Banyak kasus-kasus tindak kriminal dipertontonkan di depan televisi. Perampok ditembak mati lalu diseret-seret seperti menyeret binatang, itu sudah biasa. Para pelacur dirazia, dishoot pula oleh kamera saat masih setengah bugil untuk kemudian dipertontonkan ke seluruh dunia, juga sudah biasa. Namun yang membuat kita merasa muak adalah tontonan tentang pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur.
Seperti pada kasus seorang bocah anak tukang sate padang yang diperkosa lalu dibunuh baru-baru ini. Dalam acara jejak kasus di Indosiar yang disiarkan pada Senin 31 Mei lalu, kasus ini coba dibahas kembali. Ada reka peristiwa bagaimana si pembunuh memukul gadis kecil yang baru tumbuh itu hingga jatuh terkulai tak berdaya. Lalu si pembunuh itu membuka celananya (walaupun cuma adegan memegang kancing celana) dan kemudian duduk di atas paha si model dan membuat gerakan seolah sedang bersetubuh dengan anak kecil yang dijadikan pemeran korban. Kamera menshoot adegan itu dari posisi yang sangat tepat menurut saya seolah sedang mengambil adegan untuk film porno.
Saya jijik sekaligus muak melihat semua itu. Dengan jam tayang yang pas ketika orang sedang istirahat siang (pukul 11.30-13.00 WIB), televisi swasta berlomba-lomba memanfaatkan moment itu untuk ‘menggugah’ selera makan kita dengan sajian-sajian yang spektakuler. Dapatkah anda membayangkan menyantap makanan sambil menyaksikan seorang anak manusia tengah diperkosa di depan mata anda? Saya tak habis pikir, mengapa kasus-kasus yang lebih banyak mengundang syahwat ketimbang hikmah ini harus dipertontonkan secara vulgar begitu. Tak cukupkah hanya dengan sedikit kata-kata, seperti misalnya, “lalu iapun memperkosa korbannya” atau kalimat lainnya yang lebih sopan sehingga tidak menimbulkan kesan jorok.
Pertanyaan berikutnya, mengapa anak-anak harus dilibatkan dalam pembuatan reka peristiwa itu? Apakah tujuannya agar penonton dapat lebih memahami kejadiannya?
Tidakkah para pembuat reka peristiwa memikirkan dampak psikologis yang akan dialami sang model yang mungkin belum mengerti apa-apa, tahu-tahu dihadapkan pada peran itu? Bisa jadi itulah yang memancingnya untuk melakukan hal serupa kelak, bila ada kesempatan.
Saya pikir tontonan tindak kriminal dan kekerasan seksual bukanlah konsumsi segala usia. Apakah anak-anak usia empat atau lima tahun dapat menarik pelajaran dari adegan itu? Ditambah lagi kondisi masyarakat kita sekarang ini yang sebagian masih tidak terlalu ambil pusing dengan tontonan yang patut dikonsumsi oleh anak-anak sehingga membiarkan saja anak mereka menyaksikan adegan-adegan yang tak pantas itu. Oleh sebab itulah, sudah selayaknya tontonan semacam itu dipindahkan jam tayangnya pada malam hari, dimana anak-anak mungkin sudah berangkat tidur.
Demikian memuakkannya acara-acara semacam ini, saat ini saya memilih tidak menghidupkan televisi pada jam-jam tertentu. Semua acara itu bagi saya hanya menimbulkan rasa curiga, waswas pada sekeliling. Rasanya dunia ini sudah tidak senyaman saat saya masih kanak-kanak dulu. Kini anak-anak dapat diperkosa oleh preman mabuk yang baru saja menonton film porno, atau oleh paman yang sudah sangat dipercaya, atau bahkan oleh ayah kandungnya sendiri.
Bukan itu saja, pembunuhan anak-anakpun terjadi dimana-mana. Dan yang lebih membuat pilu hati, mayatnya dibuang begitu saja ke sembarang tempat seperti di selokan, di tong sampah, atau seperti kasus Fitri, si anak tukang sate padang itu, di dalam dandang. Bagaimana pendapat anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar