Jumat, 13 Februari 2009

Kabar dari Kampung

Sambil mendorong kereta belanja dimana Rara
duduk dengan nyaman di dalamnya, aku asyik
memilih-milih barang apa yang akan aku beli di
swalayan itu. Ini swalayan paling lengkap yang baru
saja dibuka di Pekanbaru. Segala macam barang ada di
sini. Dan aku paling suka pergi ke counter buah dan
sayuran segar. Aku suka sekali makan apel, anggur,
kiwi dan buah longan yang memang tak pernah ditanam di
Riau. Buah-buah itu merupakan buah impor. Harganya
tentu saja sedikit lebih tinggi, tapi tak masalah.
Suamiku tak akan protes kalau aku menghabiskan uang
untuk buah dan sayur, yang kaya serat sehingga
menyehatkan.

Puas memilih barang, akhirnya aku dan anakku
berjalan menuju kasir. Setelah semua dihitung,
ternyata kami menghabiskan tiga juta dalam satu jam
itu. Aku memang membeli keperluan untuk satu bulan,
mulai dari beras hingga sabun cuci. Kukeluarkan kartu
kredit dan petugas kasir itu kemudian menggeseknya.

Di mobil, sambil mendengarkan The Corrs, suamiku
terlihat tenang menyetir kendaraannya. Ia memang tak
memakai jasa supir kalau akan pergi belanja denganku.
Ia lebih suka kami pergi bertiga saja, tanpa baby
sitter, supir, atau siapa saja. Ini juga semacam
rekreasi kecil buat kami.

“Abang jadi pergi ke KL Selasa besok?” tanyaku
memecah kediaman kami.

“Ya,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari
jalan.

“Aku sama Rara boleh ikut ya? Sudah lama ni, tak
ke KL. Bahkan kalau mungkin kami mau sekalian ke
Genting Highland.”

“Ngape lagi ke sana? Dua bulan yang lalu kan
baru dari sana?”

“Memang, tapi kemarin aku buka situsnya,
ternyata ada permainan baru. Juga akan ada pameran
perhiasan berstandar internasional. Kan rugi kalau aku
tak hadir. Kalau ternyata nanti ada perhiasan bagus,
sayang kalau tidak sekalian kita beli. Kalau sempat
dibawa ke Pekanbaru, harganya bisa dua kali lipat!”

“Jadi sampai sekarang bisnis itu masih Mama
jalankan?”

“Iya dong! Eh, tau tak Pa, Ibu Wali saja
ngilernya setengah mati waktu aku liatkan cincin
berlian yang kita beli tempo hari di Singapura. Ia mau
bayar tinggi lo. Dan ternyata memang tak sia-sia
berbisnis dengan petinggi, karena Ibu Wali itu
kenalannya lumayan juga. Begitu tahu Ibu Wali beli
perhiasan dengan aku, hampir sepuluh istri-istri
kepala dinas menanyakan apakah aku masih punya stok
perhiasan yang ekslusif,” aku jadi bersemangat.

“Hm…”

“Jadi boleh ya? Kapan aku bisa dapat tiketnya?”

“Nantilah, Papa coba hubungi teman yang di
Pelalawan Pulp and Paper itu dulu.”

“Kalau nggak mau, Papa kan tinggal panggil
wartawan, dan bongkar kebobrokan mereka! Gampang kan?
Masa mem-PHK lima ratus karyawannya tak pakai
pesangon! Terus, jangan lupa, ungkit juga isu tentang
putra daerah, pasti mereka tak berkutik!”

“Mama tak usah ngajarin Papa, deh! Itu kan sudah
kerjaan Papa. Tenang sajalah, besok dijamin tiket pp
Pekanbaru-KL untuk empat orang sudah ada di tangan
kita. Kalau bukan dari Pelalawan, kan masih banyak
yang lain. Mama siap-siap aja.”

“Kok empat?”

“Apa si Tini tidak perlu dibawa? Katanya mau
membawa si Rara juga, lalu siapa yang akan menjaga dia
selama Mama belanja?”

“O iya, benar juga.”

Lexus itu masuk ke dalam pekarangan rumah kami
yang luas. Seorang satpam segera menutup pintu pagar
dan menggemboknya.

“Anton! Lepaskan anjing-anjing!” teriak suamiku
pada satpam berwajah sangar yang meronda di dekat
pintu gerbang. Suamiku memelihara beberapa ekor anjing
herder dan anjing peranakan lainnya untuk menjaga
rumah kami. Sebagai lawyer yang sering menangani
kasus-kasus besar, ia memang harus ekstra waspada
menjaga keluarganya agar tidak diganggu oleh
lawan-lawannya.

Tak hanya anjing yang dilepaskan bila malam
tiba, melainkan juga seluruh dinding pagar rumah
dialiri listrik sehingga tikus yang melintaspun akan
mati tersengat. Masih belum cukup, suamiku menyewa
beberapa orang bodyguard dari sebuah perusahaan
sekuritas yang berjaga 24 jam nonstop. Salah satunya,
ya si Anton itu. Tubuhnya kekar, wajahnya keras,
sekeras suaranya. Kumisnya panjang melintang. Ia mahir
menggunakan senjata api karena memang bekas angkatan
laut yang disersi. Masih ada beberapa orang kawan
Anton yang berasal dari Indonesia Timur. Mereka dapat
dikatakan cukup militan. Tak banyak senyum, tak banyak
bicara, dan hanya bergerak bila mendapat instruksi
langsung dari suamiku.

Keesokan paginya, aku dibantu pembantu
memasukkan baju-baju ke dalam koper. Satu koper
untukku, satu koper baju anakku, dan satu koper baju
untuk suamiku. Si Tini, baby sitter kami, telah pula
menyiapkan satu tas pakaiannya. Selagi aku berbenah,
Tini memberi makan Rara yang asyik bermain dengan
boneka-bonekanya.

Begitu siap, aku mengambil notebook dan mulai
mencatat apa-apa yang akan aku beli di KL nanti. Yang
pertama, tentu saja perhiasan-perhiasan itu. Untuk
itu, aku menganggarkan dana Rp500 juta yang sebagian
besar masih ada dalam rekening. Selain itu, akupun
ingin membeli beberapa parfum dari Italia dan Paris,
yang memang sangat digandrungi oleh kalangan ibu-ibu
pejabat.

Baju-baju untuk si Cantik anakku yang sekarang
sedang belepotan dengan bubur, juga sekalian akan aku
belikan di KL nanti. Aku kenal sebuah butik khusus
untuk anak-anak yang menjual segala keperluan
anak-anak, mulai dari pakaiannya hingga keperluan
kamar. Hampir seratus persen perabotan dan pakaian di
kamar Rara merupakan barang-barang dari butik itu.

Gadis kecil kami yang masih berusia setahun itu
benar-benar seperti putri raja. Ini sebenarnya adalah
‘balas dendam’ku pada masa lalu yang serba pas-pasan.
Sebagai anak polisi yang tinggal di asrama, kami adik
beradik tak pernah mengecap nikmatnya tidur di kamar
sendiri. Yang ada kami tidur sekamar dengan ibu bapak,
dalam kamar yang memang cuma satu-satunya. Di dalam
kamar yang tak memiliki jendela itu, diletakkan dua
tempat tidur bertingkat sehingga semua anak dapat
ditampung di sana. Anak laki-laki tidur di bagian atas
sedang yang perempuan tidur di bagian bawah. Bapak dan
mak tidur di tempat tidur yang satunya lagi. Dan di
atasnya tidur dua saudaraku yang lain.

Dapat dibayangkan betapa pengap dan panasnya
kamar itu bila malam tiba. Delapan pasang paru-paru
mengeluarkan karbon dioksida dalam waktu yang sama.
Dan untuk sedikit mengurangi ‘penderitaan’ bapak
membeli sebuah kipas angin yang ditempelkan di
langit-langit kamar.

Keadaan itu kujalani hampir di sepanjang usiaku.
Barulah ketika aku menikah dengan seorang lawyer,
nasib baik mulai menghampiriku. Mulanya ia pulang
membawa mobil bekas buatan tahun 80-an, hadiah dari
salah seorang klien, katanya. Bulan berikutnya ia
membeli sebidang tanah di kawasan sedikit di luar
kota.

Aku bangga pada suamiku karena ia sangat pandai
memanfaatkan situasi. Ia bergaul baik dengan para
wartawan hingga sebentar saja mereka telah
menjadikannya narasumber. Hampir tiap hari wajah
suamiku terpampang di koran dan statement yang
diberikannya dijadikan headline.

Iapun pandai masuk ke lingkungan para birokrat
maupun bisnismen hingga sebentar saja namanya sudah
disejajarkan dengan nama-nama pengacara kondang di
kota ini. Hampir tak ada yang tak mengenal suamiku.
Walaupun ia tidak terlalu gagah, namun senyumnya yang
hangat telah memancarkan aura dirinya. Kata
orang-orang, kharismanya begitu jelas terlihat.

Kalau dulu ia masih menangani kasus-kasus kecil
seperti pembawa 2,5 gram ganja, pemerkosa, atau
pencuri kelas teri, kini ia menangani para pelaku
white collar crime seperti para koruptor, pemilik HPH
yang menyerobot tanah rakyat, ataupun perusahaan yang
bermasalah dengan para buruhnya.

Suamiku bisa membuat mereka menjadi begitu
‘jinak’. Selain karena mereka membutuhkan jasa suamiku
sebagai seorang lawyer, mereka juga takut
topeng-topengnya akan dibongkar.

Dua tahun kemudian rumah megah kami telah
berdiri. Rumah itu menyolok dibandingkan rumah-rumah
lain di sekitarnya. Aku masuk ke dalam rumah itu
dengan perasaan bangga yang serasa hampir meluap-luap.
Kami mengadakan semacam pesta kecil untuk merayakan
rumah baru itu di pinggir kolam renang di belakang
rumah. Para tamu dari kalangan terbatas hadir malam
itu dan menikmati acara dalam sebuah pesta kebun yang
berkelas.

”Tas make up ibu sudah disiapkan Ratmi?” tanyaku
pada pembantu itu, seorang anak keluarga trans asal
Pasir Pangaraian, Rokan Hulu. Usianya masih belasan
tahun, berkulit kuning halus, berambut lurus, dan dua
bola mata yang besar. Melihat sosoknya, jelaslah ia
merupakan gadis keturunan Jawa. Sikapnya serba lembut
dan ia sangat menghormati kami. Bila berjalan di depan
kami, tubuhnya membungkuk dalam sekali. Kalau bicara
dengan kamipun ia tak pernah mengangkat wajahnya. Ah,
bila berhadapan dengannya, aku serasa menjadi seorang
ratu!

Suamiku sering memuji kerjanya. Rapi dan
telaten. Karena kepercayaan itulah aku lebih sering
memilih dia daripada pembantu-pembantu yang lainnya
untuk melayani suamiku. Kalau Ratmi pulang kampung,
suamiku akan membekalinya uang yang lebih dibandingkan
pembantu yang lain. Ditambah dengan tepukan di pundak
dan kata-kata, “Cepat kembali ya Ratmi, kami di sini
membutuhkanmu.” Seorang pembantu yang diberi kata-kata
seperti itu tentu senang sekali karena merasa tuannya
sangat menyukai kerjanya.

Ratmi sudah sangat mengerti, kalau pagi suamiku
ingin sarapan dengan apa dan kalau sore atau malam
saat ia asyik membaca di ruang kerjanya, ia suka minum
apa. Ratmi biasanya baru akan tidur bila suamiku sudah
tak memerlukannya lagi. Sebelum itu, ia siap dipanggil
untuk mengerjakan apa saja. Ah, ia benar-benar tangan
kananku dalam mengurus rumah tangga ini.

Ratmi memeriksa tas mike up yang akan aku bawa.
Diperiksanya dengan teliti apa-apa yang mungkin tidak
ada di dalamnya. Setelah yakin semuanya lengkap, ia
menutupnya.

“Masih ada Bu?” tanyanya dengan tubuh sedikit
dibungkukkan.

“Tidak. Kamu boleh keluar Ratmi.”

“Permisi.”

Aku duduk di jendela, menatap ke kolam renang
yang airnya berkilau oleh terik matahari. Besok, dalam
beberapa jam aku sudah berada di Kuala Lumpur. Sebuah
kota metropolitan yang benar-benar modern. Melihat
bahwa orang-orang di sana berkulit sama dengan kita
dan berbahasa nyaris sama pula, ada semacam
kecemburuan melihat kemajuan mereka. Terkadang aku
membayangkan diriku menjadi bagian dari mereka. Ah,
alangkah nikmatnya.

Tiba-tiba handphoneku berdering. Kulihat sederet
nomor asing yang muncul di layarnya. Malas berurusan
dengan orang tak dikenal, kuabaikan saja. Namun
handphone itu terus berbunyi. Akhirnya dengan sedikit
kesal aku mengangkatnya.

“Ya!” kataku tak sabar. Sengaja kubikin tegas
agar orang di seberang tak berani main-main.

“Kakak? Ini Kak Dela kan?” suara lelaki di
seberang sana.

“Ya, ini siapa?”

“Assalamualaikum Kak, ini Tedi.”

“Tedi! Apa kabar?” aku jadi riang mendengarnya.
Itu adik bungsuku. Mestinya tahun ini ia menamatkan
SMA-nya.

“Kakak belum menjawab salamku…” sedikit merajuk
ia.

“Oh! Waalaikumsalam…”

“Bagaimana kabar kakak? Sehat? Si Rara
bagaimana?”

“Sehat, sehat, kami semua sehat. Kapan engkau
nak kemari?”

“Besok-besoklah. Takla hari ni, tak da duit do!”

“Aah… engkau ni… tak da duit, tak da duit!
Menyindir kau ya!”

“Betul kak, tak da duit. Ini aku menelepon dari
wartel, karena pulsa ha-pe aku dah lama abis dah.”

“Engkau ini betul-betullah! Iyalah, nanti aku
kirimkan duit untuk beli pulsa. Lima puluh ribu
cukup?”

“Tak usahlah kakak repot-repot memikirkan pulsa
hape aku tu. Sekarang, ade yang lebih penting dari
pulsa tu.”

“Ape?”

“Tapi aku minta maaf dulu ni kak, karena ape
yang nak aku sampaikan ini tak seijin mak dan bapak.”

“Ape ni?” aku mulai khawatir.

“Kak, kami di kampong sekarang betul-betul
sedang susah. Tau tak kak, untuk mencukur rambut saja
bapak tak ada duit. Mak tu sudah puasa dari Senin
sampai Kamis, supaya beras tak cepat habis. Tolonglah
kami Kak, hanya kakak dari keluarga kita yang kaya.
Lain tidak. Usahaku di pasar juga tak banyak membantu.
Maklumlah, tak hanya kita sekeluarga, orang
sekampongpun sedang susah saat ini.”

“Engkau ada usahe apa di pasar? Lalu sekolah
engkau macam mane?”

“Itulah, kakak tak pernah menghubungi kami. Aku
dah setahun ni dah tak sekolah. Uang pensiun bapak tu
hanya cukup buat beli beras saje. Sekarang ni, aku
jadi pedagang kaki lima di pasar. Kadang aku jual
bawang putih, besok kunyit, besok entah tukar lagi,
mana yang cukup modalnye.”

“Astaga… maafkan kakak ya Ted, kakak selame ni
tak memperhatikan kalian. Lalu, bapak dan mak sekarang
macam mane?”

“Sebenarnye sudah lama aku nak menelepon ke
tempat kakak, tapi dilarang sama mak. Mak bilang, tak
usah, mak tak mau menerime uang dari kakak. Entah ape
sebabnye. Sempat juge aku beteking (1) sama bapak,
tapi jawabnye same saje. Sekarang aku nekat aje lagi
kak, karena sudah kasihan betol same mak dan bapak.”

“Tunggulah, hari ini kakak pulang. Kakak
transfer uang siang ni ke rekening engkau satu juta
ya, engkau belilah ape-ape yang diperlukan untuk mak
dan bapak,” setelah itu kumatikan handphone itu.

Lama aku terduduk di kursi itu. Terbayang
keadaan di kampung tempat mak dan bapak hidup
menghabiskan masa tuanya. Kini mereka menahan haus dan
lapar karena tak punya uang untuk membeli makanan!

Aku teringat ketika suatu hari dengan
bersemangat kuceritakan bagaimana sepak terjang
suamiku dalam profesinya sebagai pengacara. Bapak
mengangguk-angguk dan mak mendengarkan saja dengan
tenang. Betapa bangganya aku karena punya suami yang
berkarir cemerlang.

Namun saat aku memberikan satu amplop berisi
uang untuk mak, dengan halus mak menolaknya.

“Tak use lah.. bapakmu masih punya pensiun. Itu
sudah cukup untuk mak. Sedekahkan saje uang tu untuk
fakir miskin.”

“Ah! Mak ni, dikasi duit tak mau. Ini satu juta
mak, satu juta! Cukup untuk hidup tiga bulan,” kataku
sedikit kesal sekaligus tersinggung.

Mak tetap menolak, demikian pula dengan bapak.
Akhirnya kutinggalkan saja uang itu di atas meja.
Kupikir, nanti kalau aku pergi, pasti uang itu akan
diambil juga. Namun ternyata tidak. Tedi mengatakan,
tanpa melihat isinya, uang itu disedekahkan bapak ke
mushalla di dekat rumah. Aku mendengar kabar itu jelas
sangat tersinggung. Apa salahnya aku membantu orang
tuaku? Karena itulah, hampir setahun, tepatnya sejak
kelahiran anak pertamaku, tak pernah lagi aku
menghubungi mak dan bapak di kampung. Merajok (2)

Mak memang pernah datang ke rumah saat cucunya
lahir, namun kehadiran mak di rumah inipun membuatku
kesal. Pasalnya, mak tak mau makan. Kalaupun makan,
dibuatnya lauk sendiri, yang bahan-bahannya dibeli
dari uang kantongnya sendiri. Alasannya, sudah
terbiasa dengan masakan sendiri dan lidahnya tidak
cocok dengan cita rasa pembantu kami yang orang Jawa.

Seminggu di rumah, mak lalu kembali ke kampung.
Uang yang aku berikanpun masih tak diterima. Mak
menyelipkannya di bawah bantal anakku hingga saat aku
mengangkatnya, amplop berisi uang satu juta itupun
terlihat. Sekali lagi aku dibuat tersinggung!

Siang ini aku akan pulang. Sudah setahun aku tak
mengunjungi kedua orang tuaku. Sudah setahun pula aku
tak pernah mendengar kabar dari mereka. Aku sibuk
dengan duniaku sendiri.

Kuambil handphone dan kuhubungi suamiku yang
masih di kantornya. Suamiku langsung memberikan ijin
sekaligus menitipkan uang untuk mak dan bapak.
Katanya, kalau perlu, tinggalkan di kampung sampai
besok pagi.

Dengan membawa dua lembar pakaian ganti, akupun
pergi. Rara sengaja tak kubawa mengingat besok ia juga
akan melakukan perjalanan jauh ke KL.

Aku sengaja memakai Baleno, karena Lexus terlalu
menyolok. Itu bisa mengundang bahaya. Walaupun Anton
ikut dalam mobil itu untuk mengawalku, namun tetap
saja aku khawatir menggunakan Lexus itu.

Tiga jam perjalanan, aku sampai di depan rumah
mak dan bapak yang sederhana. Rumah itu dibangun dari
uang pensiun bapak, sedikit demi sedikit. Dapurnya
masih diberi dinding papan dan dinding di bagian depan
rumah belum lagi diplester.

Begitu aku masuk, rona keterkejutan jelas
terlihat dari wajah kedua orang tuaku.

“Masuklah,” kata bapak. Tubuhnya yang kurus
terlihat jelas dibalik baju koko yang dikenakannya.
Bapak duduk di kursi rotan dan mak dengan songkok
hitam yang telah usang dan baju gamis dari bahan yang
kasar, duduk di sampingnya.

Tedi, adik bungsuku, keluar dari kamarnya dengan
wajah tegang.

“Kak,” katanya singkat.

“Kau duduk di sini, Ted, sekalian dengarkan
sekali lagi ape yang nak bapak cakapkan ni,” kata
bapak.

“Tedi sudah mengatakan, bahwa ia tadi menelepon
engkau Dela. Terus terang, bapak marah sangat dengan
die ni. Tak perlulah die menelepon engkau ke Pekanbaru
hingga engkau datang kemari. Perkare ape yang die
sampaikan kepada engkau lewat telepon itu, usah engkau
hiraukan. Bapak baek-baek saje, mak engkau juge… jadi
uang tu…”

“Jadi bapak tak mau menerima uang tu? Apelah
salahnye saye membantu bapak dan mak?” potongku dengan
kemarahan tertahan.

“Memang tidak ada salahnye,” kata mak sabar.

“Lalu? Kenape selame ni mak tak mau terime?”
suaraku meninggi. Air mata menggenang di pelupuk mata.

Mak diam. Bapak juga. Kedua orang tuaku itu
saling berpandangan. Tangisku pecah.

“Baiklah,” kata bapak kemudian.

“Bukannya kami tak mau menerime, Dela. Seperti
yang engkau bilang dulu, dengan uang satu juta kami
bisa hidup tenang selame tige bulan. Tapi masalahnye…”

“Apa!?” aku menahan geram.

“Kami tak tahu apakah duit tu halal atau tidak…”
kata makku sambil menatap ke dalam mataku. Napasku
kian sesak oleh tangis menahan perasaan yang dapat
diungkapkan lewat kata-kata.

“Kami sudah cukup bahagie dengan keterbatasan
ini Dela. Bapak tak merase berat harus puase dari
Senin sampai Kamis. Bapak yakin, rejeki kami pasti
ade. Allah itu tidak akan sie-sie dengan hambaNye,”
kata bapak.

Aku berlari ke pangkuan mak dan bersimpuh di
kakinya. Tangisku kian keras, pecah tak terbendung.
Lama aku tersedu di kaki mak, hingga akhirnya tubuhku
diangkat mak. Kulihat wajah yang tua dan lelah itu
berurai air mata.

“Engkau anak mak yang paling banyak rejekinya.
Adekah engkau mengeluarkan hak anak yatim Nak? Juga
fakir miskin? Pernahkah engkau bertanye, apakah uang
itu halal atau tidak? Sebab ape-ape yang kite makan,
akan menjadi darah dan daging. Bila yang engkau makan
tak halal…” mak mengusap rambutku.

“Mak tak merase susah dengan keadaan ni. Soal si
Tedi tak sekolah, itu karena memang kemauan die, bukan
karena bapak tak ade duit untuk biaye.”

“Bapak juge, Dela. Ini bukan siksaan atau
cobaan. Tapi kemauan kami sendiri. Kalau engkau ingin
tahu, dulu semase masih dinas, banyak peluang yang
bise bapak manfaatkan agar rumah kite bagos, banyak
kamar, dan banyak makanan. Bapak juge bise membeli
tanah berhektar-hektar untuk dijadikan kebun sawit.
Tapi semua itu tidak halal, sementara bapak punya
tanggung jawab untuk menjadikan kalian enam orang adik
beradik menjadi anak-anak yang shaleh dan shalehah.”

“Kini, pulanglah, renungkan ape-ape yang bapak
dan mak katakan tadi. Bukan salah kalau kite jadi
kaye, Nak, tapi yang lebih penting bagaimane care
untuk kaye itu.”

Kuusap sisa air mata. Saat aku pamit dari rumah
itu, kucium tangan kedua orang tuaku. Sungguh ini
adalah pelajaran yang sangat berharga.

Sepanjang perjalanan aku termenung. Banyak hal
melintas silih berganti dalam pikiranku. Tentang
suamiku yang lawyer itu, tentang sepak terjangnya
hingga mendapatkan uang demikian banyak, tentang anak
kami yang makan lahap sekali, adakah semua itu didapat
dengan cara yang halal?

Wajarkah seorang lawyer yang tidak setiap hari
mendapatkan kasus besar, dalam tempo beberapa tahun
saja bisa memiliki kekayaan seberlimpah yang kami
miliki saat ini? Wajarkah rumah kami semewah itu,
pengawal sebanyak itu, dan barang-barang mewah seperti
yang kami miliki saat ini?

Dan lebih penting, berapa banyak yang telah
masuk ke dalam tubuh kami, menjadi darah dan daging,
dan membuat kami tetap hidup dan bernafas hingga hari
ini? Adakah semua itu halal? Dan mobil ini, pejabat
manakah yang telah menyogok suamiku agar terbebas dari
dakwaan?

Sebuah keputusan kuambil malam itu. Sopir
kusuruh menghentikan mobil. Lalu aku turun dari mobil
itu. Kulepaskan sepatu, emas permata yang melekat di
badan, dan juga sejumlah uang yang masih utuh di dalam
tas tanganku. Kuambil selendangku dan mengenakannya di
kepala. Anton yang duduk di jok depan, ikut turun
bersamaku.

“Ada apa Bu?” tanyanya sopan.

“Aku akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki.
Kalian pergilah. Aku ingin sendiri. Banyak yang harus
aku pikirkan sambil berjalan.”

“Tapi ini malam Bu, di pesawangan lagi. Bahaya!”

“Aku serahkan diriku pada Allah!”

Anton mengambil handphone dari saku bajunya.
Terlihat ia menekan beberapa nomor dan tak lama
kemudian, “Sial, tidak ada sinyal!”

Aku memulai langkahku. Baleno itu masih hidup,
namun tak bergerak, tertinggal di belakang. Aku terus
berjalan dan berjalan. Aku tak mau lagi memandang ke
belakang. …(*)

Pekanbaru, 12 Oktober 2004 dan edisi revisi pada
8 Desember 2004

Keterangan
1. bersikeras
2. merajuk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar