Pada Kamis (17/5/12) lalu, aku
dan anak-anak patungan membeli tiga ekor
anak kelinci yang lucu-lucu. Hampir setahun berkantor di Jalan Durian,
baru beberapa hari yang lalu aku tahu bahwa di seberang kantor itu ada pasar
hewan peliharaan yang lumayan lengkap. Sehari sebelum pergi membeli kelinci,
aku dan Tata telah survey lokasi dan melihat aneka binatang dijual di situ.
Kucing angora, kalong, kelinci, monyet, aneka burung, ayam, dan lainnya.
Hari itu, setelah semua pekerjaan beres (dibantu
dengan semangat 45 oleh Tata dan Rara), bertiga kami pergi ke Pasar Palapa.
Kata Rara, seorang temannya sekelasnya sekarang punya peliharaan kelinci angora
dan Rara juga ingin memilikinya.
Aku tak keberatan, melihat bagaimana mereka sebelum ini cukup telaten mengurus enam ekor anak ayam warna-warni yang kami beli di Pasar Cik Puan, sehari sebelum Lebaran Idul Adha 2011 lalu. Walaupun pada akhirnya hanya dua ekor yang bertahan hidup hingga dewasa, namun kepedulian mereka pada hewan-hewan itu sudah teruji.
Aku tak keberatan, melihat bagaimana mereka sebelum ini cukup telaten mengurus enam ekor anak ayam warna-warni yang kami beli di Pasar Cik Puan, sehari sebelum Lebaran Idul Adha 2011 lalu. Walaupun pada akhirnya hanya dua ekor yang bertahan hidup hingga dewasa, namun kepedulian mereka pada hewan-hewan itu sudah teruji.
Kedua ayam itu berakhir di
penggorengan….
Maka sebelum kami membeli
kelinci, Tata mengeluarkan ultimatum, “Kelinci Tata kalau sudah besar tidak
boleh dimakan. Kalau mati kuburkan aja!”
“Kok gitu Ta? Mama mau makan sate
kelinci. Kata orang enak. Kelinci halal lo.”
“Pokoknya nggak boleh!”
“Iya kenapa?”
“Tata kasiaaaaan….” Wajahnya
sendu. Padahal itu kelinci belum lagi kami beli. Halah!
Siang itu, kami memilih tiga ekor
anak kelinci yang kata si penjual berumur sekitar tiga bulan. Bulunya yang
lebat dan lembut sungguh menggemaskan. Tiga ekor kelinci itu harganya Rp100
ribu. Dan karena tidak punya kandang, kami beli juga kandangnya seperti
kerangkeng dari kawat. Harganya Rp150
ribu. Jadi total Rp250 ribu.
Sampai di rumah, anak-anak
sungguh girang. Masing-masing memberi nama kelinci peliharaannya. Tata memilih
nama Tasya. Entah dari mana dia dapat ide. Sedang Rara memilih nama Lycra.
“Mereka kolor gue,” celetukku usil.
“Bukaan! Merek kaos kaki Rara,”
serunya. Aku tertawa.
Sedangkan kelinciku yang berwarna
coklat mulus, kuberi nama Lady Gaga. Secara sedang heboh kali berita Lady Gaga yang
terancam gagal menggelar konser di Jakarta.
Dan dimulailah petualangan kami
memelihara tiga ekor anak kelinci yang lucu-lucu. Si Tata menggendongnya ke
sana kemari, bahkan mengambil jilbab usangku untuk dijadikan ayunan si Tasya. Teman-teman sekompleks pun dengan cepat
menyukai ketiga kelinci itu. Mereka tak henti mengejar, mengajaknya bermain dan
memberi makan.
Sore hari, saat aku pergi
bekerja, biasanya Rara memasukkan kandang kelinci itu ke dalam rumah. Pulang dari kantor, pukul berapa pun, pasti
aku sempatkan untuk menengok mereka sejenak. Laporan... Dan belakangan ternyata semua anggota keluarga melakukan hal yang sama. Siapa saja yang baru datang, akan menengok dulu kelinci-kelinci itu.
Saat si Papa pulang dari
Bagansiapiapi, Jumat (18/5/12) dia kaget sudah ada
anggota keluarga baru. Anak-anak ribut
menceritakan tentang kelinci-kelinci itu.
Lalu aku diinterogasi. Kok
teringat membeli kelinci?
“Aku sudah kena pukau sama
anak-anak tu. Sebenarnya kami akan membelinya Hari Sabtu besok, saat aku libur. Tapi
karena Hari Kamis libur juga, mereka membujuk agar dibelikan hari itu juga. Aku
tak bisa mengelak, karena semua syarat mereka penuhi. Tata jadi penurut sekali
pada semua perintahku,”
Si Papa tertawa. Ia sangat
mengenal anaknya.
T
Tapi seperti biasa, si Papa selalu
punya sesuatu untuk membuat kami jadi bad mood. Katanya, mengapa harus diberi
nama Lady Gaga yang kebarat-baratan?
“Lycra itu merek kolor,” kataku.
“Merek kaos kaki Rara!” protes
Rara keki.
“Berilah kelinci itu nama-nama
yang Islami.”
Apa? Aku dan anak-anak mengerutkan alis.
Ada-ada saja.
“Abdul?” kataku sambil menahan
tawa. Tapi anak-anak tertawa saja. Si Papa pura-pura tak mendengar.
“Misalnya asmaul husna,” katanya
asal ngomong.
“Minta disambar petir ya?!”
Anak-anak dan aku bertahan dengan
nama yang sudah kami pilih. Dan si Papa sesuka hatinya memanggil kelinci itu si
Mukminin.
“Mukminiiin! Sini!”
“Tunggu sampai kelompok garis
keras mendengarnya, siap-siap rumah kita dilempari bom molotov! Itu bisa
dianggap pelecehan agama,” kataku lagi.
21 Mei siang, tak ada yang aneh
dengan ketiga kelinci itu. Semua makan dengan lahap selada yang kami beri.
Demikian pula dengan wortel dan daun-daun lainnya. Tapi keesokan harinya, Tasya
sudah tak bernyawa. Subuh-subuh saat aku bangun, biasanya yang pertama
kulakukan adalah memindahkan kandang itu ke luar rumah. Saat itulah kulihat si
Tasya sudah tegang. Lycra terlihat menciuminya. Sedang Lady Gaga cuek saja dan
terus memamah biak. Di lantai, terlihat ada kotoran berwarna cokla pucat dan
encer. Mungkin Tasya salah makan atau apa.
Aku membangunkan Tata dan
mengabarkan berita buruk itu. Seketika ia bangkit dari tempat tidurnya dengan
wajah sedih. Bergegas pergi untuk melihat Tasya yang sudah kaku. Lama dia
terdiam. “Mama harus ganti!” katanya menjatuhkan ‘hukuman’. Kok gue???
“Mulai saat ini, setiap tanggal
22 Mei, Rara akan ziarah ke kuburan Tasya. Kuburkan dia di bawah pohon mangga
itu ya Ma,” kata Rara.
Aku setuju. Maka pagi itu,
setelah anak-anak pergi sekolah, mulailah aku menggali lubang kecil di bawah
pohon mangga lalu menguburkan Tasya di sana. Tinggal Lycra dan Lady Gaga yang
bermain-main di bawah rimbunnya bunga-bungaku. Kelinci ternyata suka makan
pucuk-pucuk daun yang masih muda dan lebih lunak. Sesekali aku lihat Lycra
mengangkat kedua kaki depannya untuk menjangkau tunas bayam yang cukup tinggi
untuk dirinya.
Kadang-kadang, aku bawa keduanya
ke luar halaman untuk mencari rumput segar. Mereka sepertinya senang. tapi
jelas keduanya berbeda. Lycra tak mau jauh-jauh dari kakiku dan menerima semua
yang aku sodorkan ke depan hidungnya yang terus mengendus-endus. Apalagi di depan rumah kami ada anjing galak
yang salakan cukup membuat nyali ciut. Termasuk nyali si Lycra. Maka saat
dilihatnya anjing itu mendekat, secepat kilat ia berlari menyeberang jalan dan
masuk ke pekarangan rumah. Ia lalu bersantai di bawah motorku, terkantuk-kantuk.
Hari itu juga, aku melihat
bagaimana kelinci berusaha melindungi diri dari musuhnya. Lady Gaga merapatkan
tubuhnya ke tanah saat anjing tetangga menyalak keras ke arahnya. Jarak mereka hanya sekitar dua meter. Lady Gaga
juga menurunkan telinganya hingga merapat ke badannya dan matanya waspada. Ia membatu di tanah.
Sebelum anjing tetanggaku jadi
kalap, cepat aku angkat Lady Gaga dan kubawa pulang. Cukup wisatanya pagi ini
ya!
Hari itu, aku kehilangan Lycra.
Biasanya dia bersantai di bawah pagar dekat jendela kamar Rara. Di sana ia
rebahan sambil menikmati angin. Tapi hari itu, dia tak ada di sana. Aku mencari
ke segala sudut, termasuk ke luar halaman, tidak ketemu. Di balik pot-pot bunga
juga tak ada.
“Lady, mana Lycra?” tanyaku. Lady
Gaga pura-pura gak dengar, terus saja mengendus-endus aku.
“Jangan meledek ya! Memang aku
belum mandi kok!”
Pikiran buruk mulai muncul.
Mungkin dicuri orang? Dulu kami juga kehilangan dua ekor anak ayam warna-warni
itu. Suatu sore, mereka yang biasanya pergi main berombongan, pulang-pulang tinggal
dua ekor.
Setelah mencari kemana-mana tak
juga ketemu, akhirnya secara tak sengaja kulihat si Lycra sedang duduk di balik
pintu ruang tamu. Aku tertawa lega. Hari itu, Lycra memakan satu tangkai daun
selada yang aku berikan. Lady Gaga tak kebagian.
Tapi keesokan harinya, Lycra
terlihat mulai sakit. Ia terbaring dengan keempat kakinya terjulur. Aku pegang
tubuhnya, masih hangat. Aku kasihan dan ingin memberi obat, tapi tak tahu apa.
Rara sedih sekali. “Kita bawa ke
dokter hewan aja Ma,” katanya.
“Mama gak tau dimana ada dokter
hewan. Lagi pula ini masih pagi sekali, belum ada yang buka.”
Aku berusaha menyuapkan sedikit
selada, tapi ia diam saja. Aku dekatkan moncongnya ke air, ia menggelinjang
sebentar. Tapi kemudian terkapar lagi. Hari itu, untuk pertama dan terakhir
kalinya, aku mendengar Lycra mengeluarkan jeritan lirih.
Akhirnya, beberapa jam kemudian,
Lycra meninggal. Rara sedang di sekolahnya. Sekali lagi aku menggali lubang di
bawah pohon mangga dan menguburkan Lycra di sana.
Pulang sekolah, Tata membuatkan
batu nisan untuk Lycra, terbuat dari batu bata yang dibungkus dengan kertas
bukunya lalu dibalut dengan selotip. Ia menulis nama Lycra di batu nisan itu
dan minta izin mencabut setangkai mawarku yang cantik untuk ditaburkan di atas
kuburan itu. Kuburan Tasya juga ditaburi bunga mawar oleh Tata.
Tinggal Lady Gaga sendiri.
“Harusnya kita cari informasi
tentang beternak kelinci di internet,” kata si Papa.
Ia sedang di depan komputernya.
Untung dengan cepat Google menampilkan berbagai info. Aku sedang di dapur, sementara
si Papa mencari informasi.
“Tips memelihara kelinci. Satu:
Jangan diberi nama…”
“Aah! Bohong nih!” aku jadi
gemas.
“Panggil saja :BINATANG!”
“Lalu siapa yang menyuruh
memanggilnya Mukminin?”
Kami tertawa.
Ternyata, kelinci terus memamah
biak di malam hari. Jadi stok makanannya harus dipastikan cukup sepanjang
malam. Kelinci tidak membutuhkan banyak air. Ia suka berbagai jenis rumput.
Bagi pemula seperti kami, sebaiknya membeli anak kelinci yang telah berusia di
atas tiga bulan. Di bawah usia itu, anak kelinci rawan hama dan penyakit.
Mungkin Tasya dan Lycra belum
genap tiga bulan… entahlah.
Setelah tahu informasi itu, maka
kami selalu memastikan bahwa Lady Gaga pergi tidur dengan selada, wortel dan ubi jalar. Kalau tengah malam dia lapar,
tinggal menggigiti semua yang ada di depannya.
Setiap pagi aku cemas membuka
kandangnya, takut nanti menemukan kelinciku mati juga. Tapi untunglah hingga
saat ini dia baik-baik saja.
Siang hari, pintu kandangnya sengaja kubuka dan membiarkan dia berkeliaran
di halaman. Kini dia punya tempat
berleha-leha yang nyaman, yaitu di balik pot bunga kuping gajahku. Di sana ia terkantuk-kantuk, menikmati angin
yang bertiup. Kalau aku datang, cepat dia bangun dan mendekatiku.
Segala macam daun yang bisa
dimakannya, pasti diembat. Dan dia juga mulai mengenaliku. Kalau aku datang dan
memanggilnya sambil memperlihatkan sesuatu di tanganku, cepat di datang. Dia juga mau menerima makanan dari tanganku. Duuh,
senangnya.
Hari Sabtu (26/5/12), Lady Gaga
pergi sendiri ke luar halaman. Dia mencari rumput di bawah mobil kami yang parkir di sana. Aku khawatir saja
nanti dia lari kemana-mana. Aku juga khawatir anjing tetangga akan memburunya.
Aku panggil-panggil, dia tak mau
keluar. Kupikir, biar ajalah main di situ sebentar, nanti akan kujemput. Tapi
ternyata saat aku datang lagi, dia sudah tak ada! Rara dan Tata ikut sibuk
mencari sebelum berangkat ke sekolah. Aku sampai membungkuk serendah-rendahnya
untuk melongok ke bawah mobil itu, kalau-kalau dia ada di sana. Aku juga pergi
ke rumah tetangga, siapa tahu dia pergi ke sana. Tapi tetap tak ada.
Aku sudah pasrah. Ya sudahlah,
pikirku. Apa boleh buat.
Tapi ternyata, ia muncul lagi di
bawah mobil itu. Dari jauh, terlihat dia tenang-tenang saja menikmati
pucuk-pucuk rumput liar di sana. Saat aku perhatikan, ternyata selama ini dia
bersembunyi di antara mesin mobil itu. Rupanya, saat merasa terancam, dia
dengan cepat memanjat melalui roda belakang mobil, lalu terus ke mesin dan
duduk menunggu di sana hingga suasana kondusif. Begitu bahaya menjauh, dia
keluar lagi.
Lega si Lady Gaga aman-aman saja,
aku berkata, “Unyu-unyu, nanti cepat pulang ya!”
Dan memang, dia pulang sendiri.
Pergi ke tempat favoritnya di balik pot bunga, bersantai di sana dan
terkantuk-kantuk. Hingga saat ini, kalau dia pergi ke bawah mobil itu, aku tak
khawatir lagi.
Sekarang aku panggil dia si
Unyu-unyu. Walaupun tidak Islami, paling tidak itu tidak kebarat-baratan dan lebih Indonesia. Dia sepertinya tak keberatan
dengan pergantian nama itu. Yah, hitung-hitung buang sial, supaya jauh dari
penyakit, siapa tahu membawa hoki dan membuatnya berumur panjang.
Si Unyu-unyu tak mungkin kami
biarkan membujang seumur hidupnya. Kasian dia kalau makan, makan sendiri…,
tidur, tidur sendiri… (seperti lagu
dangdut). Tunggulah aku gajian ya Unyu-unyu, aku akan mencarikan jodoh untukmu…
Kini, piala sebagai orang
terbulek padek sedunia versi si Tata yang berada di tanganku selama tiga tahun
berturut-turut, kayaknya akan direbut si Unyu-unyu ini.
Sambungan (30/5/12)
Kemarin malam,di kantor aku dapat telpon
dari si papa yang mengabarkan bahwa Si Unyu-unyu hilang. Aku pikir bercanda,
tapi saat aku telepon balik ke Rara di rumah, ia menjawab dengan lemas bahwa
memang Lady Gaga sudah tidak ada.
Ia menceritakan kronologi
kejadiannya, “Tadi sore Rara main bulutangkis dan Lady Gaga main-main ke jalan.
Ia sampai masuk ke halaman rumah Om Arip (baca: Arif). Sudah Rara ambil dan
bawa pulang. Terus Rara masukkan ke kandangnya, tapi pintunya memang gak Rara
kunci. Waktu Rara selesai main, dia sudah tidak ada. Rara sudah cari kemana-mana...”
“Ya sudahlah. Biarkan saja. Nanti
kita beli lagi. Tapi mudah-mudahan dia kembali, seperti kemarin saat pagi-pagi
main ke bawah kolong mobil, bisa pulang sendiri. Bukakan saja pintu kandangnya,
taruh banyak makanan di sana. Mudah-mudahan nanti dia pulang ya,” kataku.
Saat menjelang pulang malam itu,
datang lagi telepon dari si Papa, mengabarkan bahwa si Unyu-unyu sudah kembali
dari pelariannya. Terdengar suaranya girang. Si Unyu-unyu ini memang sudah menjadi
idola kami semua. Si Papa kalau pulang mengantarkan Rara dan Tata ke sekolah,
selalu membawakan daun-daun untuk makanan Unyu-unyu.
Dan kulihat, dia juga mulai
mengenali kami. Bahkan tidak takut naik
ke pangkuan Tata sambil terus mengendus-endus. Tata tertawa-tawa senang dan
geli.
Tadi siang (30/5/12), terjadi
peristiwa cukup traumatic bagi si Unyu-unyu. Seekor kucing preman datang dan
mengejarnya. Si Unyu-unyu lari tunggang-langgang dari balik satu pot ke pot
lainnya. Bunyinya gaduh sekali. Melihat gelagat buruk ini, aku cepat datang dan
memarahi kucing itu. Tapi memang preman, si kucing balas menatapku dengan berani. Aku lalu mengusir kucing itu yang pergi dengan tenang.
Lady Gaga masih sangat ketakutan, bahkan padaku! Ia lari bersembunyi ke balik pot lainnya yang selama ini tak pernah menjadi tempat favoritnya. Lama ia di sana.
Lady Gaga masih sangat ketakutan, bahkan padaku! Ia lari bersembunyi ke balik pot lainnya yang selama ini tak pernah menjadi tempat favoritnya. Lama ia di sana.
Ia baru terlihat rileks kembali
saat Tata pulang sekolah dan mulai main masak-masakkan sendiri di halaman. Masih
dengan seragam, jilbab, sepatu dan tas sekolah yang tergolek di teras. Itu anak
mengambil aneka daun dan menguleknya di atas sepetak paving block. Ia asyik
dengan permainan itu dan mengabaikan perintahku untuk mengganti baju dulu.
Si Unyu-unyu datang sambil
mengendus-endus hampir seluruh tubuh Tata yang bisa dijangkaunya. Bahkan tanpa
malu-malu ia naik ke pangkuan Tata dan menciumi seragamnya. Tata tertawa geli
dan senang.
“Mungkin dia suka bau ketek Tata,”
kataku sambil tertawa. ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar