Jumat, 13 Februari 2009

Mencari Bapak

Aku duduk di atas pangkuan perempuan itu. Ia
mendekapku erat-erat. Angkutan pedesaan yang hampir
rubuh itu terseok-seok ke kiri dan ke kanan,
menghindari lubang demi lubang, kubangan lumpur demi
kubangan lumpur. Sesekali kepalaku membentur dagunya
dan kami sama-sama mengaduh.
“Sst, tidak apa-apa Sayang, tidak apa-apa.
Sakit sedikit ya. Sebentar lagi kita akan
sampai,” bujuknya.
Dari tadi dia bilang sebentar lagi, sebentar lagi.
Tapi kami tak kunjung turun dari angkutan yang penuh
sesak itu. Ada anak sekolah, ibu-ibu yang baru pulang
dari pasar, dan juga para lelaki. Semua duduk
berdesakan, bercampur dengan aneka keranjang, sayur,
dan barang-barang rumah tangga lainnya. Udara terasa
pengap. Dua orang lelaki separuh baya terlihat asyik
merokok daun nipah. Asapnya memenuhi ruang yang sempit
itu. Aku terbatuk-batuk. Perempuan yang memangkuku
mengusap-usap punggungku.
Kulihat di sekeliling kami penuh dengan
pohon-pohon tinggi. Tinggi ramping, rapi berjejer
seperti sepasukan polisi yang sedang apel pagi. Kebun
karet. Entah dimana ujungnya, aku tak tahu.
Kami akhirnya turun di mulut sebuah jalan setapak.
Jalan itu sepertinya membelok ke kiri, tertutup oleh
sebatang pohon rindang.
Aku diturunkan dan kurasakan kakiku pegal semua.
Perempuan yang tadi memangkuku juga turun. Dikemasinya
tas pakaianku. Setelah itu dibimbingnya tanganku dan
kami mulai berjalan menyusuri jalan setapak itu.
“Mulai hari ini engkau akan tinggal dengan mak.
Panggil aku mak ya.”
“Tapi…” aku ragu. Makku bukan dia.
Baru tadi pagi aku bertemu dengannya.
“Makmu sekarang kan dipenjara, jadi engkau
sekarang tinggal denganku. Nanti setelah makmu bebas,
engkau boleh tinggal dengan dia lagi.”
Aku tak mengerti apa yang dikatakannya. Penjara? Apa
itu? Baru sekali itu aku mendengar nama itu. Apakah
ruangan kecil dengan jeruji, dimana kita tidak bisa
bebas keluar masuk itu?
“Nah, itu rumah kita. Kalau ada yang bertanya,
katakan kau anakku yang dulu tinggal dengan datukmu di
tempat lain, mengerti?”
Aku mengangguk.
Aku melihat sebuah rumah panggung sederhana dari kayu
dan tidak dicat. Ada tangga kayu di depan pintu.
Halamannya yang kecil berisi beberapa batang nenas,
tomat, dan cabe.
Mak baruku itu mengambil kunci dari dalam kutangnya.
Lalu ia membuka pintu dan kamipun masuk. Kutebarkan
pandang ke seluruh ruangan. Ada sebuah kamar di sisi
kiri pintu masuk. Tidak berpintu, hanya diberi kain.
Tak ada kursi tamu, hanya tikar pandan yang digelar di
lantai kayu. Di sisi kanan ada pintu lagi dan kukira
di sanalah dapur karena kulihat sekumpulan kayu bakar
di atas para-para.
“Letakkan tas kau itu di sana, lalu ke
sini. Ambil air di dalam drum itu, kita akan
memasak,” perintahnya sambil berjalan ke arah
dapur itu.
Aku segera meletakkan tasku di dekat pintu
masuk, bergegas pergi menuruni empat anak tangga,
lalu sampai ke lantai tanah yang telah mengeras di
dapur itu. Kuambil sebuah panci plastik dan membuka
pintu ke arah luar rumah. Di depan pintu ada sebuah
drum besar bekas aspal berisi air. Air hujan yang
ditampung untuk keperluan sehari-hari. Di dalam drum
itu kulihat beberapa helai daun mati mengapung dan
puluhan jentik-jentik nyamuk berenang leluasa.
Kuambil air dengan panci itu lalu masuk ke dalam
rumah. Perempuan itu tengah berusaha menghidupkan api
di tungku. Ia sibuk meniup lewat seruas bambu kecil.
Dapur itu kini dipenuhi oleh asap. Setelah api
menyala, ia mengambil sedikit beras dan mulai
mencucinya hingga bersih, lalu memasaknya.
“Kau bisa mengambil daun ubi di belakang
sana?” tiba-tiba perempuan itu berkata padaku.
Aku mengangguk. Tanpa bicara kukerjakan apa yang
disuruhnya.
Saat aku kembali, mak baruku itu tengah membuat telur
dadar di atas tungku. Aromanya membuat perutku terasa
melilit oleh rasa lapar. Ah, sejak tadi pagi memang
belum makan nasi. Kami hanya sarapan sepiring lontong
sebelum pergi ke terminal bus dan pergi meninggalkan
kota itu.
Air liurku memenuhi rongga mulut saat telur
dadar itu diletakkan ke dalam piring plastik.
“Letakkan di atas meja itu ya. Tutup dengan
tudung,” perintahnya.
Setelah makanan kami siap, kami makan di dapur
itu. Sesudahnya aku disuruh mencuci piring-piring itu
dan sekalian mandi. Saat aku naik lagi ke dalam rumah,
kulihat rumah itu telah diterangi oleh sebuah lampu
teplok. Pintupun sudah ditutup.
Aku duduk di dekat pintu masuk itu, atau tepatnya
di dekat tas pakaianku. Perempuan itu duduk di
seberangku, bersandar pada dinding sambil berselonjor.
“Semoga kau betah di tempat yang sunyi ini,
Siti,” katanya sambil menatapku. Aku diam saja.
Kutundukkan kepala sambil menatapi bajuku.
“Tak mungkin kau tinggal dengan makmu.
Bagaimana sekolahmu, masa depanmu.”
“Tapi aku senang tinggal dengan mak,”
kataku perlahan.
“Tapi tetap saja itu tak mungkin!”
Hatiku kecut. Ah, sedang apa mak saat ini? Kemarin
kalau malam-malam begini kami tidur dalam gelap.
Walaupun pada awalnya aku takut gelap, namun sejak
tinggal dengan mak di tempat itu, aku jadi terbiasa.
Mataku mulai dapat melihat bayangan demi bayangan yang
terpantul oleh sinar lampu yang lemah dari puncak
menara.
Mak adalah satu-satunya anggota keluargaku. Kami
terdampar di kota itu setelah sebulan lebih mencari
ayah yang tak kunjung ditemukan.
“Kita akan mencari ayahmu, Nak. Kita tak
mungkin tinggal di sini terus. Menumpang di rumah
orang dan dilecehkan karena tak punya uang,”
kata Mak sambil memasukkan beberapa lembar pakaiannya
ke dalam tas. Pakaianku sendiri dimasukkan ke dalam
tas yang lain yang lebih kecil.
Malam itu, menumpang sebuah truk seorang teman
bapak, kami pergi dari rumah itu. Rumah nenek dari
pihak bapakku. Bukan orang lain sebenarnya. Tapi ibu
bilang sudah tak tahan lagi. Tadi pagi ibu pergi ke
pekan dan menjual cincin kawinnya, satu-satunya barang
berharga yang masih tersisa, untuk bekal kami mencari
bapak.
Kami tidak pamit pada siapapun. Kami pergi
diam-diam tengah malam saat semua orang sedang
tertidur lelap. Mak memegang tanganku yang kecil,
bahkan hampir menyeretku berjalan mengikuti langkahnya
yang lebar-lebar dan tergesa.
“Ayo cepat, nanti dia berangkat!”
kata Mak padaku.
Dan memang, sopir yang kami tumpangi sudah
menghidupkan mesin mobilnya. Terlambat beberapa menit
saja, tentu kami sudah ditinggal.
Sopir truk itu seorang lelaki yang gemuk,
berperut buncit dan berkumis tebal. Saat melihat kami
menaiki truknya, ia menyeringai.
“Kau sudah paham kan, imbalan yang aku
minta,” kata lelaki itu sambil mengerling pada
Mak. Kulihat rahang Mak mengeras sebelum ia
mengangguk.
“Kita akan berhenti saat subuh nanti, di
sebuah warung makan.”
Truk yang memuat kayu-kayu balak itu bergerak
membelah malam. Perjalanan yang terasa lama sekali.
Aku tertidur sambil menyandarkan kepala di paha Mak.
Ketika subuh akhirnya truk itu berhenti, aku
terbangun oleh kerasnya bunyi bantingan pintu mobil.
Kulihat Mak juga bersiap-siap untuk turun.
“Tunggu di sini ya Nak, jangan turun sampai
Mak kembali. Kau mengerti?”
Aku mengangguk.
Kulihat Mak turun dari truk dan berjalan ke arah
belakang kendaraan beroda banyak itu. Setelah itu tak
ada yang dapat kulihat karena pekatnya malam. Namun
perasaanku diliputi rasa tidak enak yang tak
dimengerti. Beberapa saat kemudian Mak datang lagi
dengan wajah dan rambut kusut.
“Mak mau mandi sebentar di kedai itu. Kau
tunggu di sini saja ya!” kata Mak sambil membuka
tas pakaiannya.
Tak lama kemudian sopir truk itu datang. Ia
menyeringai pada Mak sedang Mak langsung membuang
muka. Sepertinya telah terjadi sesuatu diantara
mereka.
Selama itu, aku tetap berada di dalam truk itu.
Mencoba tidur kembali walau tak bisa. Sopir truk
terlihat menghirup kopinya yang masih mengepulkan asap
di kedai pinggir jalan. Banyak truk pengangkut kayu
balak yang terlihat parkir di tempat itu. Selesai Mak
mandi, aku diberi segelas teh panas dan beberapa
potong pisang dan ubi goreng.
“Makanlah ini. Nanti setelah sopir itu
selesai istirahat, kita akan melanjutkan
perjalanan,” kata Mak. Kumakan sarapan pagi itu
dengan nikmat karena memang perutku lapar sekali.
Truk itu bergerak kembali setelah matahari mulai
meninggi. Kira-kira tiga jam kemudian kami mulai
memasuki daerah perkotaan. Sopir truk itu menurunkan
kami di sebuah pom bensin sembari mengatakan bahwa
truknya tidak boleh memasuki kota. Jadi kami harus
menyambung perjalanan ini dengan menaiki kendaraan
penumpang.
“Leha, kalau engkau kekurangan uang, aku
bisa memberikan pekerjaan. Cari aku di pom bensin ini,
setiap hari Rabu pukul tujuh malam. Itu jadwalku
masuk kota membawa kayu balak,” kata sopir itu
sebelum pergi.
Aku dan Mak lalu meneruskan perjalanan. Entah
kemana langkah akan dituju, aku tak mengerti. Yang
jelas, seperti kata Mak, kami tak punya saudara di
kota ini. Mak hanya mengira-ngira, dimana bisa
menemukan bapak.
Mak mencari-cari ke pasar, ke tempat-tempat
pembangunan ruko dan gedung-gedung bertingkat,
berharap bapak bekerja sebagai kuli di sana. Namun
hingga senja tiba, sosok yang sangat kami rindukan itu
tak jua berjumpa.
Selama pencarian itu, aku diseret-seret terus
oleh Mak, dengan sebuah tas berisi pakaian di bahuku,
terasa berat dan melelahkan. Ketika siang kami
kelaparan, Mak membeli sebungkus nasi dan menyuruhku
makan dulu sekenyangnya. Sisanya barulah Mak yang
menghabiskan.
Ketika malam tiba, Mak terpaksa mencari penginapan
untuk kami bermalam. Sewanya tidak terlalu mahal,
namun tetap saja terlalu berat untuk kami. Malam
itulah pertama kali aku tidur dengan AC. Dinginnya
menggigilkan. Kupeluk Mak erat-erat dan merasakan
hangat lengannya di dadaku. Sesekali kurasakan Mak
mengusap rambutku.
Keesokan paginya, kami memulai kegiatan yang
sama. Mencari warung untuk membeli sepiring lontong,
aku makan duluan hingga kenyang dan Mak
menghabiskannya. Lalu kami memulai pencarian itu
kembali. Namun sia-sia saja.
“Uang kita sudah hampir habis. Bagaimana
ini Nak? Bapakmu belum juga kita temukan,” kata
Mak padaku malam itu di kamar hotel. Aku menyelimuti
diri dengan selimut tebal hingga yang terlihat hanya
wajahku.
“Ah, coba besok kita cari sopir truk yang
dulu itu. Mudah-mudahan ia punya pekerjaan untuk kita
sehingga Mak punya uang lagi,” kata Mak.
Keesokan harinya, malam pukul tujuh, aku dan Mak
pergi lagi ke pom bensin di pinggir kota itu. Tak lama
menunggu, lelaki itupun muncul dengan truknya yang
penuh lumpur.
Ia menyeringai saat melihat kami. Mak menyuruhku
menunggu di sebuah kedai di seberang jalan sementara
Mak pergi dengan lelaki itu, menjauh dariku. Entah apa
yang mereka lakukan, yang jelas Mak kembali dengan
rahang mengatup rapat. Namun ada sebuah bungkusan
sebesar bata di dalam bajunya.
“Apa itu Mak?” tanyaku saat kami
kembali ke hotel malam itu.
“Ini barang dagangan Mak. Nanti tengah
malam akan ada orang yang menjemputnya ke sini. Tapi
kau tidur saja Nak, ini urusan Mak.”
“Apa isinya Mak?”
“Entahlah, Mak juga tak tahu.”
Aku tak tahu apa yang terjadi malam itu. Yang
jelas ketika paginya aku bangun, kulihat wajah Mak
cerah. Kami makan nasi goreng masing-masing satu
piring dengan segelas teh manis. Mak bahkan mengajakku
ke pasar dan membelikan sehelai pakaian bagus dan
sepasang sendal baru. Hari itu kami tidak mencari
bapak.
Hari itu dan hari-hari berikutnya, Mak pergi
sendiri. Aku dititipkan di rumah seorang kenalannya
yang baru sekali itu kujumpai. Baru sorenya Mak
kembali. Malam itu kami tidur di rumah kenalan baru
Mak.
Keesokan harinya, aku ikut lagi dengan Mak. Sekarang
kami pergi ke toko emas dan membeli dua pasang
anting. Untukku dan untuk Mak. Mak juga membeli
sebuah cincin yang mirip dengan cincin kawinnya dulu.
Saat Mak memasangkan anting itu di telingaku, aku
mengaduh menahan sakit dan air mata menggenang di
pelupuk.
“Kalau sudah lama tak dipakai, lubang di
telingamu itu jadi mengecil, makanya sakit. Tapi nanti
pasti segera membaik.”
Aku menahan rasa perih itu. Setelah itu Mak
menyeret-nyeretku lagi di sepanjang jalan, dari satu
komplek pembangun ruko ke komplek pembangunan mall.
Namun bapak tak jua kami temukan.
Seminggu kemudian, Mak kembali menemui sopir truk
balak itu lagi. Kali ini Mak membawa bungkusan yang
lebih besar. Kami pulang ke penginapan dengan wajah
cerah. Mak berjanji padaku, besok pagi kami akan ke
pasar dan membeli baju baru untukku. Tak hanya satu,
tapi dua!
“Nanti malam akan datang orang ke kamar kita.
Kau tidur saja Nak, biar Mak yang mengurusnya.”
“Apakah besok kita akan mencari bapak
lagi?”
“Entahlah… Mak sekarang jadi ragu,
jangan-jangan bapakmu tidak pergi ke kota ini.”
“Bagaimana kalau kita pulang saja Mak?”
“Tidak, lebih enak di sini Nak. Apalagi
sekarang Mak sudah punya pekerjaan.”
Maka akupun menutupi tubuhku dengan selimut,
melindungi diri dari dinginnya AC. Kulihat Mak
membedaki wajahnya dan mengolesi bibirnya dengan
gincu. Lalu, perlahan-lahan ia menyisir rambutnya,
penuh perasaan.
Perlahan-lahan kupejamkan mata.
Tengah malam itu, aku terbangun oleh suara gaduh di
depan pintu kamar. Kudengar suara Mak walau tak
jelas. Lalu ada suara lelaki. Berat dan besar. Lalu
ada bunyi tamparan dan jeritan Mak.
Aku melompat dari tidurku dan berlari ke luar. Di
sana kulihat kedua tangan Mak ditarik ke belakang oleh
seorang lelaki besar sangar. Kumisnya panjang dan
wajahnya sungguh membuatku takut.
“Maak!”
“Itu anak saya! Biarkan ia ikut dengan
saya!” seru Mak. Aku berlari mengejar Mak dan
memeluknya erat.
“Ah! Bocah ini mau kau ajak pula ke dalam
sel?!” seru lelaki itu.
“Dasar!” sambung temannya.
Aku memegang baju Mak erat-erat dan berjalan tanpa
alas kaki mengikuti orang itu. Mak masih ribut
mengomel-ngomel. Berdua kami dinaikkan ke dalam sebuah
mobil dan didudukkan di bak belakang, diantara para
lelaki berwajah sangar itu.
Kami dibawa ke sebuah kantor. Aku tak bisa membaca,
tapi aku tahu, itu kantor polisi. Jelas terlihat dari
seragamnya.
Mak ditanyai macam-macam, dan aku tetap di
sampingnya, memegang erat ujung bajunya. Aku tak
mengerti, mengapa mereka harus marah pada Mak karena
telah menjual ganja. Aku tak tahu apa itu ganja. Apa
salahnya orang berjualan ganja?
“O, jadi kau menjual ini untuk biaya hidup
selama di sini?” tanya seorang polisi itu.
Mak mengangguk.
“Tau kau kalau itu isinya ganja?”
Mak menggeleng.
“Siapa yang membelinya?”
“Orangnya kurus, rambutnya panjang, tapi
wajahnya tidak jelas karena gelap dan ia pakai
topi,” kata Mak.
“Coba kau ingat-ingat lagi. Masa tak kenal?
Makin banyak informasi yang kau berikan, makin ringan
hukuman kau. Atau kau mau lama-lama di dalam? Lalu
anak kau ini, mau kau apakan?”
Aku menatap polisi itu sambil menahan geram. Sikapnya
sungguh merendahkan Mak. Nada bicaranya juga sangat
meremehkan.
Tanya jawab itu berlangsung lama. Aku sampai tertidur
di pangkuan Mak. Dan ketika terbangun, kami sudah
berada di dalam sebuah ruangan berjeruji.
Bau pesing sungguh menyengat. Di sudut ruangan yang
sedikit tersuruk, terlihat genangan air, mungkin
itulah sumber bau itu. Hawa terasa panas.
Aku satu-satunya anak kecil dalam ruangan itu. Aku
memegangi tangan Mak semakin erat. Kami duduk di sudut
dekat pintu.
“Kenapa kita ada di sini Mak? Apa bapak bekerja
di sini?” tanyaku tak mengerti.
Mak tak menjawab, hanya memandangku sebentar. Lalu
Mak memalingkan muka. Diusapnya kepalaku.
Sehari itu kami hanya duduk dalam ruangan itu tanpa
melakukan apapun. Sorenya, datang seseorang yang
membawakan tas pakaian kami dari penginapan. Isinya
berantakan seperti baru saja diaduk-aduk. Dalam tas
itu kutemukan sepasang sendal baru yang dibelikan Mak
untukku.
Selagi aku asyik dengan sendal baru itu, kulihat Mak
berbicara empat mata dengan lelaki itu. Berbisik-bisik
di dekat jeruji. Ia di luar dan kami di dalam.
Malam itu, listrik mati lagi. Keadaan benar-benar
gelap gulita. Bahkan lampu di atas menarapun tidak
menyala. Dalam gelap itu, aku mendengar
langkah-langkah orang mendekati sel kami. Pintu sel
dibuka dengan hati-hati dan sosok hitam tinggi besar
itu masuk.
Setelah itu, walau begitu samar, kulihat dua sosok
bergumul di lantai yang dingin. Ada suara napas
memburu seperti orang yang sedang menarik beban berat,
erangan yang tertahan, dan suara sesuatu bergesekan
dengan lantai. Aku membalikkan tubuhku menghadap
dinding berusaha memejamkan mata dan menutup telinga.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara lelaki itu
berbisik. “Besok malam, temanku akan datang ke
sini. Kalau kau terus begini, aku jamin, hukumanmu
takkan lebih dua tahun.”

*****
“Anakku, mungkin Mak akan lama tinggal di sini.
Engkau ikutlah dengannya. Nanti kalau Mak sudah bebas,
Mak akan menjemputmu,” kata Mak padaku pagi itu
saat seorang perempuan datang ke sel kami. Kulihat air
mata menggenang di pelupuk mata Mak.
“Tapi Mak, aku ingin di sini!”
“Tidak Nak, tak mungkin kau disini,
pergilah.”
Perempuan yang baru datang itu memegang tanganku.
Sedikit paksa ditariknya aku agar segera menjauh dari
Mak. Kini air mata telah jatuh di wajah Mak. Demikian
pula dengan air mataku. Kami saling menatap dalam
tangis yang tertahan. Tiba-tiba Mak memelukku erat.
* * * * *
Malam itu terasa panjang. Bunyi jangkrik dan binatang
malam lainnya ribut bersuara. Sepertinya mereka
sedang berpesta karena hujan lebat baru saja turun.
Udara terasa sejuk cenderung dingin. Aku tak dapat
memejamkan mata. Terbayang Mak meringkuk sendirian di
lantai sel yang dingin. Sedang apakah Mak saat ini?
Masih ingatkah Mak padaku, yang tercampak jauh entah
di sudut dunia yang mana?

Pekanbaru, 27 Mei 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar