Jumat, 13 Februari 2009

Luka

pagi itu, hari Minggu. Aku terburu-buru membersihkan
ikan yang baru saja dibeli dari pasar. Mandi koboy
(artinya asal basah dan disabun alakadarnya) lalu
bergegas pergi ke sebuah mesjid.
kutinggalkan bayiku yang berusia tujuh bulan dengan
Omanya. Dia mencret sejak kemarin. Agak rewel. Karena
itulah aku agak berat meninggalkannya.
Tapi apa boleh buat. Ada tugas memanggil. Dan yang
terpenting, aku berharap akan ada uang sebagaimana
yang telah dijanjikan untuk jasa peliputan ini.
lumayan untuk menambah uang beli obat si kecil.
apalagi ini tanggal tua...
Sesampainya di lokasi, acara belum dimulai. Bahkan aku
harus menunggu sekitar satu jam hingga rombongan
walikota yang akan meresmikan masjid itu datang. aku
sedikit kecewa karena tadi meninggalkan rumah
terburu-buru sehingga masih banyak pekerjaan yang
belum beres.
Aku meliput acara itu hingga selesai. Lalu pulang ke
rumah dengan menyewa sebuah ojek.
ternyata keesokan harinya, saat berita itu sudah
dinaikkan, si teman tidak mau memberikan uang jasa
sebagaimana yang telah disepakati. dengan nada tak
berperasaan ia berkata bahwa tulisan itu tidak bagus.
"Mau bagus bagaimana lagi, la acaranya cuma meresmikan
mesjid kok!" kataku jengkel. Panjang lebar kuterangkan
padanya betapa pengorbananku tidak sedikit demi berita
itu. anak-anak yang harus ditinggalkan ketika
seharusnya ia bersamaku, letih badanku setelah malam
sebelumnya lembur di kantor, melobi penjab halamannya
agar berita itu bisa naik walau sebenarnya tak ada
yang istimewa, bla bla bla...
Persoalannya bukan masalah uangnya. Amat sangat sering
aku meliput sesuatu tanpa imbalan uang. Dan bukan tipeku
pula untuk meliput susuatu hanya karena dijanjikan uang.
Masalahnya, manusia yang bermanis-manis padaku saat minta
tolong itu, berjanji akan membayar jerih payahku itu. Dia berjanji!
Itu yang kupegang. Itu yang aku pegang saat meninggalkan
ikan-ikan yang sedang dibereskan, anak yang sedang mencret,
bahwa kami telah terikat komitmen bahwa aku akan
meliput acara tak penting itu.
Lalu setelah beritanya dimuat, dengan santai dan kurang ajar
ia mengatakan berita itu tidak bagus. Lha, bagaimana mau
bagus, acaranya hanya peresmian masjid, diselubungi
kampanye gelap sebelum waktunya oleh incumbent itu.
tak lebih tak kurang. Aku sungguh-sungguh merasa
terhina. Terhina oleh anak kemarin sore yang sok akrab denganku itu.
Dan saat itu aku berkata dalam hati, perempuan itu berutang padaku
sampai ia bisa melunasinya. Ia berutang! Saat ini aku belum
punya keinginan untuk merelakannya.

Kami bersitegang. Aku tetap meminta hakku sedang ia
bersikeras. Tak ada kesepakatan. Akhirnya kami tak
saling tegur.
Sebulan yang lalu, aku dan suami bermaksud mengadakan
akikah si bungsu, tepat pada bulan
kelahirannya,agustus. semua persiapan sudah beres.
tanggal 4 agustus, aku menghadap bagian keuangan,
'menebalkan muka' memohon pengecualian agar gaji yang
seharusnya kami terima pada tanggal 1 (tapi karena
manajemen perusahaan gak becus makanya kami sering
gajian pada tanggal 10) khusus untukku pada bulan itu
dibayar pada tanggal 4 atau 5 (sebelum tanggal 6 pas
acara akikah yang jatuh pada hari minggu).
"temui Pimpinan perusahaan dulu, nanti kalau sudah
oke, temui saya lagi," kata si 'keuangan' itu.
aku menebalkan muka lagi dan menuruti sarannya.
permintaanku disetujui, tapi bukan gaji penuh,
melainkan dalam bentuk utang dan akan dipotong
langsung ketika terima gaji. aku pikir, tak apalah.
toh aku hanya perlu dana darurat yang tak banyak.
sebenarnya aku perlu uang untuk keperluan mendadak di
dapur, entah itu tissu yang kurang, sabun cuci piring
habis, atau hal-hal sepele semacam itu. karena
sama-sama bekerja, aku malu minta terus sama suami
karena nanti pasti akan panjang ceramahnya...
dengan hati penuh harap, aku masuk lagi ke ruang
'keuangan'. dia sedang ada tamu, karyawan lainnya.
kulihat ia bersandar di kursinya, mulutnya penuh
berisi pisang goreng panas yang memang selalu jadi
favorit karyawan pada sore hari. aku melongok di pintu
dan berkata, "Bang, sudah disetujui..." aku belum
sempat mengatakan saran pimpinan perusahaan, tapi dia
sudah memotong, "Uang yang akan diberikan itu betul
yang tak ada..." mulutnya komat-kamit mengunyah pisang
goreng panas itu sambil mengerluarkan bunyi.
aku tertegun.
tak sanggup berkata-kata, aku kembali ke mejaku.
dadaku penuh. air mata terasa menggenang di pelupuk
mata. tega sekali... setelah ia memberi harapan,
setelah aku menceritakan untuk apa uang itu...ternyata
hanya itu jawabannya.
setelah itu aku menghindarinya. aku muak melihat wajah
tak berperasaan itu. bahkan saat berpapasanpun aku
memilih tak menegurnya.

tapi sebentar lagi Ramadhan...
ada kesadaran baru dalam diriku
aku tak ingin puasaku tak diterima
aku tak ingin KEKASIHKU menolakku
maka kulakukan apa yang selama ini terasa berat
memaafkan mereka...





_______________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar