Minggu, 15 Juli 2012

Di Luar Nalar



Saya mengklaim diri sebagai penikmat film. Segala jenis film saya suka (kecuali, maaf,  film horor Indonesia), apalagi film-film yang didasari kisah nyata,  seperti film-film bersetting Perang Dunia I dan II, invasi Amerika ke Irak,  perang di Afghanistan, dan sebagainya.
   
Dalam banyak film perang yang saya saksikan, kekejaman para tentara di medan perang sungguh mengerikan. Menembak tepat di tengah dahi atau mata, kepala pecah dihantam rudal, rumah meledak, dan lainnya. Walaupun ngeri, tetap saja saya masih memakai logika, bahwa itu semata hanyalah film. Kecanggihan teknologi telah membuat orang-orang kreatif di dunia perfilman menjadi demikian leluasa berkreasi. Dan para korban perang di film yang sebelumnya telah hancur kepalanya atau telah cacat permanen, sesungguhnya baik-baik saja di dunia nyata. Mereka masih bisa melakoni peran lainnya di film lainnya.
  
 Sekarang, mari kita balik. Di dunia nyata, ketika manusia sudah bisa membuat pesawat tanpa awak (drone) yang mampu menembak tepat sasaran di darat, ketika roket jarak jauh bisa menembak lintas benua, ternyata masih ada tentara-tentara di medan perang yang melakukan tindakan-tindakan di luar nalar terhadap musuhnya, bahkan masyarakat sipil sekalipun.
   
Seperti di Palestina, tentara Israel dikabarkan membunuh anak-anak Palestina demi memutus mata rantai pasokan pejuang pembebasan Palestina yang seolah tak pernah jera. Di Afghanistan, juga demikian. Tak hanya tentara asing, bahkan Taliban yang notabene menyatakan diri hendak mendirikan negara Islam, pun melakukan hal yang ekstrim. Lelaki perempuan yang menolak mengikuti aturan mereka, akan ditembak di tempat. Tanpa pengadilan, tanpa  kesempatan membela diri. Mayatnya dibiarkan tergeletak di tengah jalan, tempat mereka ditembak dari belakang.
   
Harian Vokal edisi hari ini, Sabtu (9//12) juga memuat berita yang sama. Anak-anak di Suriah juga menjadi korban kekejaman perang. Mereka dibantai bersama sang ibu. Tuduhan pelaku pembantaian ditujukan pada milisi Shabiha. Sebuah situs menyebutkan, milisi ini mengawali gerakannya dengan pemerasan dan penyelundupan.
   
Dalam situs hizbut tahrir, ditulis "...para preman pro-Assad itu melalui desa-desa, rumah-rumah, dan menggorok leher siapa pun yang mereka temukan - termasuk 49 anak-anak. Tepat seminggu kemudian, Shabiha menarik 12 orang pekerja pabrik kelar dari bus di kota Qusayr, 40 mil ke selatan, mengikat tangan mereka di belakang punggung mereka, dan menembak kepala mereka."
   
Alangkah mengerikannya perang. Namun lebih mengerikan lagi melihat orang-orang dewasa membantai anak-anak, bahkan bayi merah berusia dua bulan yang belum tahu apa-apa, atas nama loyalitas buta kepada pemimpinnya. Bisa jadi juga mereka masih merupakan saudara seiman. Saya tak mengerti. Ini sungguh di luar nalar saya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar