Senin, 12 Juli 2010

Hari Pertama Sekolah


Ini adalah hari pertama sekolah, baik untuk si Rara yang mulai mengenakan jilbab dan si Tata yang masuk TK. Sejak tadi malam, ketika pukul sembilan aku masuk ke kamar dan melihat keduanya masih ketawa-ketiwi, kalimat ancaman sudah diproklamirkan: Besok pagi mama akan membangunkan sekali saja. Bangun atau tidak, terserah. Kalau bangun, bagus, bisa pergi sekolah pukul tujuh, sedang kalau terus tidur, dipersilakan tidur sampai siang.
Mereka tahu aku tidak main-main dan itu bukan gertakan. Sepuluh menit kemudian, keduanya sudah 'bergelimpangan' di kasur dalam keadaan tidur pulas.
Pukul setengah enam, aku membangunkan mereka. Rara langsung berdiri, menyucikan diri dan salat Subuh. Si Tata merengek, "Mata Tata ni nggak bisa dibuka Ma..."
Aku oleskan air wudhu' ku ke kedua matanya hingga ia terbangun. Kalau Rara dengan cepat selesai mandi dan mengenakan pakaian, Tata perlu waktu setengah jam di kamar mandi. Begitu keluar, eh, dia lupa gosok gigi, sehingga terpaksa balik lagi.
Perlu kita pertanyakan, ngapain dia selama itu? Banyak penyebab, Saudara-saudara, pertama, ia mengaku harus BAB dulu, (entah berhasil atau tidak, aku lupa mengecek), kemudian, ia mengaku airnya terlalu dingin sehingga ia menggigil. Ia juga bertanya, bagaimana caranya membuat air bak itu supaya panas.
"Ah, tak ada dingin do! Kamu cepat-cepat aja siram badannya, dua gayung di kepala, dua gayung di badan, lalu cepat kasi sampo, sabun, terus siram lagi, nanti tak akan dingin lagi," kataku.
Ia tak percaya. Kutinggalkan untuk mengemasi ayam goreng bumbu kesukaan mereka. Begitu ayamnya matang, anak-anak sudah siap. Si Tata masih harus disuapi (kalau kita
masih ingin melihat rumah bersih dari remah nasi) sedang Rara bisa makan sendiri. Setelah itu, kami bersiap-siap pergi ke sekolah.
Pertama-tama, si Rara dulu yang diantar ke sekolahnya. Aku ingatkan dia untuk segera menelpon begitu jam pelajarannya usia. Lalu segera meluncur ke sekolah Tata yang sedikit lebih jauh.
Begitu memasuki halaman sekolah, ia protes, "Tu ma, semua orang pakai jilbab, Tata kok enggak?"
Merasa bersalah, cepat-cepat kami keluar dari halaman sekolah. Maksudnya mau
membeli jilbab dulu di sebuah toko pakaian muslim di dekat situ. Ternyata pukul tujuh itu si toko belum buka.
"Nanti kalau ditanya sama ibu guru, bilang saja rambut Tata basah, jadi tidak pakai jilbab, wokeh?"
Ia setuju.
Kami berkeliling mencari kelasnya dan ternyata ia berada di Kelas B3. Guru kelasnya masih muda dengan bedak tebal dan terlihat berminyak. Dengan ramah ia menyapa Tata dan menyalaminya. Tata menjawab dengan berani setiap pertanyaan yang diajukan gurunya.
Karena masih pagi, Tata bermain dulu di ayunan. Saat itulah papanya datang sehingga aku segera meluncur pergi karena ada liputan pagi ini di tempat lain.
Ketika balik lagi sekitar pukul sepuluh, kulihat Tata duduk bersila di lantai kelas, bersama murid-murid baru lainnya, di deret nomor dua. Ia menengadah dan fokus pada gurunya.
Mereka baru saja selesai makan dan akan segera pulang. Aku bangga melihat si Tata yang berani begitu. Rasanya dadaku mau meledak karena bahagia.
Di rumah, aku teringat sesuatu.
"Ta, tadi di sekolah dikasi kue apa sama ibu gurunya?"
"Gak ada."
Aku langsung su'udzon, selagi anak-anak lain makan bekal, anakku cuma minum air putih! Kasihan dia. Ternyata aku masih belum sempurnya menyiapkan hari pertama sekolah ini. Buktinya, bekal makanannya lupa, jilbabnya juga lupa.
"Jadi, tadi Tata makan apa waktu kawan-kawan Tata makan?" (sambil menahan air mata penyesalan).
"Lontong."
WHAT??? Air mata menguap entah kemana. Mulut menganga.
"Katanya gak ada? Taunya makan lontong, gimana sih?"
"Mama tanyanya kan kue, lontong kan bukan kue..."
Gubrakkk!!!

Rabu, 07 Juli 2010

Telah Dibuka: Salon Rara

Hm...terasa lebih fresh setelah dipijat di Salon Rara...

Aku sedang membaca dwilogi Padang Bulan-nya Andrea Hirata. Sudah sejak pagi aku membaca dengan berbagai posisi; telungkup, duduk di kasur, di lantai, di kursi dan tidur miring hingga tertidur beneran. Wajar kalau punggungku terasa sangat sakit. Punggung kiriku memang sedikit bermasalah. Duduk tak bersandar terlalu lama, punggung itu terasa nyeri.

Rara dan Tata bermain di lantai atas. Sesekali si Tata turun. Berlari-lari di dalam rumah cuma pakai sempak doang, itu anak sudah mirip tuyul keriting.

"Eit, ngapain lari-lari gak pakai baju? Berdosa tuh, nampak auratnya!" tegurku saat ia 'tertangkap kamera'.

"Tata lagi perawatan Ma."

Halah! Perawatan! Seperti di salon saja.

"Perawatan? Perawatan apa?"

"Perawatan. Masa Mama gak tau? Kayak di salon itu tuu... Tata lagi perawatan sama Kakak!" lalu lari lagi ke lantai atas.

Rara turun sambil senyum-senyum.

"Mama mau perawatan juga? Rara buka salon. Ada macam-macam perawatan, seperti urut kepala, punggung, tangan, kaki, cari ketombe (oh, dia membuka aibku!), pokoknya macam-macam deh. Bayarnya murah lo Ma, tiga ribu saja... eh, dua ribu deh!"

Aku: sepele...

"Ayolah Ma, nanti Rara urutkan punggung Mama yang sakit itu pakai handbody," dia merayu.

"Iyalah, sebentar saja ya! Tapi bayarnya gak bisa kurang tu Buk?"

"Hm...bisalah sedikit, Mama dikasi diskon."

Aku naik. Tidur telungkup di kasur tipis itu. Rara mengoleskan handbody di punggungku dan mulai memijat. Tentulah kekuatan tangan anak usia 9 tahun dan masih sangat amatir di bidang urut mengurut ini, tak sama dengan kekuatan dan daya sembuh tangan seorang tukang pijat berlisensi, keluaran panji pijat khusus tuna netra.

 Paling tidak, tak sama dengan tukang urut langgananku di ujung jalan sana, yang buka dari pagi sampai malam. Walau urutnya tak sampai satu jam (mungkin hanya lebih kurang 20 menit saja), tapi sungguh nikmat.

Semua tulang terkilir, salah urat, anak flu yang tak sembuh hingga sebulan, selesai sama tukang urut idolaku itu. Yang menarik, dia tak menetapkan tarif. Sama seperti kebanyakan tukang urut tanpa ijazah dan hanya mengandalkan iklan gratis dari mulut ke mulut, tarifnya 'seikhlasnya' saja.

Rara mengurut sesuai instruksiku. Ia menerapkan dengan penuh komitmen 'Tamu adalah Raja'. Aku suruh urut di bagian kiri, ia menurut. Aku minta diurut dengan jempol yang ditekankan di sepanjang tulang belikat, ia patuh.

Dan ketika akhirnya aku bangkit, subhanallah... nyeri di punggungku sangat jauh berkurang. Selama beberapa menit ke depan, tak kurasakan lagi kenyerian itu sehingga aku bisa duduk di depan komputer, mengerjakan kembali tugas-tugasku dengan nyaman.

Aku jadi berpikir ulang, sebenarnya dimanakah bakat anak ini yang paling menonjol? Ketika menjadi guru bagi adiknya (si Tata bahkan diberi PR, ujian dan rapor dengan beberapa nilai yang harus diremedial), ia dipuji neneknya. Katanya Rara punya bakat jadi guru. Ia punya kesabaran seorang guru (sesuatu yang kumiliki dalam kadar yang agak 'sedikit' ;D).

Ketika menjual permen hadiah dari Mak Uwo -nya ke teman-teman sekelasnya, ia sukses pula hingga aku merasa ia berbakat untuk menjadi seorang pedagang. Sekarang, ia pintar pula memijat. Mungkinkah ia juga punya bakat menjadi tukang pijat? Entahlah...

Kamis, 01 Juli 2010

Menunaikan Sebuah Janji


Aku sedang menyetrika saat Lira mendatangiku, kemarin Rabu (1/7) pagi sekitar pukul sembilan.
"Mama bilang, kalau Rara sudah kelas empat, Mama akan cerita mengapa Mama tidak shalat," katanya.
Aku langsung teringat janjiku. Ya, setiap kali haid dan ia melihatku tidak shalat, ia
bertanya, mengapa. Kujawab, aku dilarang Allah. Tentu ini jawaban yang menuntut pertanyaan berikutnya, mengapa aku mendapatkan hak istimewa itu.
"Seorang perempuan, bila ia telah dewasa, boleh tidak shalat pada saat-saat tertentu. Rara juga akan mendapatkan hak istimewa itu bila sudah dewasa kelak," kataku.
Ia masih belum puas. Aku merasa ia belum cukup umur untuk mendengarkan lebih jauh soal haid. Dan mengingat dulu aku mendapatkan tamu itu pada kelas IV SD (iya, semuda itu! Dan tak tahu apa-apa), maka aku berjanji akan memberitahukannya saat ia naik kelas IV.
Kini tibalah masanya.
Aku menyiapkan diri sebaik mungkin. Berusaha tenang agar ia tidak khawatir seperti aku dulu yang ketakutan sampai tak bisa tidur. Sebagai anak usia 10 tahun, sekilas aku tahu wanita yang sedang haid tidak boleh shalat, tapi karena dituntut harus tetap shalat dan ibuku belum tahu soal haid pertama itu, maka aku pura-pura shalat. Adik lelakiku yang ditugaskan mengintai, melihatku memang shalat, tapi aku tak kalah cerdik. Supaya shalatnya tak diterima, aku tak berwudhu. Sekarang kalau diingat lagi, alangkah naifnya aku dulu...
Back to te focus...
Hari ini, bersejarah bagi kami berdua. Pengalaman buruk karena menyembunyikan haid hingga bulan berikutnya, tak ingin terulang lagi pada si buah hati. Tapi penyampaiannya haruslah elegan, tidak membuat ngeri, karena ini adalah persoalan paling sejati untuk seorang wanita. Tak ada yang perlu dicemaskan.
Jadi kukatakan, "Seorang wanita, apabila dia sudah dewasa, maka akan keluar darah dari 'veggy' (memang aku biasakan dia menyebut veggy)nya. Waktunya bisa memakan empat sampai delapan hari. Selama itu pula, seorang wanita tidak boleh shalat atau menyentuh Al Quran. Darah itu disebut darah haid atau menstruasi. Apabila sudah habis, kita harus bersuci dulu, yaitu mandi dengan membasahi seluruh tubuh dan kepala, baru boleh shalat setelah itu."
Ia memperhatikanku dengan mata tak berkedip. Aku menahan napas, menunggu pertanyaannya.
"Apakah kita tidak bisa menahannya seperti pipis?"
Alhamdulillah...pertanyaannya itu!!!
"Tidak, darah haid keluar setetes demi setetes, karena salurannya berbeda dengan pipis. Makanya mama memakai pampers (harusnya pembalut, tapi nanti saja kukenalkan istilah itu), agar darahnya tidak mengotori celana."
Tahan napas lagi...
"Apakah laki-laki juga akan mengeluarkan darah?"
"Tidak."
Aku terus menyetrika pakaian demi pakaian.
"Apabila seorang wanita sudah haid, berarti ia sudah dewasa. Ia tidak boleh lagi meninggalkan shalat, karena hukumnya sudah wajib. Kamu mengerti?"
Ia mengangguk.
"Mama dulu mendapatkan haid saat duduk di kelas empat SD. itulah sebabnya Mama memberitahu Rara sekarang, agar nanti kalau haidnya datang, Rara tidak khawatir lagi. Jangan lupa kasi tau Mama nanti ya!" (karena ini akan menyangkut hal-hal teknis tentang cara membersihkan diri).
Ia berjanji akan memberitahuku.
"Jangan beritahu si Tata dulu, tunggu sampai dia kelas empat."
Ia gembira menyadari kami punya sebuah rahasia. Matanya berbinar.
"Bila sudah haid, sebaiknya kita menutup aurat. Seorang perempuan muslim juga tidak boleh bersentuhan dengan laki-laki," kataku lagi. Soal jilbab itu, ia sangat setuju mengenakannya, termasuk saat bermain ke luar rumah. Jadi kami telah membeli seragam sekolah baru berlengan panjang dan rok sampai mata kaki, dua hari lalu. Ia tak sabar untuk mengenakannya.
Aku lega, ternyata tak ada yang perlu dikhawatirkan perihal menjelaskan soal haid pada anak usia 9 tahun. Semoga nanti ia tak melupakanku, bila saat itu tiba, karena aku ingin menjadi bagian yang indah dari sejarah itu....