Kamis, 03 November 2011

Mengunjungi Rumah Kelahiran Bung Hatta, Mengenang Sang Proklamator

Ini kisah perjalanan liburan Lebaran tahun lalu. Mungkin dapat menjadi inspirasi pembaca yang hendak liburan ke Sumatera Barat, tepatnya ke Bukittinggi.






Rumah kelahiran salah satu Proklamator Indonesia Bung Hatta, terletak di daerah Pasar Bawah, Bukittinggi. Mungkin hampir semua orang mengenal rumah berlantai dua semi permanen ini, karena ia memang dapat dikatakan sudah berada di wilayah pasar. Ada angkot yang lalu lalang di depannya. Tapi macetnya pasar itu membuat jengkel. Angkot, mobil pribadi dan juga bendi-bendi, berebut jalan. Belum lagi para pedagang kaki lima yang menyerobot trotoar dan parkir kendaraan yang memakan badan jalan. Sediakan stok kesabaran Anda lebih banyak dari biasanya...



Saya dan keluarga memang sudah merencanakan pergi ke Rumah Kelahiran Bung Hatta ini. Selain karena belum pernah ke sana, saya kira anak-anak perlu diisi memorinya dengan Sang Proklamator.



Pada papan nama di depan rumah, disebutkan bahwa rumah itu dibangun Pemko Bukittinggi bekerja sama dengan Universitas Bung Hatta dan diresmikan pada 12 Agustus 1995 oleh Menteri Negeri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Azwar Anas,




Si Tata yang baru bisa menulis, saya suruh menuliskan namanya di buku tamu. Dengan senang hati ia menulis baik-baik di buku itu. Kami lalu masuk ke rumah itu. Sebenarnya saat masih di teras, terdapat satu kamar berukuran kecil saja, memuat satu tempat tidur bujangan dan sebuah lemari kecil. Kamar itu disebut Kamar Bujang dan saya kira, itu kamar itu pemuda yang ditugaskan menjaga rumah.



Memasuki rumah itu, saya serasa kembali ke masa lampau. Ruangan segi empat cukup luas terhampar di depan mata. Ruang ini disekat dengan perabotan sehingga menjadi ruang tamu dan ruang makan. Kursi-kursi kayu di ruang tamunya dulu pernah saya lihat di rumah Pak Tuo (kakek saya).




Di dindingnya terdapat lukisan besar Bung Hatta. Ia seorang yang kharismatik. Ada juga ranji keluarga dari pihak ayah dan ibu Bung Hatta.



Ruangan besar itu diapit empat kamar di sisi kiri dan kanannya. Kamar-kamar itu milik mamak-mamak (paman/adik laki-laki ibu) Bung Hatta, salah satunya Mamak Saleh. Di dalamnya terdapat tempat tidur besi yang disebut kero. Di salah satu kamar, kami lihat terdapat sumur tua yang sepertinya sudah tidak digunakan lagi.





Lurus dari arah pintu masuk, kita melihat jendela-jendela menuju halaman belakang. Ada taman kecil antara rumah induk dan paviliun. Dan selayaknya rumah-rumah yang kaya zaman dulu, rumah ini juga memiliki gudang padi berbentuk segi empat dengan atap runcing-runcing seperti atap rumah adat Minangkabau. Gudang padi itu terdapat di sisi kiri rumah induk.



Selain meja makan untuk tamu, terdapat lagi meja makan di ruangan kecil di bawah tangga, di bagian belakang rumah. Saya kira itu ruang makan untuk para pekerja. Kami menaiki tangga berbentuk L dan sampai di teras kecil di lantai dua. Ada bunga-bunga ditata elok di pinggir teras.



Ruang atas sama bentuknya dengan ruangan di lantai dasar. Kamar tempat Bung Hatta dilahirkan, ada di lantai ini. Terdapat pula kamar untuk pak gaeknya (saya kurang pasti, apakah pak gaek berarti kakek atau pak de?).



Di paviliunnya, berderet satu kamar tidur, dapur, kamar mandi dan ruang bendi. Sedangkan di sisi kanan rumah, terdapat kandang kuda. Konon Bung Hatta kecil diantar dengan bendi ini ke sekolah semasa kecilnya.



Kunjungan ini cukup menyenangkan. Banyak turis yang datang. Di buku tamu tertera, mereka datang tidak saja dari seputaran Sumatera Barat, melainkan juga dari negeri tetangga dan negeri-negeri yang jauh lainnya. Sayangnya, hobi kita meminta sumbangan ala kadarnya, tetap tak terelakkan di tempat ini. Klenengan tempat para pengunjung dapat meninggalkan recehan mereka, disediakan di pintu masuk. Entah untuk siapa dana itu.



Saya kira, kalau memang pemerintah serius dan sungguh-sungguh ingin melestarikan peninggalan orang besar seperti Bung Hatta, jangan lecehkan dia dengan meminta seribu dua ribu dari pengunjung untuk alasan apapun (biasanya sih dengan alasan untuk parkir atau menggaji petugas kebersihan).



Seharusnya ada dana yang pantas untuk para pekerja yang telah menjadikan tempat itu layak untuk dikunjungi, sehingga tak ada lagi dalih mencari dana tambahan dengan menyediakan kotak amal itu. Kalau memang ingin memungut biaya masuk, lakukan secara resmi. Lagi pula, mencari dana toh bisa dilakukan dengan menjual souvenir dan sebagainya? Tentulah orang Minang yang dasarnya pedagang, punya banyak akal untuk mencari uang...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar