Selasa, 22 Februari 2011

Alzheimer


Minggu malam, usai makan bersama, aku memutar VCD tentang detik-detik penangkapan Saddam Hussein, Presiden Iraq. Ini siasat kedua yang aku jalankan agar Papa betah di rumahku dan tidak minta pulang ke Padang. Lama juga aku memilih-milih film yang akan aku putar di depan Papa, pengisi waktunya sebelum tidur malam bersama anak cucu. Akhirya aku pilih tentang Saddam Hussein, produksi Discovery Channel.
Berhubung telinga dan mata papaku sudah tidak bagus lagi kualitasnya, maka aku dapat tugas tambahan membacakan teks film itu. Jadi sepanjang pemutaran film, aku menonton sambil membaca keras-keras teksnya di dekat telinga Papa.
Film diawali dengan cuplikan wawancara Samir bin Fulan (sengaja nama keluarganya disembunyikan, demi alasan keamanan) dengan salah satu stasiun televisi Amerika. Samir seolah telah disiapkan Tuhan untuk menjalan tugas itu. Ia seorang warga Islam Syiah yang mengalami kekejaman rezim Saddam Hussein. Samir lahir pada 1970 di Nasiriyah, Iraq. Ia terpaksa meninggalkan negerinya setelah terjadi pemberontakan antara kaum Syiah dengan pemerintahan Saddam Hussein pada saat Perang Teluk 1991. Samir diusir bersama puluhan ribu orang Syiah lainnya. Selama tiga setengah tahun Samir tinggal di barak pengungsian di padang pasir Arab Saudi.
Pada 1994 Samir diterima sebagai pengungsi politik di Amerika Serikat. Pada 13 Desember 2003, Amerika menginvasi Iraq. Samir mencari alasan untuk membantu tentara Amerika, entah sebagai apapun. "Peluang yang terbuka hanya sebagai penerjemah," cerita Samir.
Samir dipilih sebagai tokoh sentral dalam film ini menurut saya karena dia punya latar belakang sejarah yang paling menarik untuk dikemukakan. Selain itu, ia punya foto tentang penangkapan itu. Foto Samir bersama Saddam Hussein yang sengaja disungkurkan ke tanah hingga pipinya menyentuh pasir, beberapa saat setelah mantan diktator itu berhasil dikeluarkan dari bunkernya, bisa jadi adalah foto paling awal yang diambil setelah Saddam Hussein berhasil digulingkan. Kebetulan pula, Samir membawa kamera pribadi dalam misi penting itu, hingga ia dapat mengabadikan wajah Saddam Hussein sebelum dicukur. Digambarkannya, rambut diktator itu berminyak dan ia menduga sudah berbulan-bulan Saddam tak mandi.
"Ketika Saddam Hussein digulingkan, ada teman Apa (Papa) dari Mesir, si Ali, yang sangat mendukung Saddam Hussein. Ia bilang, 'tolong doakan Saddam Hussein'," papaku bercerita di sela-sela pembacaan teks yang sedang kulakukan.
Film dilanjutkan dengan persiapan tentara Amerika untuk mencari Saddam Hussein di tempat persembunyian. Konon ia berada dalam sebuah bunker yang terletak di tengah kebun di wilayah Ad Dewr, dekat Tikrit, kampung halaman Saddam Hussein.
Salah seorang pengawal Saddam berhasil ditangkap tentara Amerika dua hari sebelumnya dan diinterogasi. Dari dialah diketahui dimana Saddam bersembunyi selama sembilan bulan dari kejaran tentara Amerika.
"Ada teman Apa, si Ali, dia orang Mesir yang sangat mendukung Saddam Hussein. Katanya, 'tolong doakan Saddam Hussein'," papaku berkata lagi.
Aku dan ibuku saling tersenyum. Hingga sekitar satu setengah jam berikutnya, sepanjang pemutaran film penangkapan Saddam Hussein itu, mungkin sekitar lima atau enam kali Papa menginterupsi acara pembacaan teksku dengan informasi yang sama.
Temannya si Ali yang warga Mesir, meminta ia mendoakan Saddam Hussein. Ali bin Fulan itu merupakan guru bahasa Arab di sekolah agama dekat rumah kami di Padang, hasil program pertukaran guru antara Indonesia-Mesir. Ali dan papaku merupakan jamaah Masjid Ikhwanussaffa dan Ali memberikan les Bahasa Arab pada jamaah yang berminat. Papaku salah satunya.
Saat aku pergi umrah dengan Papa pada 2008 lalu, ia juga punya pengalaman yang selalu disebut-sebutnya kemudian. Ceritanya, saat duduk di Masjidil Haram menunggu waktu Ashar, ia disodori Al Quran oleh seorang pemuda Arab. Papaku berasumsi, si pemuda Arab menyuruhnya baca. "Mungkin dikira saya tak bisa membaca Al Quran," katanya. Papa dengan percaya diri bertanya dalam Bahasa Arab, hasil les dengan Ali, "yang mana?" (sori, aku lupa apa persisnya Bahasa Arabnya). Si pemuda Arab menunjuk satu surat lalu Papa membacanya. "Aku baca dengan irama sebagus-bagusnya. Lalu aku balik menantang dia, kusodorkan Quran itu, lalu kubilang, "Wa anta," artinya 'dan kamu'. Ternyata ia membacanya seperti kita membaca koran, tak pakai irama sama sekali! Pantas saja orang Indonesia juara MTQ tingkat internasional." Kisah ini beratus-ratus kali aku dengar.
Bila ia mengingat beberapa hal penting, sebaliknya, ia melupakan hal-hal lainnya yang dianggap kurang penting. Salah satunya, soal makan. Aku dan ibuku seringkali menahan tawa kalau waktu makan tiba. Papa selalu mengatakan, jangan masukkan nasi banyak-banyak ke piringnya. Nafsu makannya sekarang sudah banyak berkurang dibanding saat muda dulu. Namun saat ia merasa masakannya enak, ia nambah dua hingga tiga kali. Beberapa waktu kemudian, kalau kami bertanya, apakah ia sedang tidak nafsu makan, Papa akan menjawab, "Iya, Apa tidak selera. Sedikit saja makan Apa sekarang," katanya.
Begitulah papaku. Di usianya yang mungkin sudah 70 tahun lebih (pastinya aku tak tahu, karena Beliau sendiri tak pasti tahun lahirnya). Kubaca di internet, penyakit lupa papa itu salah satu tanda-tanda Alzheimer. Film Cinta yang diperankan almarhun Sophan Sophiaan dan Widyawati, juga berkisah tentang lelaki tua penderita Alzheimer. Sepertinya papaku juga menderita itu.
Ditulis dalam Wikipedia, resiko untuk mengidap Alzheimer, meningkat seiring dengan pertambahan usia. Bermula pada usia 65 tahun, seseorang mempunyai risiko lima persen mengidap penyakit ini dan akan meningkat dua kali lipat setiap lima tahun, kata seorang dokter. Menurutnya, sekalipun penyakit ini dikaitkan dengan orangtua, namun sejarah membuktikan bahwa pesakit pertama yang dikenal pasti menghidap penyakit ini ialah wanita dalam usia awal 50-an.
Penyakit Alzheimer paling sering ditemukan pada orangtua berusia sekitar 65 tahun ke atas. Di negara maju seperti Amerika Serikat, saat ini ditemukan lebih dari 4 juta orang usia lanjut penderita Alzheimer. Angka ini diperkirakan akan meningkat sampai hampir 4 kali di tahun 2050. Hal tersebut berkaitan dengan lebih tingginya harapan hidup pada masyarakat di negara maju, sehingga populasi penduduk lanjut usia juga bertambah.
Aku, ibuku dan saudara-saudaraku yang lain, sangat mengkhawatirkan Papa. Ia orang yang sedikit keras kepala dan menurut kami juga sedikit takabur. Ia yakin mengetahui segala hal, jalan, jalur angkutan umum dan sebagainya. Ia tak khawatir akan tersesat, karena bisa membaca. Sekali waktu, dalam rangka membujuk supaya tak pulang ke Padang juga, aku bawa Papa ke Pasar Arengka, untuk bersilaturrahmi dengan para keponakannya, yang rata-rata jadi tukang daging. Waktu hendak pergi, aku bertanya, apakah papa bisa pulang sendiri? Perlukah aku jemput? Kalau iya, tunggu di sini, nanti seusai rapat dari kantor, aku akan menjemputnya.
"Tidak, aku bisa pulang sendiri. Aku tahu dimana berhentinya, gampang itu. Pulang sajalah!"
Walau sedikit khawatir dan ragu, akhirnya aku pergi juga. Siangnya aku tahu, Papa memang tersesat. Beliau lupa di jalan apa harus berhenti. Walhasil, ia turun sekitar setengah kilometer dari jalan yang seharusnya.
Satu lagi hal yang dilupakan Papa adalah, keberatan kami dengan pilihan bacaannya. Kami semua tidak suka Papa membaca Pekanbaru MX yang isinya didominasi berita kriminal. Terlebih sampul depannya seringkali dihiasi artis cantik setengah
telanjang. Secara umur Beliau sudah 70 tahun lebih gitu looo....Yang paling aku ingat, pagi itu kulihat artis Five-Vi yang bahenol itu, diberitakan baru saja putus pacar di koran itu. Berita biasa saja sebenarnya. Tapi si Five-Vi ditampilkan dalam pakaian kurang bahan yang bikin aku risih. Aaarrrggghhh!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar