Selasa, 10 Februari 2009

Mencari Tatapmu

“Jadi kamu akan meninggalkan kami berdua demi
cita-citamu?” ulang Bang Rizal padaku.

“Ini kesempatan sekali seumur hidup Bang. Aku merasa
tolol saja kalau tidak mengambilnya. Lagipula, Salsa
kan aku tinggal bukan dengan orang lain,” jawabku
sambil memasukkan beberapa helai pakaiannya ke dalam
koper. Tentu saja, Salsa akan tinggal bersama
bapaknya, yang sudah tiga dua tahun menunggu hadirnya
seorang bocah, pewarisnya, keturunannya.

“Tapi dua tahun itu tidak sebentar dan Jerman itu
jauh. Bagaimana kalau sesuatu terjadi selama kamu di
sana?”

Aku menghentikan pekerjaanku dengan sedikit kesal.

“Abang jangan mematahkan semangatku dengan hal-hal
yang belum terjadi dong. Coba, apa Abang tidak bangga
punya istri yang dapat beasiswa ke Jerman? Jerman!
Bayangkan Bang, sepulang dari sana berapa orang akan
menggajiku nanti. Aku juga bisa pilih-pilih kerja
sesukaku, tidak seperti saat ini. Kalau kita sudah
punya cukup uang, kita akan tinggalkan rumah kontrakan
yang busuk dan sumpek ini. Membeli real estate pun
kita pasti sanggup!”

Bang Rizal tertunduk. Dieluskan kaki-kaki Salsa yang
padat gemuk. Bayi enam bulan itu sedang tertidur pulas
di atas tempat tidur kami.

“Tidak kasihan meninggalkan Salsa?” tanya Bang Rizal
lirih.

Aku menahan geramku. Kok pertanyaannya seperti itu!

Setelah menghela napas meredakan emosi, aku berkata ,
“Itu pertanyaan tolol Bang. Siapa pula ibu yang tidak
sayang pada anaknya, darah dagingnya sendiri? Semua
ini toh kelak untuk dia juga. Hanya dua tahun bang,
dua tahun! Setelah itu kita akan merawatnya
bersama-sama hingga dewasa. Lagipula, aku akan
usahakan menelpon sesering mungkin.”

Sehari kemudian, aku terbang ke Jakarta. Bang Rizal
hanya mengantarkan sampai ke Bandara Sultan Syarif
Kasim di Pekanbaru, bukan Soerkarno-Hatta. Dijabatnya
tanganku erat, lalu diciumnya keningku sekilas.

Tiba-tiba aku merasakan keharuan yang luar biasa. Oh,
lelaki bersahaja ini, betapa aku cinta padanya, tapi
apa boleh buat, aku harus meninggalkannya sementara
waktu demi masa depan kami.

Kupeluk dia erat, tak merasa risih dengan orang-orang
di sekelilingku. Toh dia adalah suamiku sendiri. Air
mataku jatuh berderai, membasahi bahunya.

“Tunggu aku ya Bang. Jaga baik-baik anak kita,”
bisikku di telinganya.
Setelah itu, dengan mengangkat dagu, aku melangkah
menuju pesawat. Ah, nanti malam aku sudah terbang
menuju Jerman dan menetap di negeri maju itu selama
dua tahun.

Perjalanan empat belas jam menuju Frankfurt ternyata
cukup melelahkan. Aku yang selama ini hanya merasakan
naik pesawat paling lama dua jam, merasakan sekali
kejenuhan karena duduk sekian lama. Parahnya, aku
tidak bisa berkonsentrasi untuk membaca buku yang
sengaja kupersiapkan. Padahal dari semula aku sudah
meletakkan Dari Parangakik ke Kampuchea karya Nh Dini
dalam tas tanganku agar mudah dikeluarkan. Masih ada
Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer namun terlalu
berat untuk dibaca di dalam pesawat.
Begitu menginjakkan kaki di Frankfurt, yang pertama
sekali kucari adalah telepon umum. Aku ingin mengabari
Bang Rizal bahwa aku sudah selamat sampai di tempat
tujuan. Kusadari, nada suaraku demikian gembiranya
kala itu.

Kami para rombongan penerima beasiswa segera disambut
oleh sekelompok pelajar asal Indonesia. Dengan senang
hati mereka mengantarkan kami ke penginapan dan juga
sekalian mencarikan kamar untuk disewa selama tinggal
di Jerman.

Sebuah flat kecil untuk dua orang dipilihkan untuk
kami. Aku dan Sarah, lulusan Universitas Padjadjaran
yang dua tahun terakhir ini bekerja sebagai wartawan
freelance di sebuah majalah ibu kota, ditempatkan di
satu kamar karena sama-sama berprofesi sebagai
wartawan. Aku sendiri redaktur di sebuah koran daerah
di Sumatera.

Kehidupan di Jerman memang sangat menyenangkan.
Orang-orang terlihat tidak terlalu ambil pusing dengan
sekelilingnya alias tidak usil. Sebaliknya sibuk
dengan pekerjaan sendiri. Aku dan Sarah seperti
berlomba-lomba menyelesaikan kuliah kami secepat dan
sebaik mungkin. Hampir tidak ada waktu untuk main-main
dan berleha-leha. Bahkan tak jarang Minggupun kami
manfaatkan untuk belajar.

Sesekali, biasanya sebulan sekali, dengan menyewa
sepeda untuk sehari, kami pergi dengan beberapa orang
teman yang berasal dari berbagai negara menjelajahi
alam pedesaan Jerman. Pemandangan yang seperti dalam
lukisan dapat kami saksikan di sana. Kebun yang
terhampar luas sejauh mata memandang, rumah-rumah yang
terawat dengan baik, penuh aneka bunga, dan suasana
yang tenang, benar-benar dapat menyegarkan pikiran
yang sedang stres.

Bila punya cukup uang, kami pergi ke daerah yang lebih
jauh, tentu tidak naik sepeda, melainkan naik kereta
api ekspres. Biasanya kami melengkapi diri dengan peta
dan bekal makan siang agar dapat lebih menghemat uang.

Tanpa kusadari, aku melupakan janjiku untuk
sering-sering menelepon ke rumah. Bahkan sudah tiga
minggu ini aku tidak berkabar dengan mereka. Waktuku
benar-benar tersita pada kuliah yang cukup padat.

Belum lagi aku dan Sarah bekerja part time di sebuah
restoran Italia. Kami kebagian tugas mencuci piring
dan mengepel lantai yang kotor. Terkadang juga disuruh
mengantarkan pesanan. Tak apalah, aku tak malu, justru
senang, karena itu menambah pengalaman.

*****

Aku mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim dua tahun
kemudian. Kulihat Bang Rizal berdiri dengan senyum
lebar. Ia sendirian. Tak ada siapa-siapa lagi. Dimana
Salsa?

Aku memeluknya begitu bagasiku beres. Hm… rindunya aku
pada lelaki sederhana itu.

“Mana Salsa?” tanyaku saat melepaskan pelukan.

“Ada di rumah.”

“Kenapa tidak diajak sekalian? Aku sudah rindu sekali
padanya.”

“Kan sudah sering abang kirimkan fotonya lewat email?”

“Tentu berbeda dengan melihat sendiri.”

Di dalam taksi aku ribut bercerita tentang pengalaman
di Jerman. Tentang kuliahku yang sudah selesai
walaupun nilainya tidak semua memuaskan, tentang
pengalamanku menjadi pengantar pizza, dan lain
sebagainya. Bang Rizal mendengarkan dengan sabar. Ia
pandai menempatkan diri. Ketika aku tertawa, ia pun
ikut tertawa.

Saat memasuki halaman rumah kontrakan kami, kulihat
Salsa sedang asyik sendiri di sudut teras itu. Sedikit
tersembunyi oleh rumpun suplir.

Aku segera mendekatinya. Dalam bayanganku, tentu ia
akan berlari mengejarku, masuk ke dalam pelukanku
sambil memanggil Mama. Ah, itulah yang selalu hadir di
dalam mimpi-mimpiku selama menuntut ilmu di negeri
orang, ribuan kilometer dari rumah.

“Salsa, Sayang…” kataku sambil berjongkok dan membuka
tangan menyambutnya.

Namun gadis kecilku itu tidak mengalihkan perhatiannya
dari mainannya. Sebuah kotak bekas sepatu anak-anak.

Ia sepertinya tidak mendengarkan aku memanggilnya.

“Salsa… Ini mama Sayaang…” panggilku sekali lagi.

“Dia sedang asyik, biarkan saja dulu,” tiba-tiba Bang
Rizal telah berdiri di sampingku.

“Sini tas itu bang, ada mainan bagus untuk dia,”
kataku sambil mengulurkan tangan mengambil tentengan
dari tangan Bang Rizal. Kukeluarkan sebuah boneka
bayi yang lucu, dapat menangis bila dotnya dibuka.

Boneka itu berambut pirang, dengan mata yang dapat
berkedip-kedip. Tangan dan kakinya dapat
digerak-gerakkan. Aku yakin Salsa pasti senang dengan
boneka itu.

“Salsa, lihat, mama punya boneka bagus untuk Salsa,”
kataku lagi sambil memamerkan boneka itu. Namun gadis
kecil itu masih tak peduli. Ia terus saja
mengotak-atik kotak bekas sepatu itu.

Aku menoleh tak mengerti pada Bang Rizal. Ada apa
dengan anakku? Seolah mengerti apa yang aku rasakan,
bang Rizal mengusap bahuku.

“Ayo masuk dulu, nanti di dalam saja abang ceritakan.”

“Salsa?”

“Biarkan saja. Kalau diganggu, nanti dia akan
menjerit-jerit.”

Dengan air mata menggenang, aku mengangkati
barang-barangku ke dalam rumah. Iba hatiku diacuhkan
anak sendiri. Bang Rizal mengiringi di belakang.

Rumah itu, setelah dua tahun aku tinggalkan, ternyata
tak banyak berubah. Hanya ada foto Bang Rizal sedang
menggendong Salsa yang diletakkan di atas bofet rendah
pembatas ruang tamu dan ruang makan. Aku duduk di
kursi yang paling dekat dengan pintu agar dapat
melihat Salsa yang duduk di pojok sambil mempermainkan
kotak bekas sepatu itu. Sepertinya kotak itu lebih
menarik daripada ibunya sendiri.

“Mau istirahat dulu? Mau abang bikinkah teh?”

“Tidak, sudah cukup tadi di pesawat. Ceritakan saja
tentang Salsa.”

“Secara umum dia baik-baik saja,” jawab suamiku
tenang. Ia berdiri di dekat pintu kamar tidur kami.

“Tapi mengapa ia diam saja waktu kupanggil, seolah itu
bukan namanya?”

Bang Rizal menghela napasnya. Matanya menatap ke suatu
titik di lantai.

“Duduklah dulu di sini Bang, ceritakan tentang anak
kita.”
Ia mengambil tempat duduk di depanku. Menatapku
dalam-dalam. Ekspresi wajahnya tak dapat aku lukiskan
seperti apa. Tapi tidak marah, geram, ataupun
menyalahkan aku.
“Abang minta maaf tidak memberitahukan hal ini
sebelumnya.”
“Langsung saja!”protesku segera, tak suka dengan
basa-basi itu.
“Salsa autis.”
“Apa?! Autis? Bagaimana bisa?” bagai disambar petir
rasanya saat mendengar kata-kata itu terlontar dari
mulutnya.
“Abang juga tidak tahu. Dokter mengatakan banyak
alasan munculnya autis. Bisa karena keturunan,
makanan, dan lain sebagainya.”
“Apakah anak autis tidak mendengar kalau orang lain
bicara?”
“Tentu saja mendengar, tapi tidak memperhatikan.”
Aku menoleh ke luar dan melihat anakku. Salsa, si
cantik itu, masih asyik dengan ‘mainannya’.
Berkonsentrasi penuh hingga tak memperhatikan
sekelilingnya. Tak terasa air mataku jatuh. Walaupun
tak tahu banyak tentang autis, namun aku tahu, anakku
tidak sama dengan anak-anak normal lainnya. Ia bahkan
tidak mengenaliku sebagai ibunya!
Anakku, maafkan mama, telah menyia-nyiakanmu selama
dua tahun ini. Mama tidak mengikuti perkembanganmu.
Perlahan-lahan kudekati dia. Aku duduk di depannya dan
memperhatikan ia bermain. Anak itu tetap tak mau
mengalihkan pandangannya padaku. Kupanggil-panggil
namanya, masih saja seperti itu.
Perlahan kuangkat dagunya dan menatap matanya, kali
pertama sejak dua tahun ini. Namun ia tak mau membalas
tatapanku. Walaupun dagunya kuangkat, bola mata itu
tetap saja tertuju ke bawah, ke kotak sepatu yang
tergeletak di sela-sela kakinya.
“Salsa… ini mama Sayang…”
Masih tak ada reaksi.
Perlahan kuangkat tubuh itu, aku ingin memeluknya,
merasakan hangat tubuhnya. Namun tiba-tiba gadis
kecilku itu menjerit, meronta-ronta minta dilepaskan.
Bang Rizal datang berlari, mendekap Salsa dan
menenangkannya.
Aku berlari ke kamar, menelungkup di kasur dan
menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar