Sejak awal Ramadan tahun ini, Pengurus Masjid Raya Senapelan, di kawasan Pasar
Bawah, Pekanbaru, sengaja mendatangkan
imam seorang hafiz (penghafal Al Quran) dari Palestina. Jamaah yang Salat
Tarawih di sana pun, serasa salat di kawasan Timur Tengah atau khususnya Arab
Saudi.
Seperti pada Sabtu (28/7) lalu, Hafiz Ghassan MM Al-Shorbaji
memimpin Salat Isya berjamaah di masjid itu. Bacaannya terdengar jelas, fasih
dan tentu saja bernuansa Timur Tengah. Jamaah umumnya datang dari sekitar
masjid dan juga beberapa wilayah di Pekanbaru. Sejak kabar tentang kedatangan
imam dari Palestina itu menyebar, Masjid Raya Senapelan memang jadi ramai
dikunjungi para jamaah yang sebelumnya tidak pernah salat di sana. Mereka
tertarik dengan kabar kedatangan seorang hafiz dari Palestina itu.
Usai Salat Isya, seharusnya dilanjutkan dengan ceramah agama.
Namun karena sesuatu dan lain hal, ustad yang dijadwalkan tidak datang hari
itu. Panitia lalu mengambil kebijakan
untuk menyegerakan Salat Tarawih dan Imam Ghassam kembali memimpin salat itu.
Ada yang istimewa dengan Salat Tarawih yang diimami para
hafiz dari Palestina itu. Mereka membaca Al Quran satu juz satu malam. Salat
Tarawih yang dibawakan juga mencapai 20 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Jadi
bila tidak ada aral melintang, maka pada malam ke-30 Ramadan nanti, seluruh Al
Quran sebanyak 30 juz telah selesai dibaca.
Salat dilakukan dua-dua rakaat. Setelah 10 rakaat (5 kali
salam), jamaah beristirahat selama lima menit. Air mineral disediakan pengelola
masjid secara gratis bagi jamaah yang haus. Kesempatan waktu jeda 5 menit itu
dimanfaatkan para jamaah untuk minum, bersuci dan istirahat menjelang salat
dilanjutkan kembali. Setelah itu, salat dilanjutkan kembali. Pada rakaat ke
16-20, Ghassam digantikan oleh Imam Masjid Raya Senapelan yang dilanjutkan
hingga Salat Witir.
Terasa Beda
Suasana masjid itu terasa berbeda dengan masjid lainnya di
Pekanbaru. Tidak banyak anak kecil berkeliaran sepanjang ibadah dilakukan
sehingga ibadah terasa lebih khusuk. Demikian pula tidak banyak jamaah yang
menyusut hingga
rakaat terakhir. Di masjid lain, biasanya jamaah akan mundur
dari shaf setelah berjamaah sebanyak 8 rakaat. Shaf yang awalnya lebih dari 10,
bisa menyusut hingga tinggal dua saja. Namun di masjid peninggalan Raja Siak
itu, tidak demikian.
Hanya segelintir saja jamaah yang mundur. Sebagian besar
melanjutkan hingga tuntas 23 rakaat. Seperti malam itu, ada sekitar 6 shaf di
bagian pria dan 6 shaf di bagian wanita yang terus bertahan hingga rakaat
terakhir.
Secara fisik, masjid ini kurang nyaman digunakan, karena
masih dalam proses renovasi. Lantai keramik belum dipasang, sehingga panitia
menutupinya dengan terpal, lalu di atasnya dihamparkan karpet. Meskipun
demikian, keras dan tidak ratanya permukaan lantai masih terasa.
Kekurangnyamanan ini rasanya menjadi hilang dengan adanya
'keistimewaan' lain dari masjid itu menyambut Ramadan kali ini, yaitu
mendatangkan imam dari Palestina secara langsung.
Tak Suka Ramas
Ada kisah menarik tentang kedatangan imam yang hafiz dari
Palestina itu. Seperti dituturkan Rika Trisna, Sekretaris II Perempuan Masjid
Raya Senapelan. Kedua orang hafiz itu ternyata tak suka makanan pedas.
"Katanya itu bisa merusak pita suara dan itu tidak
bagus untuk seorang hafiz. Jadinya waktu diberi nasi ramas, dia ambil nasi putihnya saja, sedangkan bagian sayuran
dan lauknya yang bercabe disingkirkan," katanya.
Rika juga sempat memberi makan Imam Ghassan yang ditempatkan
di sebuah kamar kos oleh pengurus masjid.
"Dua hari saya mengantarkan makanan ke sana. Saya kasih
roti canai saja. Sekarang katanya dia makan roti prancis," katanya lagi.
Saat Ghassam masuk ke masjid, dengan segera sosoknya
langsung dikenali. Raut wajahnya jelas seperti
kebanyakan orang Timur Tengah, dengan jambang hitam lebat.
Ia berjalan tenang dalam balutan jubah putih hingga sedikit di atas mata kaki.
Imam Ghassam melempar senyum kepada jamaah saat lewat di sela-sela shaf sambil
sesekali menggosokkan kayu siwak ke giginya. Mungkin habis berbuka puasa.
Tak lama kemudian, Salat Isya berjamaah dimulai. Suara sang
imam terdengar membahana memenuhi seluruh masjid, jernih dan jelas. Bagi Anda
yang ingin merasakan Salat Tarawih yang beda, tak ada salahnya memanfaatkan kesempatan
yang ada, karena belum tentu kita akan bertemu
kembali dengan Ramadan yang akan datang.
behind the news ...
Jauh-jauh hari aku sudah memproklamirkan pada
seluruh penghuni rumah bahwa Hari Sabtu aku akan pergi salat ke masjid
itu. Selama hampir 14 tahun merantau ke Pekanbaru, belum sekalipun
menjejakkan kaki ke masjid bersejarah itu. Memalukan sekali.
Aku sudah nekat nih, kalau tak ada yang berminat salat 23 rakaat, ya sudah, aku pergi sendiri saja. Untung semua pada mau.
Sejak siang, cuaca mengkhawatirkan. Mendung. Angin
bertiup sesekali. Wah, gaswat nih. Aku berdoa pada Allah, mohon
dimudahkan. Jangan sampai batal perginya, karena aku hanya punya
kesempatan tarawih Sabtu yang akan datang, saat off kerja. Hiks hiks, please Allah, jangan sampai batal.
"Ma, perut Tata sakiiit..." sore itu, si Tata mengeluh sambil memegang perutnya. Ia masuk ke kamarnya dan meneruskan tidurnya.
Si Lala, teman lama yang sudah pindah ke Panam
sejak awal tahun ajaran lalu, hari itu berkunjung ke rumah. Ia langsung
masuk ke dalam kamar Tata dan membangunkannya, ngajak main
masak-masakan.
Tapi Tata tak sanggup bangun. Ia terlelap hingga sore.
Aku bahkan sempat membuat donat dengan Rara. Lumayanlah, waktu masih panas, lembut banget itu donat. Sangat menggugah selera.
Maka usai berbuka puasa (yang lain sempat makan
nasi, sedang aku tidak karena baru minum obat herbal asam urat yang
mengharuskan aku makan 1 jam setelah mengkonsumsinya), kami pun
berangkat. Aku bahkan membawa bekal makan malamku dan juga donat itu.
Si Nova entah kemana. Terpaksanya kami konvoi pakai
motor. Aku membonceng si Tata sedang Rara dengan papanya. Sepanjang
jalan, aku menahan sakit di sendi-sendi yang terasa ngilu. Ini mungkin
gara-gara kebanyakan makan dendeng dan rendang hati kiriman dari Padang, dan santan juga.
Pokoknya sejak awal Ramadan aku gak kuat bawa motor lama-lama. Tapi
malam itu, dalam angin yang rada-rada kencang dan fisik tak fit, aku
nekat saja.
Saat Salat Tarawih baru dua rakaat, muncul masalah.
Tata muntah di karpet. 'Tata muntah waktu sujud tadi..." katanya dengan
wajah pucat. Ni anak memang rada-rada kareh angok, walau berkali-kali
dikatakan ia bisa masuk angin kalau tak pakai celana panjang saat tidur
di kamar ber-AC, tetap saja senang tidur cuma pakai kolor doang. Apalagi
tadi saat sahur ia makan ogah-ogahan. "Sudah kenyang," katanya.
Hampir sepanjang siang ia main game di komputer dalam kamar ber-AC. Ditambah perut kosongnya, tentulaah masuk angin...
Untung aku selalu membawa minyak angin aroma
therapi di dalam dompetku. Aku oleskan ke perutnya, lalu ia tidur di
samping kakaknya yang tengah Salat Tarawih. Aku melanjutkan salat di
shaf belakang. Dua rakaat kemudian, Rara keluar dari shaf sehingga aku
bisa mengisi posisinya di shaf kedua dari depan.
Karena kondisiku yang sedang tidak fit, aku tak
sanggup berdiri lama-lama. Maka aku salat dengan cara 2 rakaat sambil
duduk, lalu dua rakaat lagi sambil berdiri. Sebenarnya kedua posisi itu
sama-sama menyiksa, tapi aku tak mau meninggalkan tarawih malam itu.
Tata terus tidur lelap hingga akhirnya salat usai.
Aku bangunkan dia. Dalam hati, sudah merasa ni anak bisa muntah lagi.
Dia harus sesegera mungkin keluar dari masjid. Kalau muntah di luar,
tentu tak terlalu repot membersihkannya. Bandingkan dengan karpet salat
yang panjang itu, bagaimana cara membersihkannya?
Dan ternyata benar, baru tiba di tangga masjid,
Tata muntah lagi. Ia tak mau punggungnya diurut kalau sedang muntah.
Maka terpaksalah aku berdiri di sampingnya tanpa berbuat apa-apa. Bagi
orang yang tak tahu persoalan, tentulah aku dikira ibu yang tegaan...
"Itu semua yang keluar, batagor tadi..." katanya sambil menunjuk muntahannya. Iya, dia tadi berbuka dengan batagor.
Papanya mencari ember dan mengambil air untuk
menyiram muntahan Tata di tangga itu. Air mata menggenang di pelupuk
mata gadis kecilku itu. Aku tahu penderitaannya, tapi tak ada yang bisa
kutolong untuk saat ini. Sabar ya Sayaang...
Untung juga, beberapa jamaah perempuan yang melihat
kondisi Tata, dapat memaklumi. "Masuk angin, kalau perut kosong memang
suka begitu," kata seorang ibu bersimpati.
Kami lalu pulang ke rumah. Tata sekarang dibonceng
Papanya. Sebentar saja, aku dan Rara tertinggal jauh. Aku tak kuat
membawa motor itu tanpa berhenti tiap sebentar untuk meregangkan kedua
tanganku yang terasa sakit.
Kami mampir di toko yang masih buka dan aku membeli
Tolak Angin untuk Tata. Saat kami tiba di rumah, dia pura-pura tidur.
Papanya sudah kabur entah kemana. Aku minumkan Tolak Angin itu dan
sekitar 15 menit kemudian, anak yang tadi demikian menyedihkan saat
muntah di tangga Masjid Raya Senapelan itu, sudah tertawa-tawa dengan kakaknya.***
nb: foto diambil oleh Andika Orin, fotografer Harian Vokal, Pekanbaru
nb: foto diambil oleh Andika Orin, fotografer Harian Vokal, Pekanbaru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar