Jumat, 13 Februari 2009

Perempuan Itu Sudah Mati!

Perempuan itu sudah mati!
Aku bergidik melihat ia terus menyetrika lembar demi lembar pakaian yang terserak di atas meja. Tak segaris senyumpun di bibirnya. Tubuh itu bergerak bagai robot, kaku.
Perempuan itu sudah lama mati.
Aku mengintip dari balik koran pagi yang tengah kubaca. Ia masih di sana. Sekarang kulihat ia tengah menyetrika pakaian dalamku. Dalam diam. Dulu biasanya ia suka usil, dilemparkannya celana dalam itu ke arahku hingga aku terkejut dan ia tertawa-tawa senang.
Pada kesempatan lain giliran aku yang melemparkan celana dalam itu ke wajahnya dan ia cemberut sebentar, kesal karena kecolongan. Kadang ia menenteng pakaian dalam itu dengan cara menjepitnya dengan ujung-ujung jari seolah itu barang yang amat sangat menjijikkan. Dan aku dengan gemas merebutnya lalu kami saling lempar. Perang pakaian dalampun terjadi di kamar itu. Celana dalamku dan kutangnya melayang-layang di udara dalam riuhnya suara kami.
Itu setahun yang lalu.
*****
“Deek! Kopinyaaa!” aku berteriak seperti biasa sambil melemparkan jaketku ke kursi. Kuhempaskan tubuh yang letih ini ke dipan rendah di depan televisi.
Ia datang tergopoh-gopoh, basah kuyup sehabis mencuci.
“Sore-sore begini masih mencuci? Apa saja yang Adek kerjakan selagi Abang ke kantor?”
Ia menatapku cemberut. “Itu pertanyaan yang menjengkelkan sekaligus merendahkan. Abang tak lihat kalau di bawah tudung sudah penuh dengan makanan, rumah sudah rapi, dan lantai sudah mengkilap?”
Aku tertawa melihatnya cemberut.
“Jangan marah Adinda. Sekarang tolong buatkan kopinya.”
“Sekali-sekali kenapa tidak Abang saja yang buat? Aku sedang repot ni, cucian belum beres!”
Aku menggeliat seperti anak kecil di atas dipan itu. Dengan geram ia pergi dari ruangan itu. Baru selangkah, aku memanggilnya kembali.
“Eh, Dek, sini dulu.”
Ia datang lagi.
“Tolong remotenya.”
“Mana?”
Aku menunjuk dengan bibirku benda itu. Tergeletak di atas televisi.
“Please lah Abang, kalau minta tolong itu yang benar-benar urgen, masak ngambil rimot aje tak bisa?”
Bukannya tidak bisa, tapi aku malas dan sedang ingin bermalas-malasan.
Ia berlalu ke sumur untuk meneruskan cuciannya.
“Deek… kopinya…”
“Astaga, iyaaaa….”
Aku tertidur dan televisi itu masih menyala. Saat adzan Mahgrib berkumandang dari surau di dekat rumah, ia membangunkanku. Mukenanya sudah terpasang menutupi tubuhnya dan hanya menyisakan wajah.
“Bangun Bang, sudah Mahgrib, tak shalat?”
Aku menggeliat.
“Atau aku matikan tivinya ya? Jangan hanya aku yang disuruh berhemat sementara Abang membuang-buang listrik macam ni.”
“Jangan, jangan matikan. Abang mendengarkan berita.”
“Shalatlah dulu Bang. Sudah lama kita tak shalat berjamaah.”
“Duluan sajalah Dek. Abang masih mengantuk.”
Aku mendengar ia menggerutu. Lalu suara pintu dibuka. Rupanya ia pergi shalat ke surau. Aku meneruskan tidur.
“Astaghfirullaah… Abang, belum juga bangun? Neraka wel untuk orang yang melalaikan shalat! Sudah pulang pula orang dari surau, die belum juge bangun. Cepatlah sikit Bang…”
“Iya iya, sebentar lagi.”
“Hari dah gelap dah, abang masih juga belum bangun. Tak baik tidur senja-senja raye ni Bang.”
Terganggu dengan kecerewetannya, aku bangkit juga. Pergi ke sumur, mandi alakadarnya lalu shalat. Tak lama kemudian adzan Isyapun berkumandang. Ia mengomel-ngomel lagi.
Kami lalu makan malam dengan menu seadanya.
“Rindu juga Abang makan asam pedas baung. Bisa Adek buatkan besok?”
“Mana uangnya Bang?” ia balik bertanya sambil menyendokkan nasi ke dalam piringku.
“Lihatlah ini Bang, tak lama lagi kita akan punya anak. Dengan penghasilan Abang saat ini, manalah cukup untuk masa depan anak kita?” sambungnya.
“Jadi? Macam mane?”
“Ya.. seperti yang sering Siti bilang, Siti ingin bekerja lagi Bang.”
“Mau kerja ape? Di rumah sajalah… urus anak tu.”
“Tapi lama-lama Siti bosan Bang… kerja ituu terus. Mencuci, memasak, menyapu, menyetrika… tak ada perubahan. Siti ingin pula macam orang-orang tu, pergi pagi pulang petang, pakai baju bagus.”
“Sudahlah, urusan mencari uang, urusan Abang. Adek urus rumah sajalah.”
Seperti biasa ia cemberut mendengar jawaban itu.
Tak disangka anak yang telah lama kami harapkan meninggal di dalam kandungan. Siti seperti hendak gila ketika itu. Susah payah aku menenangkannya. Sejak itu ia sering melamun. Rumah berantakan. Tudung sering kosong. Debu setebal jari menutupi televisi dan juga lantai rumah. Pakaian menumpuk setinggi gunung tak kunjung disetrika.
“Dek, kalau macam ni terus, abang tak sanggup do.” kataku saat kami hendak makan malam itu. Ia memindahkan sebungkus gulai cencang daging ke dalam cawan. Sejak kematian anaknya, membeli lauk dari rumah makan adalah kebiasaan baru kami.
“Siti ingin bekerja lagi.” katanya perlahan sambil menekurkan wajah ke piring kosong di depannya.
“Tidak. Abang tidak setuju. Lihatlah rumah kita, macam berhantu karena tak pernah Adek urus lagi.”
Kulihat setetes air jatuh ke dalam piring kosong itu.
“Perempuan itu tugasnya mengurus suami dan anak-anaknya.”
“Tapi, anakku…” ia terisak-isak.
Merasa bosan dengan kejadian itu ke itu terus, aku memutuskan untuk bersikap tegas. Kupukul meja hingga suaranya terdengar hingga ke seberang jalan.
“Sudah, Abang sudah muak dengan ini semua. Ikhlaskanlah anak kita, dan berdoa saja semoga Allah menggantinya dengan yang lebih baik. Jangan menangis terus. Kita harus tetap hidup!”
Tangisnya kian keras. Darahku kian menggelegak. Mengapa pula bedebah ini tak kunjung diam?
“Siti! Diam! Hentikan tangis itu!”
Tangisnya semakin keras.
Aku melempar piringku ke dinding hingga pecah berderai. Siti menjerit terkejut. Aku pergi dari rumah. Semalaman tak pulang.
Keesokan paginya, subuh-subuh, aku melihat rumah itu penuh cahaya. Bahkan pintu depan sudah dibuka. Terlihat Siti sedang menyapu. Saat aku masuk, kulihat ruang tamu yang bersih, sekuntum mawar segar merekah dalam jambangan.
Terus ke ruang keluarga, kulihat dipan rendah tempat aku biasa merebahkan diri bermalas-malasan, rapi dan bersih. Alas kasurnya tegang tanda belum ada yang menaikinya. Bau segar kain yang baru dikeluarkan dari lemari semerbak memenuhi udara. Di kamar tidur, tak kulihat lagi kain bergelantungan di dekan pintu. Tempat tidur yang biasanya berantakan, sekarang sudah rapi. Dan ketika aku ke ruang makan, di bawah tudung telah tersedia aneka makanan. Asam pedas baung kesukaanku, cah kangkung, dan kerupuk ubi.
“Siti… wah.. sepagi ini sudah beres semua?” aku jadi senang. Segera kubalikkan piring yang ditelungkupkan Siti di pinggir meja. Kuambil nasi dan mulai menyantap hidangan itu.
Aku tak memperhatikan bahwa Siti tak ada di sana. Aku terlalu asik dengan makanan itu.
Begitu aku selesai mencuci tangan, kulihat Siti tengah menyetrika pakaian. Wajahnya dipenuhi peluh.
“Wah, Siti, enak kali asam pedas baungnya.”
Tak ada jawaban. Perempuan itu terus menyetrika satu demi satu pakaian yang terserak di atas meja.
Dan ternyata itu adalah awal dari malapetaka itu. Sejak itu, ia hampir tak pernah kudapati tidur. Ia terus bekerja dan bekerja. Pagi-pagi menyetrika, memasak, membereskan rumah, menyetrika lagi, membereskan rumah lagi, memasak lagi. Satu piring kotor dicucinya juga ke sumur. Sebelah kaus kakiku robek, dijahitkannya. Namun anehnya, ia tak lagi bersuara. Aku sering tertidur sebelum ia tidur dan saat aku bangun, ia telah tak ada di sampingku.
Dulu ia suka menyanyikan lagu-lagu baru yang belum dihapalnya. Sekarang, mulut itu seperti terkunci rapat. Tak ada suara apapun yang keluar dari mulut itu kecuali menjawab satu-satu apa yang aku tanyakan. Tak kudengar lagi suaranya yang dulu terasa menjengkelkan, cerewet menyuruhku mandi, atau meletakkan kaus kaki di dalam sepatu. Neraka wel untuk orang yang melalaikan shalat, kalimat yang sering diulangnya bila mendapati aku masih bermalas-malasan di dipan rendah itu, sudah lama pula tak kudengar lagi.
Kini keheningan adalah musik kami sepanjang hari.

*****
Kulipat koran pagi itu dan meletakkannya di bawah meja.
“Dek, abang pergi kerja dulu ya.”
“Ya.”
Ia terus menyetrika, tak menoleh padaku. Tak pula tersenyum. Kehampaan terasa memenuhi rumah itu. Kutinggalkan rumah itu dengan sebuah perasaan aneh yang menyesak di dalam dada.
Perempuan itu sudah mati! Sudah mati! Dan akulah pembunuhnya.
Pekanbaru, 13 March, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar