Kamis, 01 Juli 2010

Menunaikan Sebuah Janji


Aku sedang menyetrika saat Lira mendatangiku, kemarin Rabu (1/7) pagi sekitar pukul sembilan.
"Mama bilang, kalau Rara sudah kelas empat, Mama akan cerita mengapa Mama tidak shalat," katanya.
Aku langsung teringat janjiku. Ya, setiap kali haid dan ia melihatku tidak shalat, ia
bertanya, mengapa. Kujawab, aku dilarang Allah. Tentu ini jawaban yang menuntut pertanyaan berikutnya, mengapa aku mendapatkan hak istimewa itu.
"Seorang perempuan, bila ia telah dewasa, boleh tidak shalat pada saat-saat tertentu. Rara juga akan mendapatkan hak istimewa itu bila sudah dewasa kelak," kataku.
Ia masih belum puas. Aku merasa ia belum cukup umur untuk mendengarkan lebih jauh soal haid. Dan mengingat dulu aku mendapatkan tamu itu pada kelas IV SD (iya, semuda itu! Dan tak tahu apa-apa), maka aku berjanji akan memberitahukannya saat ia naik kelas IV.
Kini tibalah masanya.
Aku menyiapkan diri sebaik mungkin. Berusaha tenang agar ia tidak khawatir seperti aku dulu yang ketakutan sampai tak bisa tidur. Sebagai anak usia 10 tahun, sekilas aku tahu wanita yang sedang haid tidak boleh shalat, tapi karena dituntut harus tetap shalat dan ibuku belum tahu soal haid pertama itu, maka aku pura-pura shalat. Adik lelakiku yang ditugaskan mengintai, melihatku memang shalat, tapi aku tak kalah cerdik. Supaya shalatnya tak diterima, aku tak berwudhu. Sekarang kalau diingat lagi, alangkah naifnya aku dulu...
Back to te focus...
Hari ini, bersejarah bagi kami berdua. Pengalaman buruk karena menyembunyikan haid hingga bulan berikutnya, tak ingin terulang lagi pada si buah hati. Tapi penyampaiannya haruslah elegan, tidak membuat ngeri, karena ini adalah persoalan paling sejati untuk seorang wanita. Tak ada yang perlu dicemaskan.
Jadi kukatakan, "Seorang wanita, apabila dia sudah dewasa, maka akan keluar darah dari 'veggy' (memang aku biasakan dia menyebut veggy)nya. Waktunya bisa memakan empat sampai delapan hari. Selama itu pula, seorang wanita tidak boleh shalat atau menyentuh Al Quran. Darah itu disebut darah haid atau menstruasi. Apabila sudah habis, kita harus bersuci dulu, yaitu mandi dengan membasahi seluruh tubuh dan kepala, baru boleh shalat setelah itu."
Ia memperhatikanku dengan mata tak berkedip. Aku menahan napas, menunggu pertanyaannya.
"Apakah kita tidak bisa menahannya seperti pipis?"
Alhamdulillah...pertanyaannya itu!!!
"Tidak, darah haid keluar setetes demi setetes, karena salurannya berbeda dengan pipis. Makanya mama memakai pampers (harusnya pembalut, tapi nanti saja kukenalkan istilah itu), agar darahnya tidak mengotori celana."
Tahan napas lagi...
"Apakah laki-laki juga akan mengeluarkan darah?"
"Tidak."
Aku terus menyetrika pakaian demi pakaian.
"Apabila seorang wanita sudah haid, berarti ia sudah dewasa. Ia tidak boleh lagi meninggalkan shalat, karena hukumnya sudah wajib. Kamu mengerti?"
Ia mengangguk.
"Mama dulu mendapatkan haid saat duduk di kelas empat SD. itulah sebabnya Mama memberitahu Rara sekarang, agar nanti kalau haidnya datang, Rara tidak khawatir lagi. Jangan lupa kasi tau Mama nanti ya!" (karena ini akan menyangkut hal-hal teknis tentang cara membersihkan diri).
Ia berjanji akan memberitahuku.
"Jangan beritahu si Tata dulu, tunggu sampai dia kelas empat."
Ia gembira menyadari kami punya sebuah rahasia. Matanya berbinar.
"Bila sudah haid, sebaiknya kita menutup aurat. Seorang perempuan muslim juga tidak boleh bersentuhan dengan laki-laki," kataku lagi. Soal jilbab itu, ia sangat setuju mengenakannya, termasuk saat bermain ke luar rumah. Jadi kami telah membeli seragam sekolah baru berlengan panjang dan rok sampai mata kaki, dua hari lalu. Ia tak sabar untuk mengenakannya.
Aku lega, ternyata tak ada yang perlu dikhawatirkan perihal menjelaskan soal haid pada anak usia 9 tahun. Semoga nanti ia tak melupakanku, bila saat itu tiba, karena aku ingin menjadi bagian yang indah dari sejarah itu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar