Kamis, 05 Februari 2009

Umrah bersama Papa (1) Monyetpun Berkeliaran di Gurun

Oleh Fitri Mayani

Melaksanakan ibadah umrah atau haji kecil adalah keinginan banyak orang saat ini mengingat sulitnya berangkat menunaikan haji besar karena keterbatasan kuota. Punya tabungan haji saat ini belum tentu bisa berangkat tahun ini, karena daftar tunggu sudah penuh hingga 2010 nanti. Itu pulalah alasan saya pergi umrah bersama bapak 8-18 Mei lalu bersama Muhibbah Tours and Travel.

Kami berangkat dari Pekanbaru pukul sembilan pagi menuju Jakarta dengan Garuda Airlines. Dalam jadwal semula disebutkan keberangkatan menuju Jeddah dengan Garuda akan dilaksanakan pukul 14.30 WIB, namun karena ada halangan, penerbangan ditunda hingga pukul setengah tiga dinihari.

Kami mendarat di King Abdul Aziz International Airport sekitar pukul tujuh pagi (pukul 11.00 WIB). Setelah mengurus imigrasi, kami langsung berangkat menuju Madinah, satu dari dua tanah suci kaum Muslimin itu. Saya terpesona melihat di sepanjang jalan yang terlihat di kiri dan kanan bukit batu semata. Bukan gurun tandus, tapi bukit batu, seperti tumpukan batu-batu berukuran tak teratur yang tinggi sekali. Sepanjang mata memandang, yang terlihat hanyalah bukit batu dan hamparan luas gurun pasir yang ditutupi oleh batu-batu sebesar kepalan tangan orang dewasa. Jangan membayangkan batunya bulat dan licin seperti batu kali, karena yang ada di sini lebih mirip batu-batu yang dipecahkan dengan cara dipalu, sehingga permukaannya kasar dan tajam.

Bapak saya nyeletuk, „Batu semua, binatang apa yang bisa hidup di sini?“
Belum sempat menjawab, guide kami mengatakan bahwa sebentar lagi kami akan memasuki kawasan yang banyak monyetnya. „Monyetnya sudah ada sejak jaman dulu dan mereka jinak. Kadang berani naik sampai ke bis,“ kata Manasik, mahasiswa Indonesia yang telah lama menjadi guide bagi rombongan dari Muhibbah itu.

Ini memang cukup mencengangkan kami yang pertama kali datang ke sana. Bagaimana mungkin di tempat yang minim air, apalagi pepohononan, ada monyet? Bukankah makanan utama binatang ini adalah pisang, dan di Indonesia lazim kita melihat mereka bersarang di dahan-dahan pohon? Tapi mungkin di situlah Allah SWT ingin menunjukkan kekuasaannya. Tak ada yang tak mungkin. Kun, fayakun!

Kami sampai di Madinah menjelang maghrib. Shalat Maghrib dan Isya kami lakukan di Masjid Nabawi yang megah itu. Kubah masjid ini memiliki sistem hidrolik yang dapat dibuka tutup. Saya beruntung dapat melihat bagaimana kubah megah yang penuh ukiran kaligrafi Asmaulhusna itu bergeser perlahan-lahan ke samping saat usai Shalat Subuh keesokan harinya hingga akhirnya langit subuh yang mulai membiru, indah memesona, dapat terlihat jelas dari dalam masjid. Subhanallah…

Menangis di Raudhah
Masjid Nabawi identik dengan Raudhah (taman surga) dan makam Baginda Nabi Muhammad SAW dan dua sahabatnya, Umar bin Khattab ra dan Abubakar ra. Menurut saya rugi besar bila telah sampai di Masjid Nabawi tapi tidak menyempatkan diri untuk mengunjungi dua tempat suci ini karena masih berada di dalam masjid.

Bagi jamaah perempuan ada waktu-waktu tertentu untuk mengunjungi Raudhah, yaitu ba’da Isya hingga pukul 11 malam dan ba’da Subuh hingga pukul 11 pagi. Malam itu, saya berniat untuk ke Raudhah. Saya ingin shalat dua rakaat di sana, ingin mengadu, meminta, memohon ampun pada Allah. Maka setelah pintu bagi jamaah perempuan dibuka malam itu, saya mengikuti arus jamaah yang langsung deras mengalir menuju tempat suci itu. Makin ke ujung jamaah makin padat. Kita tidak dapat lagi bergerak leluasa, tubuh semata bergerak karena terdorong oleh kuatnya desakan dari arah belakang.

Saya hampir tidak dapat mengenali yang mana Raudhah itu saking ramainya jamaah kala itu. Saya tidak dapat lagi melihat karpet hijau sebagai batas antara Raudhah dengan Masjid Nabawi. Namun melihat orang-orang telah melaksanakan shalat di sana, bahkan juga menangis haru, saya tahu, inilah dia.

Tempat itu merupakan bagian dari Masjid Nabawi, terdiri dari banyak tiang, dindingnya dipenuhi kaligrafi. Konon di dekat itu ada makam Nabi Muhammad SAW, namun jamaah perempuan tidak dibolehkan masuk. Maka orang-orangpun beramai-ramai hanya di Raudhah.
Saya mencari-cari tempat yang bisa untuk melaksanakan shalat. Setelah maju sedikit demi sedikit, akhirnya saya sampai ke bagian paling depan Raudhah. Ketika ada sedikit ruang tersedia, saya segera shalat dua rakaat di sana. Dan saat itu, keharuan yang luar biasa terasa meliputi hati. Akhirnya dapat juga saya sampai di tempat suci itu.

Tak terasa air matapun mengalir dan saya sujud ke bumi Allah dengan wajah basah dan isak tak tertahankan. Segala macam doa yang telah disiapkan, saya sampaikan di sana, termasuk doa yang dititipkan oleh teman-teman dari tanah air. Raudhah adalah salah satu tempat dimana doa akan dikabulkan. Karena itulah, saya berdoa di sana, demi diri saya sendiri, keluarga, dan orang-orang yang telah mengamanahkannya pada saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar