Aku teringat, Jumat malam kemarin, Rara berkata padaku, “Ma, besok pagi, cepat bereskan semua di rumah, terus antarkan Rara sekolah. Sekalian tungguin ya!” matanya berbinar penuh harap.
Aku tahu, ia rindu seperti teman-temannya yang lain, yang ditunggui ibu mereka. Ia juga ingin diperhatikan seperti itu. Ada keharuan dalam hatiku mendengar permintaannya. Sederhana saja bukan, minta ditunggui di sekolah pada Hari Sabtu, hari dimana aku tidak perlu masuk kantor. Ia tidak meminta muluk-muluk, misalnya minta dibelikan sepatu roda, atau sepeda, atau apalah. Ia hanya ingin ditunggu sehari itu, sekitar satu jam saja. Tapi mungkin di situlah kebahagiaannya. Di situlah kebanggannya.
Ya, selalu aku lihat sorot kebahagiaan dan kebanggaan itu setiap kali aku mengantarkannya ke sekolah. Padahal aku pergi tidaklah mengenakan pakaian terbaikku, tanpa lipstik, tanpa mike up. Dan tidak pula dengan mengendarai mobil mewah. Aku mengayuh sepeda. Ya, sepeda. Kulihat di jam, hanya perlu tujuh menit melewati jalan tikus menuju sekolahnya itu. Sementara kawan-kawannya diantar paling kurang dengan sepeda motor. Tak sedikit pula yang diantar dengan mobil.
Rara tetap bangga padaku, ibunya yang hanya bisa mengayuh sepeda ini. Walaupun pantatnya sakit duduk di jok belakang yang tanpa busa, walau kadang bersempit-sempit karena adiknya tak mau ditinggal, walau ia harus melewati tempat pembuangan sampah yang bau, ia tetap bahagia bila aku yang mengantarnya ke sekolah.
Sebenarnya tidak sulit bagiku untuk memenuhi permintaan itu. Gampang saja. Masalahnya, Sabtu 28 Februari kemarin, adalah hari pertama aku masuk kuliah S2 Komunikasi. Hari pertama! Walau baru matrikulasi, namun aku merasa penting untuk menghadirinya karena setelah dihitung-hitung, ternyata terakhir aku kuliah adalah 13 tahun yang lalu! Dan matrikulasi ini berlangsung dari pukul delapan pagi hingga pukul enam sore. Oh God!
Ini memang pilihan yang sulit. Di satu sisi, rasanya sayang bila aku tak ambil kuliah ini karena suami sendiri sudah sangat mendukungnya. Aku juga menginginkannya. Dan lagi ini menunjang pekerjaanku sebagai seorang jurnalis.
Namun di sisi lain, ternyata ada persoalan lain. Anakku butuh perhatian. Dan alangkah dalam penyesalanku karena tak dapat memenuhi permintaan yang sederhana itu. Lebih sedih lagi saat kukatakan pada Rara bahwa aku tidak bisa, dan ia mencoba mengerti. Walau tak pernah terucap, aku percaya, jauh di lubuk hatinya, ia kecewa. Ia mencoba memahami aku, memahami kebutuhanku untuk menunjukkan eksistensi diri. Rara yang masih tujuh tahun, mencoba mengerti orangtuanya yang sudah 37 tahun.
Saat aku pulang menjelang maghrib hari itu, wajahnya cerah. Adiknya juga. Walaupun aku lelah, namun bahagia bisa berkumpul lagi dengan mereka.
Keesokan harinya, matrikulasi dilanjutkan lagi. Hari ini hanya setengah hari. Kami makan nasi bungkus sepulang aku dari kuliahku. Ia bahagia karena dibelikan nasi Padang dengan lauk ayam bakar. Adiknya juga makan dengan lahap.
Dan kata Rara kemudian, “Ma, nanti sore kita jalan-jalan yuk, naik sepeda.”
Sebuah permintaan sederhana, yang diucapkan dengan nada perlahan, tidak memaksa. Sedikit keraguan tertangkap dari nadanya. Ragu aku akan bisa memenuhinya. Dan ternyata memang tidak bisa lagi karena pukul tiga sore itu, aku sudah harus masuk kantor lagi, menyiapkan koran untuk Senin.
Tahun lalu, kami sering pergi berdua naik sepeda hingga jauh sekali dari rumah. Tak sempat sore hari, Minggu pagi kami manfaatkan untuk bersepeda ke jalan protokol yang sepi. Bahkan ikut olahraga senam massal di halaman kantor Gubernur Riau. Bagi kami, itu adalah kenangan yang indah.
Kini, khususnya sejak ia sekolah agama di MDA setiap sore, waktu bermainnya nyaris tak ada lagi. Apalagi ditambah pada Minggu subuh ia ikut acara Didikan Subuh, dilanjutkan pukul delapan les menari. Ia benar-benar telah kehilangan waktu bermainnya.
Adalah wajar bila kini ia meminta sedikit waktuku untuk bersamanya, dengan naik sepeda berdua saja. Namun sekali lagi Rara harus menelan rasa kecewanya.
Seandainya ia tahu, untuk waktu, paling tidak, satu setengah tahun ke depan, aku akan terus merampas kebersamaan dengannya pada Sabtu dan Minggu. Pada dua hari itu, aku akan bertungkus lumus mempelajari teori demi teori komunikasi. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar