Kamis, 05 Februari 2009

Ramadhan Dulu dan Sekarang

Suatu hari, guru agama saya, Amri Awiskarni, bertanya pada kami, murid kelas satu sebuah sekolah Inpres. "Siapa yang sudah hafal buah sembahyang?" Begitu kami dahulu menyebut istilah "bacaan shalat" masa kini.
Dengan penuh semangat saya mengancungkan tangan, sambil berkata, "Saya, Pak! Saya, Pak!"
Saya senang sekali, karena memang sudah lama hapal buah sembahyang. Sayang, saat saya menoleh ke seluruh ruangan, ternyata hanya saya sendiri yang mengancungkan jari.
Pak guru menyuruh saya maju ke depan untuk membacanya sekaligus melakukan gerakan shalat. Dengan lancar saya membacanya hingga selesai.
Momen ketika saya mengancungkan tangan dengan penuh semangat, seorang diri tanpa ada saingan dari 24 murid lainnya, masih segar melekat di ingatan saya. Alangkah bangganya. Alangkah manisnya masa-masa pertama kali sekolah di SD dulu. Setiap pagi, kami dibiasakan senam pagi, lalu mengumpulkan sampah yang berserakan sebelum masuk ke dalam kelas. Guru akan bertanya, siapa yang tadi pagi melaksanakan shalat subuh, siapa yang menggosok gigi, dan lain sebagainya. Setiap Senin pagi, kuku-kuku diperiksa, apakah sudah dipotong atau belum. Alangkah bangganya saya karena tak pernah lupa semua itu.
Kini, saat saya mengajarkan anak saya shalat, terutama shalat subuh, saya katakan, mungkin nanti di sekolah ibu gurunya akan bertanya seperti guru saya dulu. Anak saya menjawab dengan lesu, "Tidak pernah ditanya begitu."
Demikian pula ketika Hari Minggu saya akan memotong kukunya, saya katakan, mungkin besok pagi ada pemeriksaan, seperti yang rutin saya alami selama SD dulu. Sekali lagi anak saya berkata, "Tidak pernah."
Tahun ini saya mengajari Si Sulung berpuasa. Untuk menyemangatinya, saya ceritakan pengalaman masa kecil saya dulu, bahwa saya ikut main meriam bambu, mendengar dongeng menjelang adzan Maghrib berkumandang, dan shalat tarawih beramai-ramai di masjid. Saya juga diberi tugas oleh guru, harus bisa menghapal beberapa surat pendek. Nanti saat sudah kembali ke sekolah, ayat-ayat pendek ini akan diujikan di depan kelas.
Kini, zaman telah berubah. Si Sulung tidak punya tugas apa pun dari guru agamanya berkaitan dengan Ramadhan ini. Tidak ada yang memotivasinya untuk mencoba berpuasa sebulan penuh, selain iming-iming hadiah yang saya janjikan. Tidak ada sepotong ayatpun yang ditugaskan oleh gurunya untuk dihapal sepanjang Ramadhan ini.
Memikirkan itu, sebagai orangtua saya menjadi sedih. Ramadhan ini akan terasa berat bagi Si Sulung, karena di antara teman-teman sebayanya, hanya dia sendiri yang berpuasa seharian penuh. Ia pun tidak begitu bersemangat untuk menghapal doa-doa ataupun surat-surat pendek seperti saya kecil dulu. Alasannya, tidak ada suruhan dari guru. Padahal, semangat belajarnya cukup tinggi, terbukti PR-PR untuk pelajaran lain yang diberikan guru kelasnya untuk masa satu bulan liburan, sudah tuntas diselesaikan meski Ramadhan masih lima hari berjalan.
Sebagai orang awam, saya tidak mengerti, apa salahnya pola pendidikan zaman dulu? Dengan pendidikan Jadul itulah saya bertahan hidup hingga hari ini. Sekolah saya hampir mirip dengan sekolahnya Ikal dan anggota Laskar Pelangi. Sekolah itu dibangun di tengah rawa, hingga untuk membawa materialnya dari pinggir jalan harus menggunakan perahu. Bila hujan turun, banjir menggenangi hingga setinggi paha. Namun, kami memiliki guru-guru yang hebat dan berdedikasi tinggi. Seingat saya, selama bertahun-tahun, sekolah Inpres itu mencetak rekor kelulusan 100 persen, dengan nilai NEM yang sangat memuaskan. Kami pun masuk ke SMP negeri sesuai rayon. Sedikit sekali yang masuk ke sekolah swasta, karena kualitas sekolah negeri selalu jauh lebih baik dibandingkan sekolah swasta.
Terbalik dengan zaman sekarang. Para orangtua lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta, karena menilai sekolah swasta lebih berkualitas ketimbang sebagian sekolah negeri. Kenyataannya, memang demikian. Buktinya, sulung saya, bolos beberapa hari pun tidak pernah ditanya oleh gurunya. Beda dengan saya dulu, tidak ada kami yang berani bolos karena suasana sekolah sungguh membuat rindu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar