Jumat, 13 Februari 2009

Kepedihan Rara


Hari ini aku ke datang ke sekolah Rara. Bersama adiknya yang masih setahun, dan papanya yang kebetulan sedang longgar waktunya, dan juga kakeknya yang datang dari luar kota.
Wajah kami semua cerah. Tak sabar ingin melihat seperti apa sepak terjang anak sulung yang tadi pagi wanti-wanti memintaku untuk datang ke sekolahnya.
Aku sudah membayangkan akan melihat dia berlarian kesana kemari, mencoba mainan yang satu lalu yang lain lagi, tertawa lepas, ah, dunia anak-anak…
Kami sampai di depan sekolah. Anak-anak sedang bermain. Namun Rara tidak terlihat. Seorang guru mengatakan bahwa ia bersama teman-teman sekelasnya baru saja masuk. Aku pergi ke depan kelasnya dan melihat ia sedang makan bekalnya bersama anak-anak
lainnya.
Gurunya muncul di pintu dan aku memperkenalkan diri. Dan dimulailah kepedihan itu…
Wali kelas Rara menceritakan bahwa gadis kecil kami itu suka melamun di dalam kelas. Susah konsentrasi, dan terkadang tidak mau bergaul dengan anak-anak yang
lain. “Ia tidak begitu tertarik dengan pelajaran apapun, kecuali mewarnai. Tapi itupun tidak pernah sampai selesai dan suka-suka dia saja.”
Guru yang menjemput ke rumah dengan mobil antar jemputpun mengatakan hal yang sama. Ketika semua anak tertawa-tawa riang, Rara hanya menonton. Ia tak mau melibatkan diri.
“Dia lebih banyak diam dan susah berkonsentrasi. Saat semua anak ribut menghafal doa
dan ayat-ayat pendek, dia diam melihat teman-temannya.”
Aku merasa ada sembilu di hatiku. Sayangku, ada ada denganmu Nak?
“Mama!” tiba-tiba Rara menyadari kehadiranku dan bergegas datang. Ia langsung
memelukku. Memegang tanganku erat dan tersenyum malu-malu.
“Makanannya habis?” tanyaku.
“Iya,” jawabnya.
Setelah itu tiap sebentar Rara menoleh ke belakang, ke luar kelas, untuk memastikan bahwa aku masih ada di sana, mengawasinya. Saat pelajaran hafalan, kulihat bahu dan kepalanya naik turun tanda ia sedang mengikuti pelajaran itu dengan penuh semangat.
Aku memperhatikan sambil menahan air mata agar tak jatuh. Penyesalan yang dalam tengah melanda hatiku.
Ini salahku.
Ya salahku.
Hampir setiap pagi aku berkata padanya dengan geram, “Cepat! Jangan main-main di kamar mandi! Nanti terlambat!”
Aku marah karena ia masih saja tidak becus memakai kaus kaki. Aku marah karena ia selalu lupa menggosok gigi. Aku marah karena ia tidak mau mengambil sendiri bekal minumnya. Aku marah karena… ah semua membuatku marah.
Sejak hari pertama sekolah beberapa bulan yang lalu, baru empat kali aku datang ke sekolah itu. Pertama di hari pertama sekolah, lalu di hari kedua. Pada hari ketiga, dia sudah naik mobil antar jemputnya.
Kunjungan ketiga terjadi beberapa bulan kemudian ketika kami datang menjemputnya tanpa pemberitahuan sehingga ia keburu naik mobil antar jemput sehingga kami tidak jadi bertemu. Waktu itu guru kelasnya mengatakan tidak ada yang aneh dengan Rara. Ia memang belajar dari dasar sekali tentang huruf-huruf. Tapi ia mau kalau disuruh maju ke depan.
So far so good, kataku dalam hati.
“Mama, semua mama-mama orang datang ke sekolah, hanya Mama yang tidak datang,” kata Rara suatu hari.
“Mana surat dari guru Rara yang menyuruh mama untuk datang?”
“Gak pakai surat Ma, mama-mama orang itu datang aja, gak pakai surat.”
“Ma, Rara mau diantar sama mama ajalah, kita naik ojek…” katanya suatu hari. Rupanya ia masih terkesan ketika suatu hari aku ajak ke sekolah itu, dulu sekali, saat ia belum lagi sekolah di sana.
Kunjungan ke empat, ya tadi pagi itu. Aku pikir, mungkin ia juga rindu didatangi, dijemput seperti anak-anak lainnya. Mungkin ia merasa sendirian di tengah keramaian itu, seperti anak yang kehilangan induk, karena ibunya tak pernah datang menengok
perkembangannya.
Ya sayang, mama akan mengubah diri. Semoga hari esok lebih baik dari hari ini. Banyak yang harus mama perbaiki. Emosi, kesabaran, tingkah laku, semua. Mama
khawatir Allah nanti memberi mama ‘hukuman’ yang lebih berat…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar