Selasa, 17 Februari 2009

Ekspedisi Buluh Cina Ketika Seluruh Alam Menunjukkan Keindahannya






Gerombolan kelelawar besar terbang siang di pucuk-pucuk pohon. Sekawanan kerbau tampak merumput dengan tenang di pinggir sungai sementara sebagian memilih berendam dalam air yang segar. Pohon-pohon raksasa yang bahkan lebih tua dari republik ini, dan tanaman-tanaman hutan yang eksotis terlihat demikian anggun. Seluruh alam di Buluh Cina pagi itu seolah sedang menunjukkan keindahannya pada kami.


Minggu 4 November lalu saya mengunjungi Desa Buluh Cina di Kecamatan Siak Hulu, Kampar. Walaupun terletak di Kabupaten Kampar, Buluh Cina dapat ditempuh dalam waktu sekitar setengah jam saja karena hanya berjarak sekitar 19 km dari pusat kota arah Timur.
Memasuki wilayah ini, suasana pedesaan yang tentram langsung terasa. Ini saja sudah merupakan sebuah obat penenang bagi warga kota yang mungkin sering stres menghadapi pekerjaan dan rutinitas yang membosankan.
Rumah-rumah nyaris tak ada yang dipagar tinggi seperti layaknya di perkotaan. Ini mencerminkan betapa kekeluargaan dan keakraban antar sesama warga masih demikian kental di desa ini. Pohon-pohon kelapa menjulang dimana-mana dan beberapa hutan terlihat rimbun di sisi kiri dan kanan jalan.
Tujuan pertama kami adalah rumah mantan kepala desa sekaligus ketua pemuda desa Buluh Cina yang juga wartawan, Kabir. Ia menyambut kami dengan tangan terbuka dan dengan segera menyediakan guide yang akan mendampingi kami masuk hutan.
Setelah istirahat sebentar, kami segera berangkat ke lokasi. Fahrizal atau Ijal, pemandu kami, menyediakan pompongnya untuk dipakai menjelajah hutan yang penuh air.
Ada puluhan pompong di sini yang dapat digunakan wisatawan untuk menjelajah hutan. Semuanya dimiliki secara pribadi oleh masyarakat. Pompong ini umumnya dilengkapi dengan sedikit atap untuk berteduh bila hujan turun, terkadang juga tersedia kompor, alat timbang dan keperluan dapur lainnya. Ini semua digunakan penduduk bila mereka akan mencari ikan ke danau-danau yang banyak terdapat di daerah ini dan harus bermalam di sana.
Menuju Danau Tanjung Putus
Saya melihat jam, pukul 10.08 WIB. Ekspedisi dimulai dengan menghiliri Sungai Kampar yang tenang menuju danau pertama, Danau Tanjung Putus. Kami hanya menyeberang dan langsung tiba di depan rumah panggung milik penduduk. Plang nama Danau Tanjung Putus langsung terlihat. Jalan setapak yang sudah disemen terlihat jelas.
Kami menyusuri jalan itu. Pohon-pohon raksasa menyambut kedatangan kami. Diantaranya adalah Rengas, Beranti, Simpur, dan Karet. Sebatang Rengas raksasa konon berusia 120 tahun, lebih tua dari republik ini, juga kami temukan di sini.
Pemandu kami, Ijal mengatakan, lebih jauh ke dalam, kami bisa menemukan Rengas yang lebih tua dan lebih besar, yang di atasnya dihuni sekawanan lebah beserta sarangnya yang penuh madu. Dan untuk mengambil madu ini, diperlukan keahlian khusus agar lebah-lebah tidak menyerang.
Kami berhenti di shelter pinggir danau. Shelter ini dan beberapa lagi yang tersebar di sekitar lokasi ini, dibangun oleh PT Chevron. Di sinilah beberapa bulan yang lalu Menteri Kehutanan MS Kaban beristirahat setelah mengelilingi Buluh Cina. Sang Menteri konon sangat terkesan dengan tempat ini dan berjanji, dalam beberapa bulan ke depan akan kembali ke sini.
Seorang lelaki tua terlihat sedang ’memolek’ yaitu menangkap ikan yang masuk ke ceruk-ceruk sungai. Caranya, ketika air pasang naik, ikan biasanya pergi ke ceruk-ceruk ini untuk mencari makanan. Orang akan memasang ’lopak’ (sejenis pagar dari bilah-bilah bambu, red) di mulut ceruk sehingga saat air surut kembali, ikan yang terlanjur masuk tidak dapat keluar.

Pajak untuk Desa
Desa menerapkan kebijakan pajak bagi setiap warga yang menangkap ikan di hutan ini. Seperti dari hasil ikan harus dibayarkan ke kas desa yang kelak akan dibagi untuk seluruh warga. ”Ini semacam tabungan,” kata Ijal.
Sekali setahun, seluruh warga turun ke danau untuk ’panen raya’ ikan-ikan yang demikian berlimpah di sini. Pada saat ini, ada semacam pesta kecil yang diselenggarakan warga untuk mengucap syukur pada Tuhan yang telah mengaruniakan kehidupan yang bersahabat pada mereka.
Ikan-ikan di danau ini memang seperti menemukan surga karena demikian berlimpahnya makanan. Tidak ada limbah industri di sungai ini. Masyarakatpun patuh tidak menggunakan benda-benda berbahaya seperti racun untuk mencari ikan. Dengan demikian ekosistem di hutan Buluh Cina sangat terpelihara. Sungaipun tak dilewati kapal-kapal raksasa seperti di Sungai Siak.
Penjelajahan Danau Tanjung Putus tidak dapat kami teruskan karena sebagian jalan setapak yang telah disemenisasi tergenang air. Ini agak beresiko untuk dilalui karena binatang penghisap darah bernama acek (sejenis lintah, tapi berukuran lebih kecil, red) banyak terdapat di sini. Kami kembali ke pompong untuk meneruskan perjalanan ke danau lainnya.
Menuju Danau Pinang Luar
Kami menghiliri sungai lagi. Jam menunjukkan pukul 10.36 WIB. Udara terasa segar pagi itu. Sebelumnya memang turun hujan. Mendung bahkan masih menggantung di langit. Sungai terlihat ’penuh’.
Alangkah tenang pagi itu. Berbeda dengan Sungai Siak yang lebih sibuk oleh lalu lintas kapal barang dan penumpang dalam berbagai ukuran, Sungai Kampar tampak demikian bersahabat. Tak pernah ada kapal raksasa sekaliber tanker minyak ke sungai ini. Kedalaman sungai memang tidak memungkinkan untuk itu. Selain itu, tidak ada industri di sepanjang aliran sungai ini. Karena itulah, habibat flora dan faunanya dapat terus terpelihara.
Di sepanjang pinggir sungai kami menyaksikan hutan-hutan yang dibiarkan lebat. Mungkin karena sedang musim hujan, beberapa pohon terlihat ’masuk’ ke dalam sungai.
Kami melihat sekawanan kerbau dalam berbagai ukuran sedang merumput dengan tenang. Jumlahnya mungkin puluhan ekor. Sebagian kami lihat masih menyusu kepada induknya. Selagi yang lain merumput, sebagian yang lain memilih berendam di air sungai yang terasa sejuk. Seekor burung layang-layang terbang rendah, persis di atas permukaan sungai. Sinar matahari memantul di permukaan air, berkilauan indah.
Lima belas menit kemudian, kami sampai di sebuah kuala atau ’pintu gerbang’ menuju Danau Pinang Luar. Deru mesin pompong menggema di rimba raya. Selain itu, tak ada suara.
Pompong melaju dengan tenang. Kami menikmati pemandangan yang demikian mempesona. Sungguh tak pernah kami sangka di Pekanbaru yang konon pertumbuhannya sangat pesat ada hutan yang demikian terpelihara seperti ini. Keindahan flora dan faunanya telah mengundang banyak turis dan peneliti baik dalam dan luar negeri untuk datang ke sini. Yang terpenting dari semua itu adalah kesadaran masyarakatnya untuk menjaga hutan, ramah pada setiap tamu yang datang, dan siap menjadi pemandu kapanpun diperlukan.
Siang itu kami bertemu dengan serombongan turis dari Amerika. Menggunakan dua pompong, rombongan ini sepertinya merupakan satu keluarga. Sebagian dari mereka bisa menggunakan Bahasa Indonesia.
Kami masuk ke Danau Pinang Luar. Danau ini bentuknya memanjang dan dihubungkan oleh sebuah ’lorong’ dengan Danau Pinang Dalam, danau terbesar di kawasan ini. Kedua danau ini dipenuhi aneka macam ikan. Ikan-ikan yang dapat tumbuh demikian besar seperti ikan tapa, konon di danau ini bisa memiliki berat 15 kg. Bahkan masyarakat percaya ada ikan tapa keramat berukuran raksasa yang sanggup menelan manusia, tinggal di danau ini.

Harga Ikan Fluktuatif
Kami berpapasan dengan pompong-pompong nelayan yang tengah memancing ikan. Lopak juga terlihat dimana-mana. Karena berlimpahnya ikan di kawasan ini, penduduk yang memang bermata pencaharian sebagai pencari ikan dapat memasang perangkap di mana saja. Di sela-sela akar pohon yang terendam air, di mulut-mulut teluk kecil bahkan juga di tengah danau. Untuk perangkap yang dipasang di tengah danau, warga memasang pelampung dari botol air mineral sebagai pelampung.
Semula kami kurang mengerti, mengapa di tengah sungai dan danau banyak ditemukan botol air mineral mengapung dan tidak dihanyutkan arus yang cukup kuat. Ternyata itu adalah pelampung penanda bahwa di dasar sungai atau danau terdapat perangkap ikan.
Menariknya, ikan-ikan ini umumnya dijual ke Bangkinang, ibukota Kabupaten Kampar. Padahal jarak tempuhnya lebih lama ketimbang ke Pekanbaru. Alasannya, harga jual ikan-ikan dari Buluh Cina lebih mahal di Bangkinang ketimbang di Pekanbaru. Masyarakat Bangkinang telah menjadikannya bagian dari budaya. Pada hari-hari besar, harga ikan melambung demikian tinggi karena menjadi hidangan istimewa untuk menyambut tamu-tamu penting.
”Ikan ’kapiek’ selebar telapak tanganpun bisa dijual seharga Rp15ribu perekor di Bangkinang. Demikian pula dengan ikan tapa sebesar telapak tangan harganya bisa Rp30 ribu,” kata Ijal.
Di kawasan ini kami melihat aneka pohon raksasa tumbuh. Pohon-pohon ini konon ada yang berusia 300 tahun. Ukurannya? Jangan tanya. Beberapa spesies anggrek juga kami temukan di sini. Sayang waktu itu belum berbunga.
Pukul 11.33 kami kembali ke dermaga. Kali ini kami berkonvoi dengan dua perahu lainnya yang disewa rombongan bule dari Amerika. Cuaca mulai panas. Tapi angin bertiup menyejukkan di atas pompong yang melaju kencang melawan arus sungai. Setengah jam kemudian kami merapat di dermaga Buluh Cina. Sementara rombongan bule masih meneruskan perjalanan berjalan kaki mengelilingi desa.
Tradisi tetap dijaga
Masyarakat Buluh Cina hidup dalam tatanan hukum adat yang terus dipelihara dengan baik. Walaupun globalisasi telah merebak ke mana-mana, namun kekerabatan dan adat istiadat di daerah ini tiada luntur. Salah satu yang menarik adalah aturan menutup aurat.
”Di sini, orang-orang masih menggunakan sungai untuk MCK. Tapi jangan kira walau zaman telah berubah lantas adat tidak dipakai lagi. Siapa saja, laki-laki atau perempuan yang mandi ke sungai tidak boleh sembarangan membuka aurat. Bahkan laki-lakipun kalau mandi harus mengenakan kain basahan di sini. Jangan coba-coba telanjang karena akan mendapatkan teguran keras dari pemuka masyarakat dan pemuda,” kata Ijal pula.
Demikian pula dengan para pengunjung yang datang ke tempat ini diingatkan untuk tidak melakukan tindakan asusila karena seluruh komponen masyarakat Buluh Cina tidak akan dapat bertoleransi.

Undang Pelancong Ekowisata Mancanegara
Makmur Hendrik, pemuka masyarakat Buluh Cina mengatakan selain menggelar acara tahunan Pacu Sampan Buluh Cina, desa wisata yang ditetapkan lewat SK Gubernur tahun 2004 lalu juga akan dipromosikan sampai ke mancanegara. Salah satu upaya yang ditempuh adalah melalui seminar yang akan digelar oleh Kementrian Kehutanan RI.
Hutan wisata alam seluas seribu hektar ini memang layak untuk dikunjungi. Tak hanya oleh pelancong ekowisata mancanegara, melainkan juga para peneliti untuk menggali lebih dalam potensi dan kekayaan flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar