Kamis, 05 Februari 2009

Air Mata untuk Bapak

“Assalamualaikum Mak,” sapaku.
“Waalaikumsalam Nak, apa kabar? Sehat?” jawab Mak dari ujung telpon.
“Alhamdulillah, sehat. Mak macam mana? Bapak?”
“Yah, kalau sudah tua beginilah sehatnya, kalau nyenyak tidur semalam, itu tanda sehat. Kalau tidak, tanda ada yang sakit.”
“Rematik Mak macam mana?”
”Pangkalnya kan cuaca. Kalau Mak mencuci pagi-pagi buta tak dengan air panas, rematik itu datang lagi.”
”Makanya, belilah mesin cuci tu..”
”Insya Allah, kalau ada uang nanti. Sekarang sedang banyak kebutuhan yang lain.”
Percakapan itu berlanjut ke soal yang lain-lain, seperti ayam-ayam yang terpaksa dijual murah agar cepat habis karena takut terserang flu burung, anjing peliharaan kami yang sudah tiga minggu tak pulang, dan Bapak yang masih seperti itu juga.
”Mak tak habis pikir dengan bapak kau itu Nak. Sudah setua itu, masih saja tak berubah. Shalat masih sering terlambat, ke surau Mahgrib saja, mengaji sekali sebulanpun mungkin tidak,” keluh Mak.
”Ingatkanlah Mak...” kataku asal saja. Padahal aku sangat tahu, Mak adalah orang yang paling tak nyaman dengan ketidakpedulian Bapak pada agama. Aku dan adik-adik adalah saksi hidup yang setiap hari melihat Mak mengingatkan Bapak.
”Sudah, entah sudah berapa kali, dengan cara baik-baik, dengan keras, entahlah, Mak tak mengerti.”
Kulihat daun-daun rambutan di kebun belakang bergoyang ditiup angin. Tak berdaya dipermainkan ke kiri dan kanan.
Aku menghela napas lalu menghembuskannya. Begitulah bapak. Lelaki keras yang tak pernah bisa kami mengerti. Aku masih ingat, saat masih kecil Bapak suka sekali memelihara anjing. Demikian sayangnya bapak pada anjing itu, bahkan untuk makannyapun bapak menyediakan dana khusus. Anjing itu juga dimandikan secara berkala, dengan shampo yang dicuri dari warung kecil kami. Karena melihat keseharian bapak seperti itu, lama aku baru tahu bahwa menyentuh anjing itu hukumnya haram dalam Islam.
Mak tak suka anjing. Mak akan marah kalau anjing itu sampai masuk ke dalam rumah. Walaupun hanya duduk di depan pintu, Mak tetap tak suka. ”Anjing itu najis!” kata Mak selalu.
Yang lebih membuat Mak kesal adalah kebiasaan Bapak yang suka seenaknya. Bapak tak membedakan mana sarung untuk dipakai sehari-hari dan mana yang akan dipakai untuk shalat. Kadang setelah memberi makan anjing itu, bapak seenaknya mengelap tangannya ke sarung yang sedang dikenakannya, padahal ia baru saja selesai shalat.
Dan bapak tak suka dinasehati oleh orang-orang di rumah yang mungkin menurut beliau tidak lebih tahu dari dirinya. Tak jarang carut marut yang tak perlu kami para anak-anak dengar, dilontarkan dengan suara nyaring.
Kini, aku telah jauh meninggalkan rumah. Merantau mencari peruntungan diri di negeri orang. Demikian pula adik dan kakakku. Mak dan Bapak berdua saja di rumah tua itu. Rumah yang menjadi saksi perjalanan hidup kami semenjak kecil hingga dewasa, juga saksi bagaimana seorang lelaki bertahan dengan prinsipnya, walaupun itu salah.
Kukira, dengan bertambahnya usia, kesadaran Bapak sebagai seorang hamba Allah akan bertambah. Kukira sudah menjadi adatnya orang tua-tua bila mengisi hari dengan mengaji, shalat berjamaah di masjid, atau membaca Alquran.
Namun ternyata Bapak berbeda. Bapak sekarang lebih suka membaca koran kriminal yang dijual seribu rupiah saja. Setiap pagi, itulah bacaan Bapak. Bayangkan, lelaki berusia di atas 70 tahun, yang rambutnya telah memutih semua, membaca berita-berita tentang pembunuhan, tindakan-tindakan amoral, dan melihat gambar-gambar wanita seksi berpakaian minim.
”Sekali sekali, cobalah baca Alquran Pak,” kataku suatu pagi ketika Bapak datang ke rumahku.
”Bapak tak melihat ada Alquran di rumahmu ini. Lagipula, membaca Alquran terus kan bosan, apalagi tidak semua kita mengerti apa artinya,” kata Bapak enteng.
Astaghfirullah...
Aku bergegas masuk ke kamar tidurku, lalu menumpahkan air mata di balik pintu. Ya Allah, mengapa Bapakku seperti itu? Akupun terkadang tidak mengerti dengan apa-apa yang aku baca dalam Alquran, namun aku tidak dapat berdusta, bahwa ada keasyikan tersendiri yang kurasakan setiap kali membaca ayat-ayat itu. Perasaan asyik yang membuatku enggan untuk berhenti. Lalu, mengapa Bapak tidak merasakannya?
Kata Mak dulu, Mak punya sedikit tabungan dan berencana akan membayarkan ongkos untuk pergi umrah Bapak. ”Tapi uang itu tidak banyak. Rencananya, Mak akan mengajak kalian anak-anak untuk patungan membiayai Bapak.”
”Biar aku saja,” sambutku segera. ”Gajiku memang tak seberapa, tapi aku percaya Allah itu Maha Kaya, tentu akan ada jalan agar aku punya uang untuk membawa Bapak pergi umrah.”
Entah bagaimana aku bisa berkata seperti itu pada Mak. Tapi keyakinanku akan kebesaran Allah sungguh tak diragukan. Aku percaya apa saja bisa terjadi bila Allah menghendaki.
”Doakan saja Mak,” kataku.
”Amiin...”
Dan memang, setahun kemudian, aku berhasil mengumpulkan uang untuk ongkos pergi umrah bagi kami berdua. Harapanku, di Tanah Suci nanti, bapak akan mendapatkan hidayah, sehingga pintu hati yang mungkin masih tertutup itu, perlahan-lahan akan terbuka. Setiap malam sepanjang tahun itu aku berdoa, agar bapak diberi umur panjang dan kesehatan sehingga niatku untuk membawa beliau ke Tanah Suci dapat terwujud.
Dari cerita Mak di telepon, aku tahu bapak bersemangat sekali saat diberi tahu akan berangkat umrah. Orangtua itu kini sedikit mulai berubah. Beberapa doa pendek yang biasa dibaca saat umrah sudah mulai dihapal. Dan saat aku memperlihatkan kain ihram yang akan dikenakan di Tanah Suci nanti pada bapak, kulihat raut wajah lelaki tua itu berubah sendu.
Akupun bahagia. Rasanya tak sabar menunggu tanggal keberangkatan kami. Kubayangkan, aku akan tersungkur sujud dan bersimbah air mata di depan Ka’bah. Berterima kasih pada Allah karena telah mengabulkan doaku. Bersyukur karena aku berhasil membawa orangtuaku ke tanah suci. Aku akan menjadi pandu bagi bapakku. Mungkin inilah jalanku untuk membalas segala pengorbanan bapak selama ini.
Namun sesuatu di luar dugaan kami terjadi. Travel biro yang akan memberangkatkan kami tersandung masalah. Uang yang telah disetorkan para jamaah diselewengkan, termasuk uangku. Kami batal berangkat. Alangkah kecewanya aku.
Kusampaikan kabar buruk ini pada Mak dengan perasaan malu yang amat sangat. ”Maafkan aku Mak, aku telah mengecewakan Mak dan Bapak,” kataku sambil menangis.
”Tak apa Nak, tak usah menangis. Pasti ada hikmahnya semua musibah ini,” kata Mak di ujung telepon. Masih tenang seperti biasa.
”Tapi aku malu pada Bapak, Mak, juga pada keluarga besar kita. Apa kata orang-orang di kampung yang sudah terlanjur tahu bapak akan berangkat umrah? Pasti mereka mengira aku berbohong,” kataku lagi.
”Tak usah dipikirkan itu. Yang penting Allah tidak alpa mencatat niat baikmu.”
”Dimana Bapak sekarang? Aku tak berani bicara langsung dengan Bapak soal ini Mak, malu! Tolong Mak sampaikan dengan baik-baik ya Mak. Orang travel itu berjanji akan mengganti uang itu, tapi entah kapan.”
”Ya, nanti Mak sampaikan. Tak usah Bapak dipikirkan betul. Bapak masih seperti yang dulu. Belum juga berubah. Tahu sekarang Bapak sedang apa?”
”Sedang apa Mak?” aku penasaran.
”Main domino dengan Pak RT dan bapak-bapak lainnya di depan kedai kita. Sejak lepas tarawih tadi sampai sekarang masih belum juga selesai. Riuh sekali tawa mereka di luar sana.”
Aku merasakan air mataku kian deras mengalir.

Pekanbaru, 30 September 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar