Ternyata, si Permata (Tata) itu, adalah calon pemimpin masa depan. Menurut Ayah Edi (Apa ya, sebutan untuk dia? Sori aku lupa :D) ciri-ciri karakter si Tata adalah ciri-ciri calon pemimpin.
Ya benar, dia menangis dengan suara melengking tinggi. Heboh sampai ke langit ke tujuh, begitu aku menyebutnya. Tidak gampang kapok, walaupun sudah dihukum.
Waktu baru lahir secara caesar saja, dia sudah menunjukkan bahwa dirinya yang berkuasa. Tangisnya meledak tinggi, membuat kakaknya tersurut takut. Bahkan kata si Abang, matanya menatap tajam kakaknya di usianya yang baru beberapa menit itu.
Jadi kataku berkelakar, waktu kecil saja, si adik itu sudah nantangin kakaknya. "Mungkin dia mau bilang, 'Apa kau?!' sama Rara," kataku. Lira jadi tertawa terpingkal-pingkal membayangkan adik bayinya yang masih merah itu sudah menantang berkelahi...
Salah-satu ciri calon pemimpin adalah tangisnya yang keras, rasanya bisa membangunkan dua tiga rumah tetangga. Selain itu... dia suka ngeles. disuruh mandi minta makan, disuruh makan bilang ngantuk, disuruh belajar ngaku capek.
Sudah jelas itu gelas barusan dia yang gunakan, tetap tak ngaku saat sudah pecah. "Bukan Tata, jatuh sendiri. Tata cuma pegang." suaranya tinggi penuh percaya diri dan mata mendelik seolah aku telah berlaku tidak adil dan menebar fitnah dengan menuduhnya memecahkan gelas. Ya benar, itu dia!
Semangat bersaingnya cukup tinggi dan daya tangkapnya bisa dibanggakan. Sekarang dia sedang menghafal Asmaul Husna. Selagi mengulang nomor 1-30, dia marah kalau aku atau siapapun mencoba mengingatkan, bila ada salah satu yang dia lupa.
Tapi dia anak yang tidak dapat dipaksa. Calon pemimpin adalah pribadi yang harus diberi pilihan, melakukan atau tidak. Calon pemimpin itu harus membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Apakah dia akan berdoa saat masuk wc atau tidak. Apakah dia akan memakai celana panjang saat tidur atau tidak. Perintah semacam, "Tata, pakai sepatunya!" tak akan dapat menaklukkannya.
Terkadang, dia bertanya padaku, baju yang mana yang bagus ia kenakan sehabis mandi pagi. Kupilihkan seleraku, ternyata ia menolak.
"Jadi, buat apa nanya Mama?"
"Tapi Tata mau pakai baju yang ini," ditariknya pelan-pelan baju favorit yang sudah lusuh dan bikin malu itu. Lagi dan lagi. Hm...
Lira
Dari tangisnya yang berurai air mata, tersedu-sedu di balik bantal hingga mata bengkak dan merah, ya benar, dia akan kuat di bidang seni atau science. Ia menangis dalam diam saat menonton film My Name is Khan.
Kulihat, buku-buku seri ilmu pengetahuan alam maupun hewan-hewan, sangat digemarinya. Setumpuk boneka hadiah ulang tahunnya dulu, tak begitu disukai. Sebagian besar sudah diturunkan ke si 'calon pemimpin'.
Ia suka membaca buku dan dapat bertahan hingga berjam-jam dengan buku itu. Bahkan hingga larut malam, saat aku pulang dari kantor sekitar pukul setengah sebelas (itu standarnya, kadang bisa lewat), sering ia masih terbangun.
Sering di hari libur, kami pergi ke Perpustakaan Wilayah Soeman Hs yang megah untuk meminjam buku. Kuperhatikan, buku yang dipinjamnya tak jauh-jauh dari buku ilmu pengetahuan, semisal dunia rawa, angkasa luar, petir dan lain sebagainya.
Dan aku berbagi pengalaman keisengan masa kecil, tentang ulahku yang 'menguji' guru dengan ilmu pengetahuan umum yang kuketahui. Salah satu yang masih kuingat adalah istilah emas hitam untuk minyak bumi, emas hijau untuk hutan belantara dan emas putih untuk platinum. Itu semua aku dapatkan dari ensiklopedi.
Untuk menguji guru di kelas, aku bertanya, "Apakah emas hijau itu?" Si guru bengong, lalu berkata dengan nama heran campur mengejek, "Tak ada emas yang hijau." Aku tersenyum. Satu-kosong.
Ternyata sekarang Rara melakukannya pada gurunya. Dan aku kaget, pertanyaannya sama, apakah emas hijau itu? Reaksi gurunya sama dengan guru SD Inpres-ku, 30 tahun yang lalu....hehehe...
Mungkin aku salah mengajarkan dia soal itu. Tapi sisi baiknya, ia jadi lebih suka belajar. Sasaran tembaknya tak lagi guru, tapi juga teman-teman sekelas.
Usianya baru delapan tahun (Agustus 2010 nanti genap 9 tahun. Ha! Anakku sudah 9 tahun!!). Melihat gayanya, di waktu kelas 2, ia kumasukkan les menari. Alhamdulillah sekarang sudah disuruh tampil membawakan tari satu-satunya yang dia kuasai setakat ini, Tari Persembahan.
Beberapa hari lalu, kami mencari tempat les musik. Di salah satu mall di Pekanbaru, petugas administrasi yang menerima kami, mengatakan, untuk pemula seperti dia, bagusnya belajar piano klasik dulu. "Nanti setelah mahir, dia gampang pindah ke alat musik manapun, biola, gitar, atau apa saja," katanya.
Lira mengatakan mau ikut les. Otakku sibuk membuat pengurangan imajiner, bagian mana dari pos pengeluaran yang akan dipotong untuk biaya les piano klasik itu. Ditambah adiknya yang sudah pasti tak mau kalah, tentu biaya akan jadi 2 kali lipat. Hampir setengah juta untuk empat kali pertemuan dikali setengah jam sekali pertemuan. Belum termasuk adiknya.
Dan sebagai catatan, percuma merundingkan masalah itu dengan si Papa, karena ia kurang (bahkan tidak sama sekali), tertarik terhadap hal-hal semacam ini.
Itulah anak-anakku. Dua saja, tapi serasa punya selusin. Bila salah satu tak ada di rumah, rumah itu sepi, tenang dan damai saja. Tapi begitu keduanya lengkap, rumah jadi ramai. Jeritan, tawa, tangisan juga, bunyi benda jatuh, gelas pecah (itu kayaknya si Tata lagi deh), derap kaki berlarian, semua ada. Hm.. i love you full!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar