Pagi ini, aku sibuk sekali. Cucian telah dua hari tidak dibereskan. Memasak, mengurus anak, adalah dua hal rutin yang tak bisa tidak, harus dikerjakan setiap pagi. Si Tata harus dimandikan kalau tak ingin shampoo, sabun dan air terbuang percuma tiga sampai empat baskom sehari, sementara ia belum juga selesai mandi (halah!). Belum lagi kamar mandi berantakan, dan ia bertahan di ruangan itu berjam-jam!
Selesai memandikan Tata, kami berdua pergi bersepeda ke sekolah Rara, mencari mainan yang kemarin gagal dibeli karena aku lupa membawa uang. Tata merajuk kemarin, walaupun ia mau mengalah tidak menangis di depan orang ramai dan mau dialihkan ke taman kanak-kanak dekat rumah bermain ayunan, rupanya janji membeli mainan itu esok hari tetap diingatkan. Makanya, tadi pagi, ia menagih janji.
Saya yang sedang belajar konsisten dengan apa yang saya ucapkan padanya, terpaksalah mengikuti. Jadi pergilah kami berdua, bersepeda ria menuju sekolah Rara, karena di sanalah pedagangnya menggelar jualan. Sempat sepeda dibelokkan ke tempat yang lebih jauh sedikit, dengan harapan mungkin bisa lebih murah, tapi Tata protes di bangku belakang.
“Kok ke sini? Jauh kali?” rupanya ia sudah hafal jalan yang harus dilewati. Terpaksalah aku kembali ke jalur semula.
Alangkah girang ia saat mainan idaman itu berada di tangannya. Begitu kami ‘mendarat’ kembali di rumah, ia langsung ngacir, memamerkan mainan baru itu pada omanya.
Aku masuk ke dalam rumah, membereskan pekerjaan rumah tangga yang masih terbengkalai.
Hariku pagi ini diawali dengan shalat subuh sekira pukul 5.45. Setelah membaca zikir dan doa, aku memulai aktivitas dengan menyetrika pakaian yang mungkin sudah dua pekan tidak dibereskan. Urusan ini selesai sekira pukul setengah sembilan pagi. Setelah itu, langsung mandi dan memandikan Tata. Mengurus kakaknya, termasuk menyuapi anak-anak makan pagi dengan lauk sisa kemarian. Ada dua potong ayam bumbu kuning yang tersisa dari sekuali yang aku masak kemarin pagi.
Dua potong keramat, karena ternyata dapat mengenyangkan orang satu rumah. Menunya pagi itu memang sederhana, sepotong ayam plus semangkuk sayur. Si bapak langsung melahap tumis bayam hasil kebun sendiri itu dari mangkuknya, tak sempat mampir dulu ke piring makan.
Sepotong lagi dimakan anak-anak yang aku suapi bergiliran. Mereka berebut, kadang ditingkahi teriakan Tata yang protes karena gilirannya dipotong si kakak. Setelah anak-anak kenyang, biasanya aku akan makan di piring itu juga, menghabiskan sisa makanan mereka, plus sedikit tambahan nasi.
Bagi orang tua-tua, khususnya di daerahku, adalah tabu seorang ibu memakan sisa anaknya. Takut nanti si anak jadi bertingkah sama orangtua. Aku dan suami kurang paham dengan hal-hal begitu. Jadi kami berpikir, daripada mubazir, toh ini juga makanan masih bersih dan layak, bukan pula sisa orang lain, melainkan darah daging kami sendiri, ya makan sajalah.
Setelah itu, Rara berangkat ke sekolah dengan papanya. Aku mengurus si Tata yang bersemangat disuruh mandi pagi karena diiming-iming pergi membeli mainan idamannya dengan sepeda.
***
Selagi pakaian diolah di mesin cuci, aku mulai mengangsur pekerjaan di dapur. Hari ini kami akan makan dendeng. Kali ini, dendengnya tidak pipih, tapi dadu. Suka-suka akulah. Selesai daging dibumbui dan diungkap serta bawang dikupas,cucian di kamar mandi harus dibilas secara manual dan dikeringkan di mesin cuci.
Usai menjemurnya di terik matahari, aku mulai menyelesaikan urusan dapur. Telepon dari teman mengabarkan perkembangan pekerjaan sampingan yang sedang kami tangani. Sekalian ia meminta dibuatkan surat-surat pengantar. Aku iyakan. Ia berjanji akan datang sore nanti. Aku berpikir, sore kapan, kami kan harus masuk kantor?
Belum tuntas urusan dapur, teman yang berjanji akan datang nanti sore, nongol di depan pintu. Kami bekerja sebentar. Waktu itu sudah pukul dua belas siang. Hanya ada waktu sekira satu jam mengurus kerja sampingan ini, karena pukul satu aku sudah harus berangkat ke ‘tempat kerjaku yang lain’. Rabu adalah jadwal tetapku datang ke sana. Tak bisa diganggu-gugat. Telepon berdering lagi, rekan di ‘tempat kerja yang lain’ itu, menelpon, menanyakan, mengapa aku belum juga datang, padahal ini sudah pukul satu siang. Sesuai jadwal, kami rapat pukul satu siang hingga pukul tiga.
Aku terburu-buru, lupa minum obat flu. Sampai di sana pukul dua siang. Ia sudah bersiap-siap hendak berangkat, ada urusan lain, katanya. Aku duduk di situ, setor wajah, tak ada setoran berita, main onet, hingga 45 menit kemudian. Setelah itu, aku langsung cabut lagi, pergi ke tempat kerja utamaku, rapat, mengedit, dan hingga pukul sembilan malam, masih duduk di depan komputer. Membuka-buka email, menahan perut yang lapar, dan minum rosella tea promo dari seorang teman. Batukku sungguh mengganggu karena tenggorokan terasa amat gatal. Belum lagi karpet di ruangan itu tak pernah disedot debunya.
Sore tadi, kumatikan hp agar anak-anak tak menelpon terus. Kemarin, dan hari-hari sebelumnya, hampir setiap dua menit hp itu berdering, kalau bukan panggilan, ya sms. Pertanyaan-pertanyaan gak penting ditanyakan si Rara seperti, kapan mama pulang, adakah hadiah untuknya nanti, bolehkah ia makan malam hanya dengan mie gelas tanpa nasi, dimana aku menaruh gula karena ia akan membuat teh, dan sebagainya.
Berkat dinonaktifkan, hp itu tak berdering sampai malam itu. Aku agak tenang mengerjakan tugas editingku. Tapi rindu juga mendengar suara mereka. Tadi Rara melapor, ada dua PR dari sekolahnya hari ini, matematika dan Bahasa Indonesia. Ia tak mau mengerjakan dengan si bapak, maunya dengan aku.
Seperti kata temanku, rasanya waktu 24 jam tak cukup untuk kami, para ibu yang juga wanita karir. Seandainya kami bisa membagi dua tubuh ini, kami ingin melakukannya, agar antara pekerjaan dan rumah tangga, dapat sejalan.
Sungguh melelahkan. Terkadang, aku lebih dulu tertidur daripada anak-anak. Terkadang, aku tertidur di kantor, tertelungkup di depan komputerku barang satu atau dua menit, saat kantuk benar-benar tak dapat ditanggungkan. Biasanya itu terjadi pada sore hari, setelah seharian, hampir tanpa istirhat, mengurus rumah tangga.
Beberapa pekan yang lalu, mendadak aku ingin meluangkan waktu untuk diri sendiri. Aku ingin nonton film ‘Wanita Berkalung Sorban’ karena membaca resensinya di koran. Hari itu Sabtu, semua pekerjaan sudah beres siang itu, makanan sudah tersedia untuk sehari itu, bahkan sampai besok pagi. Anak-anak baik-baik saja dan bapaknya juga sedang tak ada tugas di luar. Tapi suami tak mengizinkan. Ia malas mengantarkan aku ke bioskop.
Ketika kami membahasnya, kuterangkan bagaimana aku mengisi hari-hariku dari pagi hingga malam hari, demi keluarga ini. Dari Minggu hingga Minggu lagi, tak ada liburan. Bahkan saat Sabtu aku libur masuk kantor, aku tak bisa bersantai karena di rumah telah menunggu setumpuk pekerjaan. Tetap saja tubuhku letih dan punggungku gilu.
Kutekankan, tak ada yang membantuku mengerjakan semuanya. Pakaian kotor tidak bisa bersih dengan sendirinya, karena mesinnya tidak otomatis. Sayuran harus dipotong, lauk pauk tidak bisa sim salabim jadi siap saji. Demikian pula rumah yang berantakan, tak akan beres kalau bukan aku yang turun tangan. Sepatu yang selalu berantakan di depan pintu, pasir di lantai, selimut kusut, semua meminta uluran tanganku yang hanya dua ini.
Ketika aku ingin menyenangkan diri ke salon sekadar untuk creambath, kedua bocah itu tetap harus aku bawa. Jadi rencana bersantai sambil mencium lembut parfum ruangan beraroma therapy, buyar sudah. Lalu, saat aku minta waktu dua jam saja untuk memanjakan diri ke bioskop, ia enggan. Ia membela diri, bahwa ia tidak tahu itulah maksudku. Bahwa aku tidak ngotot, jadi dikiranya aku main-main.
Aku sudah patah semangat, patah selera. Kukira ia sudah melupakannya. Namun ternyata hingga esok hari, ia masih menawarkanku untuk pergi ke bioskop sendiri. Tapi kesempatan itu sudah tak ada lagi. Dari Minggu sampai Jumat ke depan, jadwalku penuh. Dan Sabtu berikutnya, ‘Wanita Berkalung Sorban’ sudah tak diputar di sana lagi.
Dan sekarang ada jadwal baru pengisi Sabtu Minggu, hari istirahatku, yaitu kuliah S2 di Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI). Kebetulan aku memilih jurusan komunikasi, dan kuliah perdana digelar pada 28 Februari ini.
Namun ada sebuah kabar menggembirakan. Kudapat secara tak sengaja, ternyata ada yang menganggapku ibu yang luar biasa. Ya, selagi mengurus rumah tangga, tanpa pembantu, aku dapat bekerja di dua tempat sekaligus. Masih pula sempat menjalankan sebuah EO, dan juga menulis novel atau cerpen. Kebetulan hari itu ada berita di koran tentang aku yang menjadi salah satu nominee untuk ‘Anugerah Ganti’, sebuah lomba menulis novel yang diselenggarakan oleh Yayasan Bandar Seni Raja Ali Haji.
Mendengar itu, aku jadi memandang lain diriku. Aku memang bukan perempuan biasa. Ternyata aku dapat mengerjakan semua itu, sejauh ini. Syukur alhamdulillah.
Jadi kusimpulkan, sesekali, ketika kita sedang dilanda jenuh akan rutinitas, ada baiknya kita memandang diri kita sendiri dari kacamata orang lain. Usahakanlah mendengar yang positif, agar semangat kita bangkit kembali, agar kita dapat menyukuri apa-apa yang telah kita lewati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar