Minggu, 08 Desember 2013

Mama Iri

Hari ini jadwalku mendampingi si Tata belajar. Besok ujian Bahasa Indonesia dan Agama. Kami berdua membaca buku bacaannya dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Di sinilah timbul masalah...

Sebagai sarjana Sastra Indonesia, tentu aku tak tahan untuk tidak mengkritisi tulisannya yang salah-salah. Si Tata ini, kalau menulis hurufnya kecil-kecil seperti semut. Tinggi rendah huruf juga sesukanya. Padahal aku sudah mengajarkan bagaimana menulis huruf 'l' atau 'y', atau 'k' atau 'g' dan lainnya, yang benar. Huruf-huruf itu ada 'tangkai'nya dan harus ditulis lebih tinggi.

Tata kalau diberitahu, berubah sebentar, nanti balik lagi ke kebiasan lamanya.

"Tulisanmu jelek," kataku.

"Taunyo...." jawabnya sambil terus  menulis.

Beberapa menit berlalu...

"Tulisanmu jelek."

"..."

Beberapa menit kemudian, masih belum ada perubahan.

"Tulisanmu jelek."

"Hhh... bilang ajalah Mama tu iri," katanya dengan kalem.

Aaarrggghhh....!!!!

(gagaljadiguru.com)

Sabtu, 07 Desember 2013

Aku Dibuang Nenekku




Namanya Dea. Anaknya kecil dan imut. Tubuhnya lebih kecil dari Tata. Dia teman sekelas Tata di kelas III SD. Ia menjadi teman Tata kesayanganku. Mengapa? Karena aku selalu merasa ngilu saat Tata bercerita tentang temannya yang satu itu.

“Dia tinggal di panti Ma. Katanya, neneknya yang membuangnya,” kata Tata.

Itu saja sudah seperti palu yang menghantam dadaku. Anak sekecil itu, mendapat kata-kata semacam itu? Dibuang? Aaarrrggghhh…. Nenek mana yang begitu tega membuang cucunya sendiri???

Rasanya aku ingin memeluk anak kecil itu. Cerita yang sampai ke Dea dan yang diceritakan Tata kepadaku; saat ia masih kecil, ia ditinggalkan begitu saja di depan panti itu. Di sanalah ia sampai hari ini.


Menurutku, tidaklah pantas seorang anak  mendengar hal-hal buruk seperti itu tentang dirinya. Betapalah pedih hatinya mengetahui ia tak diinginkan. Tidak bisakah orang-orang dewasa dengan bijaksana (seperti di film-film) mencari kata-kata yang lebih manis dan tidak mematikan harapan saat berbicara dengan seorang anak kecil?

Kalau ke sekolah, kata Tata seragamnya bau sabun colek.

“Mungkin gak pakai Molto Ultra Sekali Bilas kali kayak kita. Kasian ya Ma. Dia mencuci sendiri bajunya. Mesin cuci hanya untuk pengurus panti,” cerita si Tata. Wajahnya jadi sendu.

Di sekolah Tata, murid-murid punya beberapa seragam. Senin-Selasa seragam putih merah, Rabu-Kamis seragam biru kotak-kotak, Jumat baju melayu dan Sabtu training olahraga. “Tapi Dea itu hanya memakai baju putih-merah terus setiap hari. Dia tidak punya baju biru,” cerita Tata lagi.


Beberapa waktu yang lalu, dia meminta baju melayu warna hijau punya si Rara untuk dipakai pergi MDA. Aku dan Tata pun membongkar-bongkar gudang mencari baju itu. Ternyata masih sangat kebesaran untuk Dea sehingga batal diberikan.

Sebagai gantinya, aku minta Tata menyortir baju-bajunya yang masih layak pakai tapi sudah kekecilan, untuk diberikan pada temannya itu. Tata memberikan beberapa lembar bajunya, caranya, sehari dibawa satu. Beberapa hari kemudian, saat ditemukan lagi ada baju  yang kekecilan, diberikan lagi.

“Deanya senang Ma. ‘Waah… bagus sekali…’ katanya,” lapor Tata.

Suatu hari, Tata membawa catatan lagu ke rumah. Katanya, itu lagu kesayangan Dea. Aku lihat, ternyata itu lagu Bunda karya Melly Goeslaw. Tentu semua tahu, lagu itu menceritakan tentang seorang anak yang mengenang ibunya dengan penuh rasa cinta. Ibu yang rela berkorban jiwa raga demi sang anak. Yang membuat aku serasa ingin menangis adalah, cerita Tata bahwa Dea selalu menelungkupkan wajahnya bila sampai ke kata-kata, “Oh Bunda, ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku…”

“Dea pasti nangis kalau sampai sini Ma.”

“Coba kamu nyanyikan lagu itu pagi-pagi sekali, habis subuh, waktu hari masih sepi, lalu kamu pandangi foto keluargamu, kamu pasti akan  menangis,” kata Dea pada Tata.

Jadi kata Tata padaku, “Cobalah Ma, Mama ambil foto keluarga kita, nyanyikan lagu Bunda itu pas subuh-subuh abis shalat, lalu Mama pandangi foto itu, pasti Mama akan nangis.”

Aku pikir Dea lupa  menambahkan keterangan ini; bayangkan dirimu telah dibuang nenekmu, tinggal sendirian di panti asuhan sementara kedua adikmu tetap tinggal dengan ibumu, bagaimana perasaanmu?


Karena kasihanku, aku beberapa kali menyiapkan dua bekal makanan Tata. “Kasi Dea satu ya,” pesanku. Jadi kalau Tata hari itu makan nasi goreng, Dea juga dapat dalam porsi yang sama.

Hari Senin lalu, Tata pulang membawa cerita baru tentang Dea. “Seharian kemarin dia menangis karena mamanya tidak jadi datang menjemputnya,”

Ooh…, sudah, cukup Tata, nanti gantian Mama yang nangiiiiis…. Hiks hiks! Untuk menghibur Dea dan mungkin juga hatiku sendiri, aku menawarkan pada Tata untuk mengajaknya menginap di rumah kami, suatu hari nanti, saat kamarnya selesai direnovasi. Tata sudah mengundang Dea. Dea mengatakan akan meminta izin dulu pada pengurus panti. Kita tunggu saja…






Rumah P3K


 
Musim hujan. Dalam waktu singkat, halaman rumah kami kebanjiran. Untung tidak sampai  masuk rumah. Tapi ngeri-ngeri sedap juga, karena lintah mengintai. Ini salah satu pengalaman menarik saat banjir datang.

Malam itu, hujan deras turun. Sore sebelumnya, angin kencang bertiup cukup  mengkhawatirkan. Salah satu genteng rumah kami bahkan jatuh terguling-guling ke halaman hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras.

“Awas Tante, gentengnya jatuh. Nanti kena motor!” kata tetanggaku, si mahasiswa.

Aku buru-buru memindahkan sepeda motorku ke tempat yang lebih aman. Rara Tata bermain di halaman, menikmati angin.

“Hati-hati ya, angin sekencang ini bisa menjatuhkan genteng. Kena kepala kalian, bocor!” kataku. Saat itu rumah kami memang sedang direnovasi. Sebagian atap dibuka dan ditutupi dengan terpal. Terpal itu ditindih dengan sepotong genteng agar tidak diterbangkan angin. Genteng sepotong itulah yang jatuh ke halaman. Untung tidak pas di atas kandang si Nyunyit.

Melihat cuaca yang cukup mengkhawatirkan, si Nyunyit segera aku pindahkan ke teras, lalu menutupi sekeliling kandangnya dengan bekas baliho salah seorang cagubri agar tidak terkena hujan. Anak-anak kemudian aku suruh masuk ke dalam rumah.

Malam itu, hujan deras demikian ribut di luar rumah. Kami semua berkumpul di kamar, melakukan aktivitas masing-masing. Sekitar pukul delapan malam, tiba-tiba si Tata teringat sepatunya. Dia yang biasa sembarangan, baru teringat sepatu itu akan dipakai kembali besok pagi.

“Sepatu Ata!” serunya.

Ia membuka pintu dapur dan menjulurkan kepala keluar untuk melihat, dimana kira-kira sepatu malang itu ia tinggalkan. Untungnya belum kena hujan. Tapi banjir telah memenuhi halaman yang rendah. Aku menyempatkan melihat si Nyunyit dan ternyata ia juga sudah kebasahan. Ya ampun! Kasiaaan….

Saat itulah Rara mendengar bunyi samar-samar dari sudut mesin cuci. Mesin cuci itu memang sengaja diletakkan di luar rumah, agar urusan basah-basah itu tak memerlukan jarak yang jauh untuk mencuci dan menjemur.

“Mama, ada suara-suara aneh di dekat mesin cuci. Tapi karena gelap sekali, gak keliatan apa binatangnya,” kata Rara.

Aku mendekati mesin cuci dan melihat sebentuk benda hitam bergerak-gerak di sudut bawah. Basah kuyup. Mengigil kedinginan. Mengeong lemah.

“Astaga, ini anak kucing!” seruku.

Rara dan Tata segera merubung. Keduanya memang termasuk penyayang binatang. Maunya semua hewan yang terlihat bernasib malang, hendak ditolong mereka. Tata langsung  menangis.

“Kasiaaaan…. Huhuhu…. Mama, kasiaaan…”

Kamipun segera menolongnya. Rara mengambil kain kering untuk mengelap bulunya. Ia juga  menyumbangkan celana training SD-nya yang sudah tidak terpakai dan kotak sepatu. Kami selimuti anak kucing itu, lalu kami masukkan ke dalam kotak sepatu. Anak kucing itu kami bawa masuk dan diletakkan di ruang tamu.

Kasian si Nyunyit yang juga kebasahan, dia juga kami  masukkan ke dalam rumah. Kandangnya dibiarkan saja di luar. Jadi dia bisa bebas berkeliaran di ruang tamu. Iya, kotorannya besok pagi pasti akan berserakan di lantai. Biar sajalah. Rumah kami memang sedang berantakan, karena sedang dalam masa renovasi. Lagian nanti paling yang akan membersihkannya si Papa, hahaha….

Rara menemani anak kucing itu sampai beberapa saat lamanya. Saat ia berangkat tidur malam itu, si anak kucing sudah kering. Bulu-bulunya sudah mengembang kembali. Alhamdulillah, senang melihatnya.

Si Nyunyit begitu dilepas dari kandangnya, langsung pergi ke bawah kursi dan duduk di sana dengan tenang. Ia suka makan wortel dan kangkung, jadi kami siapkan makanan itu di sana sekalian.

Sedangkan untuk si anak  kucing, kami siapkan sedikit nasi. Sayangnya ia tidak mau makan. Mungkin karena masih sangat kecil, jadi dia belum bisa makan nasi.

Sekarang, di rumah kami ada dua ekor binatang,  yaitu kucing dan kelinci. Sehari sebelumnya, anak-anak menemukan kura-kura air payau sedang berjalan di dekat got. Aku rasa kura-kura itu terbawa arus akibat hujan sehari sebelumnya.

Dikira itu punya si Tata yang dulu hilang, mereka mengembalikannya. Jadi, di samping kelinci dan kucing, ada kura-kura yang juga sudah diselamatkan.

Rumah kami menjadi rumah untuk Pertolongan Pertama pada Kehujanan bagi Kucing, Kura-kura dan Kelinci. Saya sebenarnya tidak terlalu suka kucing. Tapi Rara dan Tata suka. Kucing tetangga yang nyasar ke rumahpun, dengan cepat disayang-sayang si Rara. Dia tak segan membagi shamponya untuk memandikan si kucing agar saya bolehkan dibawa  masuk ke kamar. Anak kucing yang  kehujanan itupun akan dimandikannya malam itu.

“Eit, jangan. Kasian dia sudah kedinginan. Biarkan aja dulu dia menghangatkan badannya di dalam kotak itu. Melihat kondisinya, belum tau dia akan bertahan hidup hingga besok pagi,” kataku.

Aku sudah bersiap-siap membolehkan kalau si Rara minta izin untuk memelihara anak kucing itu. Tapi keesokan paginya, saat aku bangun, anak kucing itu sudah tidak ada. Usut punya usut, rupanya si Papa yang punya kerjaan.

“Tadi waktu Abang  mau pergi Shalat Subuh ke  masjid, terdengar induknya mengeong-ngeong di depan pintu. Abang berikan anak kucing itu. Langsung dibawa pergi,” katanya.

Ternyata kemudian si Tata mengetahui bahwa si induk kucing melahirkan beberapa ekor anak di loteng rumah tetangga kami. Entah bagaimana caranya yang seekor itu bisa sampai ke sini di tengah hujan lebat dan angin kencang kemarin. Wallahualam…

“Berapa ekor anaknya Ta?” tanyaku.

“Gak tau, mungkin tiga, atau lima, entahlah, pokoknya banyak,” katanya.

Sejak ada anak kucing yang lahir di loteng itu, pintu dapurku tak bisa dibiarkan terbuka. Selalu saja ada yang mengusik tempat sampah. Sekali waktu, kotoran ikan yang baru kami masukkan ke dalam tempat sampah, berserakan di lantai dapur. Bahkan sampai ke halaman. Awalnya aku mau marah, karena lantai jadi kotor lagi. Padahal baru saja dibersihkan. Tapi mengingat induk kucing itu punya banyak anak yang harus diberi makan, naluri ‘kekucingan’ku  jadi terusik.

“Ya sudahlah, kamu makanlah isi perut ikan itu. Wah, pandai pulak kamu memilih mana yang segar dan mana yang berformalin ya?” kataku. Iya lo, induk kucing itu memakan  hanya isi perut ikan sungai yang kami beli di pasar dalam keadaan segar. Sementara ikan laut yang sudah diberi es (dan mungkin formalin atau bahan pengawet lainnya), tidak disentuhnya.

Setelah perutnya kenyang, induk kucing itupun pergi. Semoga anak-anakmu kenyang ya…