Senin, 09 Februari 2009

Interogasi Tengah Malam

Malam, pukul 23.59 WIB
Udara terasa dingin. Embun mulai turun. Nyamuk-nyamuk beterbangan liar. Aku membukakan pintu untuk suami yang pulang dari lembur.
"Sudah mengantuk?" tanyanya. Lampu teras yang temaram mengirimkan raut wajahnya yang lelah, tapi bahagia (semoga).
Aku menggeleng. Hanya sedikit lelah, jawabku.
"Ambillah, kursi, kita duduk di sini dulu sebentar," katanya padaku.
Aku menurut. Pikirku, daripada di dalam rumah juga tak bisa tidur. Terkadang pembicaraan kami sangat menarik. Kurasa karena kami merasa setara, tak ada yang lebih tinggi atau rendah. Itulah salah satu yang aku syukuri dari perkawinan ini, karena Allah menganugerahkan suami yang memandang istrinya setara dengannya. Di depannya, aku bebas mengungkapkan perasaan ataupun pikiranku, tanpa merasa ada tekanan ataupun penolakan darinya. Ia menghargai pendapat-pendapatku, mendebatnya bila perlu, atau menolaknya. Diskusi kami seringkali berjalan dengan menyenangkan dan dinamis. Seperti kemarin, kami berdebat hebat soal partai politik yang akan kami coblos di Pemilu nanti.
"Duduklah, ada yang ingin abang tanyakan," katanya. Serius.
Deg! Aku merasa ada yang lain. Kalimat pembuka itu agak kurang enak terdengar. Sepertinya serius sekali. Ada apa?
Aku duduk di sampingnya dengan tenang. Tapi hati dan pikiranku berkecamuk. Ada apa?
"Oke, " katanya kemudian. "Kamu sudah siap?"
"Ya," jawabku.
"Mau menjawab dengan sejujur-jujurnya?"
Ada apa ini? Ia mau menanyakan soal apa? Apakah ia baru saja mendengar sesuatu yang buruk tentang aku di luar sana?
"Ada apa?" tanyaku.
"Jawab dulu, kamu mau jujur?"
"Iya."
"Tidak akan berbohong?"
"Tidak."
"Sekali lagi aku tanya, jawablah sesuai kata hatimu yang paling dalam, oke?"
"Oke."
Duuh, aku kian tak enak. Deg-degan dari tadi.
"Baiklah," dia memperbaiki posisi duduknya, "kita dalam beberapa hal berbeda pendapat bukan? Ada hal-hal yang menurut Abang benar, ternyata menurutnya tidak. Demikian pula sebaliknya."
Apa maksudnya ini? Aku semakin tersiksa.
"Jadi..." ia menggantung kalimatnya. Aku menunggu dengan tak sabar.
"Abang mau tanya, partai apa yang akan kamu pilih di pemilu nanti?"
"Apa?! Jadi ini soal PEMILU????"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar