Senin, 22 Oktober 2012

Selamat Bertanding, Kawan

    Peparnas yang dibuka tadi malam (Senin, 7 Oktober 2012), merupakan ajang PON-nya kalangan disabel Indonesia. Memang gaung acara ini tak seheboh PON, namun ia patut mendapat perhatian lebih dari kita. Di sinilah, kita orang-orang yang dengan kondisi tubuh lengkap, akan menjadi saksi kekuatan tekad para disabel, sehingga dapat menjadi juara di bidang olah raga. Kita akan melihat, orang yang tak punya kaki bisa berenang,  beradu cepat lari, dan lain sebagainya.

    Banyak contoh dalam masyarakat, bagaimana kita salah memperlakukan orang-orang berkebutuhan khusus. Kita para orangtua seringkali merasa iba pada anak karena kekurangannya, lantas selalu siap sedia melayani, menolong dan  memudahkan. Kita cenderung membiarkan anak tetap berada di zona nyamannya, tanpa berusaha memberikan rangsangan agar si anak dapat menjadikan kekurangannya sebagai kelebihannya. Maka jadilah anak itu membebani orangtua sepanjang hayatnya.

    Sementara sebagian yang lain, menyembunyikan si anak dari mata dunia, karena malu punya anak yang berbeda dengan anak-anak normal lainnya. Tidak jarang pula  kita mendengar anggapan masyarakat bahwa anak yang cacat merupakan akibat dari dosa-dosa orangtuanya.

    Padahal, bila orang-orang disabel ini mendapatkan pengasuhan yang benar, mereka dapat tumbuh menjadi orang yang mandiri, bahkan mungkin lebih membanggakan daripada orang-orang dengan fisik yang sempurna. Dalam film The Eye, diceritakan tentang seorang wanita tuna netra yang diperankan dengan baik oleh si cantik Jessica Alba, hidup mandiri di sebuah apartemen tanpa bantuan orang lain. Ia bahkan bisa pergi kemana-mana tanpa bantuan orang lain dan bermain biola dalam sebuah grup musikal.

    Demikian pula dalam film 127 Hours yang menceritakan tentang seorang pendaki gunung yang terjebak di lorong sempit di dalam gua yang jauh dari keramaian, terpaksa memotong pergelangan tangannya agar bisa selamat. Setelah itu, ia tidak lantas menjadi orang yang hanya duduk menunggu dilayani orang lain. Sebaliknya, ia tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa, termasuk berenang, dengan sebelah tangan yang sudah tidak utuh.

    Di Palestina, seorang fotografer yang kehilangan kedua kakinya akibat ledakan bom, tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa, walau harus dengan kursi roda. Tak ada yang berubah dalam kesehariannya, kecuali dua kaki yang telah diganti dengan kursi roda.

    Sudah demikian banyak contoh, namun kita masih saja menemukan banyak orang-orang disabel mendapatkan perlakuan tidak wajar dan kurang manusiawi dari lingkungannya. Ditambah dengan ketidaktahuan orangtua, jadilah orang-orang disabel ini sebagai kelompok orang-orang yang tidak produktif.

    Jadi, datanglah melihat Peparnas, saksikanlah orang-orang hebat dan luar biasa yang beradu cepat di sana. Semoga kita malu, sebagai orang yang lengkap fisiknya, hingga saat ini bisa jadi kita tak berprestsai apa-apa.

behind the news
Merasa ini penting, maka saya mendesak si Papa untuk membawa kedua anak gadisnya menyaksikan para disabel itu bertanding. Rara cerita, ia melihat orang-orang yang tak punya kaki, bermain tenis meja dan badminton dengan kursi roda.

"Bisa gak Mama membayangkan, orang yang gak punya kaki, cuma pakai kursi roda, bisa main badminton!" katanya dengan takjub.


Saya berharap dia mengambil pelajaran dari semua yang disaksikannya, bahwa bila kita punya kemauan, maka kekurangan fisik bukanlah penghalang. Saya katakan, sebagai manusia dengan fisik yang lengkap, seharusnya kita bisa lebih berprestasi.

Dan di atas itu semua, kita harus bersyukur pada Allah, karena telah memberikan tubuh yang sempurna ini, jangan lagi sombong dan malas shalat.

Lalu bagaimana dengan si Tata. Tak banyak yang dapat dikorek dari anak itu. Pulang-pulang sudah terkapar kecapean. Hanya Rara yang memberi informasi, dia asik main sepatu roda barunya di arena itu. Halaaah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar