Jumat, 27 Februari 2009

Ajaranku Kontra Ajaran Tetangga

Dua buah hatiku, Rara dan Tata, kuajarkan untuk tidak menggunakan kata-kata kasar seperti ‘kau’ dalam bahasa Minang untuk menyebut ‘kamu’. Bagi telingaku, walaupun sejak kecil sudah terbiasa mendengar kata-kata itu, ‘kau’ tetap saja terdengar kasar. Kata-kata itu biasa kami gunakan bila menyebut lawan bicara dalam keadaan marah, beradu argumen dengan emosional, atau memaki orang lain. Aku kena marah oleh ibuku, aku dipanggil ‘kau’. Dan itu menyakitkan.
Karena itulah, sejak anak-anak masih bayi, aku membiasakan diri menghilangkan kata-kata ‘kau’ dari rumahku. Aku panggil mereka dengan nama mereka, atau ‘kamu’, bukan ‘kau’. Dan keduanya kini mengerti, kata-kata itu tidak untuk diucapkan di dalam rumah kami. Rara sering melaporkan adiknya yang menyebut-nyebut kata itu bila mereka sedang bertengkar. Aku marahi si kecil, yang memang agak keras kepala itu.
Persoalannya, tetangga terdekat kami, yang selalu gembar-gembor ke seluruh dunia bahwa anak-anakku adalah cucu-cucu kesayangannya, memanggil mereka dengan ‘kau’. Alangkah beratnya aku menahan mulutku untuk tidak mencegah mereka. Dulu sudah pernah kukatakan, aku keberatan mereka dikau-kaukan begitu.
Di depanku, si pemilik rumah yang jadi tetangga terdekatku itu, memang tak mengkau-kaukan mereka. Namun saat anak-anak dititipkan, puaslah telinga mereka mendengarnya. Tadi siang, si oma, dengan suaranya yang lantang, berteriak di ambang pintu, “TATA… INDAK KA LALOK KAU?”
Aku manyun. Mencoba sabar, untuk yang delapan tahunnya. Di depan hidungku, terang-terangan si orangtua keras kepala itu meneriaki anakku. Beberapa hari yang lalu, pagi-pagi, ia berteriak, “MANA DIA ANAK KALERA ITU, BLABLABLA…” ia geram soal bunga, bertengkar dengan Tata, bocah berusia 3,5 tahun yang menklaim semua bunga kesayangannya, adalah milikku, mamanya.
Sebelumnya, Tata menyebut ‘kanciang’ di rumah dan aku nyaris menjewer mulutnya. Ajaran si tetangga juga. Bahkan ia diberitahu, kanciang sama artinya dengan kancing baju. Aku katakan dengan tegas, “Itu kancing, bukan kanciang. Kanciang itu berarti carut marut. Satu dosa ditulis di buku sebelah kiri kamu!”
Dan Tata mengatakan kanciang bukan untuk menyebut kancing baju, tapi sekadar ingin melihat reaksiku. Masih ada lagi istilah-istilah kasar dan vulgar yang sungguh tak nyaman kudengar. Seperti alat kelamin wanita, disebut ‘cepe’ yang menurutku sangat kasar. Sejak kecil, kata-kata itu tabu kami ucapkan di tempat itu. Kadang kami berbisik-bisik menyebutnya. Kuajarkan Tata menyebutnya Miss Vegi, dan ia menurut. Namun selagi aku tak di rumah, tentulah ia akan menyerap kata-kata kasar itu dari para mentor tak berpendidikan itu di sebelah rumah itu.
Masih banyak ajaran buruk yang mereka ajarkan pada anakku. Salah satu contoh adalah, membawa Tata keluar pekarangan tanpa sendal. Padahal, di jalanan, bangkai tikus yang mati digilas segala macam ban mobil, sudah kering pipih seperti dendeng, berserakan dimana-mana! Bagaimana aku tidak geram. Kemarin dulu, ia membawa Tata ke tempat pemotongan hewan qurban tanpa alas kaki, padahal di sana kotoran sapi sangat banyak. Masih belum cukup membuat dongkol, Tata yang sedang ingusan, dibelikan es krim! Padahal aku tegas melarang mereka makan es krim selagi ingusan. Sejauh ini, anak-anak mematuhinya, namun kalau si oma sudah bertindak, uh, rasanya aku ingin memaki-makinya!!! Semua aturan yang aku buat demi kebaikan anak-anakku, diterobosnya, tanpa pikir panjang. Padahal akulah yang akan menanggungkan bila anak-anak itu jatuh sakit. Bukan mereka yang akan menenangkan bila mereka mengigau tengah malam. Bukan mereka yang akang mengelap muntah di lantai kamar dan bukan pula mereka yang akan menggendongkan ke rumah sakit bila harus diopname.
Beberapa waktu yang lalu, Tata tidur di kamar si Oma. Dua hari tidur di sana, di wajahnya muncul kira-kira sepuluh bintik merah bekas gigitan nyamuk! Aku ngomel-ngomel lagi. Kuajarkan saja dia menolak tidur di tempat omanya lagi, dengan alasan di kamar itu banyak nyamuknya. Ini memang sudah terbukti. Dan suatu pagi aku melihat, ia membuka jendela kamar saat Tata masih tidur. Perlu dicatat, di dekat jendela kamarnya, sebagai macam jenis bunga ditaruh berpuluh-puluh pot. Bunga-bunga yang sangat disukai nyamuk.
Tentu saja aku khawatir anakku digigit nyamuk demam berdarah. Setahuku, nyamuk itu berkeliaran di pagi hari. Makanya, begitu jendela dibuka dan kulihat Tata masih tidur, cepat-cepat aku bangunkan dan kubawa pulang ke rumahku.
Dan kesabaranku, ada batasnya. Bila waktunya tiba, akan aku muntahkan semuanya. Sungguh menjengkelkan kondisi ini. Parahnya lagi, suami kadang-kadang tak memihakku. Aku hanya disuruh untuk memahami bahwa tetangga sebelah kami adalah orang-orang tak berpendidikan. Tapi sampai kapan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar