Subuh itu, usai shalat, saya asyik membaca doa-doa dan zikir. Suami sudah kembali ke rutinitasnya setiap usai Subuh, mengambil selimut tebal, menyalakan kipas angin ke level tertinggi, lalu bergulung tidur dan menghidupkan televisi. Mata dipejamkan, lalu asyik mendengarkan berita.
Saya terus dengan zikir-zikir saya. Memuji-muji Allah, meminta ampun, minta dimudahkan rejeki dan urusan, dan meminta perlindungan.
Saat itu di televisi ada pemberitaan tentang ibadah haji. Saya nyeletuk, "Ah, kapan ya kita bisa pergi haji?"
"Ya, menabungnya Yani, agar bisa pergi haji," kata suami sambil membenahi letak selimut tebalnya.
Saya meneruskan membaca zikir. Namun saat itu konsentrasi sudah buyar. Di depan mata saya muncul bayangan tiang-tiang Masjidil Haram yang tinggi besar dan megah itu. Orang-orang berpakaian hitam dan putih, berseliweran menuju dan pergi meninggalkan Ka'bah. Oh, itu kenangan saat saya pergi umrah Mei 2008 lalu bersama Papa.
Saya teringat kembali semuanya. Lantai marmernya yang dingin, air zam-zam yang tak pernah kering di galon-galon di seantero Masjidil Haram, dan juga orang-orangnya. Semuanya berkomat-kamit, menyebut Asma Allah. Mereka datang dari seluruh pelosok dunia, baik berjalan kaki atau dengan kendaraan. Ada yang sempurna wujudnya, terlihat kaya secara materi, ada pula yang lemah fisiknya, didorong dengan kursi roda, dan ada pula yang sepertinya hidup sangat sederhana.
Saya rindu suasana itu. Rindu pada Masjidil Haram yang penuh kharisma dan daya tarik. Rindu pada kurmanya, pasarnya, orang-orangnya, suasanya, harumnya Ka'bahnya, semuanya. Dan tak dapat dibendung lagi, tangis sayapun pecah. Rindu ini sungguh menyiksa. Tapi siksaan yang indah, nikkmat. Saya terisak-isak, bahkan mungkin lebih keras, sampai-sampai suami jadi heran. What is wrong with her? begitu mungkin pikirnya.
Tapi saya tak hendak bicara. Saya terlarut dalam kerinduan yang memuncak itu. Dalam sedu sedan subuh itu, saya berdoa dalam hati, semoga Allah mengundang saya kembali ke sana. Sungguh rindu ini hanya dapat diobati, bila saya berkesempatan lagi datang ke rumah Allah yang mulia itu.
Walaupun saya tak tahu darimana akan mendapatkan biaya, namun saya percaya, kekayaan Allah cukup untuk mengantarkan saya kembali ke sana.
Beberapa waktu kemudian, saya bermimpi, pergi ke Mekkah lagi bersama Lira, si sulung. Kami berjalan masuk ke sana, sibuk mencari-cari tempat yang pas untuk shalat, di sela jamaah lainnya, yang telah rapi duduk di shaf-shaf yang panjang. Begitulah. Harapan saya, suatu hari kelak, saya dapat kembali ke sana, bersama keluarga. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar