Namanya Dea. Anaknya kecil dan imut. Tubuhnya lebih kecil
dari Tata. Dia teman sekelas Tata di kelas III SD. Ia menjadi teman Tata
kesayanganku. Mengapa? Karena aku selalu merasa ngilu saat Tata bercerita
tentang temannya yang satu itu.
“Dia tinggal di panti Ma. Katanya, neneknya yang
membuangnya,” kata Tata.
Itu saja sudah seperti palu yang menghantam dadaku. Anak sekecil
itu, mendapat kata-kata semacam itu? Dibuang? Aaarrrggghhh…. Nenek mana yang begitu tega membuang cucunya sendiri???
Rasanya aku ingin memeluk anak kecil itu. Cerita yang
sampai ke Dea dan yang diceritakan Tata kepadaku; saat ia masih kecil, ia
ditinggalkan begitu saja di depan panti itu. Di sanalah ia sampai hari ini.
Menurutku, tidaklah pantas seorang anak mendengar hal-hal buruk seperti itu tentang
dirinya. Betapalah pedih hatinya mengetahui ia tak diinginkan. Tidak bisakah
orang-orang dewasa dengan bijaksana (seperti di film-film) mencari kata-kata
yang lebih manis dan tidak mematikan harapan saat berbicara dengan seorang anak
kecil?
Kalau ke sekolah, kata Tata seragamnya bau sabun colek.
“Mungkin gak pakai Molto Ultra Sekali Bilas kali kayak
kita. Kasian ya Ma. Dia mencuci sendiri bajunya. Mesin cuci hanya untuk
pengurus panti,” cerita si Tata. Wajahnya jadi sendu.
Di sekolah Tata, murid-murid punya beberapa seragam.
Senin-Selasa seragam putih merah, Rabu-Kamis seragam biru kotak-kotak, Jumat
baju melayu dan Sabtu training olahraga. “Tapi Dea itu hanya memakai baju putih-merah
terus setiap hari. Dia tidak punya baju biru,” cerita Tata lagi.
Beberapa waktu yang lalu, dia meminta baju melayu warna
hijau punya si Rara untuk dipakai pergi MDA. Aku dan Tata pun
membongkar-bongkar gudang mencari baju itu. Ternyata masih sangat kebesaran
untuk Dea sehingga batal diberikan.
Sebagai gantinya, aku minta Tata menyortir baju-bajunya
yang masih layak pakai tapi sudah kekecilan, untuk diberikan pada temannya itu.
Tata memberikan beberapa lembar bajunya, caranya, sehari dibawa satu. Beberapa hari
kemudian, saat ditemukan lagi ada baju
yang kekecilan, diberikan lagi.
“Deanya senang Ma. ‘Waah… bagus sekali…’ katanya,” lapor
Tata.
Suatu hari, Tata membawa catatan lagu ke rumah. Katanya,
itu lagu kesayangan Dea. Aku lihat, ternyata itu lagu Bunda karya Melly
Goeslaw. Tentu semua tahu, lagu itu menceritakan tentang seorang anak yang
mengenang ibunya dengan penuh rasa cinta. Ibu yang rela berkorban jiwa raga
demi sang anak. Yang membuat aku serasa ingin menangis adalah, cerita Tata bahwa
Dea selalu menelungkupkan wajahnya bila sampai ke kata-kata, “Oh Bunda, ada dan
tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku…”
“Dea pasti nangis kalau sampai sini Ma.”
“Coba kamu nyanyikan lagu itu pagi-pagi sekali, habis
subuh, waktu hari masih sepi, lalu kamu pandangi foto keluargamu, kamu pasti
akan menangis,” kata Dea pada Tata.
Jadi kata Tata padaku, “Cobalah Ma, Mama ambil foto
keluarga kita, nyanyikan lagu Bunda itu pas subuh-subuh abis shalat, lalu Mama
pandangi foto itu, pasti Mama akan nangis.”
Aku pikir Dea lupa menambahkan keterangan ini; bayangkan dirimu
telah dibuang nenekmu, tinggal sendirian di panti asuhan sementara kedua adikmu
tetap tinggal dengan ibumu, bagaimana perasaanmu?
Karena kasihanku, aku beberapa kali menyiapkan dua bekal
makanan Tata. “Kasi Dea satu ya,” pesanku. Jadi kalau Tata hari itu makan nasi
goreng, Dea juga dapat dalam porsi yang sama.
Hari Senin lalu, Tata pulang membawa cerita baru tentang
Dea. “Seharian kemarin dia menangis karena mamanya tidak jadi datang menjemputnya,”
Ooh…, sudah, cukup Tata, nanti gantian Mama yang
nangiiiiis…. Hiks hiks! Untuk menghibur Dea dan mungkin juga hatiku sendiri,
aku menawarkan pada Tata untuk mengajaknya menginap di rumah kami, suatu hari
nanti, saat kamarnya selesai direnovasi. Tata sudah mengundang Dea. Dea
mengatakan akan meminta izin dulu pada pengurus panti. Kita tunggu saja…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar