Jawa Barat memiliki banyak tujuan wisata, seperti wisata alam di Tangkuban Perahu atau wisata belanja di Pusat Kota Bandung. Namun bagi yang ingin menikmati wisata sambil belajar, mungkin menarik mengunjungi Observatorium Boscha, yang terdapat di Lembang.
Observatorium Bosscha kini menjadi Lembaga Penelitian Institut Teknologi Bandung (ITB. Di sini para mahasiswa dan pecinta astronomi sering berkumpul untuk berdiskusi ataupun meneropong bintang.
Dikutip dari situs resminya, Observatorium Bosscha adalah sebuah Lembaga Penelitian dengan program-program spesifik. Dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung, obervatorium ini merupakan pusat penelitian dan pengembangan ilmu astronomi di Indonesia.
Sebagai bagian dari Fakultas MIPA - ITB, Observatorium Bosscha memberikan layanan bagi pendidikan sarjana dan pascasarjana di ITB, khususnya bagi Program Studi Astronomi, FMIPA - ITB. Penelitian yang bersifat multidisiplin juga dilakukan di lembaga ini, misalnya di bidang optika, teknik instrumentasi dan kontrol, pengolahan data digital dan lain-lain. Berdiri tahun 1923, Observatorium Bosscha bukan hanya observatorium tertua di Indonesia, tapi juga masih satu-satunya obervatorium besar di Indonesia.
Observatorium Bosscha adalah lembaga penelitian astronomi moderen yang pertama di Indonesia. Observatorium ini dikelola oleh ITB dan mengemban tugas sebagai fasilitator dari penelitian dan pengembangan astronomi di Indonesia, mendukung pendidikan sarjana dan pascasarjana astronomi di ITB, serta memiliki kegiatan pengabdian pada masyarakat.
Observatorium Bosscha juga mempunyai peran yang unik sebagai satu-satunya observatorium besar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara sampai sejauh ini. Peran ini diterima dengan penuh tanggung-jawab: sebagai penegak ilmu astronomi di Indonesia.
Tahun 2004, Observatorium Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah. Karena itu keberadaan Observatorium Bosscha dilindungi oleh UU Nomor 2/1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Selanjutnya, tahun 2008, Pemerintah menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu Objek Vital nasional yang harus diamankan.
Sejarahnya
Observatorium Bosscha (dahulu bernama Bosscha Sterrenwacht) dibangun oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda. Pada rapat pertama NISV, diputuskan akan dibangun sebuah observatorium di Indonesia demi memajukan Ilmu Astronomi di Hindia Belanda.
Dan di dalam rapat itulah, Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang tuan tanah di perkebunan teh Malabar, bersedia menjadi penyandang dana utama dan berjanji akan memberikan bantuan pembelian teropong bintang. Sebagai penghargaan atas jasa KAR Bosscha dalam pembangunan observatorium ini, maka nama Bosscha diabadikan sebagai nama observatorium ini.
Pembangunan observatorium ini sendiri menghabiskan waktu kurang lebih 5 tahun sejak tahun 1923 sampai dengan tahun 1928.
Publikasi internasional pertama Observatorium Bosscha dilakukan pada tahun 1933. Namun kemudian observasi terpaksa dihentikan dikarenakan sedang berkecamuknya Perang Dunia II. Setelah perang usai, dilakukan renovasi besar-besaran pada observatorium ini karena kerusakan akibat perang hingga akhirnya observatorium dapat beroperasi dengan normal kembali.
Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan observatorium ini kepada pemerintah RI. Setelah Institut Teknologi Bandung (ITB) berdiri pada tahun 1959, Observatorium Bosscha kemudian menjadi bagian dari ITB. Dan sejak saat itu, Bosscha difungsikan sebagai lembaga penelitian dan pendidikan formal Astronomi di Indonesia.
Saat saya berkunjung ke sana, Kamis (19/7) lalu, bertepatan dengan akan masuknya Ramadan, kesibukan pihak Bosscha terlihat agak berlebih. Siang itu terlihat beberapa kru stasiun televisi swasta yang akan mewawancarai Kepala Lembaga Penelitian Bosscha Dr Hakim L Malasan, terkait peranan lembaga itu menentukan tanggal 1 Ramadan.
Pengunjung dari kalangan masyarakat umum dilarang masuk ke ruangan bundar tempat teropong raksasa bersejarah itu untuk melihat-lihat. Tapi beruntung, kami diperbolehkan melihat sejenak teropong itu.
Di luar, seorang mahasiswa ITB jurusan astronomi Zainuddin, mengatakan, teropong paling besar milik observatorium itu sudah tidak aktif, karena teknologi platnya tidak diproduksi lagi. Selain itu, saat ini lembaga ini bersama ITB tengah mengembangkan teleskop Bimasakti.
Tidak Sembarangan
Walaupun berusia tua, Observatorium Bosscha tetaplah sebuah lembaga penelitian. Tidak sembarang orang dan tidak sembarang waktu bisa masuk ke sana. Menurut Zainuddin, Bosscha dibuka untuk umum dari Selasa-Jumat dalam jadwal yang telah ditentukan, baik siang maupun malam, dengan minimal jumlah rombongan 25 orang. Pada hari Sabtu, barulah kunjungan keluarga atau perorangan diperkenankan.
Sedangkan bagi pengunjung dari kalangan pelajar, mahasiswa dan dinas, bisa masuk setelah mengajukan permohonan kepada pihak Bosscha. Selain itu, Bosscha juga terbuka untuk kalangan peneliti antariksa maupun kelompok-kelompok pecinta astronomi.
Dari situsnya diketahui, hingga Oktober nanti, sudah ditutup pendaftaran untuk kunjungan malam karena kuotanya sudah terpenuhi. Pada kunjungan malam ini, bila cuaca baik dan tidak berawan, pengunjung dapat melihat pemandangan angkasa dengan teleskop Zeiss.
"Kalau masyarakat umum yang datang untuk berwisata dan foto-foto, makan-makan atau bikin outbond, tentu tidak boleh. Tapi para peneliti yang jelas tujuan kedatangannya, akan dibantu dan diperbolehkan menggunakan teropong-teropong yang ada di sini," katanya.
Mahasiswa jurusan Astronomi ITB secara bergiliran datang ke Bosscha baik untuk meneliti maupun untuk menjadi pemandu orang-orang yang tertarik untuk datang ke sana.
Di dunia internasional, hasil penelitian yang dipublikasikan Bosscha masih diakui keabsahannya. Selain itu, pemerintah juga memanfaatkan teropong di Bosscha untuk melihat hilal, atau menentukan tanggal 1 Ramadan.
behind the news
Saat baru saja masuk ke halaman Observatorium Bosscha yang terletak di pegunungan, sempat terjadi kesalahpahaman. Si abang yang berjalan lebih dulu, tiba-tiba didatangi seseorang.
"Pak Hakim?" tanyanya.
"Iya," jawab si abang sedikit heran. Kok kenal? Dia kan bukan selebriti.
"Mari Pak, sudah ditunggu," kata orang itu.
Bergegaslah kawan ini mengikuti orang itu. Tapi saat tiba di depan pintu observatorium, barulah kedua belah pihak tersadar, bahwa mereka telah salah orang. Ternyata yang dimaksud orang itu adalah Kepala Lembaga Penelitian Bosscha Dr Hakim L Malasan, yang akan diwawancarai kru Metro TV.
Kami melihat sedikit cara kerja para wartawan televisi. Ternyata, saat sebuah tayangan muncul di hadapan kita, walaupun hanya ada satu wajah yang muncul di layar kaca, sebenarnya ada banyak orang yang terlibat di belakangnya. Seperti hari itu, reporter Metro TV terlihat sudah cantik dengan make up dan bulu mata anti badai-nya Syahrini (hihihi...), sepatu hak tinggi, dan tentu saja sebuah mikrofon yang akan disorongkan ke depan mulut Dr Hakim L Malasan saat wawancara.
Di belakangnya, berdiri dua mobil bertulis Metro Tv. Beberapa orang kru terlihat duduk menunggu di bawah pohon, tak jauh dari gerbang. Kabel panjang menjalar di jalanan.
Saya sebenarnya ingin wawancara juga, namun dengan sopan Dr Hakim menyuruh saya menunggu hingga digelarkanya konferensi pers di ruang yang telah disiapkan, beberapa jam lagi. Saya tak mungkin menunggu, karena besok sudah harus balik ke Pekanbaru. Ini hari terakhir kami di Bandung dan masih banyak yang belum dilihat. Sehari sebelumnya kami tenggelam sepanjang hari di Trans Studio Bandung, karena si Tata ingin berkali-kali menaiki wahana 'dragon rider' dan menjelajahi 'dunia lain'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar