagi waktuku untuk menundanya. Tulisan dan foto-foto perjalanan itu ditunggu untuk edisi Desember.
Sampai di Duri, Lira berkata bahwa tas pakaiannya yang berisi aneka baju dan buku-buku bacaan, tertinggal di rumah. Aku kira dia main-main, ternyata tidak. Beruntung adiknya membawa baju dan celana dalam beberapa lembar sehingga si kakak bisa meminjam.

Siang itu, sekitar pukul setengah satu, kami sampai di pelabuhan roro Dumai. Sayang roronya sedang diperbaiki hari itu sehingga kami harus menunggu hingga besok pagi. Beruntung kami membawa bekal makan siang berupa nasi dan dendeng dari daging kurban yang dikirim ibuku dari Padang. Hm... alangkah nikmat dendeng buatan Ibu...

Kami menginap di hotel. Si Permata merengek sedih karena tak bisa tidur aku keloni. Ia biasanya tidur di lenganku sambil diusap-usap kulitnya, entah itu lengan, kaki, atau wajah, sampai tertidur. Aku malah demam malam harinya. Untung keesokan paginya sembuh sendiri. Tapi pengobatan tradisional dengan air kencing tetap kulakukan...

inilah catatan perjalanan itu...
Minggu 6 Desember lalu, saya mencoba roro penyeberangan Kayong Utara dari Dumai ke Pulau Rupat. Berjarak sekitar sepekan dari peresmiannya oleh Wakil Gubernur Riau HR Mambang Mit, hari itu Kayong Utara melayani warga yang antusias hendak menyeberang ke Pulau Rupat.
Udara terasa sejuk pagi itu. Matahari bersinar di balik awan. Tertera di dinding Kantor Dinas Perhubungan Dumai, di pelabuhan roro, tepatnya di samping Terminal Agro itu, jadwal penyeberangan dari Dumai menuju Rupat diawali pukul 06.30 WIB. Namun pagi itu keberangkatan pertama terpaksa ditunda karena pasang belum lagi naik. Roro itu tak bisa masuk ke pelabuhan.
Begitu pasang naik, roro itu segera menuju pelabuhan dan para penumpang satu demi satu menaiki kapal itu. Penumpang roro sangat beragam. Pedagang harian, pedagang kue, pencari burung, guru, masyarakat biasa, dan sebagainya.
Pemandangan menarik terlihat di dek kapal itu. Sepeda motor dengan keranjang rotan di bagian belakangnya, berderet rapi dengan kepala menghadap ke depan. Siap untuk turun ketika kelak sampai di Dermaga Tanjung Kapal, Rupat.
Pagi itu penumpang lebih banyak pedagang kecil yang mencari bahan mentah di Rupat yang memang masih banyak hutannya. Ada pula pedagang kecil yang akan berjualan ke Rupat, seperti seorang pedagang roti yang pagi itu, juga melayani sesama penumpang yang belum sempat sarapan.
Selain para pedagang kecil yang merasa sangat terbantu dengan adanya roro ini, masih ada warga lain yang juga merasa gembira dengan pengoperasian Kayong Utara. Di antara penumpang itu, terdapat pula guru, pemikat burung, warga biasa, dan sebagainya.
Syaiful, seorang pemikat burung, selalu ulang-alik Dumai-Rupat, tiga kali sepekan. Di Rupat, ia mengontrak rumah bersama keluarganya. Kerjanya memikat burung untuk kemudian dijual di Dumai. Pagi itu, akan pergi ke Rupat untuk melaksanakan pekerjaannya.
Syaiful mengatakan, Kayong Utara sangat meringankan masyarakat kecil seperti dirinya. Sebelumnya, ia harus mengeluarkan biaya Rp20 ribu untuk menyeberang dengan pompong ke Rupat. Sekarang, ia dapat menyeberang dengan aman dan gratis pula.
Pemprov Riau memang belum mengenakan ongkos bagi para penumpang roro itu. Namun dalam waktu dekat, ongkos ini akan dibelakukan juga, mengingat tingginya antusias warga menggunakan roro ini.
"Saya dengar memang akan ada ongkosnya nanti. Mungkin tak lama lagi. Tapi masih terjangkau kok, karena kabarnya hanya Rp13 ribu untuk sepeda motor berikut orangnya. Dulu naik pompong malah sampai Rp20 ribu," kata Syaiful.
Pagi itu, penyeberangan pertama dimulai pukul 08.22 WIB. Penumpang sebagian naik ke lantai dua kapal untuk menyaksikan pemandangan dan menikmati angin laut. Bangku-bangku panjang yang dibuat menempel ke dinding kapal dan berbentuk letter U, dapat menampung sekitar tiga puluh penumpang.
Sebagian penumpang memilih tetap berdiri di dek sambil menikmati angin. Penyeberangan hanya berlangsung lebih kurang 35 menit, dari Dumai ke Tanjung Kapal, Rupat. Jadi tak terlalu lama. Selama perjalanan, orang-orang bercengkerama sesama mereka.
Roro Kayong Utara itu merupakan aset Pemprov Riau. Dikatakan Kepala Dinas Perhubungan Bengkali Joni Syafrizal, baru-baru ini, roro itu termasuk jensi lands craft tank (LCT) yang dapat menampung tak hanya kendaraan roda dua, melainkan juga beberapa unit mobil.

Dikatakannya, pengoperasian roro ini seiring dengan telah selesainya pembangunan dermaga atau pelabuhan kapal, baik di Dumai maupun Tanjung Kapal.

Dengan dioperasikannya pelabuhan serta kapal roro jenis LCT tersebut, sarana transportasi masyarakat antar pulau dapat dilayani dengan maksimal, terutama bagi mereka yang memiliki kendaraan dengan tujuan Kota Dumai. Di samping itu, seluruh infrastruktur pendukung juga terus dibenahi untuk mendukung operasional pelabuhan dan kapal roro.

“Mudah-mudahan dengan beroperasinya roro LCT nantinya, akses perhubungan antar pulau semakin bergairah dan masyarakat dapat memanfaatkannya semaksimal mungkin,” tutup Joni.

Saat libur Idul Adha yang lalu, Kayong Utara benar-benar menjadi idola. Berita tentang keberadaannya telah memancing rasa ingin tahu banyak orang. Tak sedikit warga Pekanbaru yang sengaja datang ke Dumai untuk mencoba roro ini. Kayong Utara memang spesial, karena ia dapat memuat mobil, sehingga orang dapat berjalan-jalan di Rupat untuk kemudian sore kembali ke Dumai.
“Pelayaran roro LCT itu disambut antusias warga, baik yang ada di Rupat maupun di Dumai. Khusus untuk warga Rupat, mereka tidak hanya berasal dari Kecamatan Rupat, tapi juga dari Kecamatan Rupat Utara. Dengan adanya penyeberangan ini, warga bisa balik hari kalau ke Kota Dumai,” terang Joni.

Minggu (29/11) lalu, puluhan kendaraan roda dua malah tidak bisa balik ke Kota Dumai karena penuh. Akibatnya, warga Dumai tersebut terpaksa bermalam di rumah-rumah penduduk di Kelurahan Tanjung Kapal maupun Batu Panjang.

Saat ini, jembatan penghubung Rupat dengan Rupat Utara, sedang dalam tahap pengerjaan. Bila jembatan ini siap dan jalan-jalan telah diaspal mulus, maka arus wisatawan dari Riau Daratan menuju Rupat Utara yang eksotis dengan pantai Tanjung Lampinnya yang berpasir putih, diperkirakan akan membludak. Duuuh.. jadi tak sabar....***

Astaga, di Riau Masih ada Bocak Bergizi Buruk?

Saya kaget membaca berita bahwa di Siak, ditemukan seorang bocah penderita gizi buruk. Siak, negeri para raja, negeri yang kaya oleh sumber daya alam, terkenal karena ketinggian budayanya, ternyata masih memiliki bocah penderita gizi buruk.
Bunga Dewi Lestari (1), nama bocah itu, beratnya hanya lebih kurang 4 kg. Tubuhnya lemas, kulitnya mengelupas dan rambutnya rontok. Bapaknya seorang buruh sedang ibunya berdagang keci-kecilan di pinggir minyak pipa BOB.

Dalam imajinasi saya, sebuah kartun yang menarik langsung muncul. Seorang wanita menjajakan barang remeh temeh di samping pipa yang mengalirkan dollar dari pekarangan rumahnya sendiri. Ia hanya menjadi penonton,
Akibat kondisi tubuhnya yang memprihatinkan itu, iapun dirujuk ke RSUD Siak. Setelah diekspos media, banyak kalangan yang merasa kebakaran jenggot. Salah satunya Kadis Kesehatan Siak. Menurutnya, pihaknya sudah melakukan upaya-upaya penyelamatan terhadap Bunga, namun memang kesadaran orang tuanya yang kurang, sehingga Bunga mengalami nasib senestapa itu.

Selain Kadis Kesehatan Siak Budiman Shafari, yang merasa kena tinju telak di wajahnya oleh bocah kecil kurus itu, ada lagi yang merasa kesal, yaitu Hj Nuraini OK Fauzi, Ketua Aliansi Pita Putih Indonesia (APPI) Kabupaten Siak. Kasus Bunga juga sebuah tamparan ke wajahnya karena ini seolah merontokkan kesuksesan program tambahan makanan dan gizi yang dijalankannya di Siak.
Menurutnya sudah cukup banyak program tambahan makanan dan gizi yang dilakukan pemerintah untuk membantu balita di Indonesia, termasuk di Siak. Harusnya kasus ini tak terjadi lagi.

Mungkin memang Rodiah, ibu Bunga, yang kurang telaten mengurusi anaknya, karena desakan ekonomi. Mungkin memang ia lebih mengutamakan mencari uang daripada memberikan makanan bergizi untuk bayinya. Di kampung-kampung, terkadang orang-orang memang masih bertahan pada pemikiran lama yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Makan banyak lebih penting daripada makan berkualitas. Makan sepiring nasi walau hanya dengan garam, sudah membanggakan orang tua ketimbang makan sedikit tapi dengan asupan gizi yang lengkap.

Mungkin pola pikir semacam itu yang harus kita ubah. Makanan bergizi tak selalu mahal. Bayam, kangkung, telur, ikan, sebenarnya dapat diperoleh dengan mudah dan tanpa biaya, asal kita mau sedikit berusaha. Bayam misalnya, hanya dengan menyerakkan bijinya di sembarang tempat, dapat tumbuh sedemikian. Dipupuk dengan air tajin, darah sisa ikan, juga jadi. Ikan dapat ditangkap di kolam atau sungai. Telur mengandung zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Jadi, apa yang susah?
Pemikiran bahwa makan banyak lebih baik ketimbang makan sedikit tapi lengkap asupan gizinya, harus diubah. Memang bukan kerja ringan, tapi bila kita mau berusaha, insya Allah, akan dimudahkan. Selamat mengubah pola pikir masyarakat, para pemimpin Siak...

Lebaran dalam Keprihatinan

Lebaran dalam Keprihatinan

Lebaran kali ini terasa lain. Berat. Ramadan saja diisi dengan agenda lampu mati setiap hari, paling tidak tiga jam. Pernah juga kami berbuka puasa dalam gelap, karena pukul enam sore, saat nasi telah terhidang, teh panas sudah menerbitkan air liur dan kami sekeluarga bersuka cita, tiba-tiba dus! Gelap gulita seketika. Listrik mati!

Lebaran pun dijanjikan PLN tak akan bebas dari mati lampu. Dengan alasan blablabla... intinya, jangan harap Lebaran bebas dari mati lampu. Anehnya, untuk Munas Golkar nanti, listrik dijamin tidak akan mati. Hebat kan?

Terlepas dari itu semua, suasana menyambut Lebaran terasa dimana-mana. Rumah-rumah direnovasi atau paling tidak dicat ulang, perabot diganti, baju baru dan kue-kue, adalah hal-hal yang lazim dilakukan orang menjelang Lebaran tiba.

Agaknya telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia untuk merayakan Lebaran lebih dari hari raya lainnya. Persiapannya butuh setahun penuh, dimulai sejak Lebaran sebelumnya dan berakhir pada Lebaran berikutnya. Orang-orang mengumpulkan uang agar dapat memberikan suasana dan nuansa baru saat hari nan fitri itu datang.

Namun tahun ini, seiring badai krisis yang mengglobal, agaknya kita perlu menahan diri, lebih dari yang sudah-sudah. Demikian pedihnya penderitaan, sampai-sampai orang menipu untuk mendapatkan uang. Daging glonggongan dan ayam tiren, muncul di pasaran. Aksi perampokan juga tak kalah ganasnya. Semua hal itu rasanya tak pernah kita dengar lima tahun silam.

Kitapun sering disuguhkan televisi pemandangan orang-orang marjinal yang memakan nasi basi, nasi bercampur pasir atau nasi bercampur jagung, sama seperti zaman revolusi, berpuluh tahun yang dulu. Sungguh miris hati ini melihatnya. Sementara kita yang punya sedikit harta berlebih, masih saja bernafsu membeli pakaian baru di butik-butik mahal.

Pengamat ekonomi mengatakan krisis global belum akan usai hingga beberapa waktu ke depan. Kita perlu mewaspadainya. Seperti kata sahabat saya, pada saat sekarang ini, lebih bijak bila kita menyimpan uang daripada membelanjakannya. Simpan untuk masa-masa sulit yang masih membayang di depan mata, agar kita tak perlu berhutang, atau terpaksa memakan nasi basi untuk bertahan hidup.

Jadi, tak perlulah malu bila Lebaran kali ini kita masih saja memakai pakaian yang sama dengan sebelumnya. Itu tak terlalu penting, karena hati yang suci, jauh lebih berharga. Minal aidin wal faizin... Selamat Idul Fitri
Marhaban Ya Ramadhan..

Besok sudah Ramadhan. Si sulung gembira karena tak masuk sekolah sebulan lebih. Sudah dirancangnya berbagai kegiatan yang akan dilakukan sepanjang Ramadhan ini, seperti pergi ke Perpustakaan Soeman HS, Shalat Tarawih di Masjid An Nur, main dengan adiknya, dan mencari makan untuk buka di pasar-pasar kaget.
Memang itu selalu ritualnya kalau Ramadhan tiba. Walau sudah kelas tiga, ia ternyata masih diliburkan. Tak ada aktivitas apapun untuknya yang diwajibkan pihak sekolah.
Berbeda dengan sepupunya di provinsi sebelah, yang diwajibkan untuk ikut Pesantren Ramadhan selama beberapa pekan dalam Bulan Puasa ini. Selain mengikuti Pesantren Ramadhan, ia harus pula mengikuti khotbah di masjid dan menuliskannya.
Si Sulung ingin pula seperti itu. Apalagi setelah saya bercerita, pengalaman masa kecil dulu, ramai-ramai mencatat khotbah di masjid. Cerita itu tentu saja dibumbui dengan kenakalan-kenakalan saya zaman 'jahiliyah' dulu yang membuat ia tertawa geli.
Dulu saat ia masih kelas dua, saya katakan, mungkin nanti setelah kelas tiga, gurunya akan menugaskan ia mencatat khotbah selama Ramadhan ini. Tapi ternyata tidak ada sama sekali. Demikian pula dengan hafalan surat-surat pendek, nol.
Bagaimana dengan TPA? Libur total, tanpa ada beban tugas yang harus dikerjakan para siswa sepanjang Ramadhan ini. Justru di bulan dimana Allah melipatgandakan pahala orang-orang yang melakukan amal saleh, TPA diliburkan. Justru di bulan dimana orang beramai-ramai mendatangi masjid, anak-anak disingkirkan.
Saya kecewa, karena si Sulung tak merasakan perbedaan antara libur Ramadhan dengan libur panjang usai kenaikan kelas. Tak ada istimewanya. Kondisi ini sangat berbeda dengan zaman saya kecil dulu. Libur Ramadhan sungguh menyenangkan, karena hari-hari diisi dengan berbagai kegiatan keagamaan, mulai dari mengaji bersama, meramaikan masjid, mendengarkan kisah-kisah Nabi, dan tentu saja, berbuka bersama para anak yatim dan teman-teman.
Apakah memang seperti inilah tuntutan zaman sekarang? Apakah terlalu dini mengajarkan anak-anak indahnya Ramadhan pada siswa kelas tiga SD? Lalu kapankah waktu yang tepat itu? Saya bertanya dan menunggu jawabannya.

Kisah-kisah Tragis pada Gempa Sumbar

Berbagai peristiwa tragis mewarnai gempa 7,6 SR yang melanda Padang dan sekitarnya, 30 September lalu. Beberapa mendirikan bulu kuduk, sisanya membuat hati terasa perih.
Siang keramat itu, seorang ibu marah-marah pada anak lelakinya yang sudah beberapa hari bolos les ke LBA-LIA di Jalan Khatib Sulaiman, Padang. Geram dengan ulah si anak yang seolah tak peduli dengan masa depannya, ia mengantarkan sendiri si anak ke tempat lesnya.
Saat ibu itu masih berada di jalan yang sama sepulang mengantar anaknya, gempa hebat itu mengguncang. Si anak terkubur hidup-hidup. Si Ibu konon tak dapat bicara hingga hari ini.

Seorang suami, mengantarkan istrinya ke kantornya sebuah dealer mobil di Jalan Proklamasi. Sore itu istrinya akan memberikan surat cuti melahirkan, karena kandungannya sudah demikian berat. Tinggal menunggu hari.
Sang suami menunggu di halaman, tak turun dari sepeda motornya. Lalu gempa datang tanpa aba-aba. Ia melihat istrinya berlari ke luar, dalam jarak beberapa meter dari dirinya. Suami itu mengejar, mencoba menyelamatkan dua nyawa berharga miliknya itu. Tapi ia kalah cepat dengan kekuatan alam. Istrinya tewas tertimpa bangunan. Sementara tangan si bayi, terulur keluar dari robekan di perut ibunya.
Pemilik LBA-LIA itu sendiri, hari itu tergerak hatinya untuk mengantarkan sang istri mengajar ke lembaga itu. Itulah kali pertama ia mengantarkan istrinya mengajar. Namun kiranya itu benar-benar pengalaman sekali seumur hidup karena saat pergi meninggalkan tempat les itu, bumi berguncang. Istrinya tertimpun reruntuhan. Bangunan tiga lantai yang semula megah, kini tinggal dua lantai. Lantai pertama telah tenggelam ke perut bumi, menyisakan dua lantai di atasnya.
Itu hanya segelintir kisah tragis yang dialami warga Padang. Masih banyak kisah lainnya yang membuat perasaan terasa nelangsa. Kiamat bagi mereka sudah datang. Sebagian yang siap dengan bekalnya, tentu tak risau. Mati dalam keadaan apapun, bukan masalah, karena itu hanya proses. Hal yang lebih penting adalah bagaimana kita menghadapinya.
Bagaimana dengan kita, yang selamat, yang setiap hari melangkah dengan pasti menuju ke kematian kita? Sudah siapkah kita? Melihat kemaksiatan dan hukum Tuhan dilanggar di sekeliling kita, dapatkah kita membayangkan, azab apa yang sedang dirancang Allah untuk kita?