Masjid Qishas
Hari terakhir, Sabtu (17/5), kami bertolak ke Jeddah dari Makkah Al Mukarramah. Kami sempat melihat Masjid Qishas di daerah Tha-if. Itu merupakan masjid tempat dilaksanakannya hukum Islam bagi para pelanggar. Sopir bus kami yang orang Sunda bercerita, ia pernah melihat orang yang dipotong tangannya di masjid itu. "Tiga hari saya gak bisa makan, mual terus,“ ceritanya.
Di sini, pencuri yang terbukti bersalah akan dipotong tangannya. Dan di depan Masjidil Haram kita akan melihat banyak orang yang buntung seperti ini menjadi peminta-minta. Sepanjang yang saya ingat, mereka umumnya orang-orang Afrika yang berkulit hitam legam. Sering saya merasa tersentuh dan memberikan sedekah. Saya bayangkan, betapalah jerit kesakitan orang itu saat algojo memancung tangannya yang semula sempurna, sehat dan kuat, hingga putus. Tak hanya laki-laki, kaum perempuanpun banyak juga yang dipotong tangannya karena mencuri.
Tak hanya yang mencuri, para pelanggar hukum lainnya juga mendapatkan hukumannya di sini seperti para pezina hukumannya dilempari dengan batu (rajam). Bila ia sudah bersuami atau beristri, maka pelaku akan dikubur sebatas leher, lalu lempari dengan batu hingga mati. Sedangkan bagi yang masih lajang akan dicambuk punggungnya sebanyak seratus kali.
“Dan perlu diingat, hukuman ini dilakukan di depan umum,” kata si sopir kami.
Kami geleng-geleng. Terbayang ngerinya. Dan juga malunya. Namun begitulah hukum Islam. Bila seseorang yang berdosa telah menebus dosa itu di dunia, maka di akhirat kelak ia tidak akan dihukum lagi.
Asep, pekerja catering asal Cianjur yang melayani makan dan minum kami selama di Makkah bercerita, pernah ada orang Indonesia yang dihukum pancung di Tha-if karena terbukti telah membunuh suami Arabnya yang sudah tua dan kaya.
"Padahal ia sudah sempat pulang ke Indo sama anaknya, tapi dijemput lagi oleh pemerintah sini," cerita Kang Asep.
Masih banyak kisah-kisah 'spesial' para TKI di Arab Saudi. Cerita Kang Asep lagi, tidak sedikit orang Indonesia yang dipotong tangannya akibat kedapatan mencuri. Selain itu, ada pula TKI yang berpoligami di Tanah Haram itu.
Saya terbelalak. Poligami? Bukannya ke Arab cari kerja? "Ya.. kerja juga poligami juga. Bahkan ada juga yang punya suami lebih dari satu," kata Kang Asep lagi. Sekarang saya melongo. Maksudnya?
"Ya.. waktu datang ke sini, kan ninggalin suami di Indo. Terus di sini kawin lagi."
"Sama siapa?"
"Seringnya sama yang bukan Indo."
"Lalu kalau punya anak?"
"Biasanya dikasihkan sama orang lain."
Para TKW ini, menikah siri dengan pekerja-pekerja dari negara lain seperti Pakistan, Bangladesh, dan lain-lain.
Bagaimana sikap KBRI terhadap nasib para TKI atau TKW yang dapat masalah, Kang Asep yang masih sangat kental logat Cianjurnya ini mengatakan KBRI tidak terlalu memperhatikan mereka. "Beda dengan Filipina. Kemarin ada TK (tenaga kerja, red) Filipina yang diperkosa, eh, sampai Presiden Arroyo sendiri yang datang ke sini."
"Kalau TKW yang diperkosa?"
"Orang kita mah, gampang. Tinggal dikasi duit, pasti diam. Orang kita ini mau aja diapa-apain asal ada duitnya. TKW sering gak ada harganya di sini. Kadang-kadang saya malu, malu sekali," wajah si Kakang jadi sendu, sendu sekali.
Peristiwa Aneh
Banyak teman yang bertanya pada saya, apa pengalaman aneh yang saya alami selama di tanah suci. Saya hampir tidak mengetahuinya, karena semua bagi saya terasa luar biasa, terasa spesial. Baru sepekan setelah kepulangan saya menyadari sesuatu yang agak aneh, yaitu, uang saku yang saya bawa nyaris tidak berkurang! Setelah saya hitung-hitung, sepertiganya pun tidak habis. Ini memang agak mengherankan mengingat selama di Makkah dan Madinah saya sudah membeli semua 'daftar belanjaan' yang sebagian besar titipan oleh-oleh dari sanak saudara dan teman-teman di Indonesia. Walaupun serba sedikit, tapi tak kurang satu kopor penuh sesak oleh bingkisan ini.
Peristiwa spesial lainnya adalah ketika di Hijir Ismail saya menemukan seorang anak kecil kira-kira berusia tiga tahun, seusia dengan anak saya di rumah, terlepas dari pegangan ibunya. Ceritanya, usai shalat dua rakaat dan berdoa di Hijir Ismail setelah tawaf, saya menemukan seorang anak di sela kaki-kaki besar para jamaah negara lain. Anak kecil itu, berwajah Arab dengan rambut keriting sebahu (mirip anak saya di rumah), memanggil-manggil ibunya dengan suara lirih. Tanpa pikir panjang, saya pegang tangannya dan membawanya keluar dari areal tawaf. Saya iba, tentu anak itu kebingungan mencari ibunya di antara ribuan orang yang terus berjalan di sekelilingnya. Anehnya, anak itu menurut saja, bahkan tangan saya tak henti dipegangnya. Walaupun kami tidak saling berbicara karena keterbatasan bahasa, tapi sepertinya dia mengerti bahwa saya akan menolongnya. Saya terus berdoa, memohon pada Allah SWT agar urusan ini dimudahkan bagi kami berdua. Mata saya mencari-cari petugas keamanan yang biasa ada di sekeliling Ka'bah, tapi sekali itu mereka tidak terlihat. Demikian pula para cleaning service yang biasanya juga ramai mengepel lantai atau mengganti galon-galon air zam-zam, juga tidak terlihat.
Udara terasa agak dingin dinihari itu. Saya terus berdoa agar anak kecil itu cepat ditemukan oleh orangtuanya. Sempat juga pikiran konyol melintas, anak itu saya bawa pulang ke Indonesia, jadi anak saya sendiri, ah, tentu lucu juga...
Tiba-tiba saya berpikir bahwa saya mungkin tidak akan menemukan ibu si anak bila berdiri di situ terus. Pertama, ia hilang bukan di sana, tapi di Hijir Ismail, ibunya tentu akan mencari di sekitar sana. Kedua, tubuh saya tidak terlalu tinggi, sehingga saya seringkali tenggelam oleh tubuh jamaah lain yang besar-besar dan tinggi. Kalau anak itu saya letakkan di tempat yang tinggi, mungkin orangtuanya akan melihat...
Maka saya lalu masuk kembali ke areal tawaf sambil menggandeng anak kecil itu. Kami saling diam. Ia menatap saya dan saya menatapnya. Ketika sampai di Hijir Ismail, saya gendong dia dan dudukkan di dinding Hijir Ismail. Kami menunggu beberapa saat hingga tiba-tiba anak itu berseru, "Papa!". Seseorang dengan pakaian ihram datang menghampiri kami dan bertanya pada si anak yang mungkin lebih kurang artinya, "Mana mama?". Dengan cepat si anak digendong bapaknya dan ia mengucapkan 'sukron' pada saya. Saya tersenyum dan berlalu.
Laut Merah
Sebelum bertolak kembali ke Indonesia, kami masih sempat melihat Laut Merah yang sayangnya tidak terlihat merah dan Masjid Terapung. Di Laut Merah inilah dulunya Nabi Musa AS mengalahkan Fir'aun dan menenggelamkan manusia yang merasa jadi Tuhan itu. "Saat ajal sudah sampai ke tenggorokan, Fir'aun sempat mengakui Tuhan Nabi Musa. Namun sayang, Allah menolak tobatnya Fir'aun itu," cerita pimpinan rombongan kami, Ustad Al Asdi.
Konon, mummi Fir'aun yang sedang bersujud masih disimpan di salah satu museum di Cairo, Mesir, hingga hari ini.
Kami shalat Tahyat Masjid dua rakaat di sana sebelum akhirnya kembali ke Bandara Internasional King Abdul Aziz. Malam itu, perjalanan sembilan jam menuju Indonesia akan segera dimulai.
Saya bergumam perlahan, terima kasih ya Allah, terima kasih Muhibbah (travel biro yang melayani kami), terima kasih Riau Mandiri (tempat saya bekerja). Semoga kelak saya kembali ke tanah suci itu lagi. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar