Rabu, 23 Februari 2011

Jumat Malam दी Ranjang Kami

Ia tidur di sampingku. Sangat dekat hingga aku dapat merasakan panas napasnya. Kami berpelukan. Dalam temaram cahaya dari luar kamar, dapat kulihat ia menatapku. Lalu kami saling tersenyum, mencium, membelai dan berpelukan lebih erat. Saat itu aku lihat jam dinding. Pukul 10.12 WB.




"Ma, Tata nggak mau Mama meninggal," lo, kok itu sih, ngomongnya?
Teranglah awak jadi heran. Sedang mesra-mesra begini, bicara soal mati? Hallo....
"Kenapa Tata takut?" tanyaku.
"Iya pokoknya Tata nggak mau..." ia merengek.
Aku diam sejenak. Entah apa yang terlintas dalam pikirannya, tapi aku berpikir, soal kematian adalah perkara hakiki yang harus diketahuinya. Ajal di tangan Tuhan. Kalau memang sudah ditakdirkan akan mati besok pagi, siap tak siap, mau tak mau, ia harus menghadapinya.
"Ta... semua manusia itu akan meninggal. Mama juga begitu. Doakanlah agar Mama panjang umur ya Nak, supaya bisa melihat Tata besar, jadi orang hebat. Mama selalu mendoakan Tata supaya menjadi anak shalihah, karena doa anak shalihah itu akan dikabulkan Allah. Kalau nanti Mama meninggal, lalu Tata berdoa pada Allah agar dosa-dosa Mama diampuni, maka Allah akan mengampuninya. Kalau Mama sudah dikuburkan, lalu Tata berdoa, maka kuburan Mama akan menjadi lapang, tidak sempit. Makanya, Tata harus jadi anak shalihah ya Nak..."
"Iya," jawabnya sendu.
"Oya, Tata masih ingat doa untuk orangtua? Rabbighfirli itu lo..."
"Masih," katanya. Lalu kami berdua mengulang doa itu. "Selagi Mama hidup, Tata harus jadi anak shalihah ya Nak, jangan melawan sama Mama, Papa dan kakak. Jangan malas lagi shalatnya, ya," kataku.
"Ma, ma'afkan dosa-dosa Tata ya Ma," ia mengulurkan tangan. Kami bersalaman.
Kulihat ia menarik ujung selimut dan mengusap matanya. Pakai nangis?
Tak lama kemudian, ia kembali mengungkit soal mati itu.
"Tata nggak mau Mama meninggal," katanya.
"Kenapa?" aku memang jadi penasaran, apa yang ditakutinya?
"Iya...pokoknya Tata nggaku mau," ia menangis sedih. Matanya merah dan air matanya tumpah.
"Iya, tapi kenapa?"
"Tata nggak mau melihat Mama jadi tua, terus kesakitan lalu meninggal. Itu yang Tata nggak mau, huhuhu...."
Oh, Sayang...sungguh mengharukan. Sunggah di luar dugaanku.
Jadi itulah ketakutannya. Ia takut melihatku menderita. Ia bukan memikirkan akan seperti apa dirinya setelah aku meninggal. Aku pikir, ia khawatir tidak akan ada lagi yang mengurusnya, membelai atau menggeli-gelikan wajahnya sebelum tidur, membangunkan di pagi hari, menjemputnya pulang sekolah, mengajaknya jalan-jalan, membelikan mainan, dan semuanya.
Aku bahagia memilikimu, Anakku
bangga menjadi ibumu
terharu akan rasa cintamu
semoga segala yang terbaik akan kau dapatkan dalam hidupmu...

"Besok bangunkan Tata subuh-subuh ya Ma, Tata mau shalat," katanya.
"Iya Nak..."

Sepertinya si Tata sudah taubat nasuha malam itu. Tapi ternyata, paginya, ia kembali ke habit semula. Susah bangun. Dan akupun otomatis kembali ke habit semula, jadi cerewet. Romantisme semalam tinggal kenangan...
"TATA....SUDAH JAM TUJUUUUH. CEPAT BANGUUUUUUNNNN!!!!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar