Kamis, 29 Mei 2014

Bab I Gelap, Asing, Sendiri

Ini dinihari.
Tata melihat sekelilingnya dengan  heran. Gelap. Ada sosok-sosok tinggi besar di sekelilingnya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Dimana nih?" pikirnya.
Ia menengadah. Ada sinar bulan yang tak terlalu terang, masuk dari celah-celah dedaunan. Mata Tata membelalak. "Ya  Allah!  Dimana ini?" katanya dalam hati.
Ia melihat  ke sekelilingnya. Di depannya, ada pohon-pohon besar. Banyak dan rapat. Di samping kiri dan kanan, juga begitu. Tata tak berani melihat ke belakang.
Teringat cerita-cerita hantu yang pernah ia dengar dari teman-temannya. Dan juga film-film horor yang telah ia tonton. Hantu seringkali tiba-tiba sudah berdiri di belakang kita! Tata membayangkan dirinya dikejar-kejar hantu paling seram sedunia. Bulu kuduknya seketika berdiri. Merinding! Ia pun tak berani melihat ke belakang.
Tata melihat arlojinya. Gelap, ia tak bisa melihat angkanya. "Ah, sudahlah. Gak perlu liat jam malam-malam gini," pikirnya.
Tata tak habis pikir, mengapa ia bisa sampai di sini. Ia mengingat-ingat  kembali, apa yang terjadi sebelum ini? Apakah ia sedang main petak umpet bersama teman-temannya? Lalu ia bersembunyi terlalu jauh ke dalam hutan, dan tertidur hingga tengah malam? Ataukah ia dibuang keluarganya, seperti dalam cerita-cerita seram yang ia baca? Ya, ada anak yang dibuang orangtuanya, karena mereka sangat miskin. Orangtua mereka tak sanggup lagi membiayai hidup mereka, sehingga mereka lalu memutuskan untuk membuang anak mereka di hutan. Apakah Tata juga mengalami nasib seperti itu? Atau ia sedang dilarikan jin ke dunia lain? Kalau iya, kenapa ia berada di dalam hutan? Rasanya ini masih dunianya. Bukan dunia jin, karena ia dapat melihat hutan yang lebat dan gelap.
Kata orang, kalau kita masuk ke dunia jin karena diculik, mata kita akan ditutupi sehingga tak bisa melihat kenyataan yang sebenarnya. Walau kita berada di dalam semak belukar, atau di bawah kolong tempat tidur, atau dimana saja yang diinginkan  jin itu, tapi kita hanya melihat yang indah-indah saja. Mungkin istana, mungkin rumah besar yang indah.
Tata pernah mendengar mama bercerita, dulu ada manusia yang dilarikan jin. Sekian lama tak ada yang bisa menemukannya. Padahal ia hanya didudukkan di atas pohon lalu disembunyikan jin selama bertahun-tahun di sana. Walaupun banyak manusia yang datang, namun mata mereka tak mampu melihat ke dunia jin itu. Mereka tak melihat orang yang disembunyikan itu sedang duduk di salah satu ranting pohon.
Atau yang lebih gampang, masih ingat film Narnia? Kata mamaku, bisa jadi Narnia adalah dunia jin. Makanya walau Lucy dan kakak-kakaknya rasanya sudah bertahun-tahun berada di sana, bahkan hingga mereka tumbuh dewasa, namun saat  mereka kembali ke dunia manusia, ternyata waktu yang dihabiskan tak lebih dari semenit! Aneh bukan?
Apakah sekarang Tata sedang berada di dunia jin?
Mata Tata membelalak. Ngeri!

catatan: ini cerita ngeri untuk Tata, yang sedang hobi baca. Selamat membaca Sayaaang...

Sabtu, 04 Januari 2014

Mengapa Aku Terdampar di Riauterkini.com?

Ternyata, aku kembali ke sini lagi. Kerja di dunia jurnalis lagi. Jadi editor lagi. Sebenarnya aku sudah senang di rumah, guling-guling, nyapu, ngepel, masak ini itu, main dengan anak, kalau malam minggu minjam VCD lalu nonton sama anak-anak, semua mengasikkan.

Hari-hari terakhirku menikmati kesenanganku, adalah tiga pekan yang lalu, kalau tak salah. Maghrib. Aku baru saja selesai mengaji. Si Rara masih belum. Ya, sejak punya banyak waktu di rumah, kami mengaji bersama. Surat favorit  kami sekarang, Al Waqiah. Kami membacanya secara serentak bersama-sama. acara ini jadi menyenangkan buat aku dan anak-anak. Lewat deh itu Spongebob atau On the Spot. Biasanya aku melotot dulu, baru tivi bisa mati.

Si Rara punya kebiasaan mandi saat adzan maghrib berkumandang. Jadinya ia sering tak ikut shalat berjamaah. Aku sering marah-marah. Namun sekarang itu sudah tidak ada lagi. Sehabis Maghrib, tivi mati, Al Quran dibuka, kami mengaji.

Nyamannya...

Dan begitulah, balik ke cerita awal, phonselku berbunyi Maghrib itu. Nomornya tidak aku kenal. Tanpa curiga, aku angkat. Ternyata si Tamam, rekan di Riau Times dulu. Setelah Riau Times ditutup, Tamam bekerja di riauterkini.com.

Itu situs berita Riau yang pertama. Kebetulan ownernya teman seperjuanganku dulu di Harian Suara Kita. Namanya Ahmad S Udi. Satu yang paling aku kenang tentang si Ahmad ini, dia meninggalkan rapat apapun bila adzan sudah berkumandang. Pergi shalat ke  masjid.

Tamam menanyakan, apakah aku mau membantu menjadi editor di situs pamannya itu. Aku bilang, aku sekarang sudah nyaman di rumah. Aku juga ada bisnis yang sedang dijalankan. Tamam bertanya lagi, "Kalau kakak kerjanya tetap di rumah, mau?"

Agak lama aku menjawab. Bagaimana ya? Bukannya aku sudah  merasa kaya raya, sehingga menolak pekerjaan yang otomatis menolak uang. Tapi yang paling utama, aku menikmati tinggal di rumah. Bertengkar, bergelut, tertawa, bermain dengan anak-anak. Memberi mereka nilai-nilai. Mengajarkan tentang kehidupan.
 
Banyak hal-hal sederhana yang membahagiakanku, terjadi di rumah. Ketika melihat si Rara mengenakan seragam MTs-nya, dengan jilbab dan baju longgarnya, aku bahagia. Ketika melihat si Tata tertawa terbahak-bahak saat menonton film kartun di televisi, aku bahagia. Saat aku menang rebutan tulang sarden dengan si Rara, atau saat kami bertiga mandi hujan, aku bahagia. Saat mereka tidur dengan lelap, saat mereka  makan dengan lahap, saat mereka membaca Al Quran, aku bahagia. Jadi, untuk apa aku harus pergi lagi ke luar rumah?

Tapi Tamam terus merayu. "Tolonglah Kak. Tamam ingin riauterkini itu semakin bagus. Makanya Tamam minta Kakak," aku ingat betul kata-katanya.

"Pokoknya kalau kakak mau, kakak nggak perlu kerja di kantor. Di rumah juga bisa. Gampang kok," katanya.

Setelah kuminta pendapat anak-anak dan suami, ternyata semua mendukung. Akhirnya aku mengiyakan. Baiklah. Mari kita coba. Tiga atau empat hari kemudian, Ahmad S Udi menelponku. Dia menanyakan apakah benar aku bersedia membantunya, tentu dengan syarat-syarat yang aku ajukan.

"Kau bisa datang ke kantorku nggak? Sinilah ya, kita ngobrol," katanya.

Keesokan harinya, aku pergi dengan si Tata. Dia baru saja selesai ujian semester, dan tidak masuk sekolah. Ia hanya menunggu waktu penerimaan rapor.

Pertemuan dengan Ahmad mungkin hanya setengah jam. Kami langsung sepakat.

"Oke, besok sudah bisa  masuk ya?" katanya.

"Jangan buru-buru dong. Aku malah bilang sama Tamam Januari nanti," kataku.

"Cepat ajalah. Ini Sabtu depan kami mau ada diskusi umum 'Hebatnya Riauterkini' di Perpustakaan Wilayah. Kalau kau oke, datang hari itu, biar aku kenalkan secara resmi. Sudah kusiapkan nomor punggungmu. Kedatanganmu sangat dibutuhkan, karena aku yakin nanti pasti ada yang nanya soal kesalahan-kesalahan ketik dalam berita kami. Minggunya kau tolong  kasi  materi tentang EYD sama para reporter. Semua wartawan dari daerah hari itu pada ngumpul. Oke?"

To the point. Suka aku.

"Aku perlu bikin surat lamaran?"

"Gaaak.. gak usah."

Deal.

Aku pulang. Hari Sabtu, setelah mengambil rapor Lira di MTsN Andalan, kami bertiga langsung ke Perpustakaa. Sempat nyasar karena gak tau dimana ruangannya. Setelah nanya sama petugas, baru ketemu.

Dan di sanalah, ketika salah seorang peserta bertanya, mengapa banyak sekali kesalahan EYD dalam pemberitaan riauterkini, dengan tegas Ahmad menjawab, "Dan untuk itulah, kami punya solusi paling tepat. Kami kini merekrut Fitri Mahyani (halah,  namaku salah sebut, kawan apaan nih?!) sebagai redaktur. Dia seorang sarjana Sastra Indonesia dan ilmunya cukup mumpuni. Dipersilakan berdiri, Fitri Mahyani."

Aku berdiri dengan muka merah dari bangku belakang. Alamaak... pakai gini-gini pulak?

Tepuk tangan gemuruh.

Aku duduk.

Dan dimulailah aktivitas baruku sebagai redaktur riauterkini.com.