Hidung mulai meler. Flu berjamaah. Tapi karena judul besarnya adalah liburan,
hati senang-senang saja. Hari ini, agenda kami adalah naik ke Jam Gadang.
Setelah mandi pagi dan mencuci, kami berangkat. Rombongan dibagi
dua. Si Tata dan papa pergi ke Panorama. Dia masih penasaran ingin masuk lagi
ke Lobang Jepang. Calon arkeolog kami ini ingin melihat kembali ruang-ruang
penyiksaan, dapur dan sebagainya di
dalam lobang besar itu.
Sementara aku sudah angkat tangan dengan urusan daki mendaki
ini. Ndak kuat di angok do mak oooi...
Rara dan Tsaqif juga gak mau ke Panorama. Mereka memilih keliling muter-muter di Pasa
Ateh saja. Okelah kalau begitu. Itu mama banget! Kami sarapan dulu di warung sarapan Mas Karto di
Pasa Ateh. Di sana ada soto, mie goreng dan lain sebagainya. Tapi sate gak ada.
Setelah itu, Tata dan si papa memisahkan diri. Aku, Rara dan
Tsaqif menuju Jam Gadang. aku penasaran ingin naik ke atasnya. Ingin foto-foto
selfie buat manas-manasin ente-ente semua di rantau yang gak pada pulang
kampung.
Hari itu pengunjung cukup ramai. Kami masuk ke bagian bawah Jam Gadang, mau
mengurus perizinan naik ke puncaknya. Aqif sudah gelisah, hahaha...
Jam Gadang, dibangun pada 1926, sebagai hadiah dari Ratu Belanda
Pak Fauzi, pegawai Dinas Pariwisata Bukittinggi yang menjadi
Koordinator Jam Gadang, menyambut kami dengan ramah. Dengan baik-baik ia mengatakan bahwa kami
tidak diperkenankan menaiki jam itu.
“Ini berlaku sejak 2006 lalu. Alasannya, demi keselamatan
pengunjung juga. Kami kan tidak memungut karcis untuk masuk ke sini sehingga
tidak ada asuransinya. Kalau terjadi apa-apa nanti di atas, kan bahaya juga,”
katanya.
Saya dapat memakluminya.
Dia menjelaskan lebih jauh, dulu, tiket untuk naik ke atas Jam Gadang
Rp50.000 perorang. Cukup mahal ya. Itu sembilan tahun yang lalu loh. Sekarang aja masih terasa mahal.
Saat ini, hanya orang-orang tertentu yang diperkenankan naik
ke atas, misalnya orang-orang dari media, untuk kepentingan promosi pariwisata.
Itupun di wartawan harus melengkapi diri dengan surat tugas resmi dari kantor dan mendapat izin pula dari Kepala Dinas
Pariwisata Bukittinggi.
Pihak lain yang diperbolehkan naik ke atas adalah para wakil
rakyat dan aparat Kepolisian atau TNI. Kalau aparat Kepolisian dan TNI
diperbolehkan naik, saya masih bisa menerima alasannya, demi keamanan dan sebagainya yang terkait
dengan itu.
Tapi kalau para wakil rakyat, alasannya apa ya? Mau menjemput
aspirasi? Aspirasi siapa yang menunggu mereka di puncak Jam Gadang? hehehe...
Prasasti ini menerangkan sejarah Jam Gadang
Jam Gadang dibangun pada 1926 oleh pemerintah kolonial Belanda.
Bahan-bahannya adalah kapur, putih telur
dan pasir putih. Tahukah Tuan-tuan dan
Puan-puan, siapa arsitek jam ini? Ternyata namanya Yazid dan Sutan Gigi Ameh.
Pada prasasti di jam ini dijelaskan, bahwa ini merupakan hadiah dari Ratu
Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota) Bukittinggi Rook Maker. Peletakan
batu pertamanya dilakukan oleh putera Rook Maker yang berusia 6 tahun.
Hingga saat ini, jam yang digerakkan secara manual itu,
masih hidup. Saat terjadi gempa besar di Padangpanjang, jam itu baru siap
hingga tingkat ketiga. Pembangunannya lalu dihentikan sementara.
Setelah keadaan tenang kembali, pembangunan dilanjutkan
hingga menjadi enam tingkat. Puncak jam itu awalnya dipasangi lambang ayam jago
oleh Belanda. Sementara ketika Jepang menjajah, puncaknya diganti seperti kuil.
Dan pada 1953, setelah Indonesia merdeka, puncaknya diganti kembali dengan
gonjong, khas Minangkabau, hingga hari ini.
Pada malam pergantian tahun masehi 31 Desember, orang-orang
berduyun-duyun datang ke bawah jam
gadang. apa yang mereka lihat?
“Karena di sekitar lokasi ini dilarang digelar panggung
terbuka dengan musik hingar bingar, pada malam tahun baru diadakan pesta
kembang api dan bunyi sirine. Urang-urang datang untuak mancaliak kambang api
jo jam balimpik,” terangnya lagi.
Teteup wawancara...
Jam balimpik maksudnya
jarum jam berdempet di angka 12 tengah
malam.
Selagi aku asyik ngobrol sama si bapak, Rara dan Aqif sudah
pergi duluan menjelajah lapak demi lapak di Pasa Ateh. Apalagi yang dicari,
kalau bukan oleh-oleh, pernak-pernik kecil lucu imut.
Pasa Ateh di Bukittinggi hingga saat ini tetaplah
menjadi magnet bagi para pelancong. Walau
dari satu lapak ke lapak lainnya produk yang dijual relatif sama, namun tetap
saja orang ramai berdatangan. Rasanya belum ke Bukittinggi, kalau belum ke Pasa
Ateh.
Tips belanja di sana, sederhana saja; jangan sungkan menawar
setengah harga!
Aku menyusul mereka. Kami membeli baju kaos dengan tulisan
khas Bukittinggi untuk Rara, Aqif dan Tata, sebagai kenang-kenangan. Puas keliling-keliling
sampai kaki pegal, aku merapat ke warung yang menjual Ampiang Dadiah. Horeeee.....
akhirnya ada juga kesempatan untuk menikmatinya lagi.
Ampiang dadiah, makanan khas Bukittinggi dari susu kerbau fermentasi
Ampiang dadiah adalah makanan khas yang terdiri dari ampiang
dan dadiah. Ampiang adalah beras pulut yang disangrai hingga lunak, lalu
ditumbuk hingga bentuknya pipih. Sementara
dadiah adalah susu kerbau yang difermentasi, mungkin sama kayak yogurt kali ya?
Rasanya asam seperti yogurt, bentuknya seperti bubur.
Makanan ampiang dadiah dihidangkan dengan urusan; ampiang,
dadiah, parutan kelapa, vla dari gula merah. Boleh ditambahi es serut di
atasnya. Satu porsi Rp15 ribu.
Aku langsung menikmati menu kesukaanku itu. Rara dan Tata
memilih es tebak yang sudah biasa di lidah mereka. Pas disuruh nyobain ampiang
dadiah, ekspresi wajah mereka jadi lucu. Hehehe...
Tak lama kemudian, Tata dan papanya datang. Ternyata mereka
juga mampir ke museum di dekat Panorama itu. Melihat ampiang dadiah, ni orang
Bukittinggi aseli yang belum pernah menikmatinya, jadi pengen juga. Maka dipesanlah
seporsi lagi.
Aqif dan Rara mencicipi ampiang dadiah punyaku. Mereka masih kurang suka. Tunggu sampai klean gadang dan jauah di rantau urang yo, pasti takana-kana jo ampiang dadiah ko mah...
Setelah itu, kami pulang dengan perasaan puas dan bahagia.
Siap-siap untuk petualangan besok hari