Saya sedang menciumi si kecil yang masih berusia sepuluh bulan yang tengah asyik mencongkel-congkel lubang kunci lemari. Berdirinya masih belum kokoh, kadang masih sering jatuh. Karena itu ia harus diawasi ekstra ketat. Dan kesukaan semua orang bila berada dekat bayi adalah menciumi pipinya yang montok sehat menggemaskan. Jadi sambil mengawasinya, saya ciumi pipinya sambil menikmati aroma tubuhnya, lembut parfumnya, dan juga halus kulitnya.
"Tata enak-enak, selalu Mama cium. Rara nggak pernah Mama cium lagi…"
Tiba-tiba si sulung yang sedang tidur-tiduran di dipan rendah berkomentar. Saya tertegun. Ternyata ia tengah memperhatikan kami! Saya menoleh padanya dan melihat sorot mata sedih gadis kecil itu tengah memandangiku.
Menyadari kami sedang beradu pandang, ia menutup wajahnya dengan guling. Lalu terdengar ia terisak-isak. Cepat-cepat saya tinggalnya si kecil dan mendekati si sulung.
"Sayang… maafkan Mama…" saya peluk dia. Tapi ia mengelak. Ia tak mau membuka wajahnya.
"Dulu Mama sering mencium Rara kalau sedang tidur, sekarang juga sudah tidak pernah lagi, huhuhu…" ia masih terisak-isak.
"Tadi sore Rara kan nggak mandi, jadi sekarang pasti agak bau, ciumnya sambil tutup hidung ya!" saya masih mencoba bercanda.
"Nggak mau kalau sambil tutup hidung!"
Sepanjang malam itu ia tidur dengan hati yang sedih. Saya sudah mencoba membujuknya dengan mengatakan dulu waktu ia masih bayi ia juga sering diciumi. Tapi mungkin karena hatinya sedang terluka, ia tak begitu memperhatikan.
Malam itu, saya merenung. Sebagai seorang ibu, saya memang telah berlaku tidak adil pada si sulung. Dari cara bicara saja, ia sudah dibedakan. Bicara dengan adiknya yang masih bayi, saya cenderung bermanis-manis, tapi dengan si kakak saya berusaha untuk tegas, seolah yang saya hadapi adalah rekan kerja di kantor, atau mungkin bawahan yang tak mengerti-mengerti juga walau sudah berkali-kali dikatakan.
Sering kita memang jadi mengubah sikap saat anak kedua atau ketiga lahir. Si sulung yang kemarin masih disayang-sayang, dimanja-manja, tiba-tiba ‘dipaksa’ menjadi dewasa. Ia harus menjadi kakak yang baik bagi si adik, tidak boleh mencubit, tidak boleh jahat, dan lain sebagainya.
Dan yang terjadi dengan si sulung saya yang masih lima tahun itu adalah, perasaan tidak disayang lagi. Perasaan terbuang karena kehadiran si adik yang memonopoli perhatian orang serumah. Si adik jelas telah ‘merebut’ posisi yang selama ini dikuasainya.
Saya mengingat kembali kenangan dengan si sulung. Akhir-akhir ini ia memang sedikit menjengkelkan dan membuat saya yang letih pulang kerja jadi cepat marah. Padahal kalau diteliti lagi secara cermat kesalahan itu masih wajar, selazimnya kenakalan yang dilakukan anak-anak seusianya. Mandi berlama-lama sampai seluruh jari jadi pucat, main sabun dan sampo hingga tinggal separuhnya, lupa menggosok gigi, menaruh pakaian kotor tidak di tempatnya, tidak mau pakai piyama waktu tidur, tidak mau makan kecuali disuapi dan dipaksa, dan lain-lain.
Saya memarahinya karena kesalahan-kesalahan itu, bahkan menjewer kupingnya karena jengkel pulang dari kantor melihat rumah seperti kapal pecah. Sering si sulung yang sadar telah berbuat salah, memandang saya dengan tatapan sedih setelah saya jewer kupingnya. Kalau itu sudah terjadi, saya serasa ingin menangis karena menyesal. Ah, mengapa saya jadi jahat begini? Mengapa saya tidak bisa menahan diri sedikitpun?
Takdir yang indah
Ditakdirkan menjadi seorang ibu sebenarnya adalah sebuah karunia yang indah, yang harus selalu disyukuri. Tidak semua perempuan bisa menjalankan peran itu. Juga tidak semua ibu berhasil menjalankan peran itu. Ada ibu yang keras pada anak, ada pula yang lembut. Ada ibu yang memanjakan anak dengan materi, sebaliknya ada pula yang sangat pelit. Ada ibu yang ‘menyerahkan’ anak pada baby sitter, ada pula yang ‘membuangnya’ di tempat sampah.
Memang tak ada teori yang benar-benar pas agar seorang perempuan bisa menjadi ibu ideal bagi anak-anaknya. Semua punya teorinya sendiri. Semua ibu punya triknya sendiri karena masing-masing ibu menemui kasus yang berbeda-beda dalam membesarkan anak-anaknya. Dan seorang ibu, akan terus belajar sepanjang hayatnya untuk menjadi ibu ideal bagi anaknya.
Namun satu hal yang seharusnya kita, para ibu, selalu ingat adalah bahwa anak-anak adalah titipan Tuhan. Ia bersih dan polos. Peran ibu sangat penting dalam pembentukan kepribadian anak. Dari ibu anak-anak mendapatkan nilai-nilai kebenaran, keimanan, kasih sayang, dan juga keberanian. Seringkali kita mendengar ada anak yang lebih percaya pada apa yang dikatakan ibunya dibandingkan kata siapapun. Ibu adalah sosok sentral yang tahu segalanya.
Suatu hari si sulung pernah berkata pada saya, "Mama kok tahu semuanya sih?"
Ah, hati ibu mana yang tidak bahagia mendengar pujian itu? Pujian yang tulus, yang bukan dimaksudkan agar saya memberinya kelonggaran menonton tivi seharian, atau mandi di dalam bak sambil main busa. Bukan, bukan. Pujian dari seorang anak menurut saya adalah sebenar-benar pujian.
Ibu juga adalah guru, koki, pengasuh, tukang dongeng, komandan pasukan dan banyak lagi. Saat mengambil peran sebagai ‘komandan pasukan’ kita sering lepas kendali dan lupa dengan ‘pasukan kecil’ yang tengah kita hadapi. Kita lupa bahwa pasukan itu baru empat atau enam tahun mengenal dunia, masih banyak tidak tahunya, bahkan sebagian masih mengompol di tempat tidur. Namun kita tetap marah bila menemukan kaus kaki masih saja terserak di depan pintu, baju kotor lagi kena tumpahan es krim, atau sudah tertidur di depan televisi sebelum mandi sore.
Hukuman-hukumanpun dijatuhkan. Jewer kuping, cubit pantat, atau tidak boleh makan es krim seminggu ini. Bagi kita mungkin itu wajar saja, karena dulu waktu kecil toh kita juga pernah merasakannya. Bahkan mungkin lebih parah karena lazim pula orangtua jaman dulu menempeleng, melecut dengan ikat pinggang, dan lain sebagainya anak-anaknya.
Menurut saya, sebagai ibu, kita telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap ‘pasukan kecil’ itu karena menurut World Health Organization (WHO) kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Kekuatan fisik dan kekuasaan harus dilihat dari segi pandang yang luas mencakup tindakan atau penyiksaan secara fisik, psikis/emosi, seksual dan kurang perhatian (neglected). Dalam kaitan ini Komite Nasional Pencegahan Trauma di Amerika Serikat menggunakan istilah kekerasan oleh mitra dekat (intimate partner violence) yang mencakup kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga tak melulu perkara istri digampar suami atau suami dilecehkan istri, melainkan juga kekerasan terhadap anak, perselingkuhan, dan pemalsuan surat agar suami dapat menikah lagi.
Child abuse
Child abuse merupakan bentuk perlakuan kekerasan terhadap anak-anak. Terry E. Lawson, psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus-menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.
Verbal abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk diam atau jangan menangis. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, "kamu bodoh", "kamu cerewet", dsb. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu periode.
Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu.
Sexual abuse biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. Lewat dari usia itu, anak-anak mulai dihadapkan pada ancaman sexual abuse. Untuk Pekanbaru, beberapa bulan terakhir kita dibuat tidak nyaman karena adanya kasus sodomi terhadap anak-anak yang korbannya kemudian dimutilasi dan dibuang sembarangan seperti bangkai. Sungguh mengerikan.
Yang terjadi dengan anak saya, dan mungkin banyak anak-anak lain yang ditakdirkan menjadi anak sulung, adalah perasaan tidak lagi disayang ketika si adik lahir. Saya jelas sedih dengan keadaan itu. Dan lewat perenungan malam itu, sayapun bertekad akan mengubah sikap buruk saya. Sayalah yang harus mengerti dia, bukan sebaliknya. Saya ingin dikenang sebagai ibu yang ideal baginya, ibu yang dicintainya, ibu yang dibanggakannya, ibu yang selalu menjadi tempatnya bertanya dan mengadu.
Kita para ibu haruslah menjadi benteng terkuat bagi anak saat ia mencari perlindungan, perhatian dan kasih sayang. Sukur si sulung saya yang sedang sedih itu mau mengungkapkan perasaannya, sehingga sayapun selaku ibu dapat cepat mengerti dengan kesalahan dan kekerasan yang telah saya perbuat. Bagaimana dengan anak-anak yang introvert, yang hanya memendam perasaannya dalam-dalam? Siapa yang tahu laranya, kepedihan hatinya, kecewanya, sepinya, selain dirinya sendiri? Ibulah yang paling tahu bagaimana anaknya. Karena itu, jadilah ibu terbaik bagi mereka. ***
I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar