Jumat, 13 Februari 2009

Lelaki Itu

Lelaki itu
Cerpen Fitri Mayani

Huh! Hari ini memang benar-benar menjengkelkan!
Dimulai dengan sepeda motor yang tiba-tiba kehabisan
bensin di tengah jalan hingga aku harus mendorongnya
lumayan jauh, hak sepatu yang bikin sakit kaki, lalu
di kantor aku baru sadar bahwa pulpenku ketinggalan di
rumah! Tentara kok lupa bawa senjata, kata Sisil.
Itu belum cukup. Aku masih dibuat kesal oleh aroma
tubuhku sendiri yang memuakkan karena asap seribu
knalpot mobil, bus kota, bajai, dan entah apa lagi
selama mendorong sepeda motor tadi. Dan aku harus
menanggungnya selama seharian ini!
Kulemparkan tasku ke atas meja kerja yang terletak di
sudut ruangan besar itu. Ah, hanya ini yang sedikit
membuat hatiku senang. Sudah seminggu ini aku
mendapatkan meja kerja sendiri. Sebagai koordinator
edisi minggu, memang sudah selayaknya aku punya
komputer sendiri yang terpisah dari reporter dan
redaktur lain. Bukannya mau sok, tapi kesal sekali
rasanya kalau ditinggal sebentar saja, tahu-tahu
komputer yang sedang aku pakai dibajak oleh wartawan
lain. Akupun tak tega untuk mengusir mereka.
"Yang mingguan ngalah dong, kami dikejar deadline
nih!" kata Wawan, wartawan kota yang biasa nongkrong
di gedung DPRD.
"Mestinya anak mingguan itu datangnya lebih pagi,
jadi siang-siang gini kami yang memakai komputer,"
sambung Ellias, cowok baru yang beruntung dapat posko
di kantor gubernur. Lahan paling basah di daerah ini.
Sekarang, aku punya komputer sendiri. Aku bisa bebas
menulis berlama-lama, juga mengedit naskah-naskah
cerpen yang masuk seminggu ini. Selain itu, ehm, tentu
saja surfing di internet. Membuka situs humor
kesukaanku, ataupun chatting dengan TKI di Korea yang
biasanya membanjir pada malam hari.
Aku menghempaskan tubuh di kursi yang bersandaran
tinggi. Berdoa dalam hati agar moodku segera membaik
setelah beberapa kekesalan yang kulewati tadi. Dan
saat itulah aku melihat sebuah amplop putih panjang
tergeletak di atas meja, tersembul di balik tas yang
baru saja kulempar.
Saat kulihat pengirimnya, ternyata Andi Rizki. Lelaki
misterius yang selalu mengirimkan cerpen dan
puisi-puisi karyanya ke koran kami. Ah, dia menempati
ruang tersendiri dalam hatiku. Cerpen-cerpen Andi
sangat menyentuh. Tak sama dengan para penulis lain
yang kukenal, Andi pandai memilih tema hingga aku
terkagum-kagum. Ia selalu menceritakan masalah-masalah
sosial yang selama ini tak pernah terlintas dalam
pikiran orang lain.
Pernah suatu ketika aku membaca cerpennya tentang
seorang penderita kusta yang menitipkan sejumlah uang
untuk disampaikan pada keluarga yang telah
mengucilkannya. Uang itu hasil penjualan barang-barang
kerajinan yang dibuat dengan jemarinya yang sudah
tidak lengkap lagi karena digerogoti kusta. Sungguh,
aku menangis membaca cerpen itu.
Kali lainnya ia menulis tentang kerinduan seorang
adik pada kakaknya yang jauh merantau. Sayang
pertemuan mereka terjadi saat si adik sudah menjadi
mayat.
Tak sama dengan penulis lain yang mengeksploitasi
cinta dan seks secara vulgar, Andi Rizki mengungkapkan
cinta dengan cara yang lembut dan menyentuh.
Tak banyak yang kuketahui tentang penulis yang satu
itu. Bila penulis lain sengaja menemuiku untuk
mengucapkan terima kasih karena sudah memuat karya
mereka, Andi Rizki tidak sama sekali. Hanya satu yang
kuketahui tentang pemilik nama itu, ia bekerja sebagai
staf pengajar di sebuah akademi kesehatan.
Sering aku berkhayal bahwa lelaki itu adalah sosok
yang bertinggi badan sedang, sedikit kurus, berkaca
mata, berambut lurus dan berpembawaan tenang.
Bercakap-cakap dengannya adalah sebuah kesenangan dan
refreshing yang benar-benar menyegarkan. Hm... sangat
ideal untuk dijadikan calon suami.
Ah, ya, kemarin mama menelpon dari kampung dan
kembali menanyakan apakah aku akan pulang saat cuti
nanti. Lalu bagaimana dengan pacar, apakah aku sudah
akan mengenalkan seseorang pada mereka saat aku pulang
nanti.
"Yah, lihat nanti ajalah Ma," jawabku malas. Tak lama
kemudian kututup pembicaraan itu dan mematikan
handphone agar tak ada lagi telepon-telepon semacam
itu. Paling tidak untuk sementara ini.
Eko, sekretaris redaksi datang ke mejaku membawa
beberapa lembar kertas.
"Wah, senang ya non, dapat meja baru. Tanda tangan di
sini nih!" katanya sambil menyodorkan secarik kertas
berisi nama-nama para penulis dan jumlah honor mereka
yang harus dibayarkan kantor.
Kulihat ada dua nama Andi Rizki di sana. Satu cerpen
dan satu puisi.
"Andi Rizki ini datang sendiri mengambil honornya
atau ditransfer?" tanyaku iseng.
"Dia datang sendiri. Barusan dari sini."
"Apa? Yang mana orangnya?" tanyaku jadi antusias.
"Yah, udah pergi."
"Nanti kalau dia datang lagi, kasi tau aku ya!"
"Oke."
Ekopun ngeloyor pergi. Astaga, jadi dia sering datang
ke sini? Mengapa kami tak pernah bertemu? Ah, begonya
aku, harusnya aku tak mengabaikan calon suami idaman
itu. Dan sepertinya aku harus lebih sering main ke
meja Eko nih, biar dapat bertemu dengan lelaki itu.
Jadi penasaran, seperti apakah pertemuan kami nanti?
Apakah dia kagum padaku? Apakah aku cukup menarik
baginya? Dapatkah hubungan kami 'dikilatkan' hingga
saat aku mengambil cuti Agustus nanti dia sudah dapat
kukenalkan pada mama?
Sejak itu aku jadi rajin memperhatikan penampilanku.
Kalau sebelumnya aku menyisir rambut alakadarnya,
sekarang aku menatanya. Bahkan tak jarang aku mampir
dulu di salon untuk merapikan rambut dan make upku.
Bibirku selalu kuolesi dengan lipstik dan tak lupa
memberi perona sekilas di pipiku. Masih ada lagi, aku
jadi rajin belanja. Sambil memilih baju mana yang
pantas, aku membayangkan Andi Rizki sedang
mengamatiku.
"Wow, kamu jadi lain," kata Adi, redaktur pelaksana
yang duda itu.
"Bilang aja aku jadi cantik," kataku seenaknya.
"Terserah kamu deh!"
Lain lagi komentar Sisil, teman sesama redaktur di
mingguan.
"Tebar pesona ya? Tapi kok di kantor terus sih?
Keluar dong, di luar lebih banyak yang oke dan kaya.
Pacaran sesama wartawan mana enak. Nanti kalian
ngedate-nya sehabis konferensi pers bareng. Nggak lucu
deh!"
Aku diam saja. Malas menanggapinya. Kalau memang aku
pacaran dengan wartawan, so what gitu loh!
Ketika membereskan barang-barangku siang itu sebelum
keluar untuk makan siang, aku menyempatkan diri
memoleskan sedikit lipstik lagi di bibirku. Siapa tahu
nanti bertemu cowok keren di restoran, atau kalau aku
beruntung si Andi Rizki itu.
"Fani! Cepat dong!" Sisil berteriak di ambang pintu.
"Iya sebentar!" kataku sambil menyambar tas lalu
berlari ke arah Sisil. Di pintu masuk tiba-tiba aku
hampir bertubrukan dengan seorang perempuan bertubuh
gemuk sekali.
"Maaf!" katanya sambil cengengesan.
Aku menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Kulihat pipinya gemuk sekali dan berwarna
kemerah-merahan sehabis berpanas-panas di luar sana.
Darah di bawah kulit itu seolah hendak muncrat
keluar. Aroma tubuhnya yang baru saja terpanggang
matahari menyeruak membuatku mual.
Kulihat tubuh yang subur luar biasa. Saat itu aku
berpikir ia memang sudah gemuk sejak masih dalam
kandungan. Dan celananya, sama seperti orang-orang
gemuk lainnya, terselip di antara paha yang yang
gemuk padat hingga tertarik ke atas, membentuk
lipit-lipit yang hanya dapat dinormalkan kembali
dengan cara menariknya ke bawah dengan tangan.
Buru-buru aku pergi meninggalkannya dan naik ke
sepeda motor Sisil yang sudah ribut berbunyi.
Tak ada yang istimewa dengan makan siang kali itu.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, tak ada seorang
lelaki idamanpun yang menghampiri kami dan menawarkan
diri untuk membayarkan makan siang kami. Sisilpun
sepertinya sedang tak punya selera untuk menggosipkan
artis ataupun para bos kami.
Saat kembali ke kantor, Eko berteriak dari mejanya.
"Ini dia, tadi dia ke sini, tapi kamu udah pergi.
Sempat nggak ketemu di luar?"
"Siapa?"
"Andi Rizki. Katanya mau ketemu..."
"Yang mana orangnya?"
"Yang gemuk."
Tak ada orang lain yang lebih gemuk daripada
perempuan yang tadi. Dan hampir menubrukku yang
kutemui hari ini. Jadi itulah dia? bukan laki-laki? Oh
Tuhan...


Pekanbaru, 16-18 Februari 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar