Jumat, 13 Februari 2009

Sang Calon Menteri

Jadi mentri! Hah, dada lelaki tua itu serasa ingin
meledak oleh gembira. Terbayang ia berjalan diiringi
beberapa pengawal dengan wajah serius sekaligus
sedikit kejam, membentangkan tangan memberinya jalan.
Beberapa pejabat membungkukkan badan saat mengulurkan
tangan hendak menyalaminya.
Lalu ia berpidato di podium. Semua mata tertuju
padanya. Semua kagum padanya. Lalu para mahasiswa,
petinggi-petinggi organisasi, partai, pengusaha, dan
konglomerat, berlomba-lomba menyenangkan hatinya. Ya,
suksesnya menjadi menteri adalah sukses negeri ini
juga. Negeri yang sekian lama hanya jadi
bulan-bulanan, ladang perburuan para penguasa dari
pusat.
Kini, ialah pusat itu. Ialah Jakarta. Ialah yang akan
mengendalikan segalanya. Dengan menjadi menteri, ia
akan memanfaatkan lobby-lobby tingkat tinggi untuk
mendapatkan proyek, uang, dan harta yang banyak.
Hm… sungguh sebuah fantasi yang memabukkan!
“Om! OM! Jangan ngelamun terus dong Om,” tiba-tiba
perempuan cantik dengan pakaian seadanya yang sedari
tadi bermalas-malasan di sampingnya mengagetkannya.
Lamunan yang demikian mengasyikkan itupun buyar dengan
sendirinya. Seperti gelembung dari sabun yang ditepuk
oleh anak kecil.
Lelaki tambun itu menghisap rokoknya. Ruangan itu
telah sesak oleh asap. Namun ia dan perempuan itu
masih ingin berlama-lama.
“Om, kalau Om jadi menteri, saya dinikahi ya Om!”
kata perempuan itu padanya.
“Ah kamu, jangan ikut-ikutan menghayal. Sana,
ambilkan saya makanan!”
“Siap bos! Tunggu sebentar ya!”
Dengan sigap perempuan itu menyambar telepon dan
memencet beberapa tombol.
“Minta seafood ya!” katanya, “Antarkan ke kamar 412.
Segera.”
Gadis itu masih sangat belia. Umurnya belum lagi
genap 17. Kata orang dia sedang ranum-ranumnya. Wajah
Erika, demikian ia memperkenalkan diri, memang
tergolong manis. Apalagi matanya yang seolah ikut
tersenyum setiap kali bibirnya tersenyum. Sifat
kekanak-kanakannya masih tersisa dan barangkali itulah
daya tarik terbesarnya hingga sang calon menteri itu
tergila-gila padanya.
“Om, kata orang pria seumur Om ini harus banyak makan
seafood, biar makin hot, hahaha…”
Sang calon menteri itu tersenyum kecil. Ia mematikan
rokoknya dan duduk di kursi dekat jendela.
“Kemarilah,” katanya kemudian.
Erika mendekat.
Sang calon menteri itu lalu memeluknya. Bukan pelukan
birahi, tapi pelukan kasih sayang.
“Om kenapa?” tanya Erika.
“Kalau Om jadi menteri, kamu harus meneruskan
sekolahmu di sekolah terbaik. Nanti, bila telah
selesai dan kamu sudah cukup dewasa, aku akan
menikahimu,” katanya sungguh-sungguh.
Gadis itu melepaskan diri dari pelukan. Matanya
menatap ke dalam mata sang calon menteri.
“Benar?”
Lelaki itu mengangguk.
“Kalau soal ini, Om tidak main-main. Kamu anak cerdas
dan cantik. Sayang kalau disia-siakan. Kamu harus
sekolah dan mendapatkan gelar sarjana. Bagaimana kalau
kamu sekolah di Singapura?”
“Apa?! Singapura? Gak salah nih Om?!” Erika
terbelalak tak percaya.
“Singapura itu cuma sejengkal dari sini. Apalah
susahnya? Lebih lama ke Jakarta dibandingkan ke
Singapura.”
“Tapi saya belum pernah ke Singapura.”
“Ah, itu gampang. Nanti kalau saya jadi mentri dan
kamu sekolah di Singapura, tiap hari kamu bisa ke
sana.”
