Jumat, 24 Desember 2010

Tak Ada yang tak Mungkin bagi Allah


Saat ujian mid semester lalu, Rara jatuh sakit. Sehari setelah ujian, ia merasa pusing dan suhu tubuhnya meninggi. Hari Selasa, ia tidak masuk sekolah. Ia tetap berada di ranjang dengan suhu tubuh di atas normal. Hari Rabu, setelah minum obat penurun panas, plus ditempeli daun jarak (ini pengobatan tradisional yang terbukti ampuh menarik panas dari tubuh seseorang), suhu tubuhnya turun sebentar, lalu naik lagi. Hingga akhirnya musim ujian berakhir, ia masih terbaring di tempat tidur.
Ujian susulan kemudian terpaksa ia jalani. Dan kami semua dapat memaklumi nilai-nilainya terjun bebas di bawah standar. Ada 4, 5, 6 dalam buku rapornya. "Jangan marah ya Ma," katanya.
Aku saat itu sedang membuka komputer, surfing. Kukatakan, ia dapat mengubah nilainya menjadi jauh lebih baik, asalkan ia rajin belajar dan tidak lupa berdoa pada Allah. Kukatakan padanya, ia terlahir bukan sebagai anak idiot. Ia cerdas dan hanya perlu banyak latihan. Bahkan orang-orang yang semasa kecilnya pernah dicap bodoh pun, berkat ketekunannya, bisa mengubah dunia.
"Einstein itu dulu pernah diusir dari kelas oleh gurunya karena dianggap terlalu lambat menangkap pelajaran. Tapi berkat didikan ibunya, ia berhasil meraih hadiah Nobel. Dan itu bukan sembarang hadiah," kataku.
Ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh. "Berdoalah pada Tuhan. Tidak ada yang tak mungkin bagi Allah. Allah bisa membuat apa saja. Lebih lebih dari tukang sulap manapun. Lihat tsunami, ia membuat orang kaya jatuh miskin dalam hitungan detik. Kalau Allah bisa membuat kita miskin dalam hitungan detik, Ia pun dapat membuat kita jadi kaya dalam hitungan detik. Demikian juga dengan pintar. Allah pasti bisa membuat kita jadi pintar, asalkan kita selalu berusaha dan berdoa padanya. Allah sudah berjanji, 'mintalah padaKu, PASTI Aku akan memberikannya'. Itu janji Allah dan itu PASTI dapat dipercaya. Masa minta aja gak mau?"
Diam-diam, akupun memanjatkan doa demi kesuksesannya. Selama ini doanya umum dan standar saja, sekarang lebih spesifik. Sejak pembicaraan kami itu, aku melihat ada perubahan Rara. Ia tak perlu dipaksa lagi untuk belajar. Ia mulai tertib belajar pada malam hari sesuai jadwal yang aku berikan. Ia juga mulai rajin bertanya padaku bila ada hal-hal yang tidak diketahuinya. Bila kami sama-sama tidak mengetahui jawabannya, dengan senang hati kami mencarinya di Google. Dari dia aku mengetahui ada pola hubungan antar hewan selain simbiosis mutualisme, yaitu simbiosis komensalisme (satu untung satu tak rugi) dan simbiosis parasitisme (satu untung satu rugi).
Aku mulai mengulang kembali pelajaran Arab Melayu dan berpacu dengannya membaca tulisan tanpa baris (apa ini yang disebut Arab gundul?). Ia mengajarkan padaku metode membagi bilangan prima yang rasanya tak pernah kupelajari dulu. Ia mengingatkan kembali skala di peta, letak Tenggara, Barat Daya, Barat Laut dan Timur Laut, sungai terpanjang di Indonesia, kota penghasil minyak bumi, kabupaten tempat Candi Muara Takus, dan sebagainya.
Beberapa pekan menjelang ujiang semester, ia bertanya, bolehkah ia memiliki handphone Nexian seharga Rp300 ribu sebagai hadiah nilai di rapornya? Aku tanya, rangking berapa targetnya? Berapa kira-kira ia sanggup? Dia memutar-mutar bola matanya. "Hm...enam," jawabnya kemudian.
"Oke, Mama akan membelikan Nexian bila kamu bisa dapat rangking 6."
"Kalau enam setengah?"
Apa benar ada rangking enam setengah?
"Tak ada cerita!"
Ia mengkerut, lalu pergi. Musim ujianpun tiba. Ia mulai sibuk belajar. Kami pelajari
kembali bab per bab. Kami memperhatikan dengan lebih serius bagian yang tak dimengertinya. Mengerjakan semua latihan, memperkirakan soal-soal yang akan muncul, dan lain sebagainya. Sering saat aku pulang dari kantor sekira pukul setengah sebelas malam, kulihat ia tertidur dengan buku pelajaran terbuka di sampingnya. Aku juga selalu mengingatkan ia untuk tidak meninggalkan shalat dan berdoa secara khusus. Bahkan ia minta dibangunkan untuk Shalat Tahajud dan bila sempat sebelum pergi ke sekolah, mengerjakan 6 rakaat Shalat Dhuha. Sehabis Shalat Maghrib berjamaah, ia membaca Ar Rasyid 100 kali.
Ketika tiba hari penerimaan rapor, aku dan dia sama berdebarnya. "Jantung Rara
serasa mau copot," katanya. Aku mengerjakan Shalat Dhuha 6 rakaat dulu sebelum berangkat dan Rara memasang nazar, shalat sunat dua rakaat bila berhasil mencapai rangking 6.
Kami pergi dengan motorku ke sekolahnya. Si Tata ikut pula. Sepanjang jalan aku berdoa, semoga harapannya tercapai. Ia telah melakukan segala syarat untuk mencapainya. Dan sebenarnya aku juga berdoa, semoga darahku tidak langsung naik bila melihat hasil usahanya tidak sesuai target.
Kami masuk ke kelasnya. Ia mencarikan aku duduk di depan sementara ia sendiri duduk di belakangku. Wali kelasnya sedang melayani seorang bapak. Si anak, teman sekelas Rara, tampak cemberut. Bapak itu tampak geleng-geleng kepala. Lalu Rara dipanggil. Aku ikut maju. Buku rapor dibentangkan di atas meja dan guru itu menerangkan isinya. Ia mengatakan semua pelajaran tuntas dan nilai-nilai Rara di atas target. Selain itu, ia mengatakan, Rara sering sakit kepala di kelas, lalu tertidur. Aku katakan, mungkin ia kelelahan, karena paginya harus sekolah di madrasah diniyah awaliyah (MDA).
Bahkan MDA itu lebih duluan menggelar ujian semester ketimbang sekolah negeri. Kami melihat rangkingnya. Tertulis di situ VI (enam). Aku dan Rara saling berpandangan dengan mata terbelalak dan senyum lebar.
Alhamdulillah!
Namun bukan itu yang membuatku haru. Saat kami pergi ke parkiran, kata-kata pertama yang terlontar dari mulutnya terkait rangking itu adalah, "Ternyata tak ada yang tak mungkin bagi Allah." Kata-kata yang dulu pernah aku ucapkan, yang saat ini tak teringat lagi, namun masih terang benderang dalam ingatannya. Ia tak menepuk dada, itu semua berkat kerja kerasnya, tapi Allah, hanya Allah yang dipujinya....I am proud of you Sweety, always....

Ayo Membatik Bersama Dekranasda Riau



Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Daerah Riau, turut berpartisipasi dalam Riau Women Ekspo dengan membuka stand aneka hasil batik Riau dan kerajinan lainnya. Selain itu, dibuka pula kursus kilat cara membatik, di salah satu stand di sisi kiri arena pameran kerajinan.
Sabtu (18/12) sore, saat saya dan anak-anak berkunjung, sebenarnya kami tidak tahu kalau di situ ada kursus membatik juga. Saat mengunjungi stand Dekranasda Riau, kami bertemu Ibu Lely yang memberitahu dengan senang hati, "Di samping kiri ada kursus membatik lo.Kalau mau belajar membatik seperti Michelle Obama, bisa." Anak-anakku langsung berdiri antenanya. Sebenarnya aku juga. Tapi aku masih harus pergi ke stand-stand lain untuk bahan tulisanku. Jadi aku abaikan dulu keinginan mereka. Tapi kiranya itu tak berhasil. Selagi ada kesempatan bersuara, selalu itu yang dikatakan anak-anak itu, kapan kita pergi ke tempat belajar membatik? Mengalahlah emaknya ini. Apa boleh buat deh.
Sebenarnya saat tiba di stand itu, aku serahkan saja keduanya pada dua orang penjaga stand, sementara aku sendiri langsung menyeberang ke depan stand itu, mengunjungi stand bunga-bunga cantik ijo royo-royo menarik hati. Sayangnya harganya nauzubillahiminzalik..pending, pending.....
Aku putar haluan, kembali ke stand kursus membatik itu. Di sana terlihat dua pembatik Dekranasda Riau Nuh dan Siti, sedang menyiapkan bahan-bahan untuk membatik. Lima kompor kecil, kuali kecil, canting, lilin khusus batik, dan keperluan membatik lainnya, diletakkan di tiga stand yang dijadikan satu, sehingga terkesan luas. Para pengunjung yang ingin tahu cara membatik, dapat belajar di sini dan dikenakan biaya murah, hanya Rp7 ribu.
Nuh (perempuan dan sebenarnya bernama Nur, tapi karena salah tulis, jadilah ia Nuh) lulusan SMKN 4 Pekanbaru, mendampingi Rara dan Tata dan menerangkan cara memegang dasar kain yang telah digambar dengan pensil, cara memegang canting dan cara melukis dengan cairan lilin khusus di permukaan kain itu.
"Kainnya harus dipegang dengan posisi miring, supaya lilinnya tidak menumpuk di satu titik. Jangan mengambil cairan lilinnya terlalu banyak, karena ia gampang dingin dan membeku," katanya.
Permata (Tata) dan kakaknya Lira (Rara), mendengarkan dengan seksama dan memperhatikan baik-baik cara Nuh membatik. Sepertinya mudah dan mereka mulai memegang canting masing-masing. Cairan diambil, sedikit saja, lalu ditempelkan ke pinggiran kuali kecil tempat lilin itu dipanaskan. Tujuannya, agar cairan lilin di bagian bawah canting tidak ikut terbawa, karena dapat jatuh dan mengotori kain.
Mungkin karena baru kali pertama dan tak punya persepsi apa-apa, si Kiting langsung mengambil cairan lilin agak banyak sehingga saat ujung canting menyentuh kain, lilin itu langsung keluar dari ujung canting dan membentuk sebuah bulatan.
Sementara kakaknya, Lira, berusaha sehati-hati mungkin, namun hasilnya juga tidak terlalu baik. Siti dan Nuh saling tersenyum. Dikatakan Siti, mereka sering menerima siswa bahkan mahasiswa yang ingin praktek membatik di Dekranasda Riau. Tidak sedikit siswa TK seperti Permata, yang belajar membatik. Dan sepanjang kemarin saja, sedikitnya 15 orang mengambil kursus kilat ini terdorong oleh rasa penasaran akan proses membatik itu.
Cairan lilin ini digunakan untuk memblok kain sehingga saat diberi warna, tidak tersebar kemana-mana. Jadi, kita harus memastikan bahwa lapisan lilin ini benar-benar menyerap ke dalam kain, sampai ke bagian belakang. Bila tidak, saat diberi warna, bisa menyebar ke tempat-tempat yang tidak diinginkan," terang Siti pula.
Aku memandang sepele. Sepertinya memang mudah. Tapi setelah dicoba, ampun.. memang susah. Hasil karyaku tidak lebih baik dari kedua anak kecil itu.
Ada beberapa motif bunga yang dapat dipilih para pengunjung yang ingin belajar membatik di sini. Umumnya bunganya besar-besar dan tidak terlalu banyak sehingga proses belajar ini tidak memakan waktu terlalu lama.
Setelah seluruh motif di selembar kain putih berukuran sekitar 20x20 cm itu selesai diberi cairan lilin, proses selanjutnya adalah mewarnai. Ada beberapa pilihan warna yang tersedia di sini dan pengunjung dapat memilih warna yang disukainya.
Berhubung ini hanya pengenalan proses membatik, hasil karya para pengunjung disarankan untuk tidak dipakai ataupun dicuci, karena proses mempermanenkan warna tidak dilakukan di arena RWE itu. Kata Nuh, mungkin lebih baik hasil kursus itu dibingkai saja, sebagai kenang-kenangan.
Komentar Lira setelah selesai kursus, "Ternyata membatik itu tidak gampang."
Memang, dan wajar bila batik handmade berharga mahal karena proses pembuatannya memerlukan waktu yang tidak sebentar, kesabaran yang tidak sedikit dan proses yang tidak sederhana. Membeli batik handmade sama dengan menghargai hasil karya orang lain, menghargai kebudayaan bangsa sendiri, sekaligus menghargai manusia yang bergelut di bidang ini. (Fitri Mayani)

Kenali Dosa Anda Mengelola Keuangan


Judul : 5 "Dosa" dalam Mengelola Keuangan
Pengarang : Stephanus Rudi Ok
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun terbit : 2010
Jumlah halaman : 98

Buku ini mengupas lima 'dosa' yang kita lakukan tanpa sadar dalam mengelola keuangan sehingga berdampak pada perekonomian. Dosa pertama adalah memaknai income yang telah diperoleh maupun yang sedang dikejar menjadi sangat penting dan segala-galanya dalam hidup.
Dosa kedua adalah kesalahan dalam mengelola penghasilan dan pengeluaran. Berapa besar yang mampu Anda hasilkan saat ini, sebagian besar adalah hak masa depan Anda, karena tidak seorang pun berencana untuk gagal tetapi seringkali orang gagal dalam membuat rencana. Kiat yang ditawarkan penulis dalam buku ini adalah, menentukan periode belanja kebutuhan rumah tangga dari sebulan sekali menjadi 2,3, atau 4 kali sebulan, sehingga tak perlu terlalu banyak menyetok barang di rumah. Pilihlah barang dengan kualitas baik meskipun dari segi harga sedikit lebih mahal, khususnya untuk barang-barang yang jarang dipakai atau dikonsumsi. Pilihlah harga yang lebih ekonomis untuk barang yang sering dikonsumsi, tentunya dengan kualitas yang sama dan hindarkan terpancang pada merek tertentu saja.
Dosa ketiga adalah tidak mengelola keuangan lebih dini untuk mempersiapkan masa pensiun saat kita berada pada usia produktif. Hal ini perlu dilakukan karena pemerintah tidak menjamin peningkatan kesejahteraan pascapensiun, jaminan sosial yang diselenggarakan pemerintah masih merupakan alat pelengkap, tak tersedianya fasiliats umum yang memadai untuk para lansia, meningkatnya biaya hidup dari tahun ke tahun, ketidakpastian kondisi perekonomian dan finansial di masa mendatang dan kondisi fisik dan produktivitas yang semakin menurun dari waktu ke waktu.
Dosa keempat adalah kesalahan membuat keputusan investasi. Sebagian orang berinvestasi hanya untuk mengejar hasil yang luar biasa tanpa mempertimbangkan resiko yang bakal terjadi. Di buku ini penulis memberikan beberapa contoh yang dapat dipelajari pembaca.
Dosa kelima adalah buruknya hubungan vertikal dengan Tuhan. Apa yang kita raih hari ini sudah pasti adalah pemberian dari Tuhan juga. Penemu teknologi telekomunikasi Alexander Graham Bell, mengatakan, "Kekuatan apa ini tidak dapat kukatakan, yang kutahau adalah bahwa ini ada dan menjadi nyata hanya bila seseorang berada di titik dimana ia mengetahui apa yang diinginkannya dan bertekad untuk tidak berhenti sampai ia menemukannya."
Buku petunjuk ini cukup lumayan untuk dibaca, karena kiat-kiat mengelola keuangan yang disampaikannya terasa mudah dijalankan. Hanya sayang, beberapa ilustrasi yang diberikan, kurang dibahas panjang, sehingga pembaca bisa terseret dalam pemahaman yang beragam dan bisa jadi itu tidak sesuai dengan keinginan sang penulis. Selain itu, ada beberapa kesalahan tulis di buku yang terasa mengganggu. Baru pada paragraf ketiga di halaman 2 (dalam istilah saya, seperti pengantin baru berbuat kesalahan di masa bulan madu), sudah muncul salah tulis. Selain itu, ada lagi kesalahan penggunaan tanda kutip dua ("), yang seharusnya hanya digunakan untuk menuliskan kutipan kalimat langsung. Dalam buku ini, penulis menggunakannya juga untuk memberi penegasan pada kata-kata yang menurutnya layak mendapat perhatian pembaca, seperti "status diterima" dan beberapa contoh lainnya, judul seminar yang sudah dicetak miring (italic) namun juga diberi tanda kutip dua dan lainnya.
Meskipun demikian, isinya patut Anda ketahui dan terapkan, agar tidak besar pasak daripada tiang.
Peresensi Fitri Mayani, penikmat buku, tinggal di Pekanbaru

Hadiah dari Anakku di Hari Ibu



Jauh-jauh hari sebelum tanggal 22, si Rara sudah tak sabar menghitung hari. Ia ingin memberi kejutan (apakah masih kejutan namanya kalau diomong-omongin gitu?). Jadi pas hari H, begini skenarionya, aku jemput ia ke sekolah, lalu kami pergi ke toko swalayan barang-barang murah meriah (biasalah, sesuai kemampuan kantongnya, of course).
"Nanti Mama tunggu aja di luar ya, biar Rara yang pilihkan hadiahnya," katanya.
Aku setuju. Adiknya ikut masuk ke dalam toko. Aku menunggu di luar, mencari tempat berteduh dari teriknya matahari. Ini sudah pukul 12 siang. Lapar, panas, fiuh...
Beberapa menit kemudian, ia muncul, malu-malu dan ragu-ragu...
"Ada apa? Buruan, panas nih!" kataku.
"Hm...Mama ngintip ya?"
"Nggak, ayo cepat aja!" kesabaran mulai turun.
"Ng...ada yang mau Rara belikan, tapi Mama sudah punya tiga...." katanya.
Apa sih yang aku punya sampai tiga biji? Aku memutar otak...apa ya? Panci? Gelas? Piring? Itu semua lebih dari tiga yang kami punya. Tas? Ah, masak ia mau membelikan tas?
"Mama, Mama, Tata boleh beli sesuatu?"
Nah, ini dia anak satu lagi. Tak tau emaknya lagi mikir, langsung aja main todong! Pikiranku yang sedang menjelajahi seisi rumah, mencari barang-barang milik pribadiku yang jumlahnya tiga, jadi buyar.
Lalu Rara menawarkan solusi, "Atau Mama pilih aja salah satu, nanti Rara yang bayar," katanya.
"Memang apa yang Rara mau belikan?" aku penasaran.
"Dompet," ia malu-malu.
Eh, ternyata aku memang punya tiga dompet. Satu aku beli di Pasar Bawah, terbuat dari kulit, sebesar telapak tangan, sangat elastis dan tidak menyesak di dalam kantong. Satu lagi hadiah dari kakak ipar, pas mau Lebaran kemarin, yang sekarang selalu aku pakai karena punya tiga bagian berbeda di dalamnya. Dan yang terakhir, dompet kecil tempat aku menaruh hp, sedikit uang,untuk keperluan pergi ke warung beli cabe atau kerupuk atau mie instan, dll.
Akupun masuk dan mulai berkeliling. Karena akan Natal, toko itu dipenuhi pernak-pernik Natal. Aneka rupa. Dan aku berhenti di counter aneka jam dinding. Di kamar Rara yang biasa kami gunakan untuk leyeh-leyeh siang hari, belum ada jamnya. Jadilah aku pilih itu sebagai hadiah Hari Ibu. Harganya Rp20 ribu dan Rara membayarkannya.
Dan si Tata, tak mau kalah juga mau membeli sesuatu. Tapi tentu saja bukan untukku, melainkan untuk dirinya sendiri. Maka ia pun menenteng pulang satu telepon mainan yang berbunyi kalau dipencet tombol-tombolnya. Padahal mainan sejenis kalau tak salah sudah tiga atau empat kali dibeli di waktu-waktu yang lalu. Entah dimana kini bangkai-bangkainya.
Sesampai di rumah, jam itu kami pasang. Bunyinya lumayan...Oh ya, dompet yang semula akan dihadiahkan Rara untukku, tetap dibeli, tapi untuk dia. Melihat gambar boneka Hello Kitty di luarnya dan warnanya yang pink, maklumlah kita, siapa sebenarnya yang ingin memiliki dompet itu. Hm...
Selamat Hari Ibu Yani....

Sabtu, 04 Desember 2010

Kisah Mata-mata Ganda Perang Dunia I Berdarah Indonesia


judul : Namaku Mata Hari
penulis : Remy Sylado
penerbit : Gramedia Pustaka Utama
tahun terbit : Oktober 2010
jumlah halaman : 559

'Aku tidak boleh menyangkal pada suara hatiku, bahwa alasan yang mendorong kemauanku untuk menjadi pelacur adalah bakat.
Jangan kaget. Memang aku berpendapat begitu. Bahwa menurut pandanganku, bakat jalang-sundal-lacur adalah, percayalah, urusan Tuhan juga, bukan hanya iblis. Sulit memisahkan wilayah Tuhan dan wilayah iblis di dalam diri manusia, kalau yang dijadikan tempat persinggahan fitrah kebajikan dan fiil kejahatan, adalah hati manusia, dan hati manusia selamanya tidak swatantra.'
Itulah penggalan novel ini di halaman 9-10. Mungkin bagi sebagian kita, sulit menerima pengakuan yang sedemikian terus-terang, apalagi bila mengingat bahwa saat itu, sang tokoh tengah menunggu masa-masa pelaksanaan hukuman mati atas dirinya, dengan tuduhan menjadi mata-mata ganda.
Ini memang kisah tentang seorang penari eksotis (demikian sebuah literatur menyebutnya) -jadi bukan erotis- bernama Mata Hari. Perempuan peranakan Belanda-Indonesia ini, sembari menari berkeliling Eropa, juga menjalankan misi mata-mata ganda, Prancis dan Jerman, pada masa Perang Dunia I. 'Bonus' yang nyaris selalu ia nikmati dari traveling seni ini adalah perselingkuhan dengan berupa-rupa lelaki kelas atas, mulai dari petinggi militer hingga pejabat pemerintahan. Walaupun akhirnya ia 'dijebak' sehingga harus menjalani hukuman mati di hadapan regu tembak, namun Mata Hari tetap dengan keyakinannya, bahwa bakat jalang-sundal-lacurnya adalah urusan Tuhan juga.
Mata Hari menjadi menarik dibaca karena penulisnya seolah menyelami jiwa kewanitaan tokoh utamanya. Tidak hanya itu, berbeda dengan novel sebelumnya tentang Mata Hari, novel ini juga mengisahkan tentang penggalan hidupnya yang jarang terekspos, yaitu ketika ia beberapa tahun menetap di Ambarawa dan Batavia, sebagai istri seorang opsir Belanda Rudolp McLeod.
Di Indonesia ia mendapatkan nama Mata Hari, khususnya dari babunya Nyai Kidhal, yang kelak diselingkuhi sang suami hingga hamil. Nama itulah yang terus dibawanya hingga mati sehingga sebagian orang melupakan nama aslinya. Di Indonesia pula, tepatnya di Candi Borobudur melalui relief-relief di dindingnya, ia mempelajari tarian-tarian yang kelak dibawakannya di benua Eropa.
Mata Hari terlahir dengan nama Margaretha Geertruida Zelle pada 1876. Di usia 14 tahun, saat pertama kali mendapatkan haid, ia telah 'mengeksplorasi' tubuhnya sedemikian dan mendapatkan kesenangan dan gagal mempertahankan keperawanan pada usia 16 tahun. Margaretha menikahi lelaki yang jauh lebih tua darinya bernama John Rudolp McLeod pada 1895. Namun setelah mendapatkan dua orang anak, Margaretha kembali ke Belanda untuk mengurus perceraiannya dengan sang suami dan mengembangkan karir sebagai penari eksotis profesional.
Pergaulannya dengan pria-pria berpengaruh, ternyata telah mendorongnya untuk terlibat dengan dunia politik dan perang. Berbagai informasi dari 'dialog bantal', demikian ia menyebut perselingkuhan itu, ternyata dapat berubah menjadi uang yang cukup menggiurkan baginya. Ya, Mata Hari menjual semua informasi yang didapatnya dari pihak Perancis ke pihak Jerman dan sebaliknya. Namun toh akhirnya ia terjebak dan harus menjalani hukuman mati di depan regu tembak.
Kisah hidup Mata Hari sendiri cukup dramatis, demikian pula kisah petualangannya di masa Perang Dunia I. Tidak heran, artis kenamaan Greta Garbo pun pernah berperan sebagai Mata Hari dalam film yang berkisah tentang tokoh mata-mata cantik ini. Bagi pembaca yang penasaran, foto-foto Mata Hari dapat dicari di mesin pencari di internet. Demikian pula dengan foto-foto Greta Garbo saat berperan sebagai Mata Hari dalam film yang diproduksi sekitar tahun 1939 lalu.
Sebagai penulis dan jelas-jelas menceritakan kisah hidup seorang pelacur, syukurnya Remy Sylado tidak terjebak untuk menulis novel ini menjadi 'kacangan' dan vulgar. Bagi saya pribadi, tak ada yang terlalu vulgar dikisahkan Remy dalam buku ini perihal 'dialog bantal' Mata Hari dengan para lelakinya.
Satu lagi yang menarik, Remy hampir selalu menyisipkan penggalan puisi di akhir setiap bab. Tak ketinggalan, buku ini juga dilengkapi foto-foto Mata Hari dalam berbagai pose. Selain itu, Remy memberikan catatan kaki tentang beberapa lokasi cerita yang bersetting awal abad ke-20, sehingga pembaca dapat memperkirakan, dimana tepatnya lokasi-lokasi yang pernah didatangi Mata Hari. Dan sebagai seorang sastrawan, Remy juga memasukkan ke dalam novel itu aneka kata-kata yang kurang lazim kita dengar sekarang ini. Mungkin ada baiknya pembaca melengkapi diri dengan Kamus Bahasa Indonesia, untuk mencari arti beberapa kata dalam novel ini. Selamat membaca.

peresensi Fitri Mayani, seorang jurnalis dan penikmat novel