Rabu, 16 Februari 2011

Ketika 'Mama Lagi Gak Ada Duit' Sudah tak Mempan

Waktu menjemput Tata dari TK-nya, beberapa hari lalu, begitu keluar dari pintu kelas, ia sudah ribut minta dibelikan tempat minum yang ada gelasnya, seperti punya Anel, temannya.
Anel memang trend setter bagi Tata. Semua yang dikenakan Anel, selalu menarik baginya. Saat Anel mengenakan baju renang biru dengan motif bunga-bunga, Tata minta dibelikan seperti itu juga. Demikian pula dengan baju muslim Anel yang dipakainya Hari Jumat, sebelum seragam sekolah selesai dijahitkan.
Sekarang, masih Anel yang itu juga, punya termos air baru dengan tutup dwifungsi, sebagai penutup termos sekaligus cangkir. Si Tata tak mau kalah ingin itu juga.
"Ma....iya ya Ma, belikan Tata tempat minum kayak Anel. Bagus Ma. Ada gelasnya," katanya. Kala itu kami sudah berada di atas motorku. Ia berdiri di depan.
"Mama lagi gak ada duit, Ta. Lagian termos Tata kan masih bagus?"
"Jelek Ma....punya Tata itu gak ada gelasnya..." dia masih merengek.
"Aaah...bagus itu. Punya Tata bagus. Belum rusak. Kita tidak boleh mubazir Nak," kalau dengan Rara, selesai sudah pembicaraan sampai di situ. Paham dia. Tapi Tata adalah pribadi yang lain. Ia tetap berjuang mendapatkan termos baru itu.
"Kan Mama punya duit. Ada Tata liat di dompet Mama uang seratus ribu," katanya. 'Dan tinggal segitu-gitunya,' sambungku dalam hati.
Dia masih bergeming. Akhirnya kataku, "Gini deh. Coba Tata ambil daun di pohon itu (ada pohon pelindung pinggir jalan yang banyak sekali gugur daunnya), kumpulkan beberapa helai, terus bawa ke Matahari. Tanyakan ke orang yang jualan di sana, "Berapa tempat minum yang ini Nte?" Terus, Tata bayar aja dengan daun itu."
"Mana mau dia!" cepat dia menjawab.
"Kenapa gak mau?"
"Ya masak pakai daun? Pakai uanglah!"
"Nah itu, Ta. Kita kalau mau membeli sesuatu, pakai uang. Walaupun Mama bekerja setiap hari selama satu bulan, terima gajinya sekali saja. Itulah yang harus dihemat sampai terima gaji sekali lagi, sebulan yang akan datang. Kalau semua uangnya kita belanjakan, mana lagi yang akan kita tabung? Kita kan mau ke Amerika?"
"Tapi Tata mau termos kayak Anel..."
Lama-lama gue jitak juga nih, si Anel.
"Masa semua yang Anel punya Tata harus punya juga sih? Nanti kalau Anel kakinya patah, kamu juga mau kakinya dipatahkan? Sekalian aja ambil mama Anel, adiknya, papanya, tinggal di rumahnya, tidur di sana. Mau? Kalau mamamu diganti, belum tentu Mama Anel mau geli-gelikan mukamu sebelum tidur," sedikit rahasia, kalau aku ada di rumah dan dia akan pergi tidur, tugasku adalah menggeli-gelikan wajahnya. Kadang ada instruksi untuk pindah ke areal tengkuk, leher, atau lengan. Tapi areal wajah itu wajib hukumnya. Belum afdol rasanya dia berangkat tidur tanpa 'tolong geli-gelikan muka Tata,'. Anehnya, ini hanya jadi tugasku. Kakaknya tak pernah diperintah menggeli-gelikan wajahnya. Papanya apalagi.
Mungkin membayangkan akan merana tidur tanpa geli-geli muka, akhirnya dia diam. Tapi beberapa hari yang lalu, berhasil juga ia mendapatkan termos impian itu, setelah 'membajak' papanya. Tapi pagi, saat ia sarapan, kulihat cangkir di termos itu tak digunakannya. Ia tetap minum melalui pipet.
"Tu kan, lihat kan? Kamu gak pakai cangkirnya, tapi pipetnya. Jadi untuk apa termos ini dibeli?" kataku.
Baru menciut dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar