Minggu, 12 Agustus 2012

Serunya I’tikaf di Masjid Agung An Nur



Sabtu (11/8/12) karena sedang off kerja, maka saya bertiga dengan si Rara dan Tata, bersiap-siap pergi i’tikaf di Masjid Agung An Nur. Dua malam sebelumnya saya i’tikaf sendirian di Masjid Ikhlas (maksudnya tanpa membawa anak-anak). Suasana di sana memang menenangkan, tapi saya tetap rindu suasana di Masjid Agung An Nur. Mungkin sekitar dua tahun saya pernah sekali i’tikaf di sana, dan itu selalu terkenang.

Sekitar pukul 23.00, kami bertolak dari rumah (cieee, bertolaaak…). Baru nyampe di Jalan Balam, si Tata nyeletuk di depan, “Ma, Tata lupa bawa heleeem…”

“Aaarrggghhh…” emaknya langsung naik spaning.

Balik lagi.

 Ambil helm.

Perjalanan diteruskan ke pom bensin di Jalan Ababil, karena bensin motor sudah tinggal dikit. “Tunggu aja di bangku sana dulu ya, bau asap di sini,” kataku pada anak-anak saat mengantre. Mereka turun dari motor lalu pergi ke bangku di pinggir areal pom bensin itu. Aku melihat dua orang pria usia sekitar 20-an juga sedang duduk di sana. Seorang dari  mereka terlihat mengajak Tata bercakap-cakap. Aku langsung waspada, “Ya, Allah, tolong lindungi anak-anakku…”

Ternyata kemudian saat aku tanya, aku jadi senang. Rupanya pemuda itu bertanya, Rara Tata pulang darimana, kok bawaannya  besar sekali? Iya, si Rara membawa ransel yang berisi 2 Al Quran (aku dan dia kan lagi berpacu siapa yang duluan khatam), dua kotak berisi bekal makan sahur dan lauknya, dua botol air minum dan mukena kami bertiga.

“Bukan,” jawab si Tata dengan tenang, “Kami mau i’tikaf ke Masjid Agung An Nur.”

Aku tersenyum bangga mendengar cerita mereka. Semoga mereka memberi pelajaran yang manis untuk si pemuda itu. Ia juga menanyakan alamat rumah kami.
“Terus, Tata jawab apa?” tanyaku.
“Jangan memberitahu alamat kita  ke sembarang orang, Ta,” si kakak memotong.
“Tata takut bohong Ma, mana tau dia itu malaikat. Tata takut bohong sama malaikat. Jadi  Tata bilang aja rumah kita di jalan Tuanku Tambusai,” kata gadis kecilku.
“Oh iya ya. Ya sudahlah, semoga dia memang malaikat,” kataku.
Cerita tentang malaikat yang turun ke bumi pada 10 hari Ramadan yang aku ceritakan kepadanya, rupanya masih berkesan. (http://www.fitrimayanidanpemikirannya.blogspot.com/). Sepanjang jalan sebelum menyadari kepalanya tak pakai  helm, dia bertanya terus, “Bisa jadi orang yang di jalan itu malaikat Ma?”

“Iya, bisa jadi.”

“Mungkin juga orang yang sedang jalan kaki itu malaikat ya Ma?”

“Ha ah…”

“Sekarang ini, apa malaikat juga melihat kita pergi ke masjid untuk i’tikaf?”

“Iya, lalu Allah memerintahkan malaikat untuk menjaga kita. ‘Bril, tolong tuh, dijaga manusia bertiga tu, jangan sampai kecelakaan di jalan. Mereka mau i’tikaf,’” aku mengarang dialog imajiner antara Allah dengan Malaikat Jibril.

“Siap Ndan!” jawab Jibril. 

Tata terkekeh-kekeh….

“Ma, Tata lupa bawa heleeem…”

“Aaarrggghhh…”

Memasuki Jalan Hang Tuah, dadaku sudah serasa hendak meledak karena senang. Baru liat menara masjidnya doang. Tapi senangnya minta ampun. Kami memasuki areal masjid dan segeralah terlihat puluhan mobil dan ratusan sepeda motor parkir dengan rapi.

Subhanallah… ini sudah tengah malam lo, tapi demikian ramainya masjid ini. Semoga semua orang yang datang malam itu untuk I’tikaf, benar-benar mereka yang ingin mendapatkan ridha Allah, cinta Allah dan kasih sayangNya.

 “Bagaimana kalau kita meninggal saat baru masuk di masjid Ma?” Tanya Tata waktu aku sedang memarkir motor.

“Otomatis masuk surga dooong.”

Dia senyum-senyum. Kemudian aku menceritakan tentang kisah dua pemuda yang punya sifat sangat bertolak belakang. Satu ahli ibadah sedang yang satu lagi ahli maksiat. Suatu hari mereka bertukar peran. Si ahli ibadah ingin melakukan maksiat sedang di ahli maksiat ingin tobat dan berbuat baik. Namun sebelum niat itu dilaksanakan, mereka keburu meninggal. Siapakah yang akan masuk surga dan siapa yang akan masuk  neraka?

Jawabnya: pemuda ahli maksiat.  Mengapa? Karena dia sudah berniat untuk bertobat, walaupun belum dilakukannya, namun Allah telah menilai dan menghargainya. Sebaliknya dengan pemuda ahli ibadah itu, ia sengaja ingin meninggalkan jalan yang diridhai Allah untuk terjun ke maksiat.

Ngerti Ta?

Kami masuk ke masjid itu. Eskalator sedang on, jadi tak perlu capek-capek naik tangga. Di depan pintu masuk, sudah menunggu dua petugas. Kami diminta mengisi buku tamu. Aku lihat jam, baru pukul setengah dua belas malam. Namun di satu buku saja sudah tertulis 200 nama. Belum termasuk di buku yang satunya lagi… luar biasaa….

“Kita salat dulu ya,” ajakku pada mereka. “Salat apa namanya?”

“Tahyat Masjid,” jawab si Rara.

Lalu kami salat. Aku meneruskan dengan Salat Isya, terus Tarawih 8 rakaat. Setelah itu, kedua adik beradik itu minta izin ke luar masjid untuk makan snack yang mereka bawa dari rumah. “Jangan jauh-jauh,” pesanku.

Selagi mereka pergi, aku membaca Al Quran yang kubawa dari rumah. Aku asyik sendiri. Kepuasanku kalau membaca Al Quran, sst… , adalah saat membalik halaman berikutnya dari lembar yang sedang kubaca, hehehe… kok bisa gitu ya? Meneketehe..

Sebagian jamaah memilih istirahat menunggu waktu i’tikaf tiba, yaitu pukul dua dinihari. Aku tidak mengantuk karena sudah minum kopi sejak dari rumah. Tata juga ikut minum kopi, tapi kemudian dia yang pertama rebah, bahkan sebelum acara i’tikafnya dimulai! Sedang si Rara  mempersenjatai diri dengan boneka shaun the sheep!

Begitu snack yang dibawa habis, Tata mengaku mengantuk dan tidur beralaskan mukena dan sarungku. Jadilah aku terpaksa minjam sarung dan mukena milik masjid. Tak lama kemudian Rara juga ikut rebah tertidur.

Pukul dua dinihari, acara i’tikaf dimulai dengan tadarrus ayat 42-61 Surat Al Mukmin. Setelah itu ada pembahasan ayat itu oleh Ustad kondang Mustafa Umar.

Pukul tiga dinihari, acara dilanjutkan dengan zikir asmaul husna, Shalat Tahajjud 8 rakaat dan Witir 3 rakaat. Setelah itu, Ustad Mustafa Umar memimpin doa agar kami para jamaah I’tikaf mendapatkan malam lailatul qadar. Full tears moment, bro and sist!

“Diharamkan api neraka menyentuh mata-mata yang menangis dan mengeluarkan air mata karena takut kepada Allah SWT” demikian yang aku ingat kata Ustad Syafe’i di Masjid Ikhlas saat aku i’tikaf dua hari sebelumnya.

Tau-tau sudah pukul empat dinihari. Ada donator yang menyumbangkan 1.000 nasi kotak untuk para peserta i’tikaf. Maka saat kami Salat Tahajjud, beberapa panitia menghamparkan alas plastic di shaf bagian belakang lalu menata nasi-nasi kotak untuk disantap dalam acara sahur berjamaah (ini istilah aku aja, hehehe…) setelah pembacaan doa.

Anak-anak aku bangunkan. Rara dengan cepat menguasai keadaan, sedang Tata  mengaku masih mengantuk, sakit perut, mual dan pingin muntah. Cepat-cepat kami turun ke lantai dasar, dan memilih makan di selasar masjid. Kukira akan sepi, ternyata banyak juga jamaah yang memilih makan di luar masjid.

Angin subuh terasa sejuk. Taman yang asri menambah ketenangan suasana. Keheningan dinihari itu terasa beda. Rasanya aku gak mau pulang (artinya masak lagi, nyuci lagi, nyapu lagi, hiks hiks!). ingin di sini terus selama-lamanya. Membaca Al Quran, meneguhkan hati dan iman, memupuk kerinduan pada Sang Kuasa…

Si Tata tak mau makan dengan alasan masih sakit perut. Walau sudah kubujuk-bujuk tetap tak mau. Perutnya sudah kuolesi minyak angin aroma therapy. Tapi ia terlihat masih belum membaik. Namun saat usai Salat Subuh, dia membaik dan memakan jatah coklat cunky bar-nya. Jatah nasi kotaknya juga minta dibawa dan akan dimakan nanti sesampainya di rumah. Tata, sebenarnya sakit perut atau enggak sih Naaak?

Kami tiba kembali di rumah sekitar pukul setengah tujuh pagi. Jalanan masih sepi. Kompleks kami juga masih sepi. Setelah menyelesaikan tugas rumah tangga, aku dan si Tata tepar di kamar dan baru bangun sekitar pukul dua siang.  Stamina pulih, badan segar,  nanti malam begadang lagi aaah….!***


1 komentar:

  1. MASJID AN-NUURnya daerah mana kak?
    masya Alloh pengen bgd bisa I'tikaf.. tapi mash kerja.
    ini udah 2 tahun yg lalu ya postingannya.

    BalasHapus