Selasa, 29 Maret 2011

Siswa Pekanbaru Juarai Darmasiswa Chevron Riau




PEKANBARU-Tiga siswa SMA Pekanbaru, Selasa (29/3), tampil sebagai peringkat pertama Darmasiswa Chevron Riau (DCR) yang digelar PT Chevron Pacific Indonesia untuk ke-11 kalinya.
Ketiga siswa ini berhasil mengalahkan 57 finalis lainnya dari seluruh Riau. Ketiganya adalah Dewi Elvianida Suryani dan Sandi Fajrian, siswa SMAN 8 Pekanbaru dan Sri Mulyati, siswa SMAN 1 Pekanbaru. Di foto terlihat Sri Mulyati menahan air mata haru saat Direktur Utama PT Chevron Pacific Indonesia Abdul Hamid Batubara, menyalaminya sesaat setelah dinyatakan sebagai satu dari tiga peraih peringkat pertama.
Inaugurasi pengumuman pemenang beasiswa ini digelar Chevron di Rumbai Country Club, dihadiri Direktur Utama PT CPI Abdul Hamid Batubara, Gubenur Riau diwakili Kadis Pendidikan Riau HM Wardan, para petinggi Chevron dan kepala Dinas Pendidikan kota/kabupaten se-Riau.
Dalam sambutannya, Abdul Hamid mengatakan, DCR merupakan wujud komitmen PT Chevron di bidang pendidikan, terutama di wilayah operasinya. Ia juga sangat bersyukur karena program ini telah berjalan selama 11 tahun dan berharap akan terus diadakan pada tahun-tahun berikutnya.
"Saya juga mengucapkan selamat kepada para pemenang dan 60 finalis dari seluruh Riau. Saya harap Ananda semua bisa membawa nama harum Riau ke seluruh penjuru dunia. Sesuai dengan harapan Pak Gubernur yang menginginkan putra-putri Riau berkiprah di segala bidang dan di seluruh penjuru dunia," katanya.
Sementara Gubernur Riau HM Rusli Zainal yang diwakili Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Riau HM Wardan, menyambut baik acara itu karena sejalan dengan program Pemerintah Provinsi Riau mencerdaskan masyarakat.
"Program ini juga sangat dinanti-nantikan para siswa maupun orang tua siswa karena beasiswa yang diberikan sangat membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya," katanya.

Tidak Menyangka
Sri Mulyanti, siswa SMAN 1 Pekanbaru, satu dari tiga pemenang utama yang berhak mendapatkan beasiswa sebesar Rp15 juta/tahun selama empat tahun ke depan, ditambah laptop dan printer, mengaku tidak menyangka dirinya akan berhasil meraih peringkat pertama.
"Saya berasal dari keluarga sederhana. Tahun ini saya tamat SMA sementara satu adik saya harus masuk SMP dan SMA pula. Ibu saya tidak punya uang untuk melanjutkan pendidikan saya. Padahal saya sangat ingin kuliah," katanya sambil berusaha keras menahan deraian air mata harunya.
Sri Mulyanti merupakan siswa cerdas yang selalu meraih juara umum sejak SD hingga SMA. Ia juga sering menjuarai olympiade matematika dan kimia tingkat Provinsi Riau. Program DCR telah membantunya meneruskan usahanya meraih cita-cita.
"Saya berjanji tidak akan menyia-nyiakan beasiswa ini. Saya akan meraih mimpi-mimpi saya," katanya yakin.
Lima siswa yang meraih peringkat kedua, mendapatkan laptop dan beasiswa sebesar Rp12,5 juta/tahun untuk masa empat tahun ke depan. Sedangkan tujuh orang peraih peringkat ketiga, mendapatkan beasiswa Rp10 juta/tahun selama empat tahun dan 45 peraih peringkat keempat mendapatkan beasiswa Rp6 juta/tahun selama empat tahun.
Ketua panitia Iwan Tofani Iljas, dalam laporannya menyampaikan, sejak program ini diluncurkan pada 2001 lalu, hingga saat ini telah ada 565 siswa penerima beasiswa. Dari jumlah itu, 311 di antaranya telah diwisuda dan bekerja di berbagai perusahaan terkemuka di Indonesia.
"Tahun ini kami melibatkan para alumni dalam kepanitiaan. Jadi mereka membantu para juniornya dalam beberapa sesi, termasuk memberikan testimoni tentang program ini," tutupnya.

Jumat, 25 Maret 2011

Yiiihaaa...Ketemu Andrea Hirata!!



Andrea Hirata, penulis novel fenomenal Tetralogi Laskar Pelangi, Jumat (25/3/11), menggelar meet and greet (jumpa fans) di salah satu toko buku terkemuka di Pekanbaru.

Acara itu diisi dengan tanya jawab dengan pembaca Tetralogi Laskar Pelangi, dari segala usia. Pertanyaan berdatangan tidak saja dari kalangan muda, melainkan juga orangtua. Dalam kesempatan itu, Andrea menegaskan tentang pentingnya riset sebelum membuat sebuah tulisan. Berbeda dengan sebagian besar penulis lain yang menghabiskan waktunya 95 persen untuk menulis dan hanya 5 persen untuk riset, Andrea justru terbalik, ia menghabiskan 95 persen waktunya untuk meriset dan sisanya untuk menulis. Dan saat ditanya, manakah yang lebih dinikmatinya, dengan cepat dan pasti ia menjawab, "Melakukan riset."

Satu fakta tentang Novel Padang Bulan/Cinta di Dalam Gelas, riset dilakukan sampai empat tahun dan mewawancarai hingga 400 orang. "Saya empat tahun melakukan riset sebelum menulis Padang Bulan. Berbulan-bulan duduk di warung kopi dan melihat tingkah laku orang-orang yang datang ke sana. Dari riset yang lama itu, saya kira saya bisa menulis empat sampai lima novel baru lagi. Tapi apa kejadiannya, dua hari setelah diterbitkan, keluar bajakannya, alamak!" katanya. Bahkan ia sendiri pernah ditawari seorang pedagang buku Laskar Pelangi versi bajakan.

Dalam kesempatan itu, Andrea juga mempertanyakan kembali hasil survei yang mengatakan bahwa minat baca orang Indonesia sangat rendah, jauh lebih rendah dibanding Malaysia atau Singapura. Ia menyebutkan, Laskar Pelangi telah dicetak hingga 12 juta kopi, sementara bajakannya lebih banyak lagi. Buku itu juga diterjemahkan ke dalam 18 bahasa asing, terbaru diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis. Buku-buku bajakan ini bahkan beredar hingga ke Vancouver, Kanada dan Zimbabwe, Afrika, yang menurut Andrea, 'tempat dimana jin pun tak mau buang anak di sana'.

Fakta ini seolah membuktikan kebalikan hasil survei itu. Menurut Andrea, orang-orang mau membaca Laskar Pelangi karena mereka menemukan apa yang mereka cari dalam novel itu.

Pertengahan tahun ini, Andrea Hirata akan menerbitkan novel barunya berjudul Ayah yang awalnya merupakan novel berbahasa Inggris berjudul Two Trees. "Saya awalnya tak mau menerbitkannya di Indonesia, karena 'mangkel' sama pembajakan ini," katanya.

Di novel Ayah, Andrea menjanjikan sesuatu yang benar-benar baru. Tidak ada lagi tokoh Ikal, Arai dan lainnya seperti dalam novel sebelumnya. Selain itu, ia juga akan memasukkan unsur politis di dalamnya. "Seperti apa pula seorang Andrea Hirata menulis politik, naah...tunggu saja," katanya.

Behind the scene (taela...)
Informasi kedatangan Andrea sudah aku ketahui sejak Rabu sebelumnya (23/3/11) dan langsung berbagi dengan Desi Susanti, salah seorang penderita sakit gila nomor 44 (tergila-gila pada Andrea Hirata sama kayak gue!). Desi langsung 'kumat', menyusun rencana pertemuan dengan Andrea, antara lain mau foto-foto bareng (so pasti) dan tanda tangan buku. Hebatnya, tak hanya satu, tapi kelima-lima karya Andrea akan diboyong Desi untuk ditandatangani. Kami ngakak habis di telepon sampai aku berlinang air mata, menertawaan kegilaan ini. Aku bilang, jangan sampai Andrea menatap Desi lama-lama gara-gara lima buku itu, sambil berkata dalam hati, "Parah nih!"

Sore itu juga ia pergi ke Bandara SSK II. "Waah...Andrea baru datang Jumat pagi, tapi Desi sudah mau menunggunya dari sekarang. Mau mencuri start ya?" kataku menggodanya dan kami ngakak lagi. FYI, akhir-akhir ini kami memang sedang terkena sindromesukatertawagakketulungan.

Pas Hari H, aku yang kurang tidur malam sebelumnya, sebenarnya mau tidur siang sebentar sebelum meluncur ke Gramedia, tempat acara dilangsungkan. Tapi ternyata Desi mengabari, ada dialog interaktif di radio. Gak sabaran, aku dengerin deh dan mengajukan satu pertanyaan yang paling hebat yang terpikir saat itu, yaitu, apakah tokoh-tokoh dalam karyanya benar-benar ada? Aku memberi contoh Action dalam Novel Padang Bulan, pria yang selalu merasa diawasi kamera imajiner sehingga selalu mengambil pose paling oke dalam setiap kesempatan.

Jawaban Andrea lebih cerdas lagi, bisa ada bisa tidak. Namanya juga karya fiksi. "Di bagian bawah sampul buku saya selalu ada tulisan N O V E L, tanda itu bukan kisah nyata. Dalam fiksi, sesuatu yang ada bisa dibuat tidak ada, yang tidak ada jadi ada."

Idih, sebagai mantan mahasiswa fakultas sastra, mendadak aku merasa menjadi 'Makhluk Tuhan Paling Gubluk' karena telah mengajukan pertanyaan itu. Dan di Gramedia, pertanyaan sejenis dilontarkan lagi oleh seseorang dan Andrea mengatakan, "Itu pertanyaan ke dua juta sekian yang diajukan pembaca," WHAT?????

Aku bertemu Helfizon, seorang penderita penyakit sejenis (tapi di sisi lain merasa telah menjadi reinkarnasi Elvis Presley, tercermin dari alamat emailnya, uhuii!). Memanfaatkan hak istimewa sebagai wartawan, kami berdua diberi waktu untuk wawancara khusus dengan Andrea dan itulah fotonya (foto aku sok akrab sama Andrea itu lo, sedang foto atas aku ambil via kamera hp saat abang bujang lapukku itu dikerubuti perempuan-perempuan segala usia yang ingin minta tanda tangan dan foto bareng). Foto itu diambil Helfizon dengan kameranya dan ia memberi catatan saat mengirimkannya ke emailku: maaf fotonya agak goyang, mungkin karena tanggal tua...

Kepada para fans Andrea Hirata yang sibuk jepret-jepret, aku nyeletuk usil, "Udahlah tu, foto-fotonya... memorinya sudah penuh tuh!" Seorang cowok (mungkin mahasiswa) tertawa. Katanya, "Iya Bu, betul itu." Tapi tetap aja ia jepret-jepret. Andrea tak bisa melepaskan senyumnya. Kurasa kelebaran mulutnya jadi nambah beberapa senti sejak terkenal ini, hahaha...!


Sambil berjalan meninggalkan para fans itu, kata abangku itu pada Helfizon, "Lihatlah! Pernahkah Abang bayangkan seorang penulis bisa diperlakukan seperti artis begitu? Saya tak pernah membayangkannya!"

Helfizon cengengesan speechless. Kami menghabiskan waktu sekitar 30 menit untuk wawancara (sori buat Dina Febriastuti yang mengaku hanya dapat waktu lima menit untuk wawancara khusus. Peruntungan kita membang berbeda, Din). Helfizon tampaknya tak dapat lagi menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa ia fans berat Andrea Hirata. Sepertinya kontak fisik mereka dengan saling berangkulan sepanjang lorong antara rak buku menuju ruangan khusus untuk wawancara, tak cukup menggambarkan betapa ngefansnya dia pada Abang Kitingku itu.


Helfizon ini setahuku bukan tipe orang yang suka foto bareng artis, sama seperti aku, sehebat apapun artis itu. Tapi dengan Andrea, lain lagi ceritanya. Itu sudah fardhu 'ain hukumnya bagi kami.

Dan si Ikal yang kalem dan bersahaja ini, berbagi tips menulis seolah kami ini dua kawan lama yang dulu sama-sama menjadi murid SD Muhammadiyah yang reyot di Belitong itu. Ada banyak hal yang saya petik dari percakapan itu. Salah satu yang sangat ditekankan Andrea adalah pentingnya riset. Pentingnya menghargai karya orang lain. Jangan membeli barang bajakan. "Mungkin kelebihan saya yang tidak pernah belajar sastra dan hingga saat ini paling banyak hanya membaca 10 novel, adalah, saya terbiasa melakukan riset. Saya kan sekolahnya di ekonomi. Saya pelajari psikologi, astronomi, ilmu catur dan sebagainya sebelum menulis. Namun ketika psikologi itu dituangkan dalam bentuk novel, ia tidak boleh menjadi pelajaran psikologi," katanya. Novel pertama yang ia baca berjudul If Only I Could Talk karya Tony Lewis, pemberian cinta pertamanya. Aling?

Riset yang sedang dijalankannya saat ini adalah mengumpulkan berbagai definisi 'sedih'. "Saya cukup rapi mendokumentasikan defisini 'sedih' ini. Dalam hitungan saya, ada sedikitnya 76 definisi sedih. Ada sedih yang gembira, sedih yang konyol, sedih yang pahit, sedih yang tragis, dan lain sebagainya," katanya. Saya jadi su'udzon, jangan-jangan berbagai definisi ini akan muncul di Two Trees /Ayah. Cekidot ajalah nanti...

Oh ya, bagi penggemar Andrea yang belum tahu status kepegawaiannya di Telkom, Andrea mengatakan, "Di tempat saya bekerja, ada yang namanya cuti di luar tanggungan. Saya sudah dua tahun tidak masuk kantor dan manajemen sudah berkali-kali melayangkan surat menyuruh saya masuk, tapi saya tidak datang-datang," akunya.

Ia mengaku dulu kerjanya di Telkom termasuk manjat-manjat tiang. Bayangkan sajalah, seperti apa rupanya...

Saat kami tanya darimana bakat menulisnya datang, ia mengatakan itu adalah bakat kultural dan saya kira dia benar. "Seperti anak-anak Bali yang sejak usia belia sudah bisa memahat patung, demikian pula kita yang orang Melayu ini. Kita hidup dalam tradisi bercerita. Minum segelas kopi di warung kopi, habis satu kabinet kita persalahkan. Gelas kedua, wakil presiden yang kena getah, hahaha..." dia tertawa.

Iya iya, benar dia. Itulah kelebihan etnis melayu, suka berbual di kedai kopi.
Andrea juga memberikan tips pada kami cara menulis supaya terasa nyata. "Gunakannya konsep dimensional yang sering dipakai para arsitek dalam menggambar. Kalau kita melihat gambar sebuah rumah, kita dapat memahami seperti apa wujud rumah itu, dindingnya, dan sebagainya. Saya terbiasa menulis seperti itu, dimensional, menggambarkan satu lokasi atau orang dengan pendekatan empat titik," katanya.

Saya sempat bertanya, apakah sama nilai rasa dalam Laskar Pelangi dengan The Rainbow Troops (Laskar Pelangi versi bahasa Inggris). Andrea menerangkan,"Proses penerjemahan Laskar Pelangi memakan waktu yang cukup lama. Pertama kali ia diterjemahkan selama delapan bulan oleh seorang penerjemah, tapi saat saya baca, kok saya kurang puas. Lalu dicari penerjemah lain, tujuh bulan diterjemahkan, hasilnya masih belum memuaskan. Suatu hari saya bertemu seorang mahasiswa Amerika penerima beasiswa Fulbright di Universitas Indonesia yang menonton film Laskar Pelangi dan mengaku tertarik. Ia lalu datang ke Belitong, naik pesawat dan turun di bandara perintis di tengah hutan. Dia kira Belitong itu seperti Bali, padahal hutan belantara saja dimana-mana. Kampung saya masih 100 kilometer lagi dari sana. Dia diselamatkan tukang ojek yang membawanya ke rumah ibu saya. Dialah yang akhirnya menulis Laskar Pelangi versi Bahasa Inggris. Dan saya puas sekali." Penerbit Amerika menyebutnya, "Perfect!"


Dikatakannya, proses penerjemahannya pun memakan waktu sekitar tujuh bulan. Ia dan mahasiswa Amerika itu duduk berhadap-hadapan dan menerjemahkan kata perkata dalam novel itu hingga akhirnya lahirkan The Rainbow Troops. Novel itu kemudian menjadi rebutan penerbit di Amerika dan hingga saat ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing.

"Penerjemahan suatu karya biasanya akan lebih mudah bila dilakukan dari Bahasa Inggris, sedangkan bila diterjemahkan dari Bahasa Indonesia, agak sulit. Jadi saya kira penting sekali kita menerbitkan tulisan dalam bahasa Inggris ini. Laskar Pelangi diterbitkan dalam berbagai bahasa asing kan karena sudah ada versi Bahasa Inggrisnya," katanya.

Satu tips rahasia yang diberikannya kepada kami adalah, "Kita tidak mungkin bisa menulis karya yang bagus tanpa sensitivitas yang baik. Guru, orangtua dan lingkungan masa kecil telah mengajarkan pada saya arti sensitivitas akan sifat manusia."

Satu lagi inspirasi....

Rabu, 16 Maret 2011

Lelaki Kecil yang Tersenyum Itu


Malam ini, sebuah foto membuat saya tertegun. Itu foto tentang aktivitas para pemulung di tempat pembuangan sampah. Mereka mengais semua yang busuk-busuk itu, semua yang telah kita singkirkan dari rumah, demi sesuatu yang mungkin masih memiliki nilai.
Seorang bocah berbaju biru, terlihat menjadi fokus. Ia tersenyum hangat. Matanya cemerlang. Foto itu diambil Rizqi Abadi, fotografer Harian Riau Times.
Yang terlintas di kepalaku, apakah ia menemukan kotoran ikan yang dulu aku buang? Apakah ia mengumpulkan kulit bawang, tahu dan tempe basi, nasi bercendawan, di dalam kantong plastik itu? Berapakah nilainya dalam rupiah dan untuk apa ia akan menggunakannya? Aku merasa malu, ia mengemasi kotoran-kotoranku.
Aku malu, karena sejatinya kami sederajat. Menurutku, orang-orang Pekanbaru, apapun suku dan darimanapun asalnya, jangan lagi mengurusi yang busuk-busuk itu. Apalagi tak lama lagi kota ini akan berulang tahun yang ke-224. Usia yang sudah cukup tua. Harusnya kita menggunakan teknologi untuk mengolah sampah dan biarkan si Buyung itu membuka buku bacaannya, duduk tenang di bangku sekolah, berdiskusi tentang supernova, berdebat soal ekonomi, menulis tentang indah dan kayanya negeri ini, makmur dan sejahteranya rakyatnya, dan besarnya harapannya untuk menjadi orang berguna di kemudian hari.

Selasa, 15 Maret 2011

Pengakuan Ibu Guru Tata: Kami Malu sama Tata




Tadi pagi, setelah hampir sepekan demam yang itil (ilang-ilang timbul), si Tata aku antar ke sekolahnya. Dia masih kurang bersemangat, mungkin karena sudah senang di rumah saja, main terus sepanjang hari dan gak mandi-mandi, hehehe...
Jadi kami berangkat ke sekolah sudah telat sekali. Pukul delapan lewat sekian menit, kami baru keluar dari rumah. Begitu sampai di sekolah, ia disambut gurunya. Aku menyempatkan diri menghadap ibu guru itu untuk meminta maaf karena si Keriting itu sepekan ini tak masuk kelas.

Aku sungguh tak mengira ketika Ibu Wel, demikian namanya, mengatakan sesuatu tentang si Tata. Ini soal ia yang beberapa kali masuk kelas dalam keadaan puasa.
"Mbak Tata itu sering puasa sunnat ya Mama?" tanyanya memulai pembicaraan di ambang pintu kelas.
Aku tersenyum saja. Memang begitu keadaannya.
"Kami berdua (maksudnya ia dan guru yang satu lagi di kelas yang sama) jadi malu. Bahkan kami yang dewasa ini, membayar utang puasa aja susahnya minta ampun. Ini anak sekecil Tata mau dengan sukarela puasa sunat," dia geleng-geleng, seperti kasihan pada dirinya sendiri.
"Mama berhasil mendidik dia. Mudah-mudahan sampai dewasa ia akan terbiasa puasa sunat," katanya dengan tulus.
"Amiin," jawabku.
Perkara puasa ini, sekali aku kena marah sama si Tata. Pasalnya, sebelum tidur
malam itu, ia bertanya.,"Besok hari apa Ma?"
"Kamis," jawabku.
"Bangunkan Tata subuh-subuh, Tata mau puasa," katanya.
"Ya."
Masalahnya, alarm di hp-ku berbunyi pukul setengah enam pagi. Aku lupa menyetelnya pukul empat. Jadi kami tak makan sahur. Aku yang imannya lagi down banget, santai saja tak puasa. Si Tata memulai hari dengan marah-marah, mengapa ia tak dibangunkan.
"Maaf ya Naak...Mama ketiduran.." aku mengiba-iba, rada-rada lebay.
Ia memutuskan untuk tetap puasa, walau tanpa makan sahur. Di motor, saat berangkat sekolah, aku berpesan padanya, agar menahan diri saat nanti kawan-kawannya makan.
"Ingat Tata lagi puasa ya. Nanti kalau teman-temannya makan, Tata main aja," kataku.
Aku pesankan juga, kalau ia tak kuat menahan lapar, ia boleh membatalkan puasanya.
"Apakah Tata tetap dapat pahalanya dari Allah?" tanyanya polos.
"Jelas dong! Allah itu kan baik," kataku.
Hari itu, ia berpuasa dengan kakaknya, dengan kondisi sama-sama tanpa makan sahur. Panas sungguh terik. Dan mereka sama-sama biasa makan pagi. Suka bermain. Sungguh berat puasa hari itu. Tapi mereka tetap menjalani dengan kesadaran sendiri. Tak hanya ibu gurunya yang malu, aku dan si Abang juga malu. Kami yang 'gadang-gadang' ini, yang seharusnya memberikan teladan lebih baik, ternyata kalah dengan dua anak kecil yang berpuasa semata-mata demi mendapatkan ridha dari Allah.
Really, I proud of you, my lovely girls!

Sabtu, 05 Maret 2011

Ngabuburit Ramadhan 2010





Teringat kenangan saat ngabuburit Ramadhan 2010 lalu. Tepatnya 18 Agustus 2010, aku dan anak-anak pergi ke Mal Ciputra Seraya, nonton film lalu berpose seru-seruan di photo box. Ternyata asyik juga. Layak dicoba buat having fun dengan anak-anak. Walau tiap hari difoto via kamera hp, ternyata di photo box lain lagi ceritanya. Ini hasilnya...