Selasa, 17 Februari 2009

Opera Melayu Tun Teja Ketika Rindu Dendam Menemukan Obatnya

Opera Melayu Tun Teja yang digelar selama tiga hari berturut-turut di Anjung Seni Idrus Tintin , Pekanbaru (29-31/8) lalu ternyata mendapat sambutan yang sangat menggembirakan dari khalayak. Inilah wujud rindu dendam masyarakat akan pertunjukan yang berkelas, namun tetap tak meninggalkan ciri khas kemelayuannya, menemukan obatnya.
Indikasi tingginya minat masyarakat untuk menyaksikan opera pertama yang digelar di Riau ini dapat dilihat dari jumlah penonton. Penonton selalu melebihi kapasitas tempat duduk yang disediakan panitia. Selain itu konon kabarnya dua nomor telepon yang disediakan panitia sekali tiga menit berdering, meminta tiket agar bisa menonton. Luar biasa.
Pada hari pertama pertunjukan, pengunjung terlihat sudah mulai berdatangan sejak satu jam sebelum pertunjukan. Dua dara yang pertugas di pintu masuk tak dapat berbuat banyak ketika satu undangan digunakan untuk empat sampai lima orang penonton. Tak apalah, demi dahaga yang tak pernah terpuaskan ini.

Tak punya pembanding
Bisa jadi hampir semua penonton adalah masyarakat yang awam dengan opera. Bahkan tidak sedikit yang baru pertama kali menyaksikan pertunjukan bernama opera. Karena itulah, mereka tak punya pembanding. Tidak heran pula saat diskusi apresiasi digelar usai pertunjukan di hari ketiga, yang didapat para pemain dan orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan itu pujian semata. Tepuk tangan memenuhi ruangan besar itu tiap sebentar.
Bagi sang sutradara sendiri, Marhalim Zaini, pertunjukan itu bukan tanpa cacat cela. Walaupun kecil, namun ada beberapa kendala teknis yang syukurnya tidak terbaca oleh mata awam para penonton. Tidak berlebihan bila ia mengatakan puas dengan pertunjukan itu. Demikian pula dengan produser pertunjukan Al Azhar yang mengatakan pertunjukan opera ini dapat dikatakan sukses bila tolak ukurnya sesuai atau tidak dengan rencana awalnya.
Bakat orang muda
Sebagian besar pemain di Opera Melayu Tun Teja ini adalah para kaum muda. Mereka terdiri dari anggota choirs, pemain opera, dan pemain musik yang tergabung dalam Bandar Serai Orchestra. Orang-orang muda berbakat ini mampu menghadirkan sebuah tontonan alternatif yang mungkin bagi sebagian kita yang terlalu sibuk dengan urusan politik, pilgubri, kesehatan, harga barang kebutuhan pokok, dan lain sebagainya, tak pernah terlintas. Ya, seperti yang disampaikan oleh Marhalim, Hikayat Hang Tuah ternyata memiliki bagian-bagian yang tak patut dibanggakan, tak patut ditiru.
Hang Tuah yang gagah, perkasa dan wira, ternyata tak sanggup menaklukkan seorang perempuan bernama Tun Teja hingga harus memakai guna-guna. Setelah itu, Tun Teja dengan semena-mena dijadikan 'upeti' bagi Sultan Melaka, hanya sebagai bukti kesetiaan Hang Tuah pada sang raja.
Dalam perspektif orang-orang tradisi, apa yang dilakukan Hang Tuah tak ada kaitannya dengan kewiraan. Tindakannya mengguna-gunai Tun Teja bukanlah sesuatu yang memalukan. Namun tidak bagi Marhalim yang merasa terusik dan mencoba mengeksplorasi lebih dalam kepedihan hati Tun Teja. Ranah interpretasi semacam ini tentu asing dan mungkin juga tabu bagi orang-orang tradisi, namun tidak bagi kaum muda yang menurut Marhalim, dapat bebas bermain dengan imajinasi. Hasilnya, sebuah pertunjukan yang patut mendapatkan ancungan jempol.

Soundsystem
Soundsystem pertunjukan ini ternyata dikeluhkan oleh banyak penonton. Karena para pemain menggunakan clip on yang terhubung ke speaker, suara yang kemudian terdengar oleh penonton demikian keras. Terutama bagi mereka yang kebetulan kebagian tempat duduk persis di depan speaker. Ironisnya, suara ini menjadi tak jelas ketika Bandar Serai Orchestra memainkan komposisi musiknya, sama kerasnya dengan suara sang pemain di atas pentas. Suara tak jelas ini juga terasa ketika pemain mengucapkan dialog terlalu cepat sehingga sulit ditangkap oleh penonton di bagian belakang.
Anjung seni ini memang belum siap. Itu kata saktinya. Jadi tak ada yang dapat disalahkan. Bahkan kita patut berterima kasih pada panitia yang telah mengupayakan sedemikian rupa agar bengkalai gedung ini layak digunakan, layak menerima tamu-tamu penting, meski beberapa faktor pendukung sebuah gedung opera belum lagi ada.

Anugerah Sagang
Pertunjukan opera melayu Tun Teja merupakan nominator Anugerah Sagang, anugerah seni bergengsi yang diselenggarakan sekali setahun oleh Yayasan Sagang yang berada di bawah grup Riau Pos. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar