Minggu, 29 Juli 2012

Di Masjid Raya Senapelan Pekanbaru, Imam dari Palestina, Serasa Ramadan di Timur Tengah

Sejak awal Ramadan tahun ini, Pengurus Masjid Raya Senapelan, di kawasan Pasar Bawah, Pekanbaru,  sengaja mendatangkan imam seorang hafiz (penghafal Al Quran) dari Palestina. Jamaah yang Salat Tarawih di sana pun, serasa salat di kawasan Timur Tengah atau khususnya Arab Saudi.
               
Seperti pada Sabtu (28/7) lalu, Hafiz Ghassan MM Al-Shorbaji memimpin Salat Isya berjamaah di masjid itu. Bacaannya terdengar jelas, fasih dan tentu saja bernuansa Timur Tengah. Jamaah umumnya datang dari sekitar masjid dan juga beberapa wilayah di Pekanbaru. Sejak kabar tentang kedatangan imam dari Palestina itu menyebar, Masjid Raya Senapelan memang jadi ramai dikunjungi para jamaah yang sebelumnya tidak pernah salat di sana. Mereka tertarik dengan kabar kedatangan seorang hafiz dari Palestina itu.
               
Usai Salat Isya, seharusnya dilanjutkan dengan ceramah agama. Namun karena sesuatu dan lain hal, ustad yang dijadwalkan tidak datang hari itu. Panitia lalu mengambil  kebijakan untuk menyegerakan Salat Tarawih dan Imam Ghassam kembali memimpin salat itu.
               
Ada yang istimewa dengan Salat Tarawih yang diimami para hafiz dari Palestina itu. Mereka membaca Al Quran satu juz satu malam. Salat Tarawih yang dibawakan juga mencapai 20 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Jadi bila tidak ada aral melintang, maka pada malam ke-30 Ramadan nanti, seluruh Al Quran sebanyak 30 juz telah selesai dibaca.
               
Salat dilakukan dua-dua rakaat. Setelah 10 rakaat (5 kali salam), jamaah beristirahat selama lima menit. Air mineral disediakan pengelola masjid secara gratis bagi jamaah yang haus. Kesempatan waktu jeda 5 menit itu dimanfaatkan para jamaah untuk minum, bersuci dan istirahat menjelang salat dilanjutkan kembali. Setelah itu, salat dilanjutkan kembali. Pada rakaat ke 16-20, Ghassam digantikan oleh Imam Masjid Raya Senapelan yang dilanjutkan hingga Salat Witir.
               
Terasa Beda
Suasana masjid itu terasa berbeda dengan masjid lainnya di Pekanbaru. Tidak banyak anak kecil berkeliaran sepanjang ibadah dilakukan sehingga ibadah terasa lebih khusuk. Demikian pula tidak banyak jamaah yang menyusut hingga
rakaat terakhir. Di masjid lain, biasanya jamaah akan mundur dari shaf setelah berjamaah sebanyak 8 rakaat. Shaf yang awalnya lebih dari 10, bisa menyusut hingga tinggal dua saja. Namun di masjid peninggalan Raja Siak itu, tidak demikian.

Hanya segelintir saja jamaah yang mundur. Sebagian besar melanjutkan hingga tuntas 23 rakaat. Seperti malam itu, ada sekitar 6 shaf di bagian pria dan 6 shaf di bagian wanita yang terus bertahan hingga rakaat terakhir.
                 
Secara fisik, masjid ini kurang nyaman digunakan, karena masih dalam proses renovasi. Lantai keramik belum dipasang, sehingga panitia menutupinya dengan terpal, lalu di atasnya dihamparkan karpet. Meskipun demikian, keras dan tidak ratanya permukaan lantai masih terasa.
               
Kekurangnyamanan ini rasanya menjadi hilang dengan adanya 'keistimewaan' lain dari masjid itu menyambut Ramadan kali ini, yaitu mendatangkan imam dari Palestina secara langsung.

               
Tak Suka Ramas
               
Ada kisah menarik tentang kedatangan imam yang hafiz dari Palestina itu. Seperti dituturkan Rika Trisna, Sekretaris II Perempuan Masjid Raya Senapelan. Kedua orang hafiz itu ternyata tak suka makanan pedas.
               
"Katanya itu bisa merusak pita suara dan itu tidak bagus untuk seorang hafiz. Jadinya waktu diberi nasi ramas, dia ambil  nasi putihnya saja, sedangkan bagian sayuran dan lauknya yang bercabe disingkirkan," katanya.
               
Rika juga sempat memberi makan Imam Ghassan yang ditempatkan di sebuah kamar kos oleh pengurus masjid.
"Dua hari saya mengantarkan makanan ke sana. Saya kasih roti canai saja. Sekarang katanya dia makan roti prancis," katanya lagi.
               
Saat Ghassam masuk ke masjid, dengan segera sosoknya langsung dikenali. Raut wajahnya jelas seperti
kebanyakan orang Timur Tengah, dengan jambang hitam lebat. Ia berjalan tenang dalam balutan jubah putih hingga sedikit di atas mata kaki. Imam Ghassam melempar senyum kepada jamaah saat lewat di sela-sela shaf sambil sesekali menggosokkan kayu siwak ke giginya. Mungkin habis berbuka puasa.
               
Tak lama kemudian, Salat Isya berjamaah dimulai. Suara sang imam terdengar membahana memenuhi seluruh masjid, jernih dan jelas. Bagi Anda yang ingin merasakan Salat Tarawih yang beda, tak ada salahnya memanfaatkan kesempatan yang ada, karena belum tentu kita akan bertemu  kembali dengan Ramadan yang akan datang. 

behind the news ...
Jauh-jauh hari aku sudah memproklamirkan pada seluruh penghuni rumah bahwa Hari Sabtu aku akan pergi salat ke masjid itu. Selama hampir 14 tahun merantau ke Pekanbaru, belum sekalipun menjejakkan kaki ke masjid bersejarah itu. Memalukan sekali.

Aku sudah nekat nih, kalau tak ada yang berminat salat 23 rakaat, ya sudah, aku pergi sendiri saja. Untung semua pada mau.

Sejak siang, cuaca mengkhawatirkan. Mendung. Angin bertiup sesekali. Wah, gaswat nih. Aku berdoa pada Allah, mohon  dimudahkan. Jangan sampai batal perginya, karena aku hanya punya kesempatan tarawih Sabtu yang akan datang, saat off kerja. Hiks hiks, please Allah, jangan sampai batal.

"Ma, perut Tata sakiiit..." sore itu, si Tata mengeluh sambil memegang perutnya. Ia masuk ke kamarnya dan meneruskan tidurnya. 

Si Lala, teman lama yang sudah pindah ke Panam sejak awal tahun ajaran lalu, hari itu berkunjung ke rumah. Ia langsung masuk ke dalam kamar Tata dan membangunkannya, ngajak main masak-masakan.

Tapi Tata tak sanggup bangun. Ia terlelap hingga sore.

Aku bahkan sempat membuat donat dengan Rara. Lumayanlah, waktu masih panas, lembut banget itu donat. Sangat menggugah selera.

Maka usai berbuka puasa (yang lain sempat makan nasi, sedang aku tidak karena baru minum obat herbal asam urat yang mengharuskan aku makan 1 jam setelah mengkonsumsinya), kami pun berangkat. Aku bahkan membawa bekal makan malamku dan juga donat itu.

Si Nova entah kemana. Terpaksanya kami konvoi pakai motor. Aku membonceng si Tata sedang Rara dengan papanya. Sepanjang jalan, aku menahan sakit di sendi-sendi yang terasa ngilu. Ini mungkin gara-gara kebanyakan makan dendeng dan rendang hati kiriman dari Padang, dan santan juga. Pokoknya sejak awal Ramadan aku gak kuat bawa motor lama-lama. Tapi malam itu, dalam angin yang rada-rada kencang dan fisik tak fit, aku nekat saja.

Saat Salat Tarawih baru dua rakaat, muncul masalah. Tata muntah di karpet. 'Tata muntah waktu sujud tadi..." katanya dengan wajah pucat. Ni anak memang rada-rada kareh angok, walau berkali-kali dikatakan ia bisa masuk angin kalau tak pakai celana panjang saat tidur di kamar ber-AC, tetap saja senang tidur cuma pakai kolor doang. Apalagi tadi saat sahur ia makan ogah-ogahan. "Sudah kenyang," katanya.

Hampir sepanjang siang ia main game di komputer dalam kamar ber-AC. Ditambah perut kosongnya, tentulaah masuk angin...

Untung aku selalu membawa minyak angin aroma therapi di dalam dompetku. Aku oleskan ke perutnya, lalu ia tidur di samping kakaknya yang tengah Salat Tarawih. Aku melanjutkan salat di shaf belakang. Dua rakaat kemudian, Rara keluar dari shaf sehingga aku bisa mengisi posisinya di shaf kedua dari depan. 

Karena kondisiku yang sedang tidak fit, aku tak sanggup berdiri lama-lama. Maka aku salat dengan cara 2 rakaat sambil duduk, lalu dua rakaat lagi sambil berdiri. Sebenarnya kedua posisi itu sama-sama menyiksa, tapi aku tak mau meninggalkan tarawih malam itu.

Tata terus tidur lelap hingga akhirnya salat usai. Aku bangunkan dia. Dalam hati, sudah merasa ni anak bisa muntah lagi. Dia harus sesegera mungkin keluar dari masjid. Kalau muntah di luar, tentu tak terlalu repot membersihkannya. Bandingkan dengan karpet salat yang panjang itu, bagaimana cara membersihkannya?

Dan ternyata benar, baru tiba di tangga  masjid, Tata muntah lagi. Ia tak mau punggungnya diurut kalau sedang muntah. Maka terpaksalah aku berdiri di sampingnya tanpa berbuat apa-apa. Bagi orang yang tak tahu persoalan, tentulah aku dikira ibu yang tegaan...

"Itu semua yang keluar, batagor tadi..." katanya sambil menunjuk muntahannya. Iya, dia tadi berbuka dengan batagor.

Papanya mencari ember dan mengambil air untuk menyiram muntahan Tata di tangga itu. Air mata menggenang di pelupuk mata gadis kecilku itu. Aku tahu penderitaannya, tapi tak ada yang bisa kutolong untuk saat ini. Sabar ya Sayaang...

Untung juga, beberapa jamaah perempuan yang melihat kondisi Tata, dapat memaklumi. "Masuk angin, kalau perut kosong memang suka begitu," kata seorang ibu bersimpati.

Kami lalu pulang ke rumah. Tata sekarang dibonceng Papanya. Sebentar saja, aku dan Rara tertinggal jauh. Aku tak kuat membawa motor itu tanpa berhenti tiap sebentar untuk meregangkan kedua tanganku yang terasa sakit.

Kami mampir di toko yang masih buka dan aku membeli Tolak Angin untuk Tata. Saat kami tiba di rumah, dia pura-pura tidur. Papanya sudah kabur entah kemana. Aku minumkan Tolak Angin itu dan sekitar 15 menit kemudian, anak yang tadi demikian menyedihkan saat muntah di tangga Masjid Raya Senapelan itu, sudah tertawa-tawa dengan kakaknya.***

nb: foto diambil oleh Andika Orin, fotografer Harian Vokal, Pekanbaru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar