Ini pengalaman pribadi yang benar-benar telah membukakan mata saya, bahwa bila Allah berkehendak, kun, maka fayakun! Karena niat kecil dan sederhana yang tertancap di hati, Allah membalasnya bahkan sebelum niat itu terlaksana.
Kisah ini berawal ketika suatu hari pada tahun 2006 lalu Mama datang berkunjung ke rumah saya di Pekanbaru. Mama saya baru saja pulang dari menunaikan ibadah haji pada 2005 lalu. Keberangkatan Mama ke Tanah Suci juga berkat dana yang diberikan oleh kakak ipar yang tergerak hatinya untuk memberangkatkan Mama beribadah Haji.
Dalam kunjungan itu, saya dan Mama sempat berbincang-bincang santai di teras rumah. Mama mengatakan, masih punya tabungan sekitar tiga juta, sisa belanja di Tanah Suci dulu. Mama ingin mengajak kami anak-anak (empat orang bersaudara) patungan untuk membiayai Papa ke Tanah Suci. Mengingat Papa sudah cukup tua (70 tahun lebih) kami agak khawatir dengan kesehatan beliau bila harus pergi selama 40 hari menunaikan Haji. Jadi Mama berpendapat, kami patungan untuk memberangkatan Papa pergi Umrah.
Entah mengapa, saat itu saya langsung mengambil tanggung jawab itu. Padahal gaji saya tak seberapa. Dulu memang saya punya tabungan haji, tapi belum seberapa. Rencananya, kami akan mencari travel biro yang menawarkan biaya perjalanan umrah paling murah. Setelah tanya sana-sini, kami mendapatkan travel yang mematok harga hanya Rp10 juta untuk 11 hari perjalanan. Nama travel agennya adalah Safa Marwah.
Sebenarnya sejak awal travel ini sudah terkena masalah. Direkturnya dilaporkan ke polisi karena kasus penipuan. Intinya, pihak travel yang kekurangan uang meminjam uang pada para calon jamaah haji plus yang mereka layani. Direktur Safa Marwah, Ustad Jaafar, dilaporkan ke polisi oleh para jamaah yang merasa tertipu. Meskipun sempat ragu untuk menyetorkan uang, petugas travel berhasil meyakinkan kami bahwa yang bermasalah hanya haji plus, bukan umrah. Maka kamipun menyetorkan uang Rp20 juta. Kami mendapatkan dua buah koper berisi perlengkapan umrah seperti kain ihram untuk laki-laki, mukena untuk perempuan, buku doa, dan lain sebagainya.
Saat Lebaran Idul Fitri 2006, saya menyampaikan kabar gembira ini pada Papa yang tak dapat menyembunyikan kegembiraannya mendengar kabar itu. Sungguh beliau tak pernah menduga akan dapat berangkat ke Tanah Suci. Kehidupan orangtua saya di Padang memang serba pas-pasan.
Gagal berangkat
Kami dijadwalkan berangkat pada 21 April 2007. Namun sebulan sebelumnya, kami mendapat kabar buruk bahwa Ustad Jaafar ditahan. Uang kami tak dikembalikan. Aku menangis. Sungguh ini di luar dugaan. Saya berdoa pada Allah, memohon agar persoalan ini dimudahkan untukku dan Papa.
Suatu pagi, seorang pegawai travel itu mendatangi rumah saya. Ia memberikan alamat rumah Ustad Jaafar. Katanya, “Coba temui istri beliau. Orangnya baik, mungkin ia punya solusi untuk masalah ini.”
Maka sayapun pergi dengan suami ke sana. Rumahnya besar, dengan halaman yang luas. Di belakang terdapat kolam renang yang cukup besar.
Istri Ustad Jaafar ternyata sedang hamil tua. Dari wajahnya terlihat ia sedang menanggung beban berat. Dua anaknya masih sekolah di SD, suaminya ditahan, dan iapun sedang hamil besar. Saya dapat merasakan bebannya.
