Rabu, 07 Juli 2010

Telah Dibuka: Salon Rara

Hm...terasa lebih fresh setelah dipijat di Salon Rara...

Aku sedang membaca dwilogi Padang Bulan-nya Andrea Hirata. Sudah sejak pagi aku membaca dengan berbagai posisi; telungkup, duduk di kasur, di lantai, di kursi dan tidur miring hingga tertidur beneran. Wajar kalau punggungku terasa sangat sakit. Punggung kiriku memang sedikit bermasalah. Duduk tak bersandar terlalu lama, punggung itu terasa nyeri.

Rara dan Tata bermain di lantai atas. Sesekali si Tata turun. Berlari-lari di dalam rumah cuma pakai sempak doang, itu anak sudah mirip tuyul keriting.

"Eit, ngapain lari-lari gak pakai baju? Berdosa tuh, nampak auratnya!" tegurku saat ia 'tertangkap kamera'.

"Tata lagi perawatan Ma."

Halah! Perawatan! Seperti di salon saja.

"Perawatan? Perawatan apa?"

"Perawatan. Masa Mama gak tau? Kayak di salon itu tuu... Tata lagi perawatan sama Kakak!" lalu lari lagi ke lantai atas.

Rara turun sambil senyum-senyum.

"Mama mau perawatan juga? Rara buka salon. Ada macam-macam perawatan, seperti urut kepala, punggung, tangan, kaki, cari ketombe (oh, dia membuka aibku!), pokoknya macam-macam deh. Bayarnya murah lo Ma, tiga ribu saja... eh, dua ribu deh!"

Aku: sepele...

"Ayolah Ma, nanti Rara urutkan punggung Mama yang sakit itu pakai handbody," dia merayu.

"Iyalah, sebentar saja ya! Tapi bayarnya gak bisa kurang tu Buk?"

"Hm...bisalah sedikit, Mama dikasi diskon."

Aku naik. Tidur telungkup di kasur tipis itu. Rara mengoleskan handbody di punggungku dan mulai memijat. Tentulah kekuatan tangan anak usia 9 tahun dan masih sangat amatir di bidang urut mengurut ini, tak sama dengan kekuatan dan daya sembuh tangan seorang tukang pijat berlisensi, keluaran panji pijat khusus tuna netra.

 Paling tidak, tak sama dengan tukang urut langgananku di ujung jalan sana, yang buka dari pagi sampai malam. Walau urutnya tak sampai satu jam (mungkin hanya lebih kurang 20 menit saja), tapi sungguh nikmat.

Semua tulang terkilir, salah urat, anak flu yang tak sembuh hingga sebulan, selesai sama tukang urut idolaku itu. Yang menarik, dia tak menetapkan tarif. Sama seperti kebanyakan tukang urut tanpa ijazah dan hanya mengandalkan iklan gratis dari mulut ke mulut, tarifnya 'seikhlasnya' saja.

Rara mengurut sesuai instruksiku. Ia menerapkan dengan penuh komitmen 'Tamu adalah Raja'. Aku suruh urut di bagian kiri, ia menurut. Aku minta diurut dengan jempol yang ditekankan di sepanjang tulang belikat, ia patuh.

Dan ketika akhirnya aku bangkit, subhanallah... nyeri di punggungku sangat jauh berkurang. Selama beberapa menit ke depan, tak kurasakan lagi kenyerian itu sehingga aku bisa duduk di depan komputer, mengerjakan kembali tugas-tugasku dengan nyaman.

Aku jadi berpikir ulang, sebenarnya dimanakah bakat anak ini yang paling menonjol? Ketika menjadi guru bagi adiknya (si Tata bahkan diberi PR, ujian dan rapor dengan beberapa nilai yang harus diremedial), ia dipuji neneknya. Katanya Rara punya bakat jadi guru. Ia punya kesabaran seorang guru (sesuatu yang kumiliki dalam kadar yang agak 'sedikit' ;D).

Ketika menjual permen hadiah dari Mak Uwo -nya ke teman-teman sekelasnya, ia sukses pula hingga aku merasa ia berbakat untuk menjadi seorang pedagang. Sekarang, ia pintar pula memijat. Mungkinkah ia juga punya bakat menjadi tukang pijat? Entahlah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar