Aku Paling Beruntung
Cerpen Fitri Mayani
Cukup sudah. Aku muak! Aku ingin pergi dari rumah ini. Segera!
Kukemasi pakaian secukupnya dengan rasa dongkol yang menggumpal dalam hati. Kutumpuk-tumpuk sembarangan dalam tas. Salma yang sedang duduk di lantai memandangku dengan matanya yang jernih.
"Kita ke tempat nenek ya Sayang," kataku padanya. Salma menggapai bonekanya lalu kembali asyik bermain.
"Fer…," Bang Herman berdiri di ambang pintu kamar. Wajahnya memelas.
"Pokoknya aku mau ke tempat ibu! Jangan halangi. Aku ingin menenangkan pikiran!" semburku dengan jengkel.
"Berapa lama? Nanti abang jemput ya?" masih dengan nada suara yang tenang tanpa emosi. Memang sabar atau pura-pura sabar he?
"Tidak usah!"
Begitu pakaianku dan Salma masuk semua ke dalam tas, aku menggendong bocah itu ke luar. Tanpa babibu lagi aku pergi meninggalkan rumah itu. Menolehpun aku tak sudi. Aku tidak akan kembali!, tekadku dalam hati. Biar dia tahu rasa. Apa dikira enak hidup serba pas-pasan seperti itu?
Aku akan tinggal di rumah ibu sementara waktu ini hingga mendapatkan pekerjaan. Nanti, bila telah cukup mapan, aku akan mengiriminya surat gugatan cerai. Aku sudah tidak tahan lagi!
Kini telah tiba waktunya bagiku untuk mengurusi masa depanku, menggali potensi diri semaksimal mungkin. Berkarir, mencari uang sebanyak-banyaknya untuk masa depan Salma. Akan kubuktikan bahwa dengan otakku yang telah terasah empat tahun di bangku kuliah, aku akan berhasil hidup tanpa dia. Aku akan lebih sukses dibandingkan dirinya.
Aku memang tolol, tidak berpikir panjang saat ia melamarku. Hanya karena melihat senyumnya yang ramah, tatapannya yang teduh, aku telah jatuh bangun dan badan panas dingin. Dan satu lagi, aku selalu melihatnya pergi ke mesjid untuk shalat berjamaah. Pikirku waktu itu, lelaki seperti itulah yang patut menjadi suamiku. Namun apa jadinya sekarang? Huh! Jauh dari mimpi!
***
"Ferina ya?" tiba-tiba seorang wanita dengan penampilan sangat rapi menepuk pundakku. Aku memperhatikan wajah wanita itu. Tapi tak dapat mengenalinya karena ia mengenakan kaca mata hitam. Yang tertangkap hanya seraut wajah yang telah dimanjakan oleh make up mahal, kulit yang kencang dan licin mengkilat. Segaris senyum yang lembut terbentuk di bibirnya yang dilapisi lisptik.
Wanita itu membuka kaca matanya.
"Ya ampuun, Yasmin! Apa kabar?"
Kami saling cium pipi. Aroma parfum yang lembut diam-diam menyelinap ke dalam rongga hidungku saat berdekatan dengannya. Sungguh tak disangka kami akan bertemu lagi di pusat pertokoan ini setelah sepuluh tahun berpisah.
Ternyata dia masih seperti yang dulu. Riang gembira dan banyak tertawa.
"Wah kejutan sekali," katanya. Dan saat melihat Salma, ia bertanya, "Anakmu?"
"Ya. Salma, salaman sama Tante Yasmin."
Salma mengulurkan tangan dan saat bersalaman ia mencium tangan Yasmin. Persis seperti yang diajarkan bapaknya.
"Dia benar-benar mirip kamu, Fer. Sudah bisa bicara?"
"Belum, baru juga lima belas bulan. Baru bisa panggil mama."
"O… Eh, kamu kemana saja tidak kelihatan?"
"Aku kan di Pekanbaru."
"Kerja?"
"Ng.. tidak. Ikut suami. Kamu sendiri bagaimana?"
"Apanya?"
"Ya.. mungkin suami kamu, anakmu. Melihat penampilanmu tentu pekerjaanmu cukup bagus."
"Yok kita ke restoran saja. Lebih enak ngobrol sambil makan. Nanti kita telepon teman-teman yang lain. Kamu masih ingat Loren, Rose, dan Inggrid kan? Kami sering kumpul. Curhat. Kalau mereka tahu kamu sedang ada di Padang, mereka pasti mau datang."
Kami lalu naik ke lantai paling atas plaza itu. Dari sana pemandangan ke Samudera Hindia sangat indah. Di sanalah tempat favorit kami sejak semasa kuliah dulu. Kami sering ke sana menikmati sunset, atau sekedar duduk-duduk makan rujak sambil menikmati angin laut yang segar.
Sambil menunggu makanan pesanan kami dan teman-teman yang lain datang, Yasmin menceritakan tentang dirinya.
"Aku bekerja di sebuah perusahaan Korea," katanya memulai.
"Wah, hebat dong. Fasih berbahasa Korea?"
"Tidak terlalu."
"Kamu sering ke luar negeri?"
"Yah, kalau negara-negara yang terkenal sih sudah. Sebut saja Amerika, Singapura, Hongkong, Korea tentu saja, Italia, Perancis. Tahun ini aku berencana ke Turki. Itupun kalau dananya mencukupi, hahaha…"
Aku kagum sekaligus iri pada nasibnya. Mengapa aku sesial ini? Dapat suami seorang pegawai negeri yang bergaji kecil dan kehidupan yang monoton. Jangankan liburan ke luar negeri, ke Jakarta saja kami belum pernah! Malangnya aku! Tapi impiannya yang mengingatkanku pada pepatah bagai pungguk merindukan bulan adalah naik haji bersamaku! Ya ampun, dia sungguh tidak mengukur bayang-bayang!
Pesanan kami datang. Jus wortel, jus belimbing, sate padang, dan gado-gado.
"Terima kasih," kami berkata nyaris bersamaan pada pelayan itu.
"Suamimu orang mana?" tanyaku.
"Aku belum bersuami," Yasmin menjawab perlahan sambil mengaduk minumannya.
"Aku tak percaya. Masa tak ada satupun orang Korea itu yang terpikat padamu? Cantik, pintar, ramah lagi."
Yasmin menghela napasnya. "Tapi memang begitulah kenyataannya."
Handphone Yasmin berbunyi. Perhatian kami tertuju ke sana. "Dari Loren. Halo, dimana? Oke, kami tunggu. Dia sudah di jalan. Lima menit lagi sampai."
Aku mengangguk-angguk. Lima menit lagi tak lama. Ah, aku sudah tak sabar ingin berjumpa dengan mereka. Dan begitu tiga wajah itu muncul dari dalam lift, kami saling menjerit gembira seperti para ABG.
"Ya ampuun Ferina, sungguh tak disangka!" Loren memelukku. Sekali lagi aroma parfum mahal memanjakan hidungku.. Aku mana pernah punya parfum mahal seperti itu. Dari mana duitnya?
Lalu Inggrid yang tetap langsing dan berambut ala Demi Moore always mencium pipiku. Dan terakhir Rose, si gadis binal yang membuat banyak hati pria kebat-kebit.
Para wanita itu bergantian menciumi Salma yang kata mereka begitu menggemaskan. Salma lama-lama kesal juga dan mencakari muka Rose. Kami semua tertawa melihatnya. Salma menangis panik. Aku buru-buru mengambil anak itu dari tangan Rose dan menenangkannya.
"Tidak apa-apa Sayang…" sebentar kemudian Salma diam lagi. Ketika aku memberikan gelas plastik padanya, ia asyik lagi bermain sendiri.
Dari pertemuan itu tahulah aku bagaimana keadaan teman-temanku itu saat ini. Yasmin masih belum menikah. Ia tinggal seorang diri di mess kantor dengan fasilitas lengkap. Namun kulihat ia tidak terlalu menikmati hidup yang seperti itu.
Dan Rose ternyata telah menjanda. Ia bercerai dari suaminya yang pemabuk. Dari perkawinannya selama enam tahun, Rose tidak mendapatkan seorang anakpun.
Meskipun tanpa suami dan tidak pula bekerja, Rose terlihat serba berkecukupan. Pakaian, kacamata, tas, arloji, hingga sepatu yang dikenakannya semuanya bermerek. Bisik-bisik selintas dari Yasmin, diam-diam Rose menjadi simpanan seorang pengusaha sukses dari Jakarta.
Sekali sebulan mereka bertemu. Tidak di Padang tapi di tempat-tempat wisata seperti di Pulau Sikuai yang eksotis, Batam, Genting Highland di Malaysia, atau tempat-tempat lainnya di luar negeri.
"Dikiranya kami tidak tahu," kata Yasmin.
Dan Inggrid mendapatkan suami seorang anggota DPRD. Dengan jabatan suaminya itu Inggrid ikut kebagian sibuk kegiatan ini itu yang sifatnya seremonial. Kunjungan kerja ke sana, seminar ke sini, ikut ibu gubernur menyumbang ke panti itu, membuka lomba ini, dan semua acara yang selalu diliput oleh media.
Sebagai istri pejabat Inggrid harus menjaga sikap dan tabiatnya dan selalu pasang senyum manis kepada siapapun. Ia tidak mau belanja ke tempat-tempat biasa dan menawar barang sampai sepertiganya seperti kami dulu sering mengerjai tukang obral di kaki lima. Langganannya butik dan toko-toko mahal di Jakarta, Singapura, atau Hongkong. Suaminya yang pejabat tentu punya uang banyak untuk mengongkosi gaya hidup Inggrid yang royal.
"Jumat besok kami mungkin akan ke Singapura lagi. Ada barang bagus di butik langgananku di sana. Kemarin mereka menelponku. Aku harus pergi sebelum keduluan yang lain. Eh kalian tahu tidak, dulu pernah ada istri seorang kepala dinas yang keki berat saat melihat baju yang aku kenakan sama persis dengan yang dia pakai. Aku tenang saja. Tapi dia kesal bukan main dan selama acara itu tidak mau sekalipun dekat-dekat denganku. Hahaha…"
"Kamu sendiri, bagaimana Ferina?" tanya Yasmin.
"Aku? Ah, aku biasa-biasa saja. Suamiku bekerja di Dinas Sosial."
"Kepala dinasnya?" tanya Inggrid spontan.
"Bukan."
"Wakilnya mungkin?"
"Bukan juga."
Para wanita itu saling berpandangan. Aku menundukkan kepala. Hatiku terasa sesak. "Ia pegawai rendahan karena hanya tamat SMA. Tapi aku akan segera bercerai darinya," kataku buru-buru untuk membela diri. "Aku kemari juga lari. Aku sudah tidak tahan lagi!" akhirnya aku meledak juga.
"Apa? Mau cerai?" Rose berseru tertahan. "Kenapa tidak tahan? Dia kasar?"
"Tidak," air mataku menggenang banyak sekali.
"Dia berselingkuh? Punya anak haram dengan teman sekerjanya barangkali?" tanya Inggrid pula.
"Tidak."
"Suka bohong? Mabuk?"
"Tidak semuanya."
"Lalu apa alasannya?" Rose saling berpandangan dengan yang lain. Mereka bingung dengan keputusanku.
"Dia… dia… dia tidak punya banyak uang…" aku terisak-isak. Akhirnya keluar juga semua kekesalan yang telah menggumpal selama ini. Lama sekali aku menangis.
Rose merangkul bahuku. Salma yang sedari tadi memperhatikan dari lantai juga menangis. Hatiku semakin teriris melihatnya. Yasmin mengambil anak itu dan memeluknya. Salma menggapaikan tangannya padaku. Kupeluk anak itu dan berusaha keras menahan diri agar tidak larut.
"Ferina. Dengarkan aku. Kalau ia tidak berselingkuh, tidak kasar, tidak membohongimu, maka ia adalah laki-laki yang baik. Soal uang bisa dicari Ferina. Tapi kejujuran tidak dapat dibeli dengan apapun. Percayalah, kalau kamu bercerai darinya, kamu belum tentu akan mendapatkan lelaki yang lebih baik dari dia. Ingat Fer, aku seorang janda. Aku tidak akan menyia-nyiakan lelaki sebaik suamimu. Percayalah padaku, dalam tempo tiga bulan dia akan sudah jatuh ke tanganku!" kata Rose.
"Cobalah melihat dari sudut pandangku, Ferina. Sematang ini umurku, aku masih sendiri. Padahal kebutuhan biologisku perlu penyaluran. Namun entah karena apa tidak ada seorang lelakipun yang mau menjadi suamiku. Mungkin karena aku terlalu mapan sehingga terkesan tidak membutuhkan pria. Kamu tahu, seandainya satpam di kantorku yang hanya tamatan SMA itu melamarku, aku akan terima. Aku lebih membutuhkan dia dibandingkan pekerjaan dan kemewahan ini. Kamu tahu betapa rindunya aku saat bangun pagi-pagi mendapatkan diriku di samping seorang pria? Betapa inginnya aku memandikan anak-anakku sebelum mereka berangkat sekolah. Betapa inginnya aku memijitkan punggung suamiku sepulang ia dari bekerja. Pokoknya semua pekerjaan ibu rumah tangga yang sepertinya sepele itu. Tapi apa yang aku dapatkan? Hanya rumah kosong yang dingin, bisu, dan beku," kata Yasmin. Ia menundukkan kepalanya. Aku melongo. Kulihat air mata menggenang di sudut matanya.
"Seandainya kamu tahu, Ferina, aku mau berganti posisi denganmu," katanya kemudian.
"Kehidupankupun jauh dari sempurna, Fer. Terus terang kami memang berkecukupan. Bahkan mungkin berlebihan. Namun tahukah kamu, kami tidak punya anak. Itulah yang selalu merisaukanku. Itulah sebabnya aku selalu berusaha menarik perhatiannya dengan pakaian-pakaian bagus. Aku khawatir suamiku memiliki wanita lain. Dan isu itu sudah mulai terdengar. Kamu tahu Fer, seandainya ia memang mencari wanita lain demi seorang anak, aku siap dimadu," kata Inggrid pula.
Dadaku serasa sesak. Terbayang Bang Herman yang setiap pagi ikut mencuci pakaian kami sekeluarga. Semuanya, hingga ke celana dalamku, celana Salma yang penuh kotoran, dan kain-kain kotor dari dapur. Ia tidak pernah mengeluh.
Ia tidak pernah berkata kasar. Selalu ramah dan lembut. Salma yang sedang lincah tidak bisa diam leluasa bermain dengannya. Ia tidak pernah merasa harga dirinya jatuh gara-gara kaki Salma sampai di kepalanya. Ia menikmati setiap gerakan anak itu.
Tidak seperti suami-suami lainnya, Bang Herman tidak malu belanja ke pasar. Bila aku tidak sempat, dialah yang turun tangan untuk berbelanja. Sampai ke segala macam bumbu dan ikan asin, ia bisa membelinya.
Tentang kejujurannya, tak sedikitpun aku merasa ragu. Walaupun gajinya kecil dan nyaris tidak mencukupi hidup kami dari bulan ke bulan, namun ternyata kami tidak pernah berutang pada orang lain. Kini aku jadi bertanya-tanya, mengapa bisa demikian? Mungkinkah pertolongan Tuhan selalu terulur kepada keluarga kami?
Bang Hermanpun seorang yang taat. Setiap subuh ia selalu pergi shalat ke mesjid yang tak jauh dari rumah kami. Di rumahpun ia mengajari Salma mengaji. Selepas shalat Mahgrib Salma biasanya akan duduk di pangkuannya sementara ia mengaji. Terkadang anak itu tertidur di pangkuannya dalam alunan ayat-ayat suci. Shalat Tahajjutnyapun tak pernah absen.
Mengenang semua itu, air mataku deras mengalir. Ya Tuhan, mengapa aku tidak pernah melihat semua itu sebagai kelebihan yang patut disyukuri? Mengapa aku begitu tololnya hingga ingin meninggalkan lelaki sebaik itu?
Aku berdiri dari dudukku. Kugendong Salma dan membawanya pergi. Kini aku tahu, kemana aku harus kembali.
Pekanbaru, 26 September 2002
Akhrinya Ferina memustuskan kembali ke suaminya, ya? Syukurlah
BalasHapus