Lebaran dalam Keprihatinan
Lebaran kali ini terasa lain. Berat. Ramadan saja diisi dengan agenda lampu mati setiap hari, paling tidak tiga jam. Pernah juga kami berbuka puasa dalam gelap, karena pukul enam sore, saat nasi telah terhidang, teh panas sudah menerbitkan air liur dan kami sekeluarga bersuka cita, tiba-tiba dus! Gelap gulita seketika. Listrik mati!
Lebaran pun dijanjikan PLN tak akan bebas dari mati lampu. Dengan alasan blablabla... intinya, jangan harap Lebaran bebas dari mati lampu. Anehnya, untuk Munas Golkar nanti, listrik dijamin tidak akan mati. Hebat kan?
Terlepas dari itu semua, suasana menyambut Lebaran terasa dimana-mana. Rumah-rumah direnovasi atau paling tidak dicat ulang, perabot diganti, baju baru dan kue-kue, adalah hal-hal yang lazim dilakukan orang menjelang Lebaran tiba.
Agaknya telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia untuk merayakan Lebaran lebih dari hari raya lainnya. Persiapannya butuh setahun penuh, dimulai sejak Lebaran sebelumnya dan berakhir pada Lebaran berikutnya. Orang-orang mengumpulkan uang agar dapat memberikan suasana dan nuansa baru saat hari nan fitri itu datang.
Namun tahun ini, seiring badai krisis yang mengglobal, agaknya kita perlu menahan diri, lebih dari yang sudah-sudah. Demikian pedihnya penderitaan, sampai-sampai orang menipu untuk mendapatkan uang. Daging glonggongan dan ayam tiren, muncul di pasaran. Aksi perampokan juga tak kalah ganasnya. Semua hal itu rasanya tak pernah kita dengar lima tahun silam.
Kitapun sering disuguhkan televisi pemandangan orang-orang marjinal yang memakan nasi basi, nasi bercampur pasir atau nasi bercampur jagung, sama seperti zaman revolusi, berpuluh tahun yang dulu. Sungguh miris hati ini melihatnya. Sementara kita yang punya sedikit harta berlebih, masih saja bernafsu membeli pakaian baru di butik-butik mahal.
Pengamat ekonomi mengatakan krisis global belum akan usai hingga beberapa waktu ke depan. Kita perlu mewaspadainya. Seperti kata sahabat saya, pada saat sekarang ini, lebih bijak bila kita menyimpan uang daripada membelanjakannya. Simpan untuk masa-masa sulit yang masih membayang di depan mata, agar kita tak perlu berhutang, atau terpaksa memakan nasi basi untuk bertahan hidup.
Jadi, tak perlulah malu bila Lebaran kali ini kita masih saja memakai pakaian yang sama dengan sebelumnya. Itu tak terlalu penting, karena hati yang suci, jauh lebih berharga. Minal aidin wal faizin... Selamat Idul Fitri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar