Kamis, 05 Februari 2009

Banjir

ASTAGA! Banjir! Jono melompat dari tempat tidurnya. Air sudah nyaris menyentuh kasur sementara istrinya masih melingkar nyaman ditempatnya. Anak mereka ada diantara Jono dan istrinya.
“IIen!Bangun!Bangun oy!Banjir nii!” teriak Jono panik.
Istrinya terbangun juga akhirnya. Bayi mereka yang baru berusia tiga minggu menggeliat dalam bedungnya. Bibirnya yang kecil merah bergerak-gerak mencari puting susu ibunya. Tak lama kemudian meledak tangisnya. Keras melengking. Tapi deru hujan lebat yang menghantam atap rumah mereka mengalahkan tangis itu. IIen serta merta membuka behanya dan menyodorkan puting susunya yang hitam ke dalam mulut bayi itu.
Jono bergegas ke ruang tamu dan melihat kursi rotan dan meja telah melayang-layang dalam genangan air. Televisi bekas yang baru sebulan dibelinya dari tukang tadah di Pasar Bawah itu juga telah direndam air separuhnya.
“Pantek!Tipiku!” serunya marah. Iapun berlari mengejar televisi itu dan menaikkannya ke atas lemari. Walaupun hatinya ragu televisi itu masih dapat digunakan, namun ia merasa sayang bila barang itu dibiarkan tenggelam oleh banjir.
Tangis si kecil sudah tak ada. Namun bunyi gemuruh hujan di luar sana demikian mengerikannya. Langit seolah akan runtuh. Dan memang tak lama kemudian, terdengar bunyi sesuatu yang jatuh di bagian belakang rumah. Jono berlari dengan susah payah ke belakang dan melihat memang atap dapur itu sudah ambruk. Piring dan gelas plastik melayang-layang di depannya.
Sekali lagi sumpah serapahnya keluar. Ia kembali ke kamar. Istrinya telah selesai menyusui si kecil.
“Bagaimana ini bang?” tanya IIen.
“Kita harus pergi dari sini. Kalau hujannya begini terus, kita bisa tenggelam!”
“Tapi hujan sederas ini…”
“Kita tunggu sebentar lagi,” kata Jono mengambil keputusan.
Listrik sudah lama dimatikan. Bahkan ketika hujan belum lagi turun. Sejujurnya listrik di rumah mereka telah dimatikan sejak tiga minggu yang lalu karena Jono tidak membayarnya pada pemilik rumah kontrakan.
Namun setengah jam kemudian, saat air sudah sampai ke paha mereka, hujan belum juga reda. Mereka sudah berdiri di atas kursi agar tidak basah. Demikian pula istrinya, kepayahan takut jatuh karena berat badannya dan si kecil. Jono dan istrinya tak bisa menunggu lagi. Dengan sebuah payung yang telah patah tangkainya, Jono membawa istrinya pergi dair rumah itu.
Bertiga mereka menembus hujan yang deras luar biasa itu. Yang pertama dituju adalah jalan raya yang lebih tinggi dari sungai. Langit malam yang gelap gulita sesekali diterangi oleh cahaya petir yang menggelegar. Bayi dalam gendongan IIen pun menangis.
Begitu sampai di jalan raya, mereka melihat telah banyak tetangga yang juga mengungsi ke sana. Sama seperti mereka, tak banyak yang mereka bawa kecuali beberapa helai pakaian. Jono sendiri malah tidak membawa apa-apa. Hanya istrinya yang membawa beberapa helai pakaian bayi mereka.
Untunglah ketua RT mereka cepat tanggap. Dalam keadaan panik itu, datang sebuah mobil bantuan entah dari mana. Para wanita dan anak-anak dipersilakan naik duluan dan mereka dibawa ke gudang beras yang sedang kosong tak jauh dari tempat itu.
Gudang itu memang gudang beras. Ada dua gudang, yang satu kosong sedang satunya lagi penuh dengan beras. Di gudang kosong itulah para korban banjir itu ditempatkan sementara. Lazimnya gudang, tempat itu kosong melompong kotor oleh pasir dan beras yang berceceran. Aromanya sungguh tidak sedap bagi hidung yang belum terbiasa.
IIen segera mengambil tempat di sudut. Sepertinya tempat itu paling hangat buat bayinya. Ia berdoa semoga bayi kecil yang masih berusia tiga minggu itu baik-baik saja berada di gudang beras itu. Semoga tidak alergi, tidak jadi rewel, dan sebagainya. Keadaan yang ini saja sudah cukup merepotkan. Apalagi ditambah dengan sakitnya si kecil.
Orang-orang yang lain sibuk dengan diri mereka sendiri. Para wanita yang sudah punya anak mengumpulkan anak-anak mereka dan membatasi wilayah mereka dengan beberapa tas dan barang-barang lain yang sempat diselamatkan.
Terdengar pula sumpah serapah dari mulut mereka. Ada-ada saja alasan untuk mengeluarkan kata-kata itu seperti anak-anak yang tidak mau diatur, suara tangis yang memekakkan telinga, ataupun teritorial yang dilanggar tetangga sebelah.
Dalam hiruk pikuk itu, kaum lelakipun berdatangan. Keadaan makin gaduh. Jono berkeliling mencari istrinya sambil berteriak-teriak memanggil namanya. Setelah mereka bertemu, yang pertama ditanyakan Jono adalah keadaan bayi mereka. Setelah merasa pasti bahwa anak dan istrinya baik-baik saja, Jonopun keluar dari tempat itu.
Diluar, hujan telah berhenti. Udara dingin dan gulita yang mencekam membuat lelaki itu menggigil. Sungai Siak bergelombang di depannya. Ah, ini sudah yang ketiga kalinya sejak ia dan istrinya tinggal di kawasan itu. Kawasan Rumbai Pesisir yang selalu menjadi langganan banjir setiap kali musim hujan tiba. Walaupun sudah diperingatkan teman-temannya untuk tidak tinggal di sana, namun Jono tak punya pilihan. Sakunya hanya cukup untuk menyewa sebuah gubuk reot berlantai tanah di pinggir sungai itu. Apa boleh buat. Namun itu sudah cukup baginya, juga bagi istrinya, daripada harus menumpang pada orang tua.
Jono menghisap sisa rokoknya dalam-dalam. Memandangi Sungai Siak yang diam, namun seolah mengancam untuk tidak coba-coba menaklukannya. Seperti seekor ular besar yang tenang berwibawa, sekaligus menakutkan.
Ia ngeri membayangkan dirinya tenggelam di sungai yang demikian dalam itu. Ah, jangan sampai itu terjadi. Ia tak ingin anaknya tersia-sia. Sebagai seorang lelaki, ia sungguh bahagia mengetahui anaknya terlahir laki-laki. Dan yang lebih membuat dadanya serasa akan meledak bahagia adalah rupa anak itu yang betul-betul mirip dengannya. Air matanya menggenang di pelupuk begitu melihat rupa makhluk kecil itu. Tangannya yang kecil merah dengan jemari mungil bergerak ke luar dari bedung. Dengan hati-hati Jono menyerahkan bayi kecil itu kepada istrinya.
Jono sudah membayangkan anak itu akan tumbuh menjadi anak yang banyak akal seperti kancil. Kemana-mana tak mengenal rasa takut. Dan ia akan sangat bangga membawanya kemana-mana, ke hutan, ke pasar, kemana saja.
Hujan telah reda. Sisanya, berupa rintik-rintik yang ramai dan seolah gembira, turun tak putus-putus.
Lamunan Jono tiba-tiba terputus ketika serombongan pengungsi lainnya datang. Mereka berombongan datang dengan truk sampah yang mengeluarkan bau tak sedap. Terlihat beberapa orang lelaki membawa tas-tas dan beberapa alat elektronik. Anak-anak dan kaum perempuan membawa pakaian dengan buntelan di pundak mereka. Ada juga seorang pemuda yang hanya membawa setumpuk kertas dan sebuah mesin ketik. Itukah hartanya?
Di antara perempuan itu, mata Jono tertuju pada seorang perempuan muda. Ia basah kuyup. Pakaian yang dikenakannya melekat ke tubuhnya hingga ia terlihat telanjang. Lekuk-lekuk yang seharusnya tak dinikmati orang lain terpampang jelas di depan mata Jono. Lelaki itu merasakan darahnya memanas. Naik ke kepala, lalu turun ke tubuhnya bagian bawah. Ada yang mengejang di sana.
Ia teringat IIen yang belum lagi melewati masa nifas empat puluh harinya. Ia belum bisa didekati. Dan entah mengapa, sejak si Jono kecil itu lahir, ‘Jono kecil’ yang lainnya menjadi tak berarti lagi bagi istrinya.
Dan perempuan itu, yang berpakaian tapi bertelanjang itu….Apakah ia memang sengaja didatangkan setan untuk dirinya? Sesekali ia melirik kearah Jono hingga lelaki itu salah tingkah. Jantung Jono seakan ingin meloncat keluar. Ah, gairah apa ini? Mengapa harus datang pada saat seperti ini? Mengapa perempuan itu menatapnya dengan tatapan yang hanya dimengerti oleh nafsunya?
Perempuan itu masuk ke gudang diikuti tatapan Jono yang tak membiarkannya lenyap begitu saja. Perempuan itu sesekali masih juga menoleh kearah Jono. Lalu setelah barang-barangnya yang tak seberapa selesai ia letakkan begitu saja, ia perlahan bangkit. Ia menuju ke luar gudang. Tak ada yang memperhatikan….kecuali Jono.
Perempuan itu tanpa berkata-kata berjalan ke balik gudang. Matanya mengisyaratkan agar Jono mendekat. Dan seperti terhipnotis, lelaki itu mengikutinya.
Begitu tiba di balik gudang yang gelap, tak terdengar suara orang. Hanya bunyi baju yang robek, tubuh yang berdebam jatuh….dan ketika Jono keluar dengan wajah lega, ia sudah tak mengenakan pakaiannya lagi. Dan perempuan itu telah mengenakan pakaian baru. Baju itu sedikit kebesaran untuk ukuran tubuhnya. Tapi masih sedikit lebih baik, dan lebih tebal, dan tentu saja, tidak basah lagi.
Jono pergi ke pinggir sungai dan membakar rokok terakhir yang dimiliknya. Kini ia menghembuskan asap itu dengan perasaan lega yang tak terkatakan. Sepertinya beban yang selama ini menghimpit telah diangkat dari dirinya.
Sialan, mengapa sundal itu harus datang ke sini? Dimana ia tinggal? Dulu Jono pernah menjalin hubungan terlarang dengan sundal itu. Setahun yang lalu, saat ia belum lagi mengenal IIen. Sebagai pelacur kelas bawah, sundal itu memilih tempat mangkal di Jalan Arengka, bersaing dengan para waria dan pelacur lainnya. Dan Jono yang lelah sepulang dari membawa truk balak akan dengan senang hati menerima uluran tangannya untuk memijat dan melepaskan urat-urat yang tegang. Namun sebagaimana layaknya hubungan antara pedagang dan pembeli, tak ada yang istimewa selain itu.
IIen yang melihat suaminya bertelanjang dada, sedikit heran. Namun ia tak terlalu hirau.
“Mana baju abang?”tanyanya sambil lalu.
“Abang kasih sama orang di luar, kasihan, ia basah kuyup,” katanya, “Mana baju bersih abang?”
“Ambil dalam tas itu!” IIen menunjuk sebuah tas yang tidak terlalu besar di dekat kepala anak mereka. Dalam hati IIen bersyukur, tak salah ia memilih suami, walaupun keadaan mereka juga serba kekurangan, namun masih ingat untuk membantu orang lain, bahkan baju yang dikenakannyapun rela ia berikan kepada orang lain. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar