Selasa, 30 Oktober 2012

Menghafal Surah Ar Rahman

Bismillahirrahmaanirrahiim...
Pertama-tama, ini bukan untuk riya ya. Ini hanya sekedar ungkapan kegembiraanku, karena sudah bisa menghafal Surat Ar Rahman. Alhamdulillah, hari ini aku sudah sampai di ayat ke-15. Rasanya tak sabar ingin menambah ayat lagi, karena setelah ayat ke-15 ini, menghafal Ar Rahman akan terasa lebih mudah. Bisa hafal 1 ayat sama artinya telah menghafal 2 ayat. Pasalnya, ada yang diulang sampai berkali-kali  dalam surat ini, yang artinya, 'Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?'

    Aku senang sekali dan merasakan betapa sekarang shalatku tidak sembarangan lagi. Sekarang, seolah ingin 'pamer' pada Allah, aku selalu membaca Ar Rahman yang telah kukuasai itu dalam shalatku. Surat 'kul-kul' sejenak aku simpan dulu.

Aku jadi ingat tadi saat Shalat Maghrib di rumah dengan si Tata, ia agak bingung melihat aku tak kunjung rukuk. Ya iyalah, hafalanku masih agak belepotan di ayat-ayat terakhir. Jadilah aku agak terbata-bata. Si Tata sampai menyenggolkan sikunya ke lenganku untuk memberi kode bahwa aku kelamaan berdiri dan tak juga rukuk. Bila ingat itu sekarang, aku jadi tertawa....

    Perkenalanku dengan Surat Ar Rahman diawali dengan pembicaraan dengan ibu mertua, sekitar 10 tahun yang lalu. Beliau memberi aku nasehat, agar membaca Surat Ar Rahman dan Al Mulk sesering mungkin.

    "Suratnya pendek dan ayatnya juga pendek-pendek," kata Beliau.

    Aku tidak tahu apa fadhillah dari kedua surat itu. Bahkan ironisnya, aku juga baru sekali itu membaca surat Ar Rahman dan Al Mulk. Sejak muda aku memang jarang ikut pengajian, baik di masjid ataupun di kampus. Di kampus, sikap teman-teman rohis yang sok alim membuatku tidak simpati pada mereka. Mereka mengeksklusifkan diri bahkan dari sesama muslimah sekalipun. Bahkan dengan yang mengenakan jilbab sekalipun, karena tidak sepengajian dengan mereka. Aku jadi bete deh!

    Di rumah, kami juga bukanlah keluarga yang sangat agamis. Memang akulah yang pertama mengenakan jilbab dalam keluargaku. Bahkan lebih duluan dari ibuku sendiri. Namun kami tetaplah bukan keluarga yang punya tradisi mengaji setiap usai Maghrib. Kami masih seperti keluarga kebanyakan yang menonton televisi di malam hari dan membiarkan Al Quran berdebu di dalam lemari. Aku tak pernah mengkhatamkan bacaan Al Quranku saat masih muda. Jadi wajar bila aku tak kenal Ar Rahman.

    Namun sekarang, aku banyak membaca tentang temuan-temuan ilmu pengetahuan yang secara tidak langsung mengakui kebenaran-kebenaran yang telah dinyatakan dengan terang benderang oleh Allah SWT dalam Al Quran. Semakin hari, Al Quran semakin membuatku takjub. Aku seperti mencandu kalau sudah membacanya, baik versi Arabnya maupun terjemahannya.

    Lalu aku mulai 'berkenalan' dengan Ustad Yusuf Mansur yang setiap pagi memberikan kajian tentang kandungan Al Quran di AN Teve. Aku senang dengan gaya ceramahnya. Jadi, meski berangkat tidur malam  harinya sudah lewat tengah malam, meski lelah sekali sepulang bekerja, tetap saja pukul lima pagi aku sudah duduk di depan televisi untuk mendengar ustad itu mengulas ayat demi ayat Al Quran.

    Sampai ia juga mengajarkan selangkah demi selangkah cara praktis menghafal Al Quran. Aku ikuti sarannya dan alhamdulillah, inilah hasilnya sekarang. Rasanya bahagia sekali, aku sudah mencapai ayat ke-15. Tadi siang, saat memasak di dapur, Al Quranku terkembang di atas lemari es, tak jauh dari dapur, standby bila sewaktu-waktu aku ingin mengecek hafalanku. Sambil memasak, di dalam hati aku terus saja seperti tanpa sadar, menghafal Ar Rahman ayat demi ayat.

    Sambil mengendarai motorku, di dalam hati aku terus menghafalnya, seperti biasa aku menghafal bait-demi bait lagunya Tompi yang membuatku penasaran. Sambil menyetrika, hatiku terus saja menyanyikan Ar Rahman. Dan aku bahagia dengan itu.

Rabu, 24 Oktober 2012

Film Indonesia Vs Film Asing di Mata Bocah 11 Tahun

Menarik pendapat sulungku Lira, tentang film-film yang dia tonton di televisi. Ia sudah mulai menggunakan logika dan mengkritisi apa yang ditontonnya.

    "Film Indonesia tu jelek. Contohnya sinetron Tutur Tinular, katanya cerita jaman dulu, masa sudah ada kata 'pesawat'? Masa pakai make up setebal itu dan pakai bulu mata palsu juga? Terus, orang yang sama berperan jadi macam-macam. Kemarin dia jadi pasukan, besok jadi patih, besok jadi pedagang di pasar, aahh!"

    Ia membandingkan dengan film-film Korea yang diputar di Indosiar, salah satu yang menjadi favoritnya adalah The Moon that Embraces the Sun. Film itu bersetting Korea di zaman Kerajaan Joseon. Lira melihat bagaimana kostum yang digunakan begitu sopan, menutup aurat, make up yang sangat natural dan jalan cerita yang menarik. Pokoknya sesuai dengan konsep waktu 'jaman dulu' yang mereka gunakan.

    Aku mengancungkan jempol. Setuju dengan pendapatnya. Aku juga berpikir film Indonesia gak jelas konsep waktunya.  Cerita ngelantur kemana-mana. Mengembang kemana-mana, menjalar kemana-mana. Kalau belum tembus 100 episode, jangan harap akan mati tokoh antagonisnya. Bahkan walau sudah mati sekalipun, dengan pertolongan nenek lampir, bisa dihidupkan lagi. Asal iklannya jelas, apa yang tak bisa?

Selasa, 23 Oktober 2012

Bosscha, Tempat Belajar Sejarah dan Astronomi

Jawa Barat memiliki banyak tujuan wisata, seperti wisata alam di Tangkuban Perahu atau wisata belanja di Pusat Kota Bandung. Namun bagi yang ingin menikmati wisata sambil belajar, mungkin menarik mengunjungi Observatorium Boscha, yang terdapat di Lembang.

    Observatorium Bosscha kini menjadi Lembaga Penelitian Institut Teknologi Bandung (ITB. Di sini para mahasiswa dan pecinta astronomi sering berkumpul untuk berdiskusi ataupun meneropong bintang.
    Dikutip dari situs resminya, Observatorium Bosscha adalah sebuah Lembaga Penelitian dengan program-program spesifik. Dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung, obervatorium ini merupakan pusat penelitian dan pengembangan ilmu astronomi di Indonesia.

    Sebagai bagian dari  Fakultas MIPA - ITB, Observatorium Bosscha memberikan layanan bagi pendidikan sarjana dan pascasarjana di ITB, khususnya bagi Program Studi Astronomi, FMIPA - ITB. Penelitian yang bersifat multidisiplin juga dilakukan di lembaga ini, misalnya di bidang optika, teknik instrumentasi dan kontrol, pengolahan data digital dan lain-lain. Berdiri tahun 1923, Observatorium Bosscha bukan hanya observatorium tertua di Indonesia, tapi juga masih satu-satunya obervatorium besar di Indonesia.

    Observatorium Bosscha adalah lembaga penelitian astronomi moderen yang pertama di Indonesia. Observatorium ini dikelola oleh ITB dan mengemban tugas sebagai fasilitator dari penelitian dan pengembangan astronomi di Indonesia, mendukung pendidikan sarjana dan pascasarjana astronomi di ITB, serta memiliki kegiatan pengabdian pada masyarakat.

    Observatorium Bosscha juga mempunyai peran yang unik sebagai satu-satunya observatorium besar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara sampai sejauh ini. Peran ini diterima dengan penuh tanggung-jawab: sebagai penegak ilmu astronomi di Indonesia.

    Tahun 2004, Observatorium Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah. Karena itu keberadaan Observatorium Bosscha dilindungi oleh UU Nomor 2/1992 tentang Benda Cagar Budaya.

   Selanjutnya, tahun 2008, Pemerintah menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu Objek Vital nasional yang harus diamankan.
  
    Sejarahnya
    Observatorium Bosscha (dahulu bernama Bosscha Sterrenwacht) dibangun oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda. Pada rapat pertama NISV, diputuskan akan dibangun sebuah observatorium di Indonesia demi memajukan Ilmu Astronomi di Hindia Belanda.

    Dan di dalam rapat itulah, Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang tuan tanah di perkebunan teh Malabar, bersedia menjadi penyandang dana utama dan berjanji akan memberikan bantuan pembelian teropong bintang. Sebagai penghargaan atas jasa KAR Bosscha dalam pembangunan observatorium ini, maka nama Bosscha diabadikan sebagai nama observatorium ini.

    Pembangunan observatorium ini sendiri menghabiskan waktu kurang lebih 5 tahun sejak tahun 1923 sampai dengan tahun 1928.
    Publikasi internasional pertama Observatorium Bosscha dilakukan pada tahun 1933. Namun kemudian observasi terpaksa dihentikan dikarenakan sedang berkecamuknya Perang Dunia II. Setelah perang usai, dilakukan renovasi besar-besaran pada observatorium ini karena kerusakan akibat perang hingga akhirnya observatorium dapat beroperasi dengan normal kembali.

    Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan observatorium ini kepada pemerintah RI. Setelah Institut Teknologi Bandung (ITB) berdiri pada tahun 1959, Observatorium Bosscha kemudian menjadi bagian dari ITB. Dan sejak saat itu, Bosscha difungsikan sebagai lembaga penelitian dan pendidikan formal Astronomi di Indonesia.

    Saat saya berkunjung ke sana, Kamis (19/7) lalu, bertepatan dengan akan  masuknya Ramadan, kesibukan pihak Bosscha terlihat agak berlebih. Siang itu terlihat beberapa kru stasiun televisi swasta yang akan mewawancarai Kepala Lembaga Penelitian Bosscha Dr Hakim L Malasan, terkait peranan lembaga itu menentukan tanggal 1 Ramadan.

    Pengunjung dari kalangan masyarakat umum dilarang masuk ke ruangan bundar tempat teropong raksasa bersejarah itu untuk melihat-lihat. Tapi beruntung, kami diperbolehkan melihat sejenak teropong itu.

    Di luar, seorang mahasiswa ITB jurusan astronomi Zainuddin, mengatakan, teropong paling besar milik observatorium itu sudah tidak aktif, karena teknologi platnya tidak diproduksi lagi. Selain itu, saat ini lembaga ini bersama ITB tengah mengembangkan teleskop Bimasakti.
  
    Tidak Sembarangan
    Walaupun berusia tua, Observatorium Bosscha tetaplah sebuah lembaga penelitian. Tidak sembarang orang dan tidak sembarang waktu bisa masuk ke sana. Menurut Zainuddin, Bosscha dibuka untuk umum dari Selasa-Jumat dalam jadwal yang telah ditentukan, baik siang maupun malam, dengan minimal jumlah rombongan 25 orang. Pada hari Sabtu, barulah kunjungan keluarga atau perorangan diperkenankan.

    Sedangkan bagi pengunjung dari kalangan pelajar, mahasiswa dan dinas, bisa masuk setelah mengajukan permohonan kepada pihak Bosscha. Selain itu, Bosscha juga terbuka untuk kalangan peneliti antariksa maupun kelompok-kelompok pecinta astronomi.

    Dari situsnya diketahui, hingga Oktober nanti, sudah ditutup pendaftaran untuk kunjungan malam karena kuotanya sudah terpenuhi. Pada kunjungan malam ini, bila cuaca baik dan tidak berawan, pengunjung dapat melihat pemandangan angkasa dengan teleskop Zeiss.

    "Kalau  masyarakat umum yang datang untuk berwisata dan foto-foto, makan-makan atau bikin outbond, tentu tidak boleh. Tapi para peneliti yang jelas tujuan kedatangannya, akan dibantu dan diperbolehkan menggunakan teropong-teropong yang ada di sini," katanya.

    Mahasiswa jurusan Astronomi ITB secara bergiliran datang ke Bosscha baik untuk meneliti maupun untuk menjadi pemandu orang-orang yang tertarik untuk datang ke sana.

    Di dunia internasional, hasil penelitian yang dipublikasikan Bosscha masih diakui keabsahannya. Selain itu, pemerintah juga memanfaatkan teropong di Bosscha untuk melihat hilal, atau menentukan tanggal 1 Ramadan.

behind the news
Saat baru saja masuk ke halaman Observatorium Bosscha yang terletak di pegunungan, sempat terjadi kesalahpahaman. Si abang yang berjalan lebih dulu, tiba-tiba didatangi seseorang.

"Pak Hakim?" tanyanya.

"Iya," jawab si abang sedikit heran. Kok kenal? Dia kan bukan selebriti.

"Mari Pak, sudah ditunggu," kata orang itu.

Bergegaslah kawan ini mengikuti orang itu. Tapi saat tiba di depan pintu observatorium, barulah kedua belah pihak tersadar, bahwa mereka telah salah orang. Ternyata yang dimaksud orang itu adalah Kepala Lembaga Penelitian Bosscha Dr Hakim L Malasan, yang akan diwawancarai kru Metro TV.

Kami  melihat sedikit cara kerja para wartawan televisi. Ternyata, saat sebuah tayangan muncul di hadapan kita, walaupun hanya ada satu wajah yang muncul di layar kaca, sebenarnya ada banyak orang yang terlibat di belakangnya. Seperti hari itu, reporter Metro TV terlihat sudah cantik dengan make up dan bulu mata anti badai-nya Syahrini (hihihi...), sepatu hak tinggi, dan tentu saja sebuah mikrofon yang akan disorongkan ke depan mulut Dr Hakim L Malasan saat wawancara.

Di belakangnya, berdiri dua mobil bertulis Metro Tv. Beberapa  orang kru terlihat duduk menunggu di bawah pohon, tak jauh dari gerbang. Kabel panjang menjalar di jalanan.

Saya sebenarnya ingin wawancara juga, namun dengan sopan Dr Hakim menyuruh saya menunggu hingga digelarkanya konferensi pers di ruang yang telah disiapkan, beberapa jam lagi. Saya tak mungkin menunggu, karena besok sudah harus balik ke Pekanbaru. Ini hari terakhir kami di Bandung dan masih banyak yang belum dilihat. Sehari sebelumnya kami tenggelam sepanjang hari di Trans Studio Bandung, karena si Tata ingin berkali-kali menaiki wahana 'dragon rider' dan menjelajahi 'dunia lain'.

Senin, 22 Oktober 2012

36 Ribu Pengangguran

Saat melewati suatu jalan, saya melihat deretan ruko yang baru saja berdiri. Di salah satu pintu tertulis besar-besar DIBUTUHKAN TENAGA KERJA SEGERA. Itu adalah pintu toko salah satu usaha laundry. Di salah satu swalayan juga tertulis pengumuman yang sama. Seorang tetangga saya, sejak berbulan-bulan yang lalu mencari seorang pembantu. Sampai saat ini belum ditemukannya. Di tempat lain, seorang bapak tengah  mencari tukang untuk merenovasi rumahnya.

    Pada waktu yang sama, seorang teman saya memiliki tiga pekerjaan sekaligus. Pegawai bidang iklan di salah satu media, pengelola sebuah lembaga pendidikan dan sekaligus perintis usaha multi level marketing yang cukup menjanjikan. Hampir setiap kesempatan ia manfaatkan untuk menjalankan bisnis-bisnisnya. Teman yang lainnya selain  menjadi wartawan juga bisnis woman yang berhasil dan pengelola sebuah event organizer.

    Saya pun sering mengerjakan dua pekerjaan di waktu yang bersamaan. Saya pikir, bila waktunya bisa diatur, tidak saling mengganggu, kenapa tidak? Maka pada suatu ketika, saya mendapat job mengedit tulisan ilmiah seorang teman. Di kesempatan lain saya dapat job yang lain lagi. Kerjanya gampang, mudah, tinggal memanfaatkan relasi yang telah terjalin selama ini.

    Makanya saya jadi kaget membaca berita bahwa saat ini ada 36 ribu warga Pekanbaru yang berstatus pengangguran. Menurut saya itu sebuah angka yang cukup besar. Bukankah ini sebuah kondisi yang sangat timpang? Mengapa pada saat yang sama, tempat yang sama (Pekanbaru, maksud saya), ada orang yang kelebihan pekerjaan, sementara yang lain tidak kebagian?

    Saya mengenal seorang wanita paruh baya yang berjalan sepanjang hari mencari pekerjaan. Kala senja tiba, terlihat ia keluar dari kamar mandi masjid sambil membawa kantong plastik. Saya pikir dia  mandi di sana. Dulu ia pernah datang ke rumah dan bertanya, apakah saya punya pekerjaan untuknya. 

    Setelah mempelajarinya, saya sampai pada kesimpulan, bahwa terkadang pekerjaan datang karena orang sudah mengetahui hasil kerja kita. Orang sudah percaya. Orang tahu kita bisa melakukannya. Atau kita sendiri yakin bisa mengerjakannya. Pekerjaan juga terkadang datang karena adanya relasi. Di sanalah salah satu makna dari sebuah kata-kata bijak bahwa silaturahmi membuka pintu rezeki, akan kita temukan.

    Orang-orang yang tidak memiliki keahlian, biasa hidup dalam kemapanan atau kurang percaya diri, akan sulit mendapatkan pekerjaan. Mereka terkadang  merasa malu dengan pekerjaan yang sudah mereka dapatkan saat ini. Mereka berpikir jangka pendek. Saya mengenal seseorang yang hampir setiap tahun gonta-ganti pekerjaan, karena tidak pernah merasa cocok. Pekerjaan yang didapat bukan dari hasil jerih payahnya, melainkan karena koneksi, dilepas begitu saja karena merasa tidak cocok dengan ilmu yang didapat di sekolah. Ia berharap akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Bodohnya, tetap saja dengan mengharapkan bantuan dari koneksi. Walhasil, hampir tiap tahun ganti pekerjaan.

    Sebaliknya, saya juga mengenal seseorang yang menolak bantuan siapapun dalam keluarganya untuk mendapatkan pekerjaan. Ia berkeras berusaha sendiri. Berat memang. Namun hasilnya amatlah manis. Kini ia bisa dikatakan berhasil, mapan secara ekonomi dan karir yang terus menanjak.

    Berusahalah, pekerjaan ada dimana-mana dan sedang menunggu kita.

   
   

Selamat Bertanding, Kawan

    Peparnas yang dibuka tadi malam (Senin, 7 Oktober 2012), merupakan ajang PON-nya kalangan disabel Indonesia. Memang gaung acara ini tak seheboh PON, namun ia patut mendapat perhatian lebih dari kita. Di sinilah, kita orang-orang yang dengan kondisi tubuh lengkap, akan menjadi saksi kekuatan tekad para disabel, sehingga dapat menjadi juara di bidang olah raga. Kita akan melihat, orang yang tak punya kaki bisa berenang,  beradu cepat lari, dan lain sebagainya.

    Banyak contoh dalam masyarakat, bagaimana kita salah memperlakukan orang-orang berkebutuhan khusus. Kita para orangtua seringkali merasa iba pada anak karena kekurangannya, lantas selalu siap sedia melayani, menolong dan  memudahkan. Kita cenderung membiarkan anak tetap berada di zona nyamannya, tanpa berusaha memberikan rangsangan agar si anak dapat menjadikan kekurangannya sebagai kelebihannya. Maka jadilah anak itu membebani orangtua sepanjang hayatnya.

    Sementara sebagian yang lain, menyembunyikan si anak dari mata dunia, karena malu punya anak yang berbeda dengan anak-anak normal lainnya. Tidak jarang pula  kita mendengar anggapan masyarakat bahwa anak yang cacat merupakan akibat dari dosa-dosa orangtuanya.

    Padahal, bila orang-orang disabel ini mendapatkan pengasuhan yang benar, mereka dapat tumbuh menjadi orang yang mandiri, bahkan mungkin lebih membanggakan daripada orang-orang dengan fisik yang sempurna. Dalam film The Eye, diceritakan tentang seorang wanita tuna netra yang diperankan dengan baik oleh si cantik Jessica Alba, hidup mandiri di sebuah apartemen tanpa bantuan orang lain. Ia bahkan bisa pergi kemana-mana tanpa bantuan orang lain dan bermain biola dalam sebuah grup musikal.

    Demikian pula dalam film 127 Hours yang menceritakan tentang seorang pendaki gunung yang terjebak di lorong sempit di dalam gua yang jauh dari keramaian, terpaksa memotong pergelangan tangannya agar bisa selamat. Setelah itu, ia tidak lantas menjadi orang yang hanya duduk menunggu dilayani orang lain. Sebaliknya, ia tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa, termasuk berenang, dengan sebelah tangan yang sudah tidak utuh.

    Di Palestina, seorang fotografer yang kehilangan kedua kakinya akibat ledakan bom, tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa, walau harus dengan kursi roda. Tak ada yang berubah dalam kesehariannya, kecuali dua kaki yang telah diganti dengan kursi roda.

    Sudah demikian banyak contoh, namun kita masih saja menemukan banyak orang-orang disabel mendapatkan perlakuan tidak wajar dan kurang manusiawi dari lingkungannya. Ditambah dengan ketidaktahuan orangtua, jadilah orang-orang disabel ini sebagai kelompok orang-orang yang tidak produktif.

    Jadi, datanglah melihat Peparnas, saksikanlah orang-orang hebat dan luar biasa yang beradu cepat di sana. Semoga kita malu, sebagai orang yang lengkap fisiknya, hingga saat ini bisa jadi kita tak berprestsai apa-apa.

behind the news
Merasa ini penting, maka saya mendesak si Papa untuk membawa kedua anak gadisnya menyaksikan para disabel itu bertanding. Rara cerita, ia melihat orang-orang yang tak punya kaki, bermain tenis meja dan badminton dengan kursi roda.

"Bisa gak Mama membayangkan, orang yang gak punya kaki, cuma pakai kursi roda, bisa main badminton!" katanya dengan takjub.


Saya berharap dia mengambil pelajaran dari semua yang disaksikannya, bahwa bila kita punya kemauan, maka kekurangan fisik bukanlah penghalang. Saya katakan, sebagai manusia dengan fisik yang lengkap, seharusnya kita bisa lebih berprestasi.

Dan di atas itu semua, kita harus bersyukur pada Allah, karena telah memberikan tubuh yang sempurna ini, jangan lagi sombong dan malas shalat.

Lalu bagaimana dengan si Tata. Tak banyak yang dapat dikorek dari anak itu. Pulang-pulang sudah terkapar kecapean. Hanya Rara yang memberi informasi, dia asik main sepatu roda barunya di arena itu. Halaaah...