Erika mencubit gemas pinggang lelaki a itu hingga ia
tergelak-gelak.
Ia senang sekali hari ini. Lamunan menjadi menteri
itu, dan juga kehadiran Erika, adalah kebahagiaan
tersendiri. Tidak setiap hari ia bisa tertawa. Banyak
persoalan memenuhi kepalanya.
Demonstrasi para pekerja, tuntutan LSM agar tidak
lagi menebangi hutan… Ah, memang keparat orang-orang
di LSM itu. Bisanya cuma ngomong! Apa mereka tidak
tahu, kalau kayu-kayu itu tidak ditebangi, masyarakat
yang tak punya keahlian apa-apa itu akan menganggur.
Mereka akan kelaparan dan biasanya orang lapar lebih
beringas. Lagi pula, toh aku sudah membayar upeti yang
banyak kepada pihak-pihak terkait? Mereka saja tidak
seribut LSM itu.
Dan satu lagi, terkadang anak-anak muda sok idealis
di LSM itu hanya menggertak. Nanti kalau sudah
disumpal mulutnya dengan uang, demo-demo norak itu
akan reda dengan sendirinya. Sebagai gantinya, mereka
menawarkan proposal kerja sama, atau tepatnya proposal
'pemerasan’ dan sok berpihak pada kami. Ah, saya muak!
Sesuatu yang menggelikan terjadi. Dia ditawari untuk
menjadi mentri. Tak tanggung-tanggung, mentri
lingkungan hidup! Serasa akan meledak tawanya ketika
seorang wakil dari partai tempatnya bergabung
mengatakan hal itu. Namun untunglah ia dapat menahan
diri.
Ia menoleh ke tempat tidur dan melihat Erika
melingkar dengan nyaman dalam selimut. Wajahnya yang
tenang dan matanya yang tertutup rapat memberikan
kedamaian di hati lelaki itu.
Dia begitu polos. Cantik. Tapi mengapa harus lahir
dari benih seorang bajingan? Mengapa ia harus
‘dimakan’ oleh bapaknya sendiri? Seandainya saja Erika
anak kandungnya, akan ia jaga sedemikian rupa hingga
seekor nyamukpun tak akan berani menggigitnya.
Ditemukannya gadis itu suatu malam di sebuah
diskotik. Teler oleh minuman keras. Pada awalnya ia
tak begitu ambil pusing karena itu pemandangan biasa.
Tapi ketika Erika memanggilnya ‘papa’, mau tak mau ia
berpaling pada gadis itu.
“Papa, jangan Pa!” rintihnya tak begitu jelas.
Lelaki itu tertegun. Entah mengapa tiba-tiba rasa
ibanya muncul. Dipanggilnya sopirnya dan dibawanya
gadis itu ke hotel. Ia sendiri kembali ke rumahnya.
Hingga keesokan paginya, gadis itu belum juga
terbangun. Pukul sebelas, telepon genggamnya
berdering. Sopirnya memberitahu bahwa gadis itu sudah
bangun. Lelaki calon menteri itu dengan diliputi rasa
penasaran, mendatangi hotel itu dan mereka bertemu di
lobby.
Barulah siang itu ia melihat dengan jelas wajah gadis
itu. Cantik. Ia menatap lelaki itu takut-takut. Lelaki
itu menyuruhnya duduk dan memesan makanan. Setelah
itu, semuanya mengalir begitu saja.
*
“Tawaran ini tidak main-main Pak. Kalau partai kita
menang pada Pemilu nanti, bapak merupakan salah satu
kandidat menteri. Kans kita untuk menang cukup besar.
Bapak lihat sendiri kalau kita melakukan kunjungan ke
daerah, sambutan masyarakat sangat luar biasa,” kata
Sekjen partai padanya.
Lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepertinya
sejauh ini semuanya mudah dicerna.
“Menteri Lingkungan Hidup sepertinya cocok untuk
bapak. Bapak kan seorang insinyur pertanian dan punya
perusahaan plywood pula. Belum lagi kebun yang ribuan
hektar luasnya. Lagipula, toh nanti bukan bapak yang
akan bekerja keras, tapi para staf. Kita akan pilih
orang-orang yang hebat untuk menjadi staf bapak,” kata
yang lain.
“Bagaimana Pak? Kami perlu ketegasan dari bapak, agar
daftarnya dapat kami buat. Pers mulai mengintai untuk
mendapatkan informasi ini. Kami kira ini moment yang
tepat untuk melakukan kampanye terselubung.”
“Saya pikirkan dulu sehari dua hari ini,” lelaki itu
akhirnya bicara juga.
“Baiklah, kami akan kesini dua hari lagi. Kami harap
bapak sudah mengambil keputusan saat itu. Ini demi
partai, demi kita semua Pak.”
Akhirnya orang-orang itupun pergi. Lelaki itu
mengulang-ulang, demi partai, demi kita semua, tidak
sekalipun menyinggung soal rakyat, soal lingkungan
hidup. Jadi, apakah ia hanya akan menjadi boneka? Atau
menjadi tameng hidup yang akan dihadangkan pada para
pecinta lingkungan hidup bila banjir melanda negeri
ini?
Mereka sengaja menawarkannya jabatan agar kelak juga
kebagian. Dapat uang berlimpah untuk berfoya-foya
sementara rakyat jelata mengais-ngais remah di tong
sampah, menebang kayu demi kayu di hutan lindung agar
dapat membeli beras, merantau ke negeri orang secara
ilegal dan pulang-pulang sudah menjadi gila. Sungguh
sangat komplek persoalan negeri ini. Dan para
pemimpinnya, ataupun calon pemimpin, sepertinya hanya
mementingkan diri mereka sendiri.
Tapi menjadi menteri… sesuatu yang tidak pernah
dibayangkannya. Mungkin itu cita-cita tertinggi yang
bisa diraihnya. Samakah menjadi menteri dengan menjadi
direktur sebuah perusahaan plywood? Terbayang berbagai
fasilitas negara yang akan didapatkannya bila jabatan
itu ada di pundaknya. Rumah mewah, pengawalan super
ketat, mobil anti peluru, para gundik yang datang
silih berganti…
Namun saat melihat tubuh Erika yang rapuh tak berdaya
tidur melingkar dengan nyaman itu, hatinya tiba-tiba
merasakan yang lain. Seandainya benar ia jadi menteri,
lalu kemanakah Erika akan disembunyikan? Ke Singapura?
Hongkong? Kanada, Amerika, atau mungkin di Afrika
Selatan? Tapi para agen dari badan intelijen pastilah
dengan mudah akan menemukannya. Lalu aibnya itu akan
dibongkar oleh lawan-lawan politiknya. Lalu, entah
dimana ia akan berakhir. Di kolong jembatan dengan
satu lubang tembakan tepat di dahi? Atau
terpotong-potong dan dibuang secara terpisah di
sembarang tempat?
“Papa…” Erika mengigau lagi. Hanya itu yang selalu
dikatakannya setiap kali mengigau. Sepertinya trauma
itu begitu dalam melukai Erika. Lelaki itu melompat
dari duduknya dan mendekati gadis itu. Dibelainya
rambutnya dengan kasih sayang. Anak malang…
Setelah Erika diam kembali dan gerak tubuhnya telah
teratur pertanda pulasnya tidur, lelaki itu kembali
dihanyutkan oleh bayangan menjadi seorang menteri.
Keluar masuk istana, keluar masuk gedung DPR, keluar
masuk televisi, dikejar-kejar wartawan, kunjungan ke
luar negeri, sementara orang-orang di kampung
halamannya yang miskin mencabuti tanaman yang baru
saja mereka tanam, untuk penyambung hidup. Sementara
ia menikmati makanan Eropa dan meneguk kaviar,
sebagian masyarakat nun jauh tersuruk di sudut negeri,
memangkas pucuk-pucuk sawit untuk dijadikan pengganjal
perut.
Lama lelaki itu merenung. Tak dirasakannya setitik
air telah jatuh dan mengering di pangkuannya. Ketika
ia kembali ke alam nyata, ditariknya napas dalam-dalam
dan melihat ke luar jendela. Ah, lama sekali utusan
dari partai itu datang. Ia sudah tak sabar ingin
menyampaikan keputusannya.

Pekanbaru, 11 Desember 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar