Selasa, 29 Desember 2009

Mama, Lihat Aku!


Tadi siang, saat aku tengah menekuni monitor komputer di ruang kerjaku, tiba-tiba si kecil Tata berkata, "Mama, lihat aku!"

Ia berdiri di samping kiriku, menatapku dengan mata berbinar dan senyum yang manis sekali.
Aku menghentikan pekerjaanku dan menatapnya. Si Keriting itu, berusia tiga setengah tahun, banyak akal, sedikit nakal, penuh rasa ingin tahu.
Senyumnya penuh misteri.

Kami saling bertatapan.

"Ada apa?" tanyaku penasaran.

Ia tak menjawab. Hanya tersenyum. Matanya lekat menatapku. Senyumnya lebar, memperlihatkan gigi susu yang telah lengkap tumbuhnya, putih bersih, rapi dan terawat. Siapa dulu emaknya...

Aku makin penasaran.

Naluri keibuanku mengirim sinyal, ada yang tidak beres. Mungkinkan ini suatu pertanda akan terjadi sesuatu dengan si Keriting Kecil ini? Aku sering mendengar ataupun membaca kisah, orang-orang yang akan meninggal terkadang meninggalkan sinyal-sinyal, namun tidak terperhatikan oleh orang lain.

Saya pernah punya teman, yang sehari sebelum meninggal karena kecelakaan lalu lintas, bercanda kelewat batas hingga temannya marah. Ada istri yang bertengkar hebat dengan suaminya sebelum esok hari meninggal. Ada pula yang meninggalkan kenangan manis, menyalami semua orang, meminta maaf, dan meninggalkan wasiat.

Apakah si Keriting ini akan 'pergi' juga? Oh no, ia masih begitu muda!

Sehari ini ia memang membuatku geram karena bersikeras mandi dengan air hujan yang sengaja ditampungnya dengan baskom besar di halaman depan. Padahal gerimis masih turun.

Tadi pagipun, ia melanjutkan tidur di lantai kamar yang dingin karena diterpa pendingin ruangan semalaman. Ia tak mau beranjak saat kularang.

"Ada apa? Tata kenapa?" tanyaku lagi. Senyumku mulai terasa lain.

"Nggak ada," katanya. Namun ia tetap lekat menatapku, dengan bola matanya yang bulat, hitam dan menyiratkan misteri. Dan senyumnya, terus saja seperti itu.

Ia mengulurkan tangannya, mengusap-usap tubuhku, hal yang biasa ia lakukan sebelum terlelap. Aku makin tak mengerti. Ada apa dengan anak ini?

Mungkinkah akan terjadi sesuatu dengannya? Oh Tuhan, aku takut...

"Tata, ada apa?" tanyaku lagi.

Ia terus tersenyum.

"Masa senyum-senyum terus?"

Ia tersenyum kian lebar. Tata mundur sebelum mengeluarkan pernyataan yang mengagetkanku.

"Tata makan taik hidung!"

"APA?!"

Ia meledak tertawa dan lari menjauhiku.

"Tata... Berapa kali mama bilang, JANGAN MAKAN TAIK HIDUNG. KOTOR!!!"

Catatan dari Seminar Perempuan dan Pilkada

Kamis (24/12) lalu, aku berkesempatan mengikuti Seminar Perempuan dan Pilkada, di Gedung Daerah, Pekanbaru, menampilkan mantan cagub Jawa Timur Khofifah Indarparawansa, Guru Besar Hukum Tata Negara UIR Prof Ellydar Chaidir dan Guru Besar dari UIN Suska Prof Alaidin Koto.
Seminar sehari ini dibuka oleh Ketua Pembina Pusdatin Puanri Hj Septina Primawati Rusli. Dalam sambutannya, Septina mengatakan, seminar ini ditaja dalam rangka peringatan ke-81 Hari Ibu. Sengaja dipilih tema ini karena semakin banyaknya kaum perempuan yang terjun di bidang politik. Seminar ini dipandu oleh Rahmita B Ningsih dari Pusdatin Puanri.
Prof Ellydar Chaidir dalam pemaparannya mengatakan, dari segi hukum, perempuan memiliki hak yang sama untuk tampil di bidang ini. Sayangnya, hegemoni kaum lelaki seringkali menyurutkan langkah mereka. Persaingan yang kadang tak sehat, membuat kaum perempuan tersudutkan. Salah-satu alasan kuat yang sering ditonjolkan adalah larangan dalam Islam untuk mengangkat perempuan sebagai pemimpin.
Ia sendiri, terjegal dari pemilihan rektor di kampusnya, dengan alasan itu. "Saya sampai membuka kembali ingatan saya saat masih sekolah dulu tentang dalil-dalil pelarangan itu. Setelah yakin saya benar, saya mengajak mereka yang menolak pencalonan saya untuk debat publik, tapi tak ada yang mau," cerita Ellydar.
Penjegalan juga dialami mantan calon gubernur Jawa Timur Khofifah Indarparawansa. Menurutnya, berbagai trik, kecurangan dan black campaigne digelar untuk menjatuhkannya. Walaupun mendapat dukungan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil, namun saat pemilihan berlangsung, Khofifah kalah.
"Berbagai kecurangan telah kami laporkan kepada yang berwajib. Misalnya, pemilih anak-anak mencoblos sampai tujuh kami di TPS berbeda, pengurangan jumlah suara dan sebagainya. Namun laporan kami yang kedua ke Mahkamah Konstitusi tidak diregister. Itu artinya laporan kami tidak diproses," tegas Khofifah. Hal ini diulanginya sampai beberapa kali.
Khofifah mengingatkan para perempuan yang akan tampil di kancah politik untuk menyiapkan modal moril dan materil. Dikatakannya, perempuan seringkali tak memiliki hak menggunakan hartanya untuk membiayai perjalanan menuju panggung politik.
Berbeda dengan laki-laki, bisa menggadaikan rumah, kendaraan dan sebagainya, walaupun itu merupakan harta bersama. Sementara perempuan tidak dapat seleluasa itu. Oleh sebab itu dukungan keluarga dan pihak-pihak lain haruslah sangat kuat agar perempuan dapat tampil percaya diri di panggung politik.
Sementara itu, Prof Alaidin Koto lebih banyak memaparkan tentang sejarah kaum perempuan yang sejak awal memang sudah disepelekan. Ia terkadang dianggap sebagai benda, harta warisan yang dapat diwariskan, bahkan diperjualbelikan oleh suaminya dengan harga yang sangat murah.
Dengan perkembangan zaman, keberadaan perempuan semakin dihargai. Perubahan menyolok terjadi setelah Islam ada yang meninggikan derajat kaum perempuan.
Alaidin juga mengatakan bahwa dalil yang melarang perempuan dijadikan pemimpin haruslah melihat konteksnya. "Dalam sejarah, Khalifah Ustman bin Affan bahkan pernah mengangkat perempuan sebagai kepala dinas pasar. Sebagaimana kita ketahui, pasar itu kan dipenuhi oleh orang-orang 'bagak' dan khalifah Ustman tak ragu memilih perempuan. Ini menandakan, perempuan juga dapat menjadi pemimpin," katanya.
Bila ada perempuan yang merasa terjegal oleh kaum pria, menurut Alaidin, bisa jadi bukan karena persaingan gender, namun lebih dari perkara kalah menang. Tak peduli laki-laki atau perempuan, orang cenderung ingin mengalahkan lawan-lawannya.

Sungguh tak terbayangkan bila aku terjun ke dunia yang satu itu... Semoga tidak...

Menikmati Kayong Utara, Menyeberangi Dumai-Rupat


Sudah lama saya ingin pergi ke Pulau Rupat, sebuah pulau eksotis di Kabupaten Bengkalis berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Pemandangan pantai pasir putih Tanjung Lampin yang konon menghampar luas sepanjang 8 km,sungguh menggiurkan untuk dikunjungi. Namun saya tak punya kesempatan untuk pergi ke sana, bila tak dikhususkan betul.
Jatah libur 2009 ini sudah habis disikat, Juli lalu, bertepatan dengan penugasan liputan ke Kabupaten Ekspo di Jakarta Convention Centre dari majalah tempat saya nyambi kerja sekali sepekan. Setelah itu, mendadak kami harus pindah ke rumah baru yang diidam-idamkan selama sembilan tahun ini. Jadi liburan itu diisi dengan mengangkat barang-barang pindahan dan beres-beres di rumah baru. nanti saya ceritakan kondisi rumah itu di bagian lain...
jadi intinya, tak ada lagi jatah libur dari kantor tahun ini. Tapi saya harus pergi ke sana, karena ada moment peresmian kapal roll on roll off Dumai-Tanjungkapal, Rupat yang berlaku tiap hari. Ini alasan tepat untuk dicoba.
Maka kami sekeluargapun menyusun rencana. Jauh-jauh hari si Abang sudah diwanti-wanti untuk tidak membuat jadwal keluar kota pas hari keberangkatan kami. Lira juga disuruh minta izin sama guru sekolah, MDA dan les-nya, bahwa pada hari itu, ia tidak masuk. Syukur alhamdulillah, semua memberi izin. Sekolah umumnya belum ujian, demikian pula MDA. Jadi aman untuk berangkat.
Jumat malam, saya masih bekerja hingga pukul setengah dua belas malam. Tak bisa diburu agar lebih cepat karena halaman Siak yang saya pegang, baru dikerjakan pada sesi tiga. Itu artinya, baru dikerjakan sekitar pukul setengah sepuluh malam. Apa boleh buat, dijalani saja. Toh selama ini, rutinitas ini berjalan biasa saja. Dan saya masih bisa bangun pagi untuk Shalat Subuh tepat waktu, berikut shalat sunatnya dan zikir-zikir panjangnya...
jadi, bangun pagi itu, anak-anak yang sudah disiapkan mental dan fisiknya sedari malam, bangun dengan gembira. tak perlu mandi karena hari masih terlalu pagi. saya katakan, nanti saja mandinya di Dumai. Kami sudah pasti harus menginap karena perjalanan ke Dumai memakan waktu sekitar lima jam.
Saya bangun dengan mata tak dapat dibuka pagi itu. Sakit mata. Ketularan si Lira, lalu adiknya dan sekarang giliran saya, dua minggu setelah keduanya sembuh. Dengan mata tertutup, saya berjalan sambil meraba-raba ke kamar mandi. Di bawah tangga, saya mengambil secuil kapas lalu terus ke kamar mandi. Mata masih belum dapat dibuka. Kotorannya luar biasa banyak dan lengket.
Di kamar mandi, saya membasahkan kapas dengan air lalu mengusap perlahan mata yang penuh kotoran itu. lalu membukalah ia keduanya. saya liat di kaca, astaga... alangkah merah dan bengkaknya!
"Air kencing pagi obatnya," kata si Abang beberapa hari lalu. Kakakku bilang, ia baru sembuh juga dari sakit mata. Anaknya si Intan, mencoba resep tradisional itu dan sembuh dalam beberapa hari. hanya sehari yang parah betul, sementara kakakku yang agak jijik, menderita beberapa hari yang menyedihkan dengan mata memalukan itu.
Maka akupun memberanikan diri mengambil setetes dua air kencing pertama pagi itu dan meneteskannya dengan cottonbud ke kedua mataku. Rasanya perih sekali. Aku usahakan, tidak terlalu banyak air kencing itu yang diteteskan karena tetap saja aku merasa itu najis dan jangan sampai turun ke tenggorokan..
Sekitar pukul tujuh pagi, dengan anak-anak yang sudah siap di dalam mobil, aku dengan kaca mata hitam, berangkat ke Dumai.
Perjalanan tidak begitu menyenangkan karena aku berusaha untuk memejamkan mata selama perjalanan. Alangkah tidak enaknya mengadakan perjalanan dalam kondisi badan tidak fit itu. Tapi apa boleh buat, harus aku lakukan karena tidak ada lagi waktuku untuk menundanya. Tulisan dan foto-foto perjalanan itu ditunggu untuk edisi Desember.
Sampai di Duri, Lira berkata bahwa tas pakaiannya yang berisi aneka baju dan buku-buku bacaan, tertinggal di rumah. Aku kira dia main-main, ternyata tidak. Beruntung adiknya membawa baju dan celana dalam beberapa lembar sehingga si kakak bisa meminjam.

Siang itu, sekitar pukul setengah satu, kami sampai di pelabuhan roro Dumai. Sayang roronya sedang diperbaiki hari itu sehingga kami harus menunggu hingga besok pagi. Beruntung kami membawa bekal makan siang berupa nasi dan dendeng dari daging kurban yang dikirim ibuku dari Padang. Hm... alangkah nikmat dendeng buatan Ibu...

Kami menginap di hotel. Si Permata merengek sedih karena tak bisa tidur aku keloni. Ia biasanya tidur di lenganku sambil diusap-usap kulitnya, entah itu lengan, kaki, atau wajah, sampai tertidur. Aku malah demam malam harinya. Untung keesokan paginya sembuh sendiri. Tapi pengobatan tradisional dengan air kencing tetap kulakukan...

inilah catatan perjalanan itu...
Minggu 6 Desember lalu, saya mencoba roro penyeberangan Kayong Utara dari Dumai ke Pulau Rupat. Berjarak sekitar sepekan dari peresmiannya oleh Wakil Gubernur Riau HR Mambang Mit, hari itu Kayong Utara melayani warga yang antusias hendak menyeberang ke Pulau Rupat.
Udara terasa sejuk pagi itu. Matahari bersinar di balik awan. Tertera di dinding Kantor Dinas Perhubungan Dumai, di pelabuhan roro, tepatnya di samping Terminal Agro itu, jadwal penyeberangan dari Dumai menuju Rupat diawali pukul 06.30 WIB. Namun pagi itu keberangkatan pertama terpaksa ditunda karena pasang belum lagi naik. Roro itu tak bisa masuk ke pelabuhan.
Begitu pasang naik, roro itu segera menuju pelabuhan dan para penumpang satu demi satu menaiki kapal itu. Penumpang roro sangat beragam. Pedagang harian, pedagang kue, pencari burung, guru, masyarakat biasa, dan sebagainya.
Pemandangan menarik terlihat di dek kapal itu. Sepeda motor dengan keranjang rotan di bagian belakangnya, berderet rapi dengan kepala menghadap ke depan. Siap untuk turun ketika kelak sampai di Dermaga Tanjung Kapal, Rupat.
Pagi itu penumpang lebih banyak pedagang kecil yang mencari bahan mentah di Rupat yang memang masih banyak hutannya. Ada pula pedagang kecil yang akan berjualan ke Rupat, seperti seorang pedagang roti yang pagi itu, juga melayani sesama penumpang yang belum sempat sarapan.
Selain para pedagang kecil yang merasa sangat terbantu dengan adanya roro ini, masih ada warga lain yang juga merasa gembira dengan pengoperasian Kayong Utara. Di antara penumpang itu, terdapat pula guru, pemikat burung, warga biasa, dan sebagainya.
Syaiful, seorang pemikat burung, selalu ulang-alik Dumai-Rupat, tiga kali sepekan. Di Rupat, ia mengontrak rumah bersama keluarganya. Kerjanya memikat burung untuk kemudian dijual di Dumai. Pagi itu, akan pergi ke Rupat untuk melaksanakan pekerjaannya.
Syaiful mengatakan, Kayong Utara sangat meringankan masyarakat kecil seperti dirinya. Sebelumnya, ia harus mengeluarkan biaya Rp20 ribu untuk menyeberang dengan pompong ke Rupat. Sekarang, ia dapat menyeberang dengan aman dan gratis pula.
Pemprov Riau memang belum mengenakan ongkos bagi para penumpang roro itu. Namun dalam waktu dekat, ongkos ini akan dibelakukan juga, mengingat tingginya antusias warga menggunakan roro ini.
"Saya dengar memang akan ada ongkosnya nanti. Mungkin tak lama lagi. Tapi masih terjangkau kok, karena kabarnya hanya Rp13 ribu untuk sepeda motor berikut orangnya. Dulu naik pompong malah sampai Rp20 ribu," kata Syaiful.
Pagi itu, penyeberangan pertama dimulai pukul 08.22 WIB. Penumpang sebagian naik ke lantai dua kapal untuk menyaksikan pemandangan dan menikmati angin laut. Bangku-bangku panjang yang dibuat menempel ke dinding kapal dan berbentuk letter U, dapat menampung sekitar tiga puluh penumpang.
Sebagian penumpang memilih tetap berdiri di dek sambil menikmati angin. Penyeberangan hanya berlangsung lebih kurang 35 menit, dari Dumai ke Tanjung Kapal, Rupat. Jadi tak terlalu lama. Selama perjalanan, orang-orang bercengkerama sesama mereka.
Roro Kayong Utara itu merupakan aset Pemprov Riau. Dikatakan Kepala Dinas Perhubungan Bengkali Joni Syafrizal, baru-baru ini, roro itu termasuk jensi lands craft tank (LCT) yang dapat menampung tak hanya kendaraan roda dua, melainkan juga beberapa unit mobil.

Dikatakannya, pengoperasian roro ini seiring dengan telah selesainya pembangunan dermaga atau pelabuhan kapal, baik di Dumai maupun Tanjung Kapal.

Dengan dioperasikannya pelabuhan serta kapal roro jenis LCT tersebut, sarana transportasi masyarakat antar pulau dapat dilayani dengan maksimal, terutama bagi mereka yang memiliki kendaraan dengan tujuan Kota Dumai. Di samping itu, seluruh infrastruktur pendukung juga terus dibenahi untuk mendukung operasional pelabuhan dan kapal roro.

“Mudah-mudahan dengan beroperasinya roro LCT nantinya, akses perhubungan antar pulau semakin bergairah dan masyarakat dapat memanfaatkannya semaksimal mungkin,” tutup Joni.

Saat libur Idul Adha yang lalu, Kayong Utara benar-benar menjadi idola. Berita tentang keberadaannya telah memancing rasa ingin tahu banyak orang. Tak sedikit warga Pekanbaru yang sengaja datang ke Dumai untuk mencoba roro ini. Kayong Utara memang spesial, karena ia dapat memuat mobil, sehingga orang dapat berjalan-jalan di Rupat untuk kemudian sore kembali ke Dumai.
“Pelayaran roro LCT itu disambut antusias warga, baik yang ada di Rupat maupun di Dumai. Khusus untuk warga Rupat, mereka tidak hanya berasal dari Kecamatan Rupat, tapi juga dari Kecamatan Rupat Utara. Dengan adanya penyeberangan ini, warga bisa balik hari kalau ke Kota Dumai,” terang Joni.

Minggu (29/11) lalu, puluhan kendaraan roda dua malah tidak bisa balik ke Kota Dumai karena penuh. Akibatnya, warga Dumai tersebut terpaksa bermalam di rumah-rumah penduduk di Kelurahan Tanjung Kapal maupun Batu Panjang.

Saat ini, jembatan penghubung Rupat dengan Rupat Utara, sedang dalam tahap pengerjaan. Bila jembatan ini siap dan jalan-jalan telah diaspal mulus, maka arus wisatawan dari Riau Daratan menuju Rupat Utara yang eksotis dengan pantai Tanjung Lampinnya yang berpasir putih, diperkirakan akan membludak. Duuuh.. jadi tak sabar....***

Astaga, di Riau Masih ada Bocak Bergizi Buruk?

Saya kaget membaca berita bahwa di Siak, ditemukan seorang bocah penderita gizi buruk. Siak, negeri para raja, negeri yang kaya oleh sumber daya alam, terkenal karena ketinggian budayanya, ternyata masih memiliki bocah penderita gizi buruk.
Bunga Dewi Lestari (1), nama bocah itu, beratnya hanya lebih kurang 4 kg. Tubuhnya lemas, kulitnya mengelupas dan rambutnya rontok. Bapaknya seorang buruh sedang ibunya berdagang keci-kecilan di pinggir minyak pipa BOB.

Dalam imajinasi saya, sebuah kartun yang menarik langsung muncul. Seorang wanita menjajakan barang remeh temeh di samping pipa yang mengalirkan dollar dari pekarangan rumahnya sendiri. Ia hanya menjadi penonton,
Akibat kondisi tubuhnya yang memprihatinkan itu, iapun dirujuk ke RSUD Siak. Setelah diekspos media, banyak kalangan yang merasa kebakaran jenggot. Salah satunya Kadis Kesehatan Siak. Menurutnya, pihaknya sudah melakukan upaya-upaya penyelamatan terhadap Bunga, namun memang kesadaran orang tuanya yang kurang, sehingga Bunga mengalami nasib senestapa itu.

Selain Kadis Kesehatan Siak Budiman Shafari, yang merasa kena tinju telak di wajahnya oleh bocah kecil kurus itu, ada lagi yang merasa kesal, yaitu Hj Nuraini OK Fauzi, Ketua Aliansi Pita Putih Indonesia (APPI) Kabupaten Siak. Kasus Bunga juga sebuah tamparan ke wajahnya karena ini seolah merontokkan kesuksesan program tambahan makanan dan gizi yang dijalankannya di Siak.
Menurutnya sudah cukup banyak program tambahan makanan dan gizi yang dilakukan pemerintah untuk membantu balita di Indonesia, termasuk di Siak. Harusnya kasus ini tak terjadi lagi.

Mungkin memang Rodiah, ibu Bunga, yang kurang telaten mengurusi anaknya, karena desakan ekonomi. Mungkin memang ia lebih mengutamakan mencari uang daripada memberikan makanan bergizi untuk bayinya. Di kampung-kampung, terkadang orang-orang memang masih bertahan pada pemikiran lama yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Makan banyak lebih penting daripada makan berkualitas. Makan sepiring nasi walau hanya dengan garam, sudah membanggakan orang tua ketimbang makan sedikit tapi dengan asupan gizi yang lengkap.

Mungkin pola pikir semacam itu yang harus kita ubah. Makanan bergizi tak selalu mahal. Bayam, kangkung, telur, ikan, sebenarnya dapat diperoleh dengan mudah dan tanpa biaya, asal kita mau sedikit berusaha. Bayam misalnya, hanya dengan menyerakkan bijinya di sembarang tempat, dapat tumbuh sedemikian. Dipupuk dengan air tajin, darah sisa ikan, juga jadi. Ikan dapat ditangkap di kolam atau sungai. Telur mengandung zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Jadi, apa yang susah?
Pemikiran bahwa makan banyak lebih baik ketimbang makan sedikit tapi lengkap asupan gizinya, harus diubah. Memang bukan kerja ringan, tapi bila kita mau berusaha, insya Allah, akan dimudahkan. Selamat mengubah pola pikir masyarakat, para pemimpin Siak...

Lebaran dalam Keprihatinan

Lebaran dalam Keprihatinan

Lebaran kali ini terasa lain. Berat. Ramadan saja diisi dengan agenda lampu mati setiap hari, paling tidak tiga jam. Pernah juga kami berbuka puasa dalam gelap, karena pukul enam sore, saat nasi telah terhidang, teh panas sudah menerbitkan air liur dan kami sekeluarga bersuka cita, tiba-tiba dus! Gelap gulita seketika. Listrik mati!

Lebaran pun dijanjikan PLN tak akan bebas dari mati lampu. Dengan alasan blablabla... intinya, jangan harap Lebaran bebas dari mati lampu. Anehnya, untuk Munas Golkar nanti, listrik dijamin tidak akan mati. Hebat kan?

Terlepas dari itu semua, suasana menyambut Lebaran terasa dimana-mana. Rumah-rumah direnovasi atau paling tidak dicat ulang, perabot diganti, baju baru dan kue-kue, adalah hal-hal yang lazim dilakukan orang menjelang Lebaran tiba.

Agaknya telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia untuk merayakan Lebaran lebih dari hari raya lainnya. Persiapannya butuh setahun penuh, dimulai sejak Lebaran sebelumnya dan berakhir pada Lebaran berikutnya. Orang-orang mengumpulkan uang agar dapat memberikan suasana dan nuansa baru saat hari nan fitri itu datang.

Namun tahun ini, seiring badai krisis yang mengglobal, agaknya kita perlu menahan diri, lebih dari yang sudah-sudah. Demikian pedihnya penderitaan, sampai-sampai orang menipu untuk mendapatkan uang. Daging glonggongan dan ayam tiren, muncul di pasaran. Aksi perampokan juga tak kalah ganasnya. Semua hal itu rasanya tak pernah kita dengar lima tahun silam.

Kitapun sering disuguhkan televisi pemandangan orang-orang marjinal yang memakan nasi basi, nasi bercampur pasir atau nasi bercampur jagung, sama seperti zaman revolusi, berpuluh tahun yang dulu. Sungguh miris hati ini melihatnya. Sementara kita yang punya sedikit harta berlebih, masih saja bernafsu membeli pakaian baru di butik-butik mahal.

Pengamat ekonomi mengatakan krisis global belum akan usai hingga beberapa waktu ke depan. Kita perlu mewaspadainya. Seperti kata sahabat saya, pada saat sekarang ini, lebih bijak bila kita menyimpan uang daripada membelanjakannya. Simpan untuk masa-masa sulit yang masih membayang di depan mata, agar kita tak perlu berhutang, atau terpaksa memakan nasi basi untuk bertahan hidup.

Jadi, tak perlulah malu bila Lebaran kali ini kita masih saja memakai pakaian yang sama dengan sebelumnya. Itu tak terlalu penting, karena hati yang suci, jauh lebih berharga. Minal aidin wal faizin... Selamat Idul Fitri
Marhaban Ya Ramadhan..

Besok sudah Ramadhan. Si sulung gembira karena tak masuk sekolah sebulan lebih. Sudah dirancangnya berbagai kegiatan yang akan dilakukan sepanjang Ramadhan ini, seperti pergi ke Perpustakaan Soeman HS, Shalat Tarawih di Masjid An Nur, main dengan adiknya, dan mencari makan untuk buka di pasar-pasar kaget.
Memang itu selalu ritualnya kalau Ramadhan tiba. Walau sudah kelas tiga, ia ternyata masih diliburkan. Tak ada aktivitas apapun untuknya yang diwajibkan pihak sekolah.
Berbeda dengan sepupunya di provinsi sebelah, yang diwajibkan untuk ikut Pesantren Ramadhan selama beberapa pekan dalam Bulan Puasa ini. Selain mengikuti Pesantren Ramadhan, ia harus pula mengikuti khotbah di masjid dan menuliskannya.
Si Sulung ingin pula seperti itu. Apalagi setelah saya bercerita, pengalaman masa kecil dulu, ramai-ramai mencatat khotbah di masjid. Cerita itu tentu saja dibumbui dengan kenakalan-kenakalan saya zaman 'jahiliyah' dulu yang membuat ia tertawa geli.
Dulu saat ia masih kelas dua, saya katakan, mungkin nanti setelah kelas tiga, gurunya akan menugaskan ia mencatat khotbah selama Ramadhan ini. Tapi ternyata tidak ada sama sekali. Demikian pula dengan hafalan surat-surat pendek, nol.
Bagaimana dengan TPA? Libur total, tanpa ada beban tugas yang harus dikerjakan para siswa sepanjang Ramadhan ini. Justru di bulan dimana Allah melipatgandakan pahala orang-orang yang melakukan amal saleh, TPA diliburkan. Justru di bulan dimana orang beramai-ramai mendatangi masjid, anak-anak disingkirkan.
Saya kecewa, karena si Sulung tak merasakan perbedaan antara libur Ramadhan dengan libur panjang usai kenaikan kelas. Tak ada istimewanya. Kondisi ini sangat berbeda dengan zaman saya kecil dulu. Libur Ramadhan sungguh menyenangkan, karena hari-hari diisi dengan berbagai kegiatan keagamaan, mulai dari mengaji bersama, meramaikan masjid, mendengarkan kisah-kisah Nabi, dan tentu saja, berbuka bersama para anak yatim dan teman-teman.
Apakah memang seperti inilah tuntutan zaman sekarang? Apakah terlalu dini mengajarkan anak-anak indahnya Ramadhan pada siswa kelas tiga SD? Lalu kapankah waktu yang tepat itu? Saya bertanya dan menunggu jawabannya.

Kisah-kisah Tragis pada Gempa Sumbar

Berbagai peristiwa tragis mewarnai gempa 7,6 SR yang melanda Padang dan sekitarnya, 30 September lalu. Beberapa mendirikan bulu kuduk, sisanya membuat hati terasa perih.
Siang keramat itu, seorang ibu marah-marah pada anak lelakinya yang sudah beberapa hari bolos les ke LBA-LIA di Jalan Khatib Sulaiman, Padang. Geram dengan ulah si anak yang seolah tak peduli dengan masa depannya, ia mengantarkan sendiri si anak ke tempat lesnya.
Saat ibu itu masih berada di jalan yang sama sepulang mengantar anaknya, gempa hebat itu mengguncang. Si anak terkubur hidup-hidup. Si Ibu konon tak dapat bicara hingga hari ini.

Seorang suami, mengantarkan istrinya ke kantornya sebuah dealer mobil di Jalan Proklamasi. Sore itu istrinya akan memberikan surat cuti melahirkan, karena kandungannya sudah demikian berat. Tinggal menunggu hari.
Sang suami menunggu di halaman, tak turun dari sepeda motornya. Lalu gempa datang tanpa aba-aba. Ia melihat istrinya berlari ke luar, dalam jarak beberapa meter dari dirinya. Suami itu mengejar, mencoba menyelamatkan dua nyawa berharga miliknya itu. Tapi ia kalah cepat dengan kekuatan alam. Istrinya tewas tertimpa bangunan. Sementara tangan si bayi, terulur keluar dari robekan di perut ibunya.
Pemilik LBA-LIA itu sendiri, hari itu tergerak hatinya untuk mengantarkan sang istri mengajar ke lembaga itu. Itulah kali pertama ia mengantarkan istrinya mengajar. Namun kiranya itu benar-benar pengalaman sekali seumur hidup karena saat pergi meninggalkan tempat les itu, bumi berguncang. Istrinya tertimpun reruntuhan. Bangunan tiga lantai yang semula megah, kini tinggal dua lantai. Lantai pertama telah tenggelam ke perut bumi, menyisakan dua lantai di atasnya.
Itu hanya segelintir kisah tragis yang dialami warga Padang. Masih banyak kisah lainnya yang membuat perasaan terasa nelangsa. Kiamat bagi mereka sudah datang. Sebagian yang siap dengan bekalnya, tentu tak risau. Mati dalam keadaan apapun, bukan masalah, karena itu hanya proses. Hal yang lebih penting adalah bagaimana kita menghadapinya.
Bagaimana dengan kita, yang selamat, yang setiap hari melangkah dengan pasti menuju ke kematian kita? Sudah siapkah kita? Melihat kemaksiatan dan hukum Tuhan dilanggar di sekeliling kita, dapatkah kita membayangkan, azab apa yang sedang dirancang Allah untuk kita?

Jumat, 30 Oktober 2009

Anakku Shalat di Sekolah

Hari pertama kelas tiga SD di usianya yang 8 tahun, Lira aku ingatkan untuk tidak
meninggalkan Shalat Ashar. Ia masuk pukul satu siang dan pulang pukul lima sore.
Shalat Zuhur dilakukan di rumah sedang Ashar di sekolah.

"Ingat ya Rara, bawa mukenanya ke sekolah. Nanti begitu terdengar adzan,
segera ke mushalla di sekolah dan shalat di sana, oke?" kataku padanya.

"Tapi Ma, gimana kalau Rara masih belajar?" tanyanya.

"Ah, biasanya waktu Ashar bersamaan dengan jam istirahat. Jadi nanti shalat dulu,
baru jajan ya!"

"Mushalla di sekolah Rara tu selalu tertutup pintunya Ma," ia masih mencoba
mencari alasan.

"Tidak, itu karena selama ini Rara sekolah pagi. Kan tidak ada yang shalat. Tapi
kalau masuk siang, pintu mushalla pastilah dibuka."

"Bagaimana kalau teman-teman Rara tidak ada yang shalat?"

"Kamu mau meniru yang salah itu? Walaupun seisi sekolah tidak shalat, kita tidak
harus menirunya. Tahukah kamu, kalau nanti ada teman Rara yang ikut-ikutan
shalat karena melihat Rara shalat, maka Rara akan mendapatkan pahala dari
Allah. Satu karena Rara shalat, dua karena ada orang lain yang ikut shalat
bersama Rara. Selagi orang itu shalat, selama itu pula pahalanya akan terus
mengalir pada Rara. Wah, enak dong, dapat kiriman pahala terus menerus.
Malaikatnya mungkin sampai kecapekan menulis pahala Rara," aku tersenyum. Ia
tertawa.

Maka iapun mulai yakin. Ia pergi ke sekolah siang itu dengan percaya diri. Mukena
ada di dalam tasnya. Pulang sekolah, tak sabar aku ingin mendengar ceritanya.

Begini. Begitu bel istirahat berbunyi, ia lari ke mushalla itu. Tapi benar dugaannya, mushalla itu terkunci. (terkunci?!, tak percaya!). Ia lalu bertanya pada gurunya, sesuai juknis yang aku berikan di rumah. Gurunya bilang, shalat saja di sudut sana! (sambil menunjuk sesudut tempat di ruang tunggu dekat ruang kepala
sekolah. Di sana dibentangkan selembar sajadah lusuh). Maka gadis kecilkupun
rukuk dan sujud di sana. Sendirian.

"Sendirian?!" ulangku.

"Iya Ma, tak ada guru Rara yang terlihat shalat di sana. Juga teman-teman."

"Kakak kelaspun tidak ada?"

Ia menggeleng pasti. Heran, kok bisa ya.. Dulu zaman aku SD, rumah penjaga
sekolah di halaman belakang penuh sesak oleh kami yang shalat di sana. Ada
kebahagiaan tersendiri shalat ramai-ramai dengan teman-teman. Tidak kami
rasakan itu sebagai beban. Kami semua gembira melakukannya. Mengapa sekarang keadaannya jauh berbeda?

"Jangan berhenti gara-gara tak ada kawan ya Nak. Biar saja orang-orang itu tidak
shalat, yangk penting kita tidak ikut-ikutan."

Hari-hari berikutnya, satu persatu teman-temannya ikut shalat di sudut ruang
tunggu itu. Namun sering pula ia hanya sendirian melakukannya. Jadi rutinitasnya,
begitu bel berbunyi, ia pergi shalat dulu, baru jajan.

Kemarin dulu, ia berlaku pintar. "Jadi Ma, begitu keluar main, Rara pergi ke
kantin, beli nasi goreng. Rara minta plastik untuk tutupnya. Rara bawa nasi goreng
itu ke kelas, taruh sendok di atas plastiknya biar tidak diterbangkan angin. Abis
itu, Rara lari pontang-panting ke atas (lantai dua), shalat di sana. Abis itu baru
makan. Abis lo Ma, nasi gorengnya," ia bangga mengatakannya. Maksudnya, bangga karena nasi gorengnya abis.

Hm..aku juga bangga padanya.

"Nasi gorengnya ditinggal dalam kelas, apa nggak diambil orang?" tiba-tiba aku
teringat nasi goreng itu.

"Nggak la Ma..." ia menjawab sambil memandangku sepele.

Kali lain, ia ada urusan sesuatu sehingga lupa shalat saat jam istirahat. Begitu bel
berbunyi tanda pelajaran akan dimulai kembali, ia tersadar, masih ada utang.
Katanya pada ibu gurunya, "Buk, saya boleh permisi sebentar, saya mau shalat
Ashar."

"Ya, cepat sana!" jawab gurunya.

"Gurunya nggak marah?" pancingku ingin tahu.

"Nggak. Kalau minta ijin pergi shalat itu Ma, gurunya tidak akan marah,"
jawabnya.

"Bagus Nak, kamu hebat, mama bangga padamu." Hatiku serasa hendak meloncat
keluar karena bahagia. Kalau sudah begitu, ia mulai melancarkan serangan. Senyum-senyum, memandangku penuh arti, menggoyang-goyang badannya dengan manja,
lalu..." Ma, boleh beli mainan?"
Oh no!

Minggu, 29 Maret 2009

Keputusan Besar

Sejak Rabu, saya telepon sana sini, mencari ke teman-teman sesama mahasiswa Komunikasi UMJ, tentang tugas kuliah. Sabtu ini harus diserahkan. Maklum, sepekan sebelumnya saya bolos kuliah karena ada pekerjaan penting yang harinya bertubrukan. Bolos di hari pertama kuliah! Sungguh membuat saya kecewa. Empat pekan mengikuti matrikulasi, sungguh menyenangkan menurut saya. Menambah wawasan, menambah teman, dan membuka cakrawala berpikir. Tapi pilihan harus ditetapkan.
Ketika Jumat malam saya usai mengedit berita-berita untuk terbit Sabtu, saya sempatkan mengerjakan soal-soal kuliah. Tinggal diprint out di rumah, beres. Namun malam itu, terjadi percakapan serius antara saya dan suami yang akhirnya mengubah keputusan saya untuk melanjutkan kuliah.
Saya harus menentukan pilihan, apakah meneruskan kuliah yang tak akan berefek apa-apa pada karir jurnalistik saya (melihat pengalaman kawan-kawan yang sudah menyelesaikan master di kantor kami). Itu bedanya dengan pegawai negeri, kata suami. Selain itu, waktu senggang saya pada Sabtu Minggu yang selama ini dinanti-nanti anak-anak, selama satu setengah tahun ke depan, akan terenggut. Belum lagi kesempatan untuk mengunjungi orangtua di Padang yang memakan waktu delapan jam perjalanan darat, takkan bisa kami lakukan seperti hari-hari lalu.
Satu lagi yang penting, aku tak akan bisa pergi keluar kota untuk membuat tulisan panjang. Padahal aku ada rencana pergi ke Pelalawan, menulis tentang sebuah desa yang terancam hilang. Sebuah persoalan dilematis yang berat. Awalnya saya berencana untuk pergi pada Sabtu-Minggu, tapi karena perkuliahan ini, rencana itu gagal dilaksanakan.
Satu lagi yang tak kalah pentingnya adalah, pekerjaanku di event organizer Pena Production dengan dua orang teman sejawat, juga akan terbengkalai. Aku tak akan bisa konsentrasi di dua pekerjaan itu sekaligus, kuliah dan memikirkan EO itu.
Pekan lalu, aku membolos kuliah lantaran ada pekerjaan besar dari Pena yang harus aku kerjakan pada saat itu. EO kami yang sebelumnya baru mengerjakan proyek kecil berupa launching buku, kini dapat ‘kakap’ menyelenggarakan ekspo medical. Bertaraf internasional pula. Bagaimana tak pening. Sepekan menjelang hari H, aku dan teman-teman bahkan dilanda stress. Aku bermimpi buruk, tidur tak nyenyak dan makan tak teratur. Kami bekerja tak kenal waktu. Dan Jumat malam, usai mengerjakan tugas malam itu, aku masih begadang di hotel mengawasi sekaligus membantu stand-stand didirikan. Saat aku masuk ke kamar, kulihat jam menunjukkan angka 02.00 WIB.
Paginya, sudah harus bangun dan menyiapkan segala sesuatunya. Sungguh melelahkan. Acara itu tergolong sukses menurut kami, dan beberapa orang yang terlibat dalam acara itu. Tapi bayarannya mahal, aku meninggalkan kuliahku.
Mempertimbangkan itu, aku berpikir untuk stop dulu kuliahnya. Lebih baik aku tunggu waktuku benar-benar ada, anak-anak sudah cukup besar, baru kuliah lagi. Aku sedih harus bolos tiap sebentar dari kuliah yang sesungguhnya menyenangkan itu. Daripada aku setengah-setengah di dua bidang itu, lebih baik salah satu darinya mengalah dulu.
Walaupun teman-teman kuliah masih sms aku menanyakan kabar dan tugas, aku terpaksa tak dapat bergabung dengan mereka. Salah seorang malah membujuk, mengatakan tiga semester teori itu takkan lama. Tak akan terasa. Dan aku takkan pernah mendapatkan waktu yang benar-benar luang untuk kuliah, kecuali saat ini.
Ia tak tahu, bagaimana perasaan bersalahku saat pulang ke rumah, anak-anak mengatakan mereka belum makan. Bukan karena tak ada nasi dan lauk, melainkan tak ada yang mengingatkan. Lebih pilu lagi bila saat aku pulang, ternyata mereka sudah tidur, kedinginan karena tak pakai celana panjang, dan wajah-wajah tanpa dosa itu, terlelap dalam kesepian. Aku serasa ingin menangis.
Baiklah, kataku dalam hati, aku mengalah, aku takkan ikuti egoku untuk kuliah. Toh ilmu komunikasi dapat diperoleh di internet juga. Anak-anak ini lebih penting. Rumah tanggaku dan keluarga kecilku, juga lebih penting. Tak mengapa aku hanya mendapatkan pendidikan hingga strata satu, asalkan anak-anakku mendapatkan semua jawaban dari pertanyaannya yang kritis tentang dunia ini. Sejauh ini, mereka selalu puas dengan jawaban yang kuberikan. Tak jarang pula mereka memuji dengan spontan, “Ih, mama kok hebat? Kok bisa tahu semuanya?”
Hati ibu mana yang tak kan bangga dipuji putrinya? Itulah kebahagiaanku.

Senin, 02 Maret 2009

Mencuri waktumu lagi

Aku teringat, Jumat malam kemarin, Rara berkata padaku, “Ma, besok pagi, cepat bereskan semua di rumah, terus antarkan Rara sekolah. Sekalian tungguin ya!” matanya berbinar penuh harap.
Aku tahu, ia rindu seperti teman-temannya yang lain, yang ditunggui ibu mereka. Ia juga ingin diperhatikan seperti itu. Ada keharuan dalam hatiku mendengar permintaannya. Sederhana saja bukan, minta ditunggui di sekolah pada Hari Sabtu, hari dimana aku tidak perlu masuk kantor. Ia tidak meminta muluk-muluk, misalnya minta dibelikan sepatu roda, atau sepeda, atau apalah. Ia hanya ingin ditunggu sehari itu, sekitar satu jam saja. Tapi mungkin di situlah kebahagiaannya. Di situlah kebanggannya.
Ya, selalu aku lihat sorot kebahagiaan dan kebanggaan itu setiap kali aku mengantarkannya ke sekolah. Padahal aku pergi tidaklah mengenakan pakaian terbaikku, tanpa lipstik, tanpa mike up. Dan tidak pula dengan mengendarai mobil mewah. Aku mengayuh sepeda. Ya, sepeda. Kulihat di jam, hanya perlu tujuh menit melewati jalan tikus menuju sekolahnya itu. Sementara kawan-kawannya diantar paling kurang dengan sepeda motor. Tak sedikit pula yang diantar dengan mobil.
Rara tetap bangga padaku, ibunya yang hanya bisa mengayuh sepeda ini. Walaupun pantatnya sakit duduk di jok belakang yang tanpa busa, walau kadang bersempit-sempit karena adiknya tak mau ditinggal, walau ia harus melewati tempat pembuangan sampah yang bau, ia tetap bahagia bila aku yang mengantarnya ke sekolah.
Sebenarnya tidak sulit bagiku untuk memenuhi permintaan itu. Gampang saja. Masalahnya, Sabtu 28 Februari kemarin, adalah hari pertama aku masuk kuliah S2 Komunikasi. Hari pertama! Walau baru matrikulasi, namun aku merasa penting untuk menghadirinya karena setelah dihitung-hitung, ternyata terakhir aku kuliah adalah 13 tahun yang lalu! Dan matrikulasi ini berlangsung dari pukul delapan pagi hingga pukul enam sore. Oh God!
Ini memang pilihan yang sulit. Di satu sisi, rasanya sayang bila aku tak ambil kuliah ini karena suami sendiri sudah sangat mendukungnya. Aku juga menginginkannya. Dan lagi ini menunjang pekerjaanku sebagai seorang jurnalis.
Namun di sisi lain, ternyata ada persoalan lain. Anakku butuh perhatian. Dan alangkah dalam penyesalanku karena tak dapat memenuhi permintaan yang sederhana itu. Lebih sedih lagi saat kukatakan pada Rara bahwa aku tidak bisa, dan ia mencoba mengerti. Walau tak pernah terucap, aku percaya, jauh di lubuk hatinya, ia kecewa. Ia mencoba memahami aku, memahami kebutuhanku untuk menunjukkan eksistensi diri. Rara yang masih tujuh tahun, mencoba mengerti orangtuanya yang sudah 37 tahun.
Saat aku pulang menjelang maghrib hari itu, wajahnya cerah. Adiknya juga. Walaupun aku lelah, namun bahagia bisa berkumpul lagi dengan mereka.
Keesokan harinya, matrikulasi dilanjutkan lagi. Hari ini hanya setengah hari. Kami makan nasi bungkus sepulang aku dari kuliahku. Ia bahagia karena dibelikan nasi Padang dengan lauk ayam bakar. Adiknya juga makan dengan lahap.
Dan kata Rara kemudian, “Ma, nanti sore kita jalan-jalan yuk, naik sepeda.”
Sebuah permintaan sederhana, yang diucapkan dengan nada perlahan, tidak memaksa. Sedikit keraguan tertangkap dari nadanya. Ragu aku akan bisa memenuhinya. Dan ternyata memang tidak bisa lagi karena pukul tiga sore itu, aku sudah harus masuk kantor lagi, menyiapkan koran untuk Senin.
Tahun lalu, kami sering pergi berdua naik sepeda hingga jauh sekali dari rumah. Tak sempat sore hari, Minggu pagi kami manfaatkan untuk bersepeda ke jalan protokol yang sepi. Bahkan ikut olahraga senam massal di halaman kantor Gubernur Riau. Bagi kami, itu adalah kenangan yang indah.
Kini, khususnya sejak ia sekolah agama di MDA setiap sore, waktu bermainnya nyaris tak ada lagi. Apalagi ditambah pada Minggu subuh ia ikut acara Didikan Subuh, dilanjutkan pukul delapan les menari. Ia benar-benar telah kehilangan waktu bermainnya.
Adalah wajar bila kini ia meminta sedikit waktuku untuk bersamanya, dengan naik sepeda berdua saja. Namun sekali lagi Rara harus menelan rasa kecewanya.
Seandainya ia tahu, untuk waktu, paling tidak, satu setengah tahun ke depan, aku akan terus merampas kebersamaan dengannya pada Sabtu dan Minggu. Pada dua hari itu, aku akan bertungkus lumus mempelajari teori demi teori komunikasi. ***

Jumat, 27 Februari 2009

Ajaranku Kontra Ajaran Tetangga

Dua buah hatiku, Rara dan Tata, kuajarkan untuk tidak menggunakan kata-kata kasar seperti ‘kau’ dalam bahasa Minang untuk menyebut ‘kamu’. Bagi telingaku, walaupun sejak kecil sudah terbiasa mendengar kata-kata itu, ‘kau’ tetap saja terdengar kasar. Kata-kata itu biasa kami gunakan bila menyebut lawan bicara dalam keadaan marah, beradu argumen dengan emosional, atau memaki orang lain. Aku kena marah oleh ibuku, aku dipanggil ‘kau’. Dan itu menyakitkan.
Karena itulah, sejak anak-anak masih bayi, aku membiasakan diri menghilangkan kata-kata ‘kau’ dari rumahku. Aku panggil mereka dengan nama mereka, atau ‘kamu’, bukan ‘kau’. Dan keduanya kini mengerti, kata-kata itu tidak untuk diucapkan di dalam rumah kami. Rara sering melaporkan adiknya yang menyebut-nyebut kata itu bila mereka sedang bertengkar. Aku marahi si kecil, yang memang agak keras kepala itu.
Persoalannya, tetangga terdekat kami, yang selalu gembar-gembor ke seluruh dunia bahwa anak-anakku adalah cucu-cucu kesayangannya, memanggil mereka dengan ‘kau’. Alangkah beratnya aku menahan mulutku untuk tidak mencegah mereka. Dulu sudah pernah kukatakan, aku keberatan mereka dikau-kaukan begitu.
Di depanku, si pemilik rumah yang jadi tetangga terdekatku itu, memang tak mengkau-kaukan mereka. Namun saat anak-anak dititipkan, puaslah telinga mereka mendengarnya. Tadi siang, si oma, dengan suaranya yang lantang, berteriak di ambang pintu, “TATA… INDAK KA LALOK KAU?”
Aku manyun. Mencoba sabar, untuk yang delapan tahunnya. Di depan hidungku, terang-terangan si orangtua keras kepala itu meneriaki anakku. Beberapa hari yang lalu, pagi-pagi, ia berteriak, “MANA DIA ANAK KALERA ITU, BLABLABLA…” ia geram soal bunga, bertengkar dengan Tata, bocah berusia 3,5 tahun yang menklaim semua bunga kesayangannya, adalah milikku, mamanya.
Sebelumnya, Tata menyebut ‘kanciang’ di rumah dan aku nyaris menjewer mulutnya. Ajaran si tetangga juga. Bahkan ia diberitahu, kanciang sama artinya dengan kancing baju. Aku katakan dengan tegas, “Itu kancing, bukan kanciang. Kanciang itu berarti carut marut. Satu dosa ditulis di buku sebelah kiri kamu!”
Dan Tata mengatakan kanciang bukan untuk menyebut kancing baju, tapi sekadar ingin melihat reaksiku. Masih ada lagi istilah-istilah kasar dan vulgar yang sungguh tak nyaman kudengar. Seperti alat kelamin wanita, disebut ‘cepe’ yang menurutku sangat kasar. Sejak kecil, kata-kata itu tabu kami ucapkan di tempat itu. Kadang kami berbisik-bisik menyebutnya. Kuajarkan Tata menyebutnya Miss Vegi, dan ia menurut. Namun selagi aku tak di rumah, tentulah ia akan menyerap kata-kata kasar itu dari para mentor tak berpendidikan itu di sebelah rumah itu.
Masih banyak ajaran buruk yang mereka ajarkan pada anakku. Salah satu contoh adalah, membawa Tata keluar pekarangan tanpa sendal. Padahal, di jalanan, bangkai tikus yang mati digilas segala macam ban mobil, sudah kering pipih seperti dendeng, berserakan dimana-mana! Bagaimana aku tidak geram. Kemarin dulu, ia membawa Tata ke tempat pemotongan hewan qurban tanpa alas kaki, padahal di sana kotoran sapi sangat banyak. Masih belum cukup membuat dongkol, Tata yang sedang ingusan, dibelikan es krim! Padahal aku tegas melarang mereka makan es krim selagi ingusan. Sejauh ini, anak-anak mematuhinya, namun kalau si oma sudah bertindak, uh, rasanya aku ingin memaki-makinya!!! Semua aturan yang aku buat demi kebaikan anak-anakku, diterobosnya, tanpa pikir panjang. Padahal akulah yang akan menanggungkan bila anak-anak itu jatuh sakit. Bukan mereka yang akan menenangkan bila mereka mengigau tengah malam. Bukan mereka yang akang mengelap muntah di lantai kamar dan bukan pula mereka yang akan menggendongkan ke rumah sakit bila harus diopname.
Beberapa waktu yang lalu, Tata tidur di kamar si Oma. Dua hari tidur di sana, di wajahnya muncul kira-kira sepuluh bintik merah bekas gigitan nyamuk! Aku ngomel-ngomel lagi. Kuajarkan saja dia menolak tidur di tempat omanya lagi, dengan alasan di kamar itu banyak nyamuknya. Ini memang sudah terbukti. Dan suatu pagi aku melihat, ia membuka jendela kamar saat Tata masih tidur. Perlu dicatat, di dekat jendela kamarnya, sebagai macam jenis bunga ditaruh berpuluh-puluh pot. Bunga-bunga yang sangat disukai nyamuk.
Tentu saja aku khawatir anakku digigit nyamuk demam berdarah. Setahuku, nyamuk itu berkeliaran di pagi hari. Makanya, begitu jendela dibuka dan kulihat Tata masih tidur, cepat-cepat aku bangunkan dan kubawa pulang ke rumahku.
Dan kesabaranku, ada batasnya. Bila waktunya tiba, akan aku muntahkan semuanya. Sungguh menjengkelkan kondisi ini. Parahnya lagi, suami kadang-kadang tak memihakku. Aku hanya disuruh untuk memahami bahwa tetangga sebelah kami adalah orang-orang tak berpendidikan. Tapi sampai kapan?

Rabu, 25 Februari 2009

hari ini aku sibuk sekali

Pagi ini, aku sibuk sekali. Cucian telah dua hari tidak dibereskan. Memasak, mengurus anak, adalah dua hal rutin yang tak bisa tidak, harus dikerjakan setiap pagi. Si Tata harus dimandikan kalau tak ingin shampoo, sabun dan air terbuang percuma tiga sampai empat baskom sehari, sementara ia belum juga selesai mandi (halah!). Belum lagi kamar mandi berantakan, dan ia bertahan di ruangan itu berjam-jam!
Selesai memandikan Tata, kami berdua pergi bersepeda ke sekolah Rara, mencari mainan yang kemarin gagal dibeli karena aku lupa membawa uang. Tata merajuk kemarin, walaupun ia mau mengalah tidak menangis di depan orang ramai dan mau dialihkan ke taman kanak-kanak dekat rumah bermain ayunan, rupanya janji membeli mainan itu esok hari tetap diingatkan. Makanya, tadi pagi, ia menagih janji.
Saya yang sedang belajar konsisten dengan apa yang saya ucapkan padanya, terpaksalah mengikuti. Jadi pergilah kami berdua, bersepeda ria menuju sekolah Rara, karena di sanalah pedagangnya menggelar jualan. Sempat sepeda dibelokkan ke tempat yang lebih jauh sedikit, dengan harapan mungkin bisa lebih murah, tapi Tata protes di bangku belakang.
“Kok ke sini? Jauh kali?” rupanya ia sudah hafal jalan yang harus dilewati. Terpaksalah aku kembali ke jalur semula.
Alangkah girang ia saat mainan idaman itu berada di tangannya. Begitu kami ‘mendarat’ kembali di rumah, ia langsung ngacir, memamerkan mainan baru itu pada omanya.
Aku masuk ke dalam rumah, membereskan pekerjaan rumah tangga yang masih terbengkalai.
Hariku pagi ini diawali dengan shalat subuh sekira pukul 5.45. Setelah membaca zikir dan doa, aku memulai aktivitas dengan menyetrika pakaian yang mungkin sudah dua pekan tidak dibereskan. Urusan ini selesai sekira pukul setengah sembilan pagi. Setelah itu, langsung mandi dan memandikan Tata. Mengurus kakaknya, termasuk menyuapi anak-anak makan pagi dengan lauk sisa kemarian. Ada dua potong ayam bumbu kuning yang tersisa dari sekuali yang aku masak kemarin pagi.
Dua potong keramat, karena ternyata dapat mengenyangkan orang satu rumah. Menunya pagi itu memang sederhana, sepotong ayam plus semangkuk sayur. Si bapak langsung melahap tumis bayam hasil kebun sendiri itu dari mangkuknya, tak sempat mampir dulu ke piring makan.
Sepotong lagi dimakan anak-anak yang aku suapi bergiliran. Mereka berebut, kadang ditingkahi teriakan Tata yang protes karena gilirannya dipotong si kakak. Setelah anak-anak kenyang, biasanya aku akan makan di piring itu juga, menghabiskan sisa makanan mereka, plus sedikit tambahan nasi.
Bagi orang tua-tua, khususnya di daerahku, adalah tabu seorang ibu memakan sisa anaknya. Takut nanti si anak jadi bertingkah sama orangtua. Aku dan suami kurang paham dengan hal-hal begitu. Jadi kami berpikir, daripada mubazir, toh ini juga makanan masih bersih dan layak, bukan pula sisa orang lain, melainkan darah daging kami sendiri, ya makan sajalah.
Setelah itu, Rara berangkat ke sekolah dengan papanya. Aku mengurus si Tata yang bersemangat disuruh mandi pagi karena diiming-iming pergi membeli mainan idamannya dengan sepeda.
***
Selagi pakaian diolah di mesin cuci, aku mulai mengangsur pekerjaan di dapur. Hari ini kami akan makan dendeng. Kali ini, dendengnya tidak pipih, tapi dadu. Suka-suka akulah. Selesai daging dibumbui dan diungkap serta bawang dikupas,cucian di kamar mandi harus dibilas secara manual dan dikeringkan di mesin cuci.
Usai menjemurnya di terik matahari, aku mulai menyelesaikan urusan dapur. Telepon dari teman mengabarkan perkembangan pekerjaan sampingan yang sedang kami tangani. Sekalian ia meminta dibuatkan surat-surat pengantar. Aku iyakan. Ia berjanji akan datang sore nanti. Aku berpikir, sore kapan, kami kan harus masuk kantor?
Belum tuntas urusan dapur, teman yang berjanji akan datang nanti sore, nongol di depan pintu. Kami bekerja sebentar. Waktu itu sudah pukul dua belas siang. Hanya ada waktu sekira satu jam mengurus kerja sampingan ini, karena pukul satu aku sudah harus berangkat ke ‘tempat kerjaku yang lain’. Rabu adalah jadwal tetapku datang ke sana. Tak bisa diganggu-gugat. Telepon berdering lagi, rekan di ‘tempat kerja yang lain’ itu, menelpon, menanyakan, mengapa aku belum juga datang, padahal ini sudah pukul satu siang. Sesuai jadwal, kami rapat pukul satu siang hingga pukul tiga.
Aku terburu-buru, lupa minum obat flu. Sampai di sana pukul dua siang. Ia sudah bersiap-siap hendak berangkat, ada urusan lain, katanya. Aku duduk di situ, setor wajah, tak ada setoran berita, main onet, hingga 45 menit kemudian. Setelah itu, aku langsung cabut lagi, pergi ke tempat kerja utamaku, rapat, mengedit, dan hingga pukul sembilan malam, masih duduk di depan komputer. Membuka-buka email, menahan perut yang lapar, dan minum rosella tea promo dari seorang teman. Batukku sungguh mengganggu karena tenggorokan terasa amat gatal. Belum lagi karpet di ruangan itu tak pernah disedot debunya.
Sore tadi, kumatikan hp agar anak-anak tak menelpon terus. Kemarin, dan hari-hari sebelumnya, hampir setiap dua menit hp itu berdering, kalau bukan panggilan, ya sms. Pertanyaan-pertanyaan gak penting ditanyakan si Rara seperti, kapan mama pulang, adakah hadiah untuknya nanti, bolehkah ia makan malam hanya dengan mie gelas tanpa nasi, dimana aku menaruh gula karena ia akan membuat teh, dan sebagainya.
Berkat dinonaktifkan, hp itu tak berdering sampai malam itu. Aku agak tenang mengerjakan tugas editingku. Tapi rindu juga mendengar suara mereka. Tadi Rara melapor, ada dua PR dari sekolahnya hari ini, matematika dan Bahasa Indonesia. Ia tak mau mengerjakan dengan si bapak, maunya dengan aku.
Seperti kata temanku, rasanya waktu 24 jam tak cukup untuk kami, para ibu yang juga wanita karir. Seandainya kami bisa membagi dua tubuh ini, kami ingin melakukannya, agar antara pekerjaan dan rumah tangga, dapat sejalan.
Sungguh melelahkan. Terkadang, aku lebih dulu tertidur daripada anak-anak. Terkadang, aku tertidur di kantor, tertelungkup di depan komputerku barang satu atau dua menit, saat kantuk benar-benar tak dapat ditanggungkan. Biasanya itu terjadi pada sore hari, setelah seharian, hampir tanpa istirhat, mengurus rumah tangga.
Beberapa pekan yang lalu, mendadak aku ingin meluangkan waktu untuk diri sendiri. Aku ingin nonton film ‘Wanita Berkalung Sorban’ karena membaca resensinya di koran. Hari itu Sabtu, semua pekerjaan sudah beres siang itu, makanan sudah tersedia untuk sehari itu, bahkan sampai besok pagi. Anak-anak baik-baik saja dan bapaknya juga sedang tak ada tugas di luar. Tapi suami tak mengizinkan. Ia malas mengantarkan aku ke bioskop.
Ketika kami membahasnya, kuterangkan bagaimana aku mengisi hari-hariku dari pagi hingga malam hari, demi keluarga ini. Dari Minggu hingga Minggu lagi, tak ada liburan. Bahkan saat Sabtu aku libur masuk kantor, aku tak bisa bersantai karena di rumah telah menunggu setumpuk pekerjaan. Tetap saja tubuhku letih dan punggungku gilu.
Kutekankan, tak ada yang membantuku mengerjakan semuanya. Pakaian kotor tidak bisa bersih dengan sendirinya, karena mesinnya tidak otomatis. Sayuran harus dipotong, lauk pauk tidak bisa sim salabim jadi siap saji. Demikian pula rumah yang berantakan, tak akan beres kalau bukan aku yang turun tangan. Sepatu yang selalu berantakan di depan pintu, pasir di lantai, selimut kusut, semua meminta uluran tanganku yang hanya dua ini.
Ketika aku ingin menyenangkan diri ke salon sekadar untuk creambath, kedua bocah itu tetap harus aku bawa. Jadi rencana bersantai sambil mencium lembut parfum ruangan beraroma therapy, buyar sudah. Lalu, saat aku minta waktu dua jam saja untuk memanjakan diri ke bioskop, ia enggan. Ia membela diri, bahwa ia tidak tahu itulah maksudku. Bahwa aku tidak ngotot, jadi dikiranya aku main-main.
Aku sudah patah semangat, patah selera. Kukira ia sudah melupakannya. Namun ternyata hingga esok hari, ia masih menawarkanku untuk pergi ke bioskop sendiri. Tapi kesempatan itu sudah tak ada lagi. Dari Minggu sampai Jumat ke depan, jadwalku penuh. Dan Sabtu berikutnya, ‘Wanita Berkalung Sorban’ sudah tak diputar di sana lagi.
Dan sekarang ada jadwal baru pengisi Sabtu Minggu, hari istirahatku, yaitu kuliah S2 di Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI). Kebetulan aku memilih jurusan komunikasi, dan kuliah perdana digelar pada 28 Februari ini.
Namun ada sebuah kabar menggembirakan. Kudapat secara tak sengaja, ternyata ada yang menganggapku ibu yang luar biasa. Ya, selagi mengurus rumah tangga, tanpa pembantu, aku dapat bekerja di dua tempat sekaligus. Masih pula sempat menjalankan sebuah EO, dan juga menulis novel atau cerpen. Kebetulan hari itu ada berita di koran tentang aku yang menjadi salah satu nominee untuk ‘Anugerah Ganti’, sebuah lomba menulis novel yang diselenggarakan oleh Yayasan Bandar Seni Raja Ali Haji.
Mendengar itu, aku jadi memandang lain diriku. Aku memang bukan perempuan biasa. Ternyata aku dapat mengerjakan semua itu, sejauh ini. Syukur alhamdulillah.
Jadi kusimpulkan, sesekali, ketika kita sedang dilanda jenuh akan rutinitas, ada baiknya kita memandang diri kita sendiri dari kacamata orang lain. Usahakanlah mendengar yang positif, agar semangat kita bangkit kembali, agar kita dapat menyukuri apa-apa yang telah kita lewati.

Selasa, 24 Februari 2009

Doa Pertama Permata

“Ya Allah, janganlah sampai ada setan di sini..”

Demikian si Permata yang biasa kami panggil Tata, 3,5 tahun, berdoa malam itu ketika ditakut-takuti kakaknya. Aku gembira, karena spontanitas Tata berdoa sungguh mengagumkan. Itu kali pertama ia berdoa sepanjang ingatan saya. Biasanya, disuruh ikut shalat dengan kamipun, ia tak sudi. Ia tak betah menunggu papanya menbaca ayat demi ayat. Jadi, sebelum Al Fatihah lunas, ia sudah membuka mukenanya dan menatap saya dengan mata cerdasnya.
Saya dapat membaca pikirannya. Ia sedang menunggu moment aku sujud, saat dimana ia akan melompat naik ke punggung saya, lalu menempel di sana hingga ritual sujud, duduk antara dua sujud, lalu sujud lagi, selesai. Begitu saya bangkit hendak berdiri, ia melepaskan pegangannya di leher saya.
Anak itu, tidak pernah mau menurut kalau saya larang mengganggu kami shalat. Berbeda dengan kakaknya, yang punya pengertian luar biasa untuk anak seukuran dia. Aku masih ingat, saat berusia sekitar setahun lebih, ia saya larang lewat di atas sajadah selagi saya shalat. Ia mengangguk mengerti. Dan hingga saat ini, rasanya tak pernah sekalipun saya menegurnya karena melupakan larangan itu.

Sementara si Tata, walau sudah dicubit gemas pantatnya yang montok, walau sudah dijawil dagunya, walau sudah dibelalakin, tetap saja tertawa senang bila sukses naik ke punggung saya atau papanya. Dan ia sadar betul, saya tidak suka ia mondar-mandir di atas sajadah itu selagi saya shalat, namun hal itu selalu dilakukannya. Dan cerdiknya, begitu ia tahu saya sudah hampir selesai, ia segera lari bersembunyi di tempat yang itu-itu terus, kalau bukan di bawah kolong tempat tidur, ya di balik gantungan kain.
Terkadang, si bungsu yang berambut keriting, berwajah bulat, bermata coklat ini, ikut shalat bersama kami, tapi tanpa mukenanya. Dan ia seringkali mendahului semua orang. Ketika kami masih berdiri tegak menyimak imam membaca Al Fatihah atau ayat pendek, ia tiba-tiba sudah rukuk sendiri, lalu sujud sendiri. Ia membaca bacaan semampunya, suka-sukanya, keras-keras pula. Kadang kami semua sulit menahan tawa kalau melihat tingkahnya.
Salah satu doa yang paling dihafalnya ada doa mau tidur. Dan karena pernah aku katakan pada ia dan kakaknya bahwa kalau tak membaca doa itu mereka bisa bermimpi buruk, atau berjalan sendiri ke luar kamar tanpa sepengetahuan kami, Tata tak pernah lupa membacanya. Ia bahkan juga mengingatkan si kakak untuk membacanya juga. Rara, si Sulung, terkadang ingin menggoda adiknya, membaca doa itu dalam hati.
Tata yang tidak mendengar, jadi khawatir. Ia mengadu, “Ma, kakak ndak mau baca bismika. Suruhlah dia Ma,” rengeknya.
“Biarkan ajalah, biar nanti mimpi digigit hantu,” kataku.
“Aah..” ia merengek lagi. “Nanti kakak tu jalan ke luar. Tata mau punya kakak…”
“Nanti kita ganti saja kakaknya sama Puput belakang,” kataku menggoda.
“Nggak mau do.. maunya kakak yang itu aja…”
Aku jadi tertawa. Walau sering terlibat konflik antara dua saudara itu, ternyata rasa memiliki keduanya masih ada. Alhamdulillah

Senin, 23 Februari 2009

Kiamat 2012?

Sebuah stasiun tivi menyiarkan ulasan tentang kiamat yang akan terjadi di Indonesia pada 2012. Tak kurang dari Mama Laurent dan Ki Gendeng Pamungkas mengungkapkan hasil terawangnya tentang tahun itu.

Menurut kedua orang yang mengaku dapat melihat hal-hal di masa depan itu, pada 2012 nanti akan terjadi beberapa gunung meletus secara serentak. Diikuti pula dengan tsunami. Lengkap sudah.
Mama Laurent dengan gaya cueknya yang khas mengatakan, ia tak dapat menerawang tahun 2013 karena semua terlihat gelap. "Saya hanya melihat tahun 2012 yang penuh peristiwa besar seperti bencana alam, gempa, tsunami dan sebagainya. Tapi saya tak dapat menerawang tahun 2013. Hasil terawangan saya ke tahun itu gelap sama sekali," katanya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ki Gendeng Pamungkas.
Secama ilmiah, seorang pakar luar angkasa entah siapa namanya, sori lupa, mengatakan bahwa jumlah sampah manusia di luar angkasa sudah mencapai titik jenuh. Sampah ini berupa satelit dan sebagainya yang sudah tak terpakai lagi, dibiarkan melayang-layang begitu saja di angkasa luar. Jumlahnya sudah demikian banyak sehingga sangat berpotensi terjadi tabrakan dengan sesamanya.
Masih belum cukup, ditambah lagi pendapat seorang anak indigo yang saya lupa juga namanya, mengatakan bahwa akan terjadi peristiwa alam besar di tahun 2012 nanti. Gempa bumi, tsunami, dan banjir. "Seperti kiamat ya?!" katanya dengan lugu.
Ustad Jeffry Al Buchori mengatakan, sudah banyak tanda-tanda alam bahwa dunia ini sudah tua dan siap untuk dikiamatkan. Banyak contoh yang sudah terlihat seperti jumlah wanita yang lebih banyak dari laki-laki, banyaknya muncul makhluk-makhluk aneh, dan lain sebagainya. Untuk makhluk aneh ini, dapat dicari di situs-situs berita, sungguh beragam macamnya. Ada seorang ibu yang melahirkan bayi kembar di Maluku, satu manusia, perempuan, satu lagi buaya. Ada pula yang menemukan jenglot berupa ular berkepala manusia, ikan berkepala manusia. Tidak sekali pula kita melihat dan mendengar cerita tentang anak manusia yang dikutuk menjadi binatang.
Benar-benar dunia ini sudah tua. Amat tua. Manusia sudah merasa biasa saja merendahkan dirinya lebih rendah dari binatang. Mereka meninggalkan norma agama, dan bahagia dengan gemerlap dunia. Tentu kita masih ingat dengan artis-artis baik mancanegara maupun lokal, yang bangga punya anak tanpa menikah. Atau hamil dulu baru menikah. Di kehidupan sehari-hari, sungguh mengerikan sikap manusia yang sudah terbawa syahwatnya. Tidak sedikit yang memperkosa anak sendiri, darah dagingnya sendiri, atau bahkan membunuhnya. Kejadian ini sungguh mengerikan.
Mungkin memikirkan dahsyatnya bahaya yang mengancam anak-anaknya, maka seorang ibu, sarjana kimia ITB (kalau tidak salah), membunuh anak-anaknya. Alasannya, takut tak bisa memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Sebuah ketakutan yang sesungguhnya melanda semua ibu yang mengerti, betapa kejamnya dunia di luar rumah mereka.
Hal yang sama juga menakutkan saya. Namun bedanya, setiap kali ketakutan itu datang, saya langsung punya senjata pamungkas yang selama ini tak pernah mengecewakan. Allah. Saya tak lupa berdoa padaNya, agar senantiasa menjaga anak-anak saya. "Mereka tak ada dalam penglihatanku saat ini ya Allah, tapi aku yakin, mereka semua selalu berada dalam lindungan dan pengawasanMu. Aku serahkan mereka padaMu ya Allah, jagalah mereka, lindungi dari perbuatan tercela, dari perbuatan buruk manusia dan jin, dari kecelakaan, dari peristiwa-peristiwa buruk..." dst..
Kalau sudah begitu, maka aku akan tenang.
Siang itu, setelah menonton siaran itu, kukatakan pada si Sulung Lira, "Orang-orang mengatakan kiamat akan terjadi pada 2012 nanti. Sesungguhnya hanya Allah yang tahu kapan kiamat akan datang. Mungkin besok pagi, mungkin nanti malam. Semuanya rahasia. Kalau kita ingin selamat dan masuk surga, jangan tinggalkan shalat, berbuat baiklah dengan sesama, termasuk dengan adikmu," (secara dia setiap hari bentrok dengan adiknya yang keriting).
Maka kamipun shalat zuhur berjamaah di kamar setelah itu. Terlihat ia menyerap kata-kataku dengan baik, matanya menatap lekat, tersirat di sana ketakutan sekaligus ketenangan. Semoga ia percaya, bahwa ada Allah tempat bergantung yang tak akan mengecewakannya.

Jumat, 20 Februari 2009

Rindu, Sakit yang Nikmat

Subuh itu, usai shalat, saya asyik membaca doa-doa dan zikir. Suami sudah kembali ke rutinitasnya setiap usai Subuh, mengambil selimut tebal, menyalakan kipas angin ke level tertinggi, lalu bergulung tidur dan menghidupkan televisi. Mata dipejamkan, lalu asyik mendengarkan berita.
Saya terus dengan zikir-zikir saya. Memuji-muji Allah, meminta ampun, minta dimudahkan rejeki dan urusan, dan meminta perlindungan.
Saat itu di televisi ada pemberitaan tentang ibadah haji. Saya nyeletuk, "Ah, kapan ya kita bisa pergi haji?"
"Ya, menabungnya Yani, agar bisa pergi haji," kata suami sambil membenahi letak selimut tebalnya.
Saya meneruskan membaca zikir. Namun saat itu konsentrasi sudah buyar. Di depan mata saya muncul bayangan tiang-tiang Masjidil Haram yang tinggi besar dan megah itu. Orang-orang berpakaian hitam dan putih, berseliweran menuju dan pergi meninggalkan Ka'bah. Oh, itu kenangan saat saya pergi umrah Mei 2008 lalu bersama Papa.

Saya teringat kembali semuanya. Lantai marmernya yang dingin, air zam-zam yang tak pernah kering di galon-galon di seantero Masjidil Haram, dan juga orang-orangnya. Semuanya berkomat-kamit, menyebut Asma Allah. Mereka datang dari seluruh pelosok dunia, baik berjalan kaki atau dengan kendaraan. Ada yang sempurna wujudnya, terlihat kaya secara materi, ada pula yang lemah fisiknya, didorong dengan kursi roda, dan ada pula yang sepertinya hidup sangat sederhana.
Saya rindu suasana itu. Rindu pada Masjidil Haram yang penuh kharisma dan daya tarik. Rindu pada kurmanya, pasarnya, orang-orangnya, suasanya, harumnya Ka'bahnya, semuanya. Dan tak dapat dibendung lagi, tangis sayapun pecah. Rindu ini sungguh menyiksa. Tapi siksaan yang indah, nikkmat. Saya terisak-isak, bahkan mungkin lebih keras, sampai-sampai suami jadi heran. What is wrong with her? begitu mungkin pikirnya.
Tapi saya tak hendak bicara. Saya terlarut dalam kerinduan yang memuncak itu. Dalam sedu sedan subuh itu, saya berdoa dalam hati, semoga Allah mengundang saya kembali ke sana. Sungguh rindu ini hanya dapat diobati, bila saya berkesempatan lagi datang ke rumah Allah yang mulia itu.
Walaupun saya tak tahu darimana akan mendapatkan biaya, namun saya percaya, kekayaan Allah cukup untuk mengantarkan saya kembali ke sana.
Beberapa waktu kemudian, saya bermimpi, pergi ke Mekkah lagi bersama Lira, si sulung. Kami berjalan masuk ke sana, sibuk mencari-cari tempat yang pas untuk shalat, di sela jamaah lainnya, yang telah rapi duduk di shaf-shaf yang panjang. Begitulah. Harapan saya, suatu hari kelak, saya dapat kembali ke sana, bersama keluarga. ***

Kamis, 19 Februari 2009

Syukurilah, Apa pun Kejadiannya

Malam ini tak sengaja saya tergelitik untuk mencari foto-foto megapop dunia, Michael Jackson. Saya pun menemukan ratusan foto tentang lelaki yang dikabarkan baru saja menjadi muslim itu. Dari semua foto itu, hampir 80 persen menonjolkan hasil operasi plastik yang dijalaninya. Sebagian dalam bentuk yang sangat kasar dan membuat saya merinding.
Sebuah foto memperlihatkan seseorang yang sepertinya Michael Jackson usai operasi pemutihan kulit wajah. Ia tengah memilih-milih bentuk hidung yang cocok dengan wajah barunya. Sosok itu persis Michael Jackson, namun dengan hidung rata dan hanya menyisakan setitik lubang untuk bernapas. Ini besar kemungkinan hanyalah rekayasa fotografi rendahan.
Foto lainnya adalah Michael Jackson sebelum dan sesudah operasi plastik. Satu foto memperlihatkan wajah asli penyanyi Afro Amerika itu dengan kulit coklatnya yang berminyak, rahang tersamar, rambut keriting kribo, alis yang tak rapi, hidung buah jambu, bibir sewarna kulit wajah, dan dagu yang sesuai dengan wajah itu. Foto di sampingnya, usai operasi plastik, memperlihatkan kulitnya putih seperti dilumuri semen, pipi yang tirus seperti George Michael, rambut lurus dan hidung yang aduhai mungilnya. Bibirnya kini terlihat merah dan dagunya kini terlihat terbelah dua. Kata-kata di bawah dua foto itu adalah: remember,... It could always be worse...
Dalam sebuah wawancara, Jacko, demikian sapaan akrabnya, mengatakan bahwa ia tak melakukan operasi plastik untuk memutihkan kulitnya. Sebaliknya, itu merupakan sesuatu yang alami terjadi dalam keluarganya.
Isunya lagi, akibat segala macam operasi plastik yang dilakukannya, Jacko harus selalu dekat-dekat dengan tabung oksigen murni karena kulit putih dan segala yang baru dalam dirinya itu membutuhkan perawatan dengan biaya yang tak sedikit.
Bagi saya, Michael Jackson telah mengingkari pemberian Tuhannya. Ia sepertinya keberatan dengan segala keindahan yang diberikan secara gratis oleh Tuhan untuknya.
Saya memandangi kulit wajah saya yang coklat, khas kulit orang di daerah tropis. Ada sisa-sisa kenakalan masa kecil di tengah sawah, hutan dan tanah lapang saat main layangan. Setelah dewasa, kulit ini tiap sebentar kena cipratan minyak panas saat memasak di dapur. Warnanya jadi lebih hitam dalam bentuk bercak-bercak di sembarang tempat di tangan dan wajah.
Hidung saya juga tidak kecil mungil. Lebih kurang samalah dengan hidung aslinya Michael Jackson dulu. Hidung yang terkadang terserang flu hebat, terkadang ditumbuhi jerawat batu dan komedo.
Intinya, tidak ada yang terlalu bagus di wajah saya. Namun demikian, sungguh besar rasa syukur saya, karena Allah telah menganugerahi wajah, kulit dan hidung seperti ini. Meskipun hidung ini sedang ditempeli jerawat batu yang sakit berdenyut-denyut, namun fungsinya untuk menciumi segala bau masih normal. Tidak masalah bila dipencet habis, karena tak akan berubah bentuk. Anak-anak saya pun tidak menolak diciumi.
Demikian pula saat melihat ulah anak-anak yang lucu, saya tertawa lepas, bahkan sampai berguling-guling dengan perasaan bebas. Tak perlu khawatir kulit di pipi akan salah bentuk, menceng sana mencong sini, atau bibir jadi tak dapat dikatupkan.
Kulit yang bercak-bercak kena minyak panas ini tak masalah saat terkena matahari langsung. Tak mengerut pula bila kena air dingin. Saya dapat menikmati sinar matahari secara gratis dan bersuka ria di bawah siraman sinarnya yang terik. Saya tak perlu menyiapkan tabung oksigen murni untuk menjaga kesehatan kulit ini.
Sungguh Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna. Saya syukuri itu dan saya nikmati hidup ini apa adanya. ***

Selasa, 17 Februari 2009

Busana Boleh Melayu tapi Aurat Tetap Diumbar

Bila saya dapat giliran mengantarkan si Sulung Lira (kelas satu SD) ke sekolah pada Hari Jumat, ia akan saya suruh duduk di boncengan sepeda dengan model menyamping. Bukan duduk seperti para lelaki berboncengan. Gaya duduknya mengangkang.

Mengerti dan dapat membayangkan kan maksudnya?

Mengapa Hari Jumat ia harus duduk dengan posisi menyamping? Karena ia hari itu mengenakan pakaian Melayu yang terdiri dari baju kurung longgar dan rok panjang. Sering ia mengenakan jilbab pula. Duuh, cantik dan ayunya gadis kecilku itu...

Tapi sejak hari pertama mengenakan seragam melayu itu, ia tak kuperkenankan duduk ngangkang seperti laki-laki, walaupun hampir seluruh temannya duduk seperti itu. Dan rasanya bagi orang yang mengendarai, duduk ngangkang juga lebih stabil. Rasa percaya diri mengendara jadi bertambah.

Pada papanya, pagi-pagi aku mengomel ketika mendudukkan anaknya seperti itu di bangku belakang sepeda motornya.

"Jangan, kalau pakai seragam melayu begini, Rara harus duduk menyamping atau sekalian di depan, biar roknya tak perlu diangkat tinggi-tinggi."

Si Papa akhirnya mengerti dan mengikuti aturan ini.

Pemandangan murid-murid sekolah mulai dari SD hingga SMA di Pekanbaru, setiap hari Jumat adalah duduk ngangkang di boncengan sepeda motor. Entah untuk apa rok panjang itu dikenakan kalau hanya akan diangkat tinggi-tinggi agar bisa duduk ngangkang di boncengan.

Tadi siang saya kembali melihat pemandangan seperti itu lagi. Walau ini baru Selasa, ternyata ada sekolah yang memang berseragam rok panjang. Pas saya dan suami melintas di depan sekolah itu, kami melihat seorang siswi mengangkat roknya tinggi-tinggi agar dapat duduk ngangkang.

"Tuh, lihat satu lagi contoh buruk generasi kita!" kataku jengkel. Naik spaning.

"Itu biar gaya aja tuh!" suami nyeletuk.

"Biasanya ya," aku mengompori dengan sirik, "Anak-anak yang banyak gaya di jalanan itu, berasal dari keluarga pas-pasan. Jadi biar terlihat keren dan menutupi kekurangan ekonomi itu, mereka bergaya sok modern di jalanan. Hah!"

"Jangan sewot gitu dong, santai aja."

"Makanya si Rara aku larang duduk ngangkang seperti itu. Sudah bagus pakai rok panjang dan sopan, kok malah duduknya seperti itu," sambungku lagi.

Aku heran, kenapa para orangtua tidak merasa risih anak gadisnya duduk di boncengan seperti itu. Seolah tak rela dimuliakan oleh Allah agar tak sama derajatnya dengan binatang yang tak punya pakaian, mereka menelanjangi diri sendiri di depan khalayak ramai.

Pabrik Kertas Terluas di Dunia yang Peduli Lingkungan

Catatan dari Kunjungan WPR’s Crew ke Riaupulp




Kamis 13 Maret lalu Warta Promosi Riau diundang ke Riaupulp, sebuah pabrik kertas dan bubur kertas (pulp) terbesar di dunia yang terletak di Kabupaten Pelalawan, tepatnya di Pangkalan Kerinci. Dari WPR berangkat empat orang crew, yaitu Moeslim Roesli (pimred), Zul Azhar, Saparudin Koto dan Fitri Mayani. Berikut oleh-olehnya.
Sesuai perjanjian, Supandi, salah seorang karyawan bagian Humas Riaupulp datang pukul delapan pagi itu. Sebagian dari kami sudah menunggu di rumah Pimred WPR Moeslim Roesli. Jurnalistic tour dimulai.
Jarak antara Pekanbaru-Pangkalan Kerinci sepanjang 70 km kami tempuh dalam waktu sekitar satu setengah jam. Rombongan kecil kami diterima langsung oleh Deputi Manager Fakhrunnas MA Jabbar beserta tim dari Public Relations Riaupulp bertempat di aula Balai Pelatihan Usaha Terpadu.
Sekilas kami melihat puluhan petani tengah mengikuti pelatihan pertanian. Menurut Supandi yang menjadi guide kami seharian itu, para petani itu berdatangan dari seluruh daerah tingkat dua di Riau. Mereka diberikan pelatihan selama beberapa hari di lokasi itu sesuai dengan keahliannya, misalnya bertani ataupun beternak. Tujuannya tidak lain agar dapat menambah wawasan dan pengetahuan sehingga saat kembali ke daerah asalnya memiliki nilai lebih. Lebih jauh, tentu saja diharapkan para petani yang telah mendapatkan pelatihan ini dapat membagi ilmunya dengan para petani lainnya di daerahnya.
Pabrik terluas di dunia
Riau patut berbangga karena memiliki pabrik kertas dan pulp terluas di dunia. Pabrik ini terletak di areal seluas…. meter persegi, dilengkapi dengan berbagai fasilitas modern bagi para karyawannya, termasuk juga pembangkit listrik berkekuatan 435 megawatt.
“Sekitar 4 megawatt kami alirkan ke Kota Pangkalan Kerinci sehingga koa yang baru tumbuh itupun kini menjadi terang benderang,” jelas Fakhrunnas.
Kami memang melihat Kota Pangkalan Kerinci yang sedang giat membangun itu terlihat semarak. Sebuah bisnis center terlihat sedang dibangun. Di boulevard Lintas Timur yang membelah kota terlihat lampu-lampu jalan yang indah menghiasi jalanan. Dapat dibayangkan, pada malam hari demikian semaraknya kota ini oleh benderangnya lampu jalan. Dan itu semua listriknya dialirkan dari Riaupulp.
Dalam penjelasannya kepada kami, Fakhrunnas yang kolumnis dan juga mantan wartawan itu menerangkan bahwa Riaupulp merupakan perusahaan kertas yang memiliki komitmen tinggi terhadap lingkungan. Hal ini sangat penting karena menyangkut market yang hendak mereka bidik.
“Di pasar global, bila kita hendak menjual produk, orang tidak lagi semata melihat produk yang kita tawarkan, melainkan lebih jauh lagi seperti dari mana bahan bakunya didapatkan, bagaimana orang-orang yang bekerja di balik produk itu dan juga bagaimana komitmen kami terhadap lingkungan. Kami menyebutnya ‘triple P’ yaitu people, planet, and provit. Inibukan basa-basi, melainkan tuntutan global market yang bila kami langgar akan menghilangkan pasar kami,” jelasnya.
Karena kebijakan ‘triple P’ itulah maka Riaupulp sangat memperhatikan segala hal yang berkaitan dengan produknya. Salah satu contoh adalah, kepedulian Riaupulp terhadap lingkungan dibuktikan dengan menerapkan mozaik concept plantation. Dengan konsep ini maka hutan-hutan yang memiliki keunikan flora maupun fauna dilindungi sedemikian rupa hingga tidak menghilangkan ciri khasnya. “Bagian-bagian yang dibiarkan tetap seperti aslinya itu bila dilihat dari udara terlihat seperti mozaik-mozaik yang indah,” jelas Fakhrunnas.
Selain itu, Riaupulp juga sudah menerapkan no burn policy (buka lahan tanpa bakar) sejak 1994 lalu, yang artinya tiga tahun lebih awal dibandingkan anjuran pemerintah. Sebagai pabrik kertas yang bahan bakunya adalah kayu, adalah tidak masuk akal bagi Riaupulp untuk membuka lahan dengan membakar hutan sementara mereka membutuhkan kayu-kayu alam itu untuk membuat kertas dan bubur kertas.
Karena kebijakan itu dan juga tuntutan pasar, Riaupulp juga mendapatkan sertifikat ecolabel di Indonesia selain penghargaan-penghargaan lainnya bertaraf internasional.
Selain itu, dikatakan oleh Eliezer P Lorenzo, dengan konsep selalu menanam yang diterapkan perusahaan ini, maka bukanlah hal yang mustahil bila dikatakan perusahaan ini akan dapat bertahan hingga 100-200 tahun ke depan. “Karena kami terus menanam pohon, dalam hal ini akasia yang memang dipilih dari bibit yang paling unggul, maka ketersediaan bahan baku untuk pabrik akan terus tersedia.”
Community Religious Affair
Berbeda dengan perusahaan swasta lainnya yang karyawannya terdiri dari berbagai suku bangsa, Riaupulp memiliki sebuah divisi bernama community religious affair (CRA). Sesuai namanya, CRA membina sedikitnya 15 paguyuban yang ada di Riaupulp, meliputi 11 paguyuban suku/etnis dan 4 organisasi keagamaan.
“Mungkin CRA hanya ada di Riaupulp. CRA kami buat untuk menampung aneka paguyuban yang ada di sini agar terjalin hubungan yang baik antar entis dan pemeluk agama,” jelas Fakhrunnas.
Komplek Riaupulp memang sudah seperti kota kecil yang sangat teratur dan tertata dengan rapi. Aneka perumahaan dengan berbagai tipe tersedia di sini. Para karyawan baik yang masih bujangan maupun yang sudah menikah disedikan fasilitas oleh perusahaan. Tak hanya perumahan, fasilitas lain seperti sekolah (bahkan ada sekolah berstandar internasional di sini), rumah sakit, tempat hiburan dan sarana olahraga juga tersedia di sini.
Peduli Lingkungan
Riaupulp adalah perusahaan yang sangat peduli dengan lingkungan. Tak hanya dalam menghasilkan produk, juga dari proses di pabrik sejak dari gelondongan kayu dimasak hingga menjadi bubur ataupun kertas.
Isu lingkungan global harus diwaspadai dengan perbuatan nyata. Oleh karena itu, Riaupulp telah mengikatkan diri untuk memenuhi standar lingkungan melalui konsep ‘green industry’ dalam pembangunan berkelanjutan.

Seperti yang dikatakan oleh Buchori, Senior Staf Environment Riaupulp, untuk membakar kayu, pabrik mereka menggunakan kulit dan getah kayu. 93 persen dari bahan bakunya adalah biofuel.
Selain itu, asap dari pembakaran inipun tidak dilepas begitu saja ke udara yang dapat dikatakan merupakan polusi, namun ‘ditangkap’ kembali dan dibakar kembali. Dengan demikian hampir tidak ada polusi asap dalam proses pemasakan kayu menjadi pulp.
“Bila ada asap dan juga bau, berarti ada yang tidak beres dengan mesin. Kami mempekerjakan tenaga ahli yang kerjanya khusus soal bau ini. Bila ada bagian yang mengeluarkan bau,
Demikian pula dengan air limbah yang dihasilkan pabrik ini, tidak dibuang begitu saja ke sungai, namun diolah dulu hingga layak digunakan kembali.
WPR berkesempatan mengunjungi Riaukertas, pabrik yang terus bekerja 24 jam nonstop. Di sini kami melihat mesin-mesin canggih menggulung kertas hingga berukuran sangat besar, memotong kertas hingga mencapai ukuran kuarto, folio dan sebagainya. Mesin pemotong kertas ini dapat menghasilkan 179 rim kertas perdetik yang langsung dikemas, dibungkus, diberi nomor, dan dipacking. Semuanya serba mesin. Manusia hanya tinggal mengawasi dan mengangkutnya ke tempat penyimpanan.
Karena berproduksi 24 jam nonstop, tidak heran bila Riaupulp memiliki 3.500 karyawan. Kapasitas produksi pulpnya mencapai 2.000.000 ton / tahun sedangkan kertas mencapai 750.000 ton tahun.

Corporate Social Responsibility (CSR)
CSR adalah komitmen dunia usaha untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan; berkerja dengan para karyawan dan keluarganya, masyarakat tempatan dan masyarakat secara luas dalam meningkatkan kualitas hidup mereka.
Komponen CSR di Riaupulp meliputi lingkungan, pemberdayaan masyarakat, pengembangan sumber daya manusia, kesukarelawanan karyawan, dan dialog.
CSR memiliki misi memberdayakan ekonomi komunitas lokal berbasis penguatan partisipasi masyarakat dan membangun kemitraan dan persebatian yang berkualitas antara Riaupulp, karyawan dan masyarakat Tempatan,
serta masyarakat secara luas.
CSR meliputi sistem pertanian terpadu, pengembangan usaha mikro kecil dan menengah, pelatihan kejuruan, infrastruktur sosial dan hutan tanaman rakyat.

Cecom
Care and empowerment for Community (CECOM) adalah yayasan yang merupakan partner Riaupulp dalam menjalankan program CSR atau dikenal dengan nama lain CD (community development). CECOM aktif memberdayakan masyarakat Riau dengan berbagai kegiatan.
Selama dua tahun CECOM berdiri sudah banyak menyalurkan bantuan kepada masyarakat, antara lain berbentuk modal usaha yang disalurkan kepada masyarakat mencapai Rp13 miliar dan hingga saat ini masih berjalan.
Bantuan ini diberikan dalam bentuk sistem pengembagan pemberdayaan masyarakat dan pengembangan usaha ekonomi kerakyatan. Untuk program unggulan yang sudah dikembangakan CECOm adalah sistem pertanian terpadu yang sampai saat ini sudah terbentuk 136 kelompok tani di 103 desa yang tersebar di lima kabupaten dan kota yakni di Pelalawan, Siak, Kuansing, Kampar, Rokan Hulu, dan Pekanbaru sendiri.

Dalam bidang pertanian, CECOM telah menyalurkan bantuan sapi
dengan sistim bergulir dimana untuk tahun 2007 ini sebanyak
217 ekor sapi. Hal ini berarti hingga saat ini sudah mencapai
2.600 ekor sapi yang sebanyak 90% sudah menjadi milik para
petani.
Penyaluran bantuan CD dalam bidang pertanian ini sudah
mencapai Rp 4 miliar dan mengarahkan dan melatih kelompok
tani dan pendirian koperasi simpan pinjam.
CECOM juga membantu masyarakat dalam mengembangkan
Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) seperti mini market,
bengkel, tata rias, jasa sablon dan industri rumah tangga (home
industri).
Di bidang kesehatan, CECOM juga memberikan layanan
pengobatan gratis bagi masyarakat miskin, termasuk operasi bibir
sumbing dan operasi katarak yang pada tahun 2006 sudah
membantu 18 ribu pasien. yang dibantu. Selain itu, yayasan ini
juga menyiapkan tim medis bekerja sama dengan pihak
Puskesmas dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan ikatan bidan.

Sementara di bidang pendidikan, Yayasan CECOM telah
memberikan beasiswa mulai dari siswa SD sampai ke tingkat
perguruan tinggi. Pada tahun 2007 ini, beasiswa yang sudah
disalurkan mencapai Rp 1,6 miliar

Opera Melayu Tun Teja Ketika Rindu Dendam Menemukan Obatnya

Opera Melayu Tun Teja yang digelar selama tiga hari berturut-turut di Anjung Seni Idrus Tintin , Pekanbaru (29-31/8) lalu ternyata mendapat sambutan yang sangat menggembirakan dari khalayak. Inilah wujud rindu dendam masyarakat akan pertunjukan yang berkelas, namun tetap tak meninggalkan ciri khas kemelayuannya, menemukan obatnya.
Indikasi tingginya minat masyarakat untuk menyaksikan opera pertama yang digelar di Riau ini dapat dilihat dari jumlah penonton. Penonton selalu melebihi kapasitas tempat duduk yang disediakan panitia. Selain itu konon kabarnya dua nomor telepon yang disediakan panitia sekali tiga menit berdering, meminta tiket agar bisa menonton. Luar biasa.
Pada hari pertama pertunjukan, pengunjung terlihat sudah mulai berdatangan sejak satu jam sebelum pertunjukan. Dua dara yang pertugas di pintu masuk tak dapat berbuat banyak ketika satu undangan digunakan untuk empat sampai lima orang penonton. Tak apalah, demi dahaga yang tak pernah terpuaskan ini.

Tak punya pembanding
Bisa jadi hampir semua penonton adalah masyarakat yang awam dengan opera. Bahkan tidak sedikit yang baru pertama kali menyaksikan pertunjukan bernama opera. Karena itulah, mereka tak punya pembanding. Tidak heran pula saat diskusi apresiasi digelar usai pertunjukan di hari ketiga, yang didapat para pemain dan orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan itu pujian semata. Tepuk tangan memenuhi ruangan besar itu tiap sebentar.
Bagi sang sutradara sendiri, Marhalim Zaini, pertunjukan itu bukan tanpa cacat cela. Walaupun kecil, namun ada beberapa kendala teknis yang syukurnya tidak terbaca oleh mata awam para penonton. Tidak berlebihan bila ia mengatakan puas dengan pertunjukan itu. Demikian pula dengan produser pertunjukan Al Azhar yang mengatakan pertunjukan opera ini dapat dikatakan sukses bila tolak ukurnya sesuai atau tidak dengan rencana awalnya.
Bakat orang muda
Sebagian besar pemain di Opera Melayu Tun Teja ini adalah para kaum muda. Mereka terdiri dari anggota choirs, pemain opera, dan pemain musik yang tergabung dalam Bandar Serai Orchestra. Orang-orang muda berbakat ini mampu menghadirkan sebuah tontonan alternatif yang mungkin bagi sebagian kita yang terlalu sibuk dengan urusan politik, pilgubri, kesehatan, harga barang kebutuhan pokok, dan lain sebagainya, tak pernah terlintas. Ya, seperti yang disampaikan oleh Marhalim, Hikayat Hang Tuah ternyata memiliki bagian-bagian yang tak patut dibanggakan, tak patut ditiru.
Hang Tuah yang gagah, perkasa dan wira, ternyata tak sanggup menaklukkan seorang perempuan bernama Tun Teja hingga harus memakai guna-guna. Setelah itu, Tun Teja dengan semena-mena dijadikan 'upeti' bagi Sultan Melaka, hanya sebagai bukti kesetiaan Hang Tuah pada sang raja.
Dalam perspektif orang-orang tradisi, apa yang dilakukan Hang Tuah tak ada kaitannya dengan kewiraan. Tindakannya mengguna-gunai Tun Teja bukanlah sesuatu yang memalukan. Namun tidak bagi Marhalim yang merasa terusik dan mencoba mengeksplorasi lebih dalam kepedihan hati Tun Teja. Ranah interpretasi semacam ini tentu asing dan mungkin juga tabu bagi orang-orang tradisi, namun tidak bagi kaum muda yang menurut Marhalim, dapat bebas bermain dengan imajinasi. Hasilnya, sebuah pertunjukan yang patut mendapatkan ancungan jempol.

Soundsystem
Soundsystem pertunjukan ini ternyata dikeluhkan oleh banyak penonton. Karena para pemain menggunakan clip on yang terhubung ke speaker, suara yang kemudian terdengar oleh penonton demikian keras. Terutama bagi mereka yang kebetulan kebagian tempat duduk persis di depan speaker. Ironisnya, suara ini menjadi tak jelas ketika Bandar Serai Orchestra memainkan komposisi musiknya, sama kerasnya dengan suara sang pemain di atas pentas. Suara tak jelas ini juga terasa ketika pemain mengucapkan dialog terlalu cepat sehingga sulit ditangkap oleh penonton di bagian belakang.
Anjung seni ini memang belum siap. Itu kata saktinya. Jadi tak ada yang dapat disalahkan. Bahkan kita patut berterima kasih pada panitia yang telah mengupayakan sedemikian rupa agar bengkalai gedung ini layak digunakan, layak menerima tamu-tamu penting, meski beberapa faktor pendukung sebuah gedung opera belum lagi ada.

Anugerah Sagang
Pertunjukan opera melayu Tun Teja merupakan nominator Anugerah Sagang, anugerah seni bergengsi yang diselenggarakan sekali setahun oleh Yayasan Sagang yang berada di bawah grup Riau Pos. ***

Ekspedisi Sungai Rokan Memotret Budaya, Sejarah dan Perjalanan Dunia Melayu

 



Ekspedisi Sungai Rokan, yang dilakukan Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan (UP2K2) Unri, dipamerkann pada 20-25 Oktober lalu di Gedung Rektorat bersempena dengan Dies Natalis Unri ke-46.

Ketua pelaksana pameran, Elmustian Rahman mengatakan bahwa pameran ini meliputi tiga aspek yaitu pemutaran film dokumenter dan diskusi, pameran foto dan pameran lainnya. Film yang diputarkan itu berdurasi 30 menit, tentang Danau Raya (ikan salai), Kerajaan Rokan IV Koto, Pulau Halang, Bagansiapiapi (China Town), catatan perjalanan Sungai Rokan dan Candi Muara Takus. Setelah pemutaran film ini dilanjutkan dengan diskusi.

Foto-foto yang dipamerkan meliputi foto yang bersifat landscape, human interest, portrait, culture & senirupa serta foto terkait catatan perjalanan. Selain foto, pameran UP2K2 Unri ini juga menampilkan buku-buku catatan perjalanan, laporan ekspedisi, peta, silsilah, poster dan artefak. Selain itu lukisan ilustrasi karya dua pelukis Riau, Jon Kobet dan Khalis Zuhdi juga menjadi bagian yang akan dipamerkan.

Ekspedisi Sungai Rokan merupakan bagian dari rencana penelitian empat sungai (Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri) yang dicanangkan UP2K2 Unri. Ekspedisi dimulai pada Februari lalu dan berakhir Oktober ini untuk satu sungai. Menurut Elmustian, bila tidak ada aral melintang, ekspedisi empat sungai besar di Riau itu akan selesai pada tahun depan.

"Semula ekspedisi empat sungai ini direncanakan rampung dalam dua tahun," ungkap Elmustian. Pameran ini merupakan publikasi dari tahap awal eksepdisi secara keseluruhan.

"Produk akhir secara lengkap baru akan dapat dinikmati beberapa tahun kemudian. Namun kita menginginkan masyarakat dan kalangan akademik dapat melihat dan menikmati hasil penelitian kita hingga tahap ini. Mudah-mudahan ada masukan dari masyarakat untuk perbaikan kita ke depan," ujarnya.

Hal yang mendasari dilaksanakannya penelitian terhadap empat sungai tersebut, jelas dosen FKIP Unri ini, adalah untuk melestarikan khazanah budaya melayu. Budaya melayu menurutnya dibangun karena ada jalur sungai. Namun saat ini mobilitas masyarakat sudah berpindah ke jalur darat.

"Di sepanjang rantau tepian sungai berdiri kerajaan-kerajaan, negeri-negeri, kampung, banjar, ladang, bagan teratak dan pondok-pondok mandah. Namun saat ini hal itu tidak terjadi lagi. Jadi kita perlu meneliti tempat-tempat yang kini terpinggirkan itu," ungkapnya.

Saat WPR mengunjungi lokasi pameran di Rektorat Unri, terlihat puluhan foto landscape dipajang. Sebagian besar menggambarkan tentang eksotiknya Riau dan Sungai Rokan yang kaya baik hasil sungainya berupa ikan dan udang, maupun hasil hutan di sepanjang aliran sungai itu.

Elmustian menceritakan, banyak kisah yang dapat mereka petik dari ekspedisi ini dan-berharap apa–apa yang mereka dapatkan itu menjadi masukan yang berharga bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan.

“Sudah waktunya pembangunan juga diarahkan ke daerah pedesaan. Dan kami berharap, situs-situs budaya yang ada tidak secara serampangan dipugar agar tidak melenceng dari aslinya,“ katanya.***

Ekspedisi Buluh Cina Ketika Seluruh Alam Menunjukkan Keindahannya






Gerombolan kelelawar besar terbang siang di pucuk-pucuk pohon. Sekawanan kerbau tampak merumput dengan tenang di pinggir sungai sementara sebagian memilih berendam dalam air yang segar. Pohon-pohon raksasa yang bahkan lebih tua dari republik ini, dan tanaman-tanaman hutan yang eksotis terlihat demikian anggun. Seluruh alam di Buluh Cina pagi itu seolah sedang menunjukkan keindahannya pada kami.


Minggu 4 November lalu saya mengunjungi Desa Buluh Cina di Kecamatan Siak Hulu, Kampar. Walaupun terletak di Kabupaten Kampar, Buluh Cina dapat ditempuh dalam waktu sekitar setengah jam saja karena hanya berjarak sekitar 19 km dari pusat kota arah Timur.
Memasuki wilayah ini, suasana pedesaan yang tentram langsung terasa. Ini saja sudah merupakan sebuah obat penenang bagi warga kota yang mungkin sering stres menghadapi pekerjaan dan rutinitas yang membosankan.
Rumah-rumah nyaris tak ada yang dipagar tinggi seperti layaknya di perkotaan. Ini mencerminkan betapa kekeluargaan dan keakraban antar sesama warga masih demikian kental di desa ini. Pohon-pohon kelapa menjulang dimana-mana dan beberapa hutan terlihat rimbun di sisi kiri dan kanan jalan.
Tujuan pertama kami adalah rumah mantan kepala desa sekaligus ketua pemuda desa Buluh Cina yang juga wartawan, Kabir. Ia menyambut kami dengan tangan terbuka dan dengan segera menyediakan guide yang akan mendampingi kami masuk hutan.
Setelah istirahat sebentar, kami segera berangkat ke lokasi. Fahrizal atau Ijal, pemandu kami, menyediakan pompongnya untuk dipakai menjelajah hutan yang penuh air.
Ada puluhan pompong di sini yang dapat digunakan wisatawan untuk menjelajah hutan. Semuanya dimiliki secara pribadi oleh masyarakat. Pompong ini umumnya dilengkapi dengan sedikit atap untuk berteduh bila hujan turun, terkadang juga tersedia kompor, alat timbang dan keperluan dapur lainnya. Ini semua digunakan penduduk bila mereka akan mencari ikan ke danau-danau yang banyak terdapat di daerah ini dan harus bermalam di sana.
Menuju Danau Tanjung Putus
Saya melihat jam, pukul 10.08 WIB. Ekspedisi dimulai dengan menghiliri Sungai Kampar yang tenang menuju danau pertama, Danau Tanjung Putus. Kami hanya menyeberang dan langsung tiba di depan rumah panggung milik penduduk. Plang nama Danau Tanjung Putus langsung terlihat. Jalan setapak yang sudah disemen terlihat jelas.
Kami menyusuri jalan itu. Pohon-pohon raksasa menyambut kedatangan kami. Diantaranya adalah Rengas, Beranti, Simpur, dan Karet. Sebatang Rengas raksasa konon berusia 120 tahun, lebih tua dari republik ini, juga kami temukan di sini.
Pemandu kami, Ijal mengatakan, lebih jauh ke dalam, kami bisa menemukan Rengas yang lebih tua dan lebih besar, yang di atasnya dihuni sekawanan lebah beserta sarangnya yang penuh madu. Dan untuk mengambil madu ini, diperlukan keahlian khusus agar lebah-lebah tidak menyerang.
Kami berhenti di shelter pinggir danau. Shelter ini dan beberapa lagi yang tersebar di sekitar lokasi ini, dibangun oleh PT Chevron. Di sinilah beberapa bulan yang lalu Menteri Kehutanan MS Kaban beristirahat setelah mengelilingi Buluh Cina. Sang Menteri konon sangat terkesan dengan tempat ini dan berjanji, dalam beberapa bulan ke depan akan kembali ke sini.
Seorang lelaki tua terlihat sedang ’memolek’ yaitu menangkap ikan yang masuk ke ceruk-ceruk sungai. Caranya, ketika air pasang naik, ikan biasanya pergi ke ceruk-ceruk ini untuk mencari makanan. Orang akan memasang ’lopak’ (sejenis pagar dari bilah-bilah bambu, red) di mulut ceruk sehingga saat air surut kembali, ikan yang terlanjur masuk tidak dapat keluar.

Pajak untuk Desa
Desa menerapkan kebijakan pajak bagi setiap warga yang menangkap ikan di hutan ini. Seperti dari hasil ikan harus dibayarkan ke kas desa yang kelak akan dibagi untuk seluruh warga. ”Ini semacam tabungan,” kata Ijal.
Sekali setahun, seluruh warga turun ke danau untuk ’panen raya’ ikan-ikan yang demikian berlimpah di sini. Pada saat ini, ada semacam pesta kecil yang diselenggarakan warga untuk mengucap syukur pada Tuhan yang telah mengaruniakan kehidupan yang bersahabat pada mereka.
Ikan-ikan di danau ini memang seperti menemukan surga karena demikian berlimpahnya makanan. Tidak ada limbah industri di sungai ini. Masyarakatpun patuh tidak menggunakan benda-benda berbahaya seperti racun untuk mencari ikan. Dengan demikian ekosistem di hutan Buluh Cina sangat terpelihara. Sungaipun tak dilewati kapal-kapal raksasa seperti di Sungai Siak.
Penjelajahan Danau Tanjung Putus tidak dapat kami teruskan karena sebagian jalan setapak yang telah disemenisasi tergenang air. Ini agak beresiko untuk dilalui karena binatang penghisap darah bernama acek (sejenis lintah, tapi berukuran lebih kecil, red) banyak terdapat di sini. Kami kembali ke pompong untuk meneruskan perjalanan ke danau lainnya.
Menuju Danau Pinang Luar
Kami menghiliri sungai lagi. Jam menunjukkan pukul 10.36 WIB. Udara terasa segar pagi itu. Sebelumnya memang turun hujan. Mendung bahkan masih menggantung di langit. Sungai terlihat ’penuh’.
Alangkah tenang pagi itu. Berbeda dengan Sungai Siak yang lebih sibuk oleh lalu lintas kapal barang dan penumpang dalam berbagai ukuran, Sungai Kampar tampak demikian bersahabat. Tak pernah ada kapal raksasa sekaliber tanker minyak ke sungai ini. Kedalaman sungai memang tidak memungkinkan untuk itu. Selain itu, tidak ada industri di sepanjang aliran sungai ini. Karena itulah, habibat flora dan faunanya dapat terus terpelihara.
Di sepanjang pinggir sungai kami menyaksikan hutan-hutan yang dibiarkan lebat. Mungkin karena sedang musim hujan, beberapa pohon terlihat ’masuk’ ke dalam sungai.
Kami melihat sekawanan kerbau dalam berbagai ukuran sedang merumput dengan tenang. Jumlahnya mungkin puluhan ekor. Sebagian kami lihat masih menyusu kepada induknya. Selagi yang lain merumput, sebagian yang lain memilih berendam di air sungai yang terasa sejuk. Seekor burung layang-layang terbang rendah, persis di atas permukaan sungai. Sinar matahari memantul di permukaan air, berkilauan indah.
Lima belas menit kemudian, kami sampai di sebuah kuala atau ’pintu gerbang’ menuju Danau Pinang Luar. Deru mesin pompong menggema di rimba raya. Selain itu, tak ada suara.
Pompong melaju dengan tenang. Kami menikmati pemandangan yang demikian mempesona. Sungguh tak pernah kami sangka di Pekanbaru yang konon pertumbuhannya sangat pesat ada hutan yang demikian terpelihara seperti ini. Keindahan flora dan faunanya telah mengundang banyak turis dan peneliti baik dalam dan luar negeri untuk datang ke sini. Yang terpenting dari semua itu adalah kesadaran masyarakatnya untuk menjaga hutan, ramah pada setiap tamu yang datang, dan siap menjadi pemandu kapanpun diperlukan.
Siang itu kami bertemu dengan serombongan turis dari Amerika. Menggunakan dua pompong, rombongan ini sepertinya merupakan satu keluarga. Sebagian dari mereka bisa menggunakan Bahasa Indonesia.
Kami masuk ke Danau Pinang Luar. Danau ini bentuknya memanjang dan dihubungkan oleh sebuah ’lorong’ dengan Danau Pinang Dalam, danau terbesar di kawasan ini. Kedua danau ini dipenuhi aneka macam ikan. Ikan-ikan yang dapat tumbuh demikian besar seperti ikan tapa, konon di danau ini bisa memiliki berat 15 kg. Bahkan masyarakat percaya ada ikan tapa keramat berukuran raksasa yang sanggup menelan manusia, tinggal di danau ini.

Harga Ikan Fluktuatif
Kami berpapasan dengan pompong-pompong nelayan yang tengah memancing ikan. Lopak juga terlihat dimana-mana. Karena berlimpahnya ikan di kawasan ini, penduduk yang memang bermata pencaharian sebagai pencari ikan dapat memasang perangkap di mana saja. Di sela-sela akar pohon yang terendam air, di mulut-mulut teluk kecil bahkan juga di tengah danau. Untuk perangkap yang dipasang di tengah danau, warga memasang pelampung dari botol air mineral sebagai pelampung.
Semula kami kurang mengerti, mengapa di tengah sungai dan danau banyak ditemukan botol air mineral mengapung dan tidak dihanyutkan arus yang cukup kuat. Ternyata itu adalah pelampung penanda bahwa di dasar sungai atau danau terdapat perangkap ikan.
Menariknya, ikan-ikan ini umumnya dijual ke Bangkinang, ibukota Kabupaten Kampar. Padahal jarak tempuhnya lebih lama ketimbang ke Pekanbaru. Alasannya, harga jual ikan-ikan dari Buluh Cina lebih mahal di Bangkinang ketimbang di Pekanbaru. Masyarakat Bangkinang telah menjadikannya bagian dari budaya. Pada hari-hari besar, harga ikan melambung demikian tinggi karena menjadi hidangan istimewa untuk menyambut tamu-tamu penting.
”Ikan ’kapiek’ selebar telapak tanganpun bisa dijual seharga Rp15ribu perekor di Bangkinang. Demikian pula dengan ikan tapa sebesar telapak tangan harganya bisa Rp30 ribu,” kata Ijal.
Di kawasan ini kami melihat aneka pohon raksasa tumbuh. Pohon-pohon ini konon ada yang berusia 300 tahun. Ukurannya? Jangan tanya. Beberapa spesies anggrek juga kami temukan di sini. Sayang waktu itu belum berbunga.
Pukul 11.33 kami kembali ke dermaga. Kali ini kami berkonvoi dengan dua perahu lainnya yang disewa rombongan bule dari Amerika. Cuaca mulai panas. Tapi angin bertiup menyejukkan di atas pompong yang melaju kencang melawan arus sungai. Setengah jam kemudian kami merapat di dermaga Buluh Cina. Sementara rombongan bule masih meneruskan perjalanan berjalan kaki mengelilingi desa.
Tradisi tetap dijaga
Masyarakat Buluh Cina hidup dalam tatanan hukum adat yang terus dipelihara dengan baik. Walaupun globalisasi telah merebak ke mana-mana, namun kekerabatan dan adat istiadat di daerah ini tiada luntur. Salah satu yang menarik adalah aturan menutup aurat.
”Di sini, orang-orang masih menggunakan sungai untuk MCK. Tapi jangan kira walau zaman telah berubah lantas adat tidak dipakai lagi. Siapa saja, laki-laki atau perempuan yang mandi ke sungai tidak boleh sembarangan membuka aurat. Bahkan laki-lakipun kalau mandi harus mengenakan kain basahan di sini. Jangan coba-coba telanjang karena akan mendapatkan teguran keras dari pemuka masyarakat dan pemuda,” kata Ijal pula.
Demikian pula dengan para pengunjung yang datang ke tempat ini diingatkan untuk tidak melakukan tindakan asusila karena seluruh komponen masyarakat Buluh Cina tidak akan dapat bertoleransi.

Undang Pelancong Ekowisata Mancanegara
Makmur Hendrik, pemuka masyarakat Buluh Cina mengatakan selain menggelar acara tahunan Pacu Sampan Buluh Cina, desa wisata yang ditetapkan lewat SK Gubernur tahun 2004 lalu juga akan dipromosikan sampai ke mancanegara. Salah satu upaya yang ditempuh adalah melalui seminar yang akan digelar oleh Kementrian Kehutanan RI.
Hutan wisata alam seluas seribu hektar ini memang layak untuk dikunjungi. Tak hanya oleh pelancong ekowisata mancanegara, melainkan juga para peneliti untuk menggali lebih dalam potensi dan kekayaan flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. ***