Dari hati ke hati, saya dan suami menceritakan pada istri ustad itu masalah kami. Kami mohon dengan sangat, agar kami dapat diberangkatkan, entah dengan Safa Marwah, atau mau dipindahkan ke travel lain. Saya sampai menangis tak dapat mengendalikan diri, saking ibanya pada diri sendiri.
Namun entah mengapa, ada sebuah keyakinan dalam diri saya, bahwa uang Rp20 juta yang sudah disetorkan itu akan kembali. Keyakinan itu begitu kuat, karena saya tahu itu semua uang halal, hasil jerih payah saya selama ini. Dan akan digunakan untuk jalan yang halal pula. Walaupun kemalangan sudah sedemikian, saya yakin seyakin-yakinnya, Allah Maha Adil.
Tak hanya sekali, suami saya berkali-kali datang menemui ustad yang kemudian mendapat penangguhan penahanan. Terakhir, ia menjanjikan akan membayarkan uang kami setelah panen ikan miliknya, sekitar Mei 2007. Kami sangat berharap uang itu memang kembali. Harapannya, bila dikembalikan Mei, berarti kami masih bisa mencari travel lain untuk berangkat Juni atau Juli tahun itu.
Namun ternyata uang hasil penjualan ikan itupun tak menjadi rezeki kami. Pasalnya, pemasok pakan untuk ikan-ikan itu mengambil hasil panen itu lebih dulu karena ternyata si ustad tak pernah membayarnya. Kami kembali kecewa.
Pada 22 Mei 2007, dengan mengendarai sepeda motor bututnya, suami menyempatkan shalat Maghrib berjamaah di masjid di depan rumah sang ustad. Ia juga ada di sana. Usai shalat, kedua orang itu bicara dari hati ke hati. Ustad itu berkata pada suami saya, “Lihatlah Pak Hakim, saya sudah hancur. Seluruh aset saya sudah habis. Saya tak akan sanggup mengganti uang Pak Hakim yang Rp20 juta itu. Lihat rumah saya itu, sudah disegel pihak bank. Saat ini saya sedang mencari rumah kontrakan kecil untuk keluarga saya. Beberapa aset berupa tanah juga diserobot orang.”
Sedan mewah miliknya sudah disita dealer karena ia tak sanggup membayar. “Satu-satunya harta yang saya punya saat ini hanya mobil Kijang Innova itu, Pak Hakim. Kalau Bapak mau, ambillah mobil itu. Tapi persoalannya, Pak, besok pagi adalah batas akhir saya membayar angsurannya. Bila saya tak membayar, mobil itupun akan ditarik dealer. “
Ini keputusan yang berat. Suami segera menelpon saya di rumah dan menceritakan semuanya. Kami berunding, apakah mobil itu akan diambil atau tidak. Pesan Ustad Jaafar, bila mobil itu hendak kami jual, ia minta bagiannya. Namun bila kami pakai sendiri, utangnya kepada kami dianggap lunas.
Ini sebuah kebetulan yang sangat luar biasa. Baru seminggu yang lalu paman saya bercerita bahwa ia baru saja memesan satu mobil untuk memulai usaha rental. Saat itu bisnis rental mobil benar-benar sedang booming di Pekanbaru. Saya dan suami tertarik juga hendak mengganti mobil sedan tua kami dengan yang baru. Namun itu baru sebatas rencana, tak serius kami bicarakan.
Sekarang, Allah memberikan kami mobil yang jauh lebih bagus dari yang kami miliki. Bahkan kami memiliki mobil lebih dulu dari paman yang sudah menyerahkan DP ke pihak dealer. Mobil itu dapat dikatakan ‘membiayai dirinya sendiri’ karena selalu ada orang yang menyewanya. Walhasil, uang untuk membayar angsuran setiap bulan tidak terlalu memberatkan kami.
Dengan adanya Innova itu, berarti rencana kami untuk umrah gagal. Namun saya tak pernah hilang harapan. Masih ada waktu tahun depan. Kata orang, paket murah berangkat umrah adalah pada awal musim umrah dibuka, yaitu sekira akhir Maret atau awal April. Saya berencana untuk mencoba lagi tahun depan.
Menjual karya
Untuk mendapatkan tambahan uang, saya ‘menjual’ karya saya berupa cerita anak kepada seorang petinggi. Maksudnya, kalau diterbitkan, royaltinya tentu cukup untuk memberangkatkan kami berdua. Paling tidak menambah dana yang sudah ada.
Buku itu memang jadi terbit. Sangat bagus menurut saya. Hard cover, besar dan lux. Sebagai penulis, sungguh saya bangga punya karya seperti itu. Tapi ternyata saya tak mendapatkan sepeserpun dari sana. Alasannya, penulis lain yang karyanya juga diterbitkan bersamaan dengan buku itu, juga tak mendapatkan royalti. Saya menangis saat mengetahuinya via sms (masih saya simpan hingga saat ini). Dan si petinggi bergeming, walau saya sudah mengatakan untuk apa royalti itu akan saya gunakan.
“Relakan saja, ikhlaskan saja, ya. Allah itu Maha Kaya, mudah-mudahan ada jalan lain,” kata suami ketika saya ceritakan.
Bukan itu saja, saat peluncuran buku itu, Februari 2008 lalu-disiarkan langsung oleh televisi lokal dan mendatangkan artis Dorce Gamalama- saya sebagai penulis, tak diundang! Padahal kami masih tinggal di kota yang sama. Saya tak menyaksikan langsung siarannya dan baru mengetahui keesokan paginya saat berita peluncuran buku itu dimuat di koran tempat saya bekerja. Dengan air mata berlinang, saya menelpon si petinggi, mengucapkan terima kasih karena sudah menerbitkan buku itu.
Maret 2008, saya mendapat informasi dari teman-teman di kantor bahwa ada iklan sebuah travel biro yang dibayar dengan cara barter. Artinya, mereka membayar uang iklan dengan dua voucher senilai Rp12,5 juta. Voucher itu dapat digunakan untuk memberangkatkan umrah dua orang dari tempat kami bekerja.
Saya menemui pimpinan redaksi, menyampaikan kisah kegagalan berangkat itu dan memohon kebijaksanaannya agar voucher itu dapat saya gunakan. Saya mau membayar ke kantor, asalkan tidak penuh Rp12,5 juta karena itu berarti uang saya tak cukup untuk memberangkatkan saya dan bapak.
Saya tidak diberi harapan saat bicara, kecuali dijanjikan bahwa masalah ini akan dibicarakan dengan dewan direksi. Saya disuruh menunggu beberapa hari.
Pada hari yang telah dijanjikan, saya mondar-mandir di depan kantor pemred saya dengan pikiran berkecamuk. Ia terus menerus menerima tamu sore itu. Tak mungkin saya nyelonong masuk untuk menanyakan hal itu.
“Kenapa Kak, seperti sedang berpikir keras,” kata Desi, sekretaris direksi pada saya.
“Iya, mau menghadap Bang Dheni, tapi dia ada tamu terus.”
Saya duduk di sofa, dalam hati terus berdoa, memohon kemudahan pada Allah. Pemred saya, Dheni Kurnia, terlihat keluar dari ruangannya. Saya berdiri, hendak menyusul. Tapi kalah cepat. Ia menghilang ke ruangan lain. Saya menunggu sambil ngobrol dengan Desi.
“Yani, sudah saya bicarakan. Oke, awak boleh ambil voucher itu. Tapi kantor hanya bisa mensubsidi Rp5 juta. Sisanya awak mesti bayar ke kantor, bagaimana?” tiba-tiba Pemred saya, sudah berdiri di belakang saya. Ia menjawab bahkan sebelum saya bertanya! Subhanallah!
Saya sampaikan pada suami kebijakan kantor itu. Tak apalah, katanya, itu juga sudah lumayan. Berarti satu orang dari kami hanya membayar Rp7, 5 juta untuk berangkat ke Tanah Suci.
Keesokan paginya, kami pergi ke kantor travel biro itu dan mendaftarkan diri. Ternyata biayanya untuk tahun itu sudah naik menjadi Rp15 juta. Dengan demikian, saya hanya perlu membayar Rp15 juta, sedang yang satu lagi menggunakan voucher itu.
Namun ada persoalan, paket untuk berangkat April itu sudah penuh semua. Petugas mengusulkan agar saya berangkat pada bulan berikutnya, karena April di Mekkah biasanya sangat kacau. Yang ada hanya arus kedatangan kaum Muslimin dari seluruh dunia, tumpah ruah hendak menunaikan umrah. Belum ada yang pulang. Sedangkan pada Mei, arus kedatangan dan kepulangan sudah teratur.
“Kalau kakak hendak membawa orangtua, saya sarankan berangkat Mei saja,” katanya. Saya berunding dengan suami, akhirnya kami putuskan, berangkat Mei saja.
Saya tak berani memberi kabar kepada keluarga di Padang, terutama pada Papa, khawatir nanti gagal lagi. Pengalaman tahun lalu benar-benar membuat saya trauma. Baru sepekan menjelang hari H, saya mengabari Papa bahwa kami akan berangkat umrah.
Akhirnya berangkat
8 Mei 2008, saya berangkat bersama Papa ke Tanah Suci. Mama melepas kami dengan doa dan air mata. Sejak berpamitan di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru dengan para pengantar, hampir tak pernah tangan Papa saya lepaskan. Saya yang selama ini agak sedikit tergantung dengan suami, saat itu berubah menjadi tegar, kuat, demi Papa. Saya pegang tangannya yang keriput. Saya bimbing beliau saat menaiki tangga pesawat, saat menziarahi makam para suhada Perang Uhud di Madinah, saat berkali-kali tawaf di depan Ka'bah dan ketika sa'i antara Safa dan Marwa. Pernah sekali pegangan kami terlepas karena Papa harus berlari-lari kecil antara dua tanda hijau saat sa'i dan saya tak sanggup mengikuti, Papa terlihat agak panik. Matanya yang kecil, dengan kulit yang telah demikian keriput, mencari-cari sosokku. Setelah itu, beliau terkapar kecapean di depan Ka'bah, menunggu masuknya waktu Zuhur.
Hari itu memang melelahkan. Kami berangkat dari Madinah sekira pukul tiga sore dan sampai di Makkah sekira pukul sembilan malam (atau sepuluh, saya kurang pasti). Pukul sebelas, kami memulai ibadah umrah dan selesai sekira pukul tiga dinihari. Setelah itu, usai Subuh, kami mengulang lagi tawaf dan sa'i, tanpa istirahat. Karena itulah beliau jadi sangat kelelahan.
Saat melihat sosok Papa yang tidur telentang di depan saya, depan kepalanya yang plontos (setelah 60 tahun, sesuai pengakuan Papa) dan perutnya yang cekung, dan kulitnya yang keriput, dan gigi-giginya yang banyak patah, dan telapak kakinya yang pecah-pecah, saya merasakan sesuatu yang tak dapat terlukiskan. Airmataku terasa menggenang. Pandangan menjadi kabur. Sesak di dada.
Itulah papaku, lelaki keras yang telah berusaha menjadi yang terbaik bagi kami, anak-anaknya. Aku bersyukur, dapat membawa Papa ke Tanah Suci, sesuatu yang sesungguhnya diharapkannya, tapi tak berani diungkapkannya, karena keterbatasan ekonomi kami. harapan itu disimpannya dalam hati, tak berani dibicarakan, malu bila melihat kepada diri yang serba kekurangan.
Hikmah yang saya dapatkan dari pengalaman ini adalah, bila kita bersungguh-sungguh berniat pergi ke Tanah Suci, Allah akan mengabulkannya. Saya sudah membuktikan. Suami saya yang juga gagal berangkat pada 2006 lalu, menyusul berangkat ke Tanah Suci plus Turki, sepuluh hari setelah saya kembali ke Pekanbaru. Allah membayar kontan, bahkan lengkap dengan bunganya, doa yang saya bisikkan dengan segala kerendahan hati.
Dan seperti kata mertua saya, tak ada orang yang jatuh miskin gara-gara pergi Haji